"Ya, Tuan. Savanah yang bertugas di malam itu. Dari bekas gigitan pada bahu Anda semalam, saya sudah mengirim foto perbandingan gigi dan itu adalah sama persis."
"Tidak bisa diragukan lagi bahwa Nona Savanah adalah wanita yang ada malam itu. Sementara Nona Keisha baru datang pagi harinya. Saya sudah memeriksa semua catatan dan jadwal kerja kedua wanita itu. Rekan kerja yang hadir pada malam itu juga yakin bahwa wanita yang bertugas malam itu adalah Savanah."
"Apakah Savanah mengenalku?" tanya Damian.
"Sayang sekali, sepertinya Nyonya muda tidak tahu apa-apa, itulah kenapa Keisha memanfaatkan kesempatan itu. Saat Savanah menemukan cincin Anda, Keisha merebutnya dan di saat yang sama, Anda muncul. Saya memiliki bukti CCTV akan hal itu, Tuan."
Penjelasan dari peneliti itu membuat tubuh Damian bergetar hebat. Perasaan bersalah teramat menusuk dan membuat hatinya berat seketika.
"Tuan?"
"Ada lagi?" Damian mulai merasa kepalanya terasa berputar.
Savanah duduk di atas ranjang periksa dengan wajah lelah dan sedikit pucat. Hari ini dia akan pergi menjemput Ibunya yang dibebaskan pada hari ini. Dia tidak boleh sakit karena juga harus mengurus pemindahan.Dia akan pergi keluar negeri sesudah ini. Jauh dari Damian.Tangannya memegangi perut yang terasa mulas sejak pagi. Ia berpikir bahwa rasa sakit ini hanyalah akibat kebiasaannya melewatkan waktu makan di tengah semua tekanan emosional yang ia alami."Asam lambung saya kambuh 'kan, Dok? Berikan saya obat anti nyeri saja, aku tidak bisa istirahat saja hari ini, banyak yang harus kukerjakan. Saya sangat sibuk," ucap Savanah tanpa memperhatikan mimik wajah sang dokter.Dokter wanita yang memeriksanya, seorang perempuan paruh baya dengan wajah ramah, mencatat sesuatu di clipboardnya sebelum berbalik menatap Savanah dengan ekspresi serius namun lembut.“Nyonya Savanah,” kata dokter itu akhirnya, “saya tahu Anda mengir
Savanah mengelus perutnya datarnya seraya berkata dengan kedua masa sembab, "kamu tidak bersalah, Nak. Hanya hadir di waktu yang tidak tepat."Savanah tidak tahu apakah ia memiliki kekuatan untuk memperjuangkan hal ini. Tetapi satu hal yang ia tahu, keputusan ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru.Ia menghela napas panjang, mengambil tasnya, dan berjalan keluar dari klinik dengan langkah berat. Pikiran tentang Damian, Keisha, dan bayi yang kini tumbuh di dalam dirinya terus menghantui setiap langkahnya."Aku akan pergi dulu dan berpikir untuk langkah yang harus kulakukan. Pertama mengisi perutku lalu pergi menjemput Ibu!"Savanah baru saja mengeluarkan ponselnya untuk memesan taksi ketika panggilan masuk menghentikan jari-jarinya yang hendak mengetik. Nama Jason terpampang di layar, membuat alisnya berkerut dalam kebingungan. Ia ragu sejenak sebelum menggeser tombol hijau.“Halo, Tuan Jason?&rdqu
Jason menatapnya dengan tajam. “Aku ingin memastikan kau mendapatkan sesuatu yang nyata sebagai ganti dari semua yang telah kau lalui. Aku tahu Damian tidak bisa memberikan kebahagiaan yang kau butuhkan. Jadi anggap ini sebagai cara untuk memastikan kau bisa memulai hidup baru dengan lebih mudah.”Savanah terdiam. Di satu sisi, tawaran ini adalah kesempatan besar untuk keluar dari hubungan yang menyakitkan. Di sisi lain, hatinya masih terasa berat. Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar, tetapi ia tahu satu hal—Damian tidak pernah menunjukkan bahwa ia benar-benar menginginkan dirinya.Jason melanjutkan, suaranya lebih lembut kali ini. “Savanah, aku tahu ini keputusan besar. Tapi aku percaya ini adalah yang terbaik untuk semua pihak. Kau bisa memiliki kebebasan dan masa depan yang lebih baik tanpa Damian.”Savanah menatap Jason dengan tatapan bimbang. “Ayah, saya… saya tid
"Bukankah kamu memang selalu menginginkan sebuah perceraian dari awal pernikahan ini? Mengapa matamu terlihat ragu saat ini?" tantang Jason kembali.Kata-kata itu adalah pukulan terakhir bagi Savanah. Ia tidak percaya bahwa Jason bisa begitu dingin terhadapnya, meskipun ia tahu pria itu selalu lebih berpihak pada dirinya sebelum hari ini.Jadi, aku hanya akan menjadi ibu dari anak Damian, tanpa tempat dalam hidupnya? Savanah menanyakan kepada dirinya sendiri dalam hatinya dan dada yang sesak."... dan saya tidak boleh menghubungi dan berhubungan dengan Damian lagi di masa depan...," ucap Savanah.Jason mengangguk, wajahnya tetap tanpa emosi. “Itu adalah jalan terbaik untuk semua orang, Savanah. Kau bisa tetap menjadi anak yang baik untuk Ibumu, dan Damian akan menjalani tanggung jawabnya dengan Keisha. Tidak ada gunanya melawan ini.”"Kamu menginginkan akhir yang bagus seperti ini
Damian terdiam, wajahnya berubah masam. Ia tahu bahwa hubungan mereka berada di titik terendah, tetapi mendengar kata-kata itu langsung dari mulut Savanah tetap terasa seperti pukulan telak.“Savanah,” katanya pelan, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan. Aku tahu aku menyakitimu. Tapi bisakah kita berbicara? Berbicara dengan tenang tanpa terburu-buru membuat keputusan ini?”Savanah menggeleng pelan. “Aku sudah cukup berbicara, Damian. Aku sudah cukup memberi kesempatan. Dan sekarang aku tahu, aku harus memulai hidupku tanpa dirimu. Jadi tolong, biarkan aku dan Ibu pergi.”Damian menatapnya dengan rasa frustrasi yang nyata, tetapi ia tahu bahwa memaksa hanya akan membuat situasi semakin buruk. Dengan enggan, ia melangkah mundur, memberi jalan bagi Savanah dan Suzie.Savanah memegang tangan ibunya erat, lalu memanggil
Pria itu menoleh ke arah Roni dan baru menyadari, bahwa Roni mungkin belum tahu mengenai perceraian yang diinginkan Savanah dan istrinya itu sudah tinggal di bar Salvastone."Roni, mengapa kamu tertarik sekali dengan urusanku? Saya sarankan, bila kamu ingin membantu, ada baiknya kamu menyelidiki tentang Keisha. Apa yang dia inginkan dengan membohongi Jason mengenai anak dalam kandungannya yang bukan anakku!""Hmm, mengapa kamu yakin sekali, itu bukan anakmu?" Roni berkata sambil tertawa kecil."Karena aku tidak pernah menidurinya, sekali pun aku mabuk!" geram Damian lalu melangkah dengan kasar keluar dari lahan bangunan tersebut."Hei... tunggu!" Roni berusaha menyusul dan masih ingin tahu lebih banyak tentang Savanah."Lalu apakah Savanah tahu, hubunganmu dengan Keisha? dan kehamilannya?"Damian menoleh, "tahu! Tentu tahu, semua dunia ini tahu dan kamu tidak tahu? Kau lucu, Roni!"Damian membuang topi keselamatan proyek yang dipakain
Ia menghapus tangannya di celemek dan segera berjalan keluar dari dapur menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. Membuka pintu yang kedap suara. Di sana, suara ribut semakin jelas terdengar.Ketika Savanah sampai di lantai bawah, pemandangan yang ia lihat membuatnya terkejut. Seorang pria besar dengan pakaian lusuh berdiri di tengah ruangan, berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah salah satu penghibur bar, seorang wanita muda bernama Nina.Nina terlihat ketakutan, tubuhnya gemetar sambil memegang meja di dekatnya untuk menjaga jarak dari pria itu. Beberapa staf Salvastone mencoba menenangkan situasi, tetapi pria itu terus berteriak tanpa henti.“Apa-apaan ini?” tanya Savanah dengan suara tegas, melangkah maju ke tengah ruangan. Ruangan yang agak remang membuat pandangan pria gemuk itu harus menyipitkan matanya.Pria itu menoleh ke arahnya, matanya merah seperti orang yang mabuk, mesk
Savanah merasa sakit hati mendengar tuduhan itu. “Paman, aku mengerti bahwa Paman sedang kesulitan. Tapi ini bukan cara yang benar. Jika Paman butuh bantuan, kita bisa bicara dengan baik.”"Aku, aku mencari pengacaraku dan membicarakan hal ini, bagaimana?" tanya Savanah dengan niat baik.Namun, Robert tidak mendengarkan. Ia melangkah mendekat dengan marah dan masih berusaha menggapai Nina, membuat Nina semakin ketakutan dan mundur lebih jauh. “Bantuan? Kau ingin membantuku? Kau bahkan tidak bisa mengurus keluargamu sendiri, Savanah! Kau hanya peduli pada dirimu sendiri!”"Dan Damian, dia malah memberikan bar ini kepadamu? Kau licik!""Bahkan tempatku untuk bersenang-senang juga kau rebut dan wanita cantik ini... ""Aarghh!" Nina berteriak karena Robert berusaha menjangkaunya. Dengan segera wanita cantik dan muda itu berlari lalu bersembunyi di belakang Savanah."Nyonya, tolonglah saya," pekiknya dengan raut wajah ketakutan.
Sore harinya, Damian memutuskan untuk menghadapi Sarah secara langsung. Ia mengatur pertemuan di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat yang cukup terbuka untuk mencegah Sarah mencoba sesuatu yang berlebihan, tetapi cukup pribadi untuk berbicara serius.Ketika Damian tiba, Sarah sudah duduk di meja, mengenakan gaun merah yang mencolok. Ia terlihat santai, bahkan tersenyum lebar seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang mereka hadapi.“Damian,” katanya sambil melambaikan tangan. “Aku tahu kau akan menghubungiku. Kau pasti ingin membicarakan sesuatu yang penting.”Damian duduk di kursi di seberangnya, matanya dingin. “Sarah, kau tahu kenapa aku ingin bertemu.”Sarah mengangkat bahu dengan santai. “Kalau ini tentang video itu, aku hanya mengatakan kebenaran. Kau seharusnya lebih marah pada istrimu yang tidak tahu malu daripada padaku.”
“Nyonya Savanah,” kata dokter itu dengan suara tenang tetapi penuh kewibawaan. “Kami telah melakukan beberapa tes awal pada ibu Anda. Ada tanda-tanda gangguan pada jantungnya.”Savanah merasa tubuhnya lemas mendengar kata-kata itu. “Gangguan jantung?” ulangnya, hampir tidak percaya walau dia sudah pernah menerima informasi ada masalah jantung dalam pemeriksaan sebelumnya, namun sang dokter tidak menganjurkan tindakan lanjut yang mendadak, hanya bertahap untuk menjalani pengobatan dan beberapa latihan untuk menguatkan jantung.Dokter mengangguk. “Ya, ini bukan sesuatu yang baru. Dari riwayat medisnya, tampaknya beliau sudah pernah mengalami gejala serupa sebelumnya. Hanya saja, kali ini kondisinya lebih serius.”“Seberapa serius?” tanya Savanah, suaranya bergetar.“Kami perlu menjalankan lebih banyak tes untuk memastikan, tetapi saya me
Tapi kenangan itu terasa seperti ilusi sekarang, sesuatu yang tidak pernah benar-benar nyata.“Damian,” Savanah mengelus perutnya sambil menangis tanpa suara, air matanya membasahi bantal.“Kalau saja kau tahu… aku hanya ingin kau ada di sini untukku. Untuk bayi ini. Tapi kau selalu memilih untuk menjauh.”Savanah meremas selimutnya, tubuhnya bergetar karena emosi yang membanjiri dirinya. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia.Di satu sisi, ada Roni, pria yang memberinya rasa perlindungan yang belum pernah ia rasakan. Di sisi lain, ada Damian, cinta sejatinya, meskipun cinta itu kini terasa dingin dan jauh.Tangan Savanah kembali menyentuh bibirnya, mengingat ciuman Roni yang penuh gairah. Tapi hatinya menolak untuk menerima kehangatan itu.“Aku mencintai Damian,” bisiknya lagi, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Aku
Suzie menghela napas panjang, lalu menatap Roni. “Kau pria yang baik, Roni. Tapi ini bukan waktunya untuk hal seperti ini. Tolong jaga jarak sampai semuanya jelas.”Roni mengangguk patuh. “Saya mengerti, Nyonya. Maafkan saya.”"Baik, kamu boleh pergi," usir Suzie tanpa basa basi."Tapi, dia tidak memiliki pakaian." Savanah berusaha menjelaskan.Suzie mengernyitkan alisnya seolah-olah sedang mengukur tubuh Roni, lalu berkata, "tunggu sebentar."Tidak lama kemudian, Suzie keluar dengan satu stel pakaian. Kaus dan celana pendek karet."Ini milik mendiang Ayahmu, mungkin bisa masuk. Beliau suka memakai pakaian yang ukurannya besar." Suzie menyodorkan pakaian itu kepada Roni seraya mendorongnya agar segera menuju ke kamar mandi untuk memakainya.Tidak lama kemudian, Roni keluar dengan pakaian yang muat di tubuhnya tetapi membuat dia tampak tua.Savanah terkekeh, namun Suzie tidak mengizinkan percakapan lebih lanjut, di
Savanah menggeleng, menatap Roni dengan mata penuh kecemasan. “Kenapa semua ini harus terjadi, Roni? Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang. Kenapa mereka tidak bisa membiarkan aku sendiri?”Roni tidak menjawab seketika. Ia menatap wanita yang tampak begitu rapuh di depannya, lalu berkata dengan nada tegas, “Karena mereka tidak tahu siapa Anda sebenarnya. Mereka hanya percaya pada kebohongan yang dijual oleh orang-orang seperti Sarah.”Savanah menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar."Aku akan membantumu membersihkan bar ini," kata Roni sambil lalu.Malam itu, setelah semua kekacauan di Salvastone, Savanah duduk di kursi bar sambil menatap Roni yang membersihkan dinding kaca dari noda telur busuk. Tubuh pria itu basah oleh cairan telur yang dilemparkan massa, dan aroma menyengat membuat Savanah merasa bersalah.
Beberapa hari kemudian, Savanah tidak menyadari masalah baru mulai mengincarnya lagi.Video siaran langsung Sarah terus menyebar di media sosial. Dengan judul provokatif seperti “Skandal di Rumah Sakit: Sepupu Penghancur Keluarga!”, video itu menarik perhatian ribuan orang. Banyak yang menyaksikan tanpa tahu cerita sebenarnya, tetapi komentar pedas dan kebencian terus mengalir.Savanah jarang melihat sosial media karena kesibukannya.Salvastone Bar, yang baru saja menjadi milik Savanah, mendadak menjadi sasaran kemarahan mereka yang percaya pada cerita Sarah. Komentar-komentar kasar mulai membanjiri akun media sosial bar itu, dan beberapa orang bahkan memutuskan untuk melampiaskan kebencian mereka di dunia nyata.Pagi itu, Savanah sedang berada di ruang administrasi di lantai atas bar, memeriksa dokumen pembukuan yang tertunda. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya masih berat akibat berbagai masala
“Dengar,” potong Roni dengan nada lembut. “Aku tahu ini bukan keputusan yang bisa kau buat dengan mudah. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak menawarkan ini karena rasa kasihan. Aku menawarkan ini karena aku tulus. Karena aku ingin menjadi pria yang bisa kau andalkan.”Savanah menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Ia tahu bahwa Roni adalah pria yang baik, pria yang selalu ada untuknya di saat ia merasa paling terpuruk. Tetapi tawarannya begitu besar, begitu mendadak, hingga ia merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar.“Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima itu, Roni,” katanya akhirnya dengan suara bergetar. “Aku bahkan belum tahu apa yang harus kulakukan dengan hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa membuat keputusan sebesar ini?”Roni menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. “Kau tidak perlu memutuskan sekarang, Savanah. Aku hanya ingin kau tahu
Roni menatap Savanah dengan ekspresi lembut, tetapi juga penuh tekad. Ia tahu bahwa ketakutan wanita itu bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.“Aku mengerti,” katanya pelan. “Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa kepada Damian. Ini adalah rahasiamu, dan aku akan menghormatinya.”"Belum saatnya, maksudku, belum saatnya Damian tahu, dia akan tahu nanti, tetapi setelah aku melahirkan anak ini dan mencantumkan nama keluargaku!" tegas Savanah dalam isak tangisnya.Tubuhnya berguncang dalam pelukan Roni."Diamlah, jangan terlalu terbawa emosi. Rahasiamu aman bersamaku, Savanah," hibur Roni.Savanah mengangguk pelan, merasa lega mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan bersalah tetap menghantuinya. Ia tahu bahwa Damian, dengan segala kekurangannya, tetap memiliki hak untuk tahu tentang anak mereka. Tetapi rasa takutnya lebih besar daripada rasa bersalah itu.“Terima kasih, Roni,” bisiknya. “Aku tahu aku egois. Tapi ini yang terbaik untuk sekarang.”Roni menepuk bahunya dengan lembut.
“Bu,” kata Savanah lembut, duduk di tepi tempat tidur ibunya. “Ibu harus menjaga diri. Saya tidak bisa kehilangan Ibu. Ibu adalah satu-satunya keluarga yang saya miliki.”Suzie tersenyum lemah. “Sayang, aku sudah menjalani hidup yang penuh liku. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja.”Mata Savanah memanas mendengar itu. Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat, seolah-olah itu bisa mencegah waktu merenggutnya.“Bu, saya akan melakukan apa saja untuk memastikan Ibu sehat kembali,” kata Savanah, suaranya penuh tekad.Suzie memandang putrinya dengan mata lembutlalu menoleh ke arah Roni. Roni mengangguk kecil seolah-olah menjawab tatapan penuh arti dari sang ibu. “Aku tahu kau akan melakukan segalanya untukku, Savanah. Tapi jangan lupa, kau juga harus menjaga dirimu sendiri. Kau memiliki sesuatu yang sangat berharga untuk diperjuangkan.”Savanah menunduk, menyadari apa yang dimaksud ibunya—bayi yang kini tumbuh di dalam kandungannya.“Saya akan melindungi bayi