Pria itu menoleh ke arah Roni dan baru menyadari, bahwa Roni mungkin belum tahu mengenai perceraian yang diinginkan Savanah dan istrinya itu sudah tinggal di bar Salvastone.
"Roni, mengapa kamu tertarik sekali dengan urusanku? Saya sarankan, bila kamu ingin membantu, ada baiknya kamu menyelidiki tentang Keisha. Apa yang dia inginkan dengan membohongi Jason mengenai anak dalam kandungannya yang bukan anakku!"
"Hmm, mengapa kamu yakin sekali, itu bukan anakmu?" Roni berkata sambil tertawa kecil.
"Karena aku tidak pernah menidurinya, sekali pun aku mabuk!" geram Damian lalu melangkah dengan kasar keluar dari lahan bangunan tersebut.
"Hei... tunggu!" Roni berusaha menyusul dan masih ingin tahu lebih banyak tentang Savanah.
"Lalu apakah Savanah tahu, hubunganmu dengan Keisha? dan kehamilannya?"
Damian menoleh, "tahu! Tentu tahu, semua dunia ini tahu dan kamu tidak tahu? Kau lucu, Roni!"
Damian membuang topi keselamatan proyek yang dipakain
Ia menghapus tangannya di celemek dan segera berjalan keluar dari dapur menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. Membuka pintu yang kedap suara. Di sana, suara ribut semakin jelas terdengar.Ketika Savanah sampai di lantai bawah, pemandangan yang ia lihat membuatnya terkejut. Seorang pria besar dengan pakaian lusuh berdiri di tengah ruangan, berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah salah satu penghibur bar, seorang wanita muda bernama Nina.Nina terlihat ketakutan, tubuhnya gemetar sambil memegang meja di dekatnya untuk menjaga jarak dari pria itu. Beberapa staf Salvastone mencoba menenangkan situasi, tetapi pria itu terus berteriak tanpa henti.“Apa-apaan ini?” tanya Savanah dengan suara tegas, melangkah maju ke tengah ruangan. Ruangan yang agak remang membuat pandangan pria gemuk itu harus menyipitkan matanya.Pria itu menoleh ke arahnya, matanya merah seperti orang yang mabuk, mesk
Savanah merasa sakit hati mendengar tuduhan itu. “Paman, aku mengerti bahwa Paman sedang kesulitan. Tapi ini bukan cara yang benar. Jika Paman butuh bantuan, kita bisa bicara dengan baik.”"Aku, aku mencari pengacaraku dan membicarakan hal ini, bagaimana?" tanya Savanah dengan niat baik.Namun, Robert tidak mendengarkan. Ia melangkah mendekat dengan marah dan masih berusaha menggapai Nina, membuat Nina semakin ketakutan dan mundur lebih jauh. “Bantuan? Kau ingin membantuku? Kau bahkan tidak bisa mengurus keluargamu sendiri, Savanah! Kau hanya peduli pada dirimu sendiri!”"Dan Damian, dia malah memberikan bar ini kepadamu? Kau licik!""Bahkan tempatku untuk bersenang-senang juga kau rebut dan wanita cantik ini... ""Aarghh!" Nina berteriak karena Robert berusaha menjangkaunya. Dengan segera wanita cantik dan muda itu berlari lalu bersembunyi di belakang Savanah."Nyonya, tolonglah saya," pekiknya dengan raut wajah ketakutan.
Ketika Robert hendak meninggalkan Salvastone Bar, amarah yang membara dalam dirinya mencapai puncak. Ia berbalik kembali ke dalam ruangan dengan mata merah menyala, menatap Savanah seolah ia adalah akar dari segala penderitaannya.“Kau!” teriak Robert, suaranya penuh kebencian. “Kau pikir bisa mengusirku seperti anjing jalanan? Kau pikir aku akan membiarkanmu merendahkanku?”Savanah terkejut melihat Robert kembali masuk, tetapi ia mencoba mempertahankan ketenangannya. “Paman, aku tidak ingin hal ini menjadi lebih buruk. Tolong pergi sebelum kau membuat masalah lebih besar.”Namun, Robert tidak mendengarkan. Ia melangkah ke arah meja bar, meraih botol minuman yang ada di sana, lalu dengan gerakan kasar, memecahkan botol itu di sudut meja. Pecahan kaca yang tajam kini berada di tangannya, berkilauan di bawah cahaya.“Aku akan menunjukkan padamu siapa yang sehar
Jason memutar matanya, ekspresinya menunjukkan ketidaksabaran. “Damian, aku sudah muak dengan sikapmu yang terus menghindar dari tanggung jawab. Apa kau punya bukti untuk mendukung tuduhanmu ini? Atau ini hanya alasan lain untuk melarikan diri?”"Saat aku menjodohkanmu dengan Savanah, kau juga bersikap seperti ini. Kapankah kamu akan menjadi dewasa, Damian?""Kamu akan segera punya anak dan-"“Dad! Aku tidak pernah tidur dengan Keisha!” tegas Damian, mendekat ke meja ayahnya. “Dia berbohong. Dia menggunakan cerita ini untuk mengikatku, dan kamu malah langsung percaya padanya tanpa bertanya kepadaku.”Jason menatap Damian tajam. “Jangan bicara seolah-olah aku tidak tahu bagaimana kau bersikap selama ini. Apa kau bisa menjamin bahwa ini benar-benar kebohongan? Tidak ada jalan untuk memastikan sampai bayi itu lahir dan tes DNA dilakukan.”Jason tertawa kecil sebelum melanjutka
Damian mengepalkan tinjunya, bertekad untuk menemukan bukti yang membongkar kebohongan Keisha. Tetapi dalam hatinya, ia juga tahu bahwa luka dari hubungan ayah-anak ini mungkin tidak akan pernah sembuh.Damian mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, mencoba menenangkan dirinya setelah pertengkaran yang intens dengan Jason. Napasnya masih berat, pikirannya penuh dengan amarah dan kebingungan. Ia berharap suasana di rumah bisa membantunya menenangkan kepala yang penuh kekacauan.Hal yang tidak dia tahu adalah pada saat dia menemui sang ayah, Jason Pangestu dan berdebat dengan sengit, Keisha juga sedang memainkan sandiwara yang seru di tempat lain.Keisha duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota, jemarinya bermain-main dengan sebuah gelas anggur kosong. Di depannya, seorang pria berpenampilan sederhana namun tampak gugup duduk dengan tangan bersilang di atas meja. Wajahnya berkeringat, meskipun udara di restoran itu dingin karena pendingin ruangan.
Pria itu menelan salivanya, dia tentu mengerti apa yang diisyaratkan dalam perkataan Keisha."Tidak mengantar lagi," ucap Keisha seraya melambaikan sebelah tangannya, memberi kode agar pria itu segera berlalu dengan membawa koper berisi penuh dengan uang.Setelah menyelesaikan kesepakatan itu, Keisha kembali ke rumah Damian dengan senyum puas. Ia tahu bahwa permainannya telah dimulai, dan sekarang ia hanya perlu menunggu informan itu memainkan perannya.Beberapa saat kemudian, ketika Damian membuka pintu depan rumahnya, ia langsung merasa ada sesuatu yang berbeda. Aroma parfum floral yang asing menyambutnya, mengisi seluruh ruang tamu. Ia mengerutkan kening, melangkah masuk dengan hati-hati."Ada apa ini?" Damian menghentikan seorang pelayan yang membungkukan tubuh untuk memberi hormat padanya lalu bergegas hendak pergi melakukan pekerjaan."Tuan, maaf. Saya harus buru-buru atau Nyonya Muda Keisha akan marah lalu secara
Keisha menatap Damian dengan kaget. “Apa maksudmu, Damian? Ini rumah kita sekarang.”“Keluar dari rumahku,” ulang Damian, kali ini lebih keras. “Aku tidak peduli bagaimana kau masuk ke sini atau apa yang kau pikirkan. Kau tidak punya hak untuk berada di sini, apalagi memindahkan barang-barangku. Aku tidak pernah memberimu izin untuk melakukan ini.”Keisha mencoba membela dirinya, tetapi Damian tidak mau mendengarkan lagi. Ia mulai mengeluarkan pakaian Keisha dari lemarinya, melemparkan semuanya ke lantai tanpa peduli.“Damian! Apa yang kau lakukan?!” jerit Keisha, tetapi Damian tetap melanjutkan.“Aku sudah cukup dengan semua manipulasi ini,” katanya dengan dingin.“Kau pikir kau bisa mengendalikan hidupku dengan kebohonganmu? Tidak akan terjadi.”"Damian! Ingat, Jason yang menyuruhku untuk tinggal di
Informan itu menggelengkan kepala, bekas gigi Nona Keisha yang sama persis, lihat ini. Pria itu menunjukkan beberapa hasil rontgen tulang gigi Keisha.Kedua mata Damian berkaca-kaca, terasa sangat sulit menerima kenyataan yang berubah secara mendadak."Jadi, itu adalah Keisha?"Informan itu mengangguk dengan tegas. "Tidak salah lagi, Tuan."Damian terduduk lemas di sofa dalam kamar hotel yang dia tempati."S-savanah, menipuku? Lagi?"***Di rumah, Keisha duduk di ruang tamu dengan wajah tenang, meskipun hatinya penuh dengan kepuasan. Ia tahu bahwa informan itu sudah melaksanakan tugasnya. Sekarang Damian hanya tinggal mencerna “bukti” itu, dan kecurigaannya terhadap Savanah akan semakin besar.“Ini baru permulaan,” gumamnya pelan, senyum licik terukir di wajahnya. “Aku akan memastikan Damian tidak pernah meragukan ceritaku lagi. Dan Savanah… kau akan melihat seperti apa rasanya
Sore harinya, Damian memutuskan untuk menghadapi Sarah secara langsung. Ia mengatur pertemuan di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat yang cukup terbuka untuk mencegah Sarah mencoba sesuatu yang berlebihan, tetapi cukup pribadi untuk berbicara serius.Ketika Damian tiba, Sarah sudah duduk di meja, mengenakan gaun merah yang mencolok. Ia terlihat santai, bahkan tersenyum lebar seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang mereka hadapi.“Damian,” katanya sambil melambaikan tangan. “Aku tahu kau akan menghubungiku. Kau pasti ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Damian duduk di kursi di seberangnya, matanya dingin. “Sarah, kau tahu kenapa aku ingin bertemu.”Sarah mengangkat bahu dengan santai. “Kalau ini tentang video itu, aku hanya mengatakan kebenaran. Kau seharusnya lebih marah pada istrimu yang tidak tahu malu daripada padaku.”
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi