Seusai salat Magrib, Reva baru saja diantarkan Nathan pulang ke kosannya. Nathan ingin menemui Bu Sarah, dan Reva berinisiatif untuk memanggilkannya."Aku ke atas dulu, naruh barang-barang ini sebentar. Nanti aku panggilkan Bu Sarah," ujar Reva berpamitan."Iya, Sayang. Aku tunggu, ya. Semoga masih ada kamar kosong, biar aku nggak jauh dari kamu," balas Nathan penuh harap."Amin. Bentar, ya," sahut Reva sambil tersenyum.Reva berjalan masuk ke halaman kos, sementara Nathan menunggu di luar gerbang. Selama menunggu, Nathan tak henti-hentinya menatap punggung sang kekasih."Mas, udah yuk. Rumah Bu Sarah ada di sebelah sana, jadi motornya bawa ke sana aja, ya," ujar Reva, menunjuk ke arah barat setelah kembali."Iya," balas Nathan singkat.Setibanya di rumah Bu Sarah, Reva menghampiri Pak Beni, penjaga keamanan rumah tersebut, dan menanyakan keberadaan Bu Sarah. Namun, ternyata Bu Sarah sedang berada di luar kota dan belum pulang."Oh, begitu ya, Pak. Saya mau tanya, apa masih ada kamar
"Silakan adukan sama tantemu, aku nggak takut! Jangan mentang-mentang kamu keponakan Bu Sarah, terus bisa berbuat seenaknya. Aku di sini bayar, bukan numpang, jadi aku nggak bakal takut! Lagi pula, aku bukan kerja jadi wanita panggilan. Aku kerja di restoran bakso Dua Putra, yang di seberang mal itu!" ujar Reva dengan tegas, menyebutkan tempat kerjanya. Meysa tertawa meremehkan. "Elo pikir gue percaya? Cewek kampung kayak elo, cuma lulusan SMA, bisa kerja di restoran mewah? Paling-paling juga cuma jadi tukang bersih-bersih atau cuci piring." "Iya! Memang kenapa kalau aku cuma jadi tukang bersih-bersih? Yang penting kerjaanku halal! Nggak kayak kamu, bisanya cuma halo Mama, halo Papa—minta ini itu. Meski aku anak orang nggak punya, setidaknya aku masih punya harga diri. Dan bisa nikmatin segala sesuatu dari hasil keringat sendiri tuh rasanya spesial banget! Jadi daripada ngurusin hidup orang lain yang nggak penting, mending kamu pakai waktumu buat hal yang bermanfaat. Biar kamu bi
“Kita duduk di sini saja. Di sana itu khusus untuk orang-orang kaya, biasanya ruangan privat, jadi memang disediakan bagi yang mau membayar mahal. Kalau di sini untuk kalangan menengah ke bawah, kita bebas, apalagi kita juga bisa menikmati alunan musik,” ujar Nathan. “Kamu kenapa, Dek? Kok banyak diam? Apa kamu nggak suka tempat ini? Kalau kamu nggak suka, kita bisa cari tempat lain," tawar Nathan sebab ia melihat sang kekasih yang hanya diam bahkan seperti tak nyaman.Seketika Reva tersadar dari lamunannya dan mengalihkan fokusnya pada lelaki di hadapannya kembali.“Enggak kok, Mas. Aku suka tempatnya,” balas Reva sambil tersenyum. “Aku diam bukan karena nggak suka, tapi aku kagum banget sama tempat ini. Mungkin kamu udah terbiasa ya datang ke tempat kayak gini. Kalau aku, ini baru pertama kali. Jadi aku kelihatan katrok, ya?”Nathan tertawa kecil. Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri mereka. Nathan memesan makanan dan menawari Reva untuk memilih menu yang diinginkannya. Nam
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja.Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana.Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya.Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya.“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah apa jadinya kalau kamu benar-b
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja. Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana. Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya. Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya. “Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah
Lelaki itu tak sedikit pun tersenyum atau menoleh ke arah Reva. Tatapannya hanya tertuju pada sosok lelaki paruh baya yang tengah tersenyum kepadanya."Pa, restorannya kok masih sepi? Belum pada datang, ya?" tanya Aaris tanpa basa-basi, matanya menelusuri meja-meja kosong di ruangan yang masih lengang itu."Belum pada datang, mungkin sebentar lagi sampai. Bisa jadi kejebak macet di jalan," jawab Pak Jimmy, mencoba menebak-nebak.Aaris mengangguk kecil. "Oh, bisa jadi sih. Burhan mana, Pa?" tanyanya lagi, masih tak melirik ke arah Reva yang berdiri tak jauh dari mereka."Lagi di atas, bersihin ruangan atas," balas Pak Jimmy sambil menepuk bahu putranya ringan.Sejak tadi Aaris sama sekali tidak menunjukkan minat atau rasa ingin tahu terhadap kehadiran Reva. Ia berdiri membelakangi gadis itu, menatap ke arah jalanan di luar kaca restoran.Reva, yang sejak awal merasa canggung berada di antara dua pria itu, akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Ia menarik napas pelan, lalu menyusun kalim
Reva segera membawa pesanan Aaris, namun saat sampai di ujung tangga ia berpapasan dengan Nita."Heh!! Mau kemana?? Berani elo naik ke atas, kerjaan elo tuh bagian bawah, yang kotor-kotor itulah pekerjaan elo. Karyawan yang boleh naik ke atas itu cuma karyawan kepercayaan. Contohnya seperti gue!!" ujar Nita dengan sinis.Reva sama sekali tak mau memperdulikan ucapan Nita ia tak mau memasukkan ke dalam hati atas ucapan tak mengenakkan itu."Aku di suruh pak bos buat nganterin pesanannya," balas Reva dengan singkat. Ia segera naik ke atas tangga tanpa peduli Nita yang menatapnya tak suka.Saat reva sampai di pertengahan tangga ia menoleh ke arah Nita yang ternyata masih menatapnya dengan tatapan semakin garang. Ia terus naik hingga ke ujung tangga dan Nita masih memandangnya dengan tajam. Ia tak peduli hingga sosok Nita hilang dari pandangan matanya.Tok!!!Tok!!!Tok!!!!"P
"Nggak apa-apa hina aja aku, emang begini kok Tuhan ngasih wajah aku. Kamu sendiri yang berspekulasi dan kamu sendiri yang marah-marah begitu, mending buang jauh-jauh sifat iri kamu biar kamu nggak sakit hati dan nggak selalu benci sama orang. Aku mau ngelapor sama yang lain kalau ternyata pelaku pencurian itu kamu," balas Reva tak kalah tegas juga.Saat Reva hendak keluar, Nita menarik tangan Reva dan hendak menaparnya. Namun Reva bisa menghindar dengan cara berjongkok alhasil dia selamat dari tamparan Nita."Kurang ajar elo, di sini nggak ada cctv gue bakal hajar elo, sini elo bakal mampus di tangan gue. Kerja belum setengah bulan aja udah berani banget sama gue yang udah kerja bertahun-tahun.""Kasar benget ternyata kamu, Kak," ucap Reva yang tak menyangka dengan sifat asli Nita."Gue kasar cuma sama elo, sejak awal gue udah nggak suka sama elo tapi elo masih saja nekad kerja di sini.
"Hiks, hiks..."Nisa yang baru saja masuk gotaan mendengar isak tangis temannya. Zahra tampak mencoretkan pensil di buku gambarnya sambil sesekali terdengar menangis.Sambil meletakkan buku novel pemberian Rafiq di atas meja dan melepas mukena, Nisa bertanya, "Kamu kenapa nangis, Ra?""Hiks, hiks, aku kasihan sama yayangku, Nis. Dia dihukum sama Ustadz Mahfud untuk menyapu halaman pondok yang luas. Andai saja diizinkan, aku pasti akan membantunya," balas Zahra tanpa menoleh ke arah Nisa.Nisa mendekat dan terkesima melihat gambar Zahra yang nyaris sempurna. Temannya itu memang tidak terlalu unggul dalam pelajaran, tetapi bakat seni Zahra tidak bisa diragukan lagi."Kenapa kamu gambar Ali naik sapu terbang?" tanya Nisa penasaran."Tadi aku lihat dia memegang sapu. Kayaknya dia bingung banget mau ngapain. Pasti dia belum pernah nyapu kan? Jadi, aku bayangkan Ali punya sapu terbang, dan sapu ajaib itu bisa membantu dia membersihkan
Nisa merasa semakin terpojok dengan desakan dari Zahra dan Aisyah. Ia harus berpikir cepat untuk menghindari pertanyaan yang semakin membuatnya gugup."Eh, ngomong-ngomong, udah pada belajar buat ulangan minggu depan belum? Soalnya aku dengar Pak Dodi bakal kasih soal yang susah banget, loh," ucap Nisa, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan nada canggung.Aisyah yang mendengar hal itu langsung tampak serius, "Iya ya, aku juga dengar itu. Katanya materi yang diujikan bakal luas banget, apalagi yang matematika."Selain di pesantren mereka masih duduk di kelas dua MA (Madrasah Aliyah). Mereka mondok dari lulus SD namun datang dari kota yang berbeda.Zahra menatap Nisa sejenak dengan tatapan curiga, tapi akhirnya ikut terpancing, "Sukanya ngalihin pembicaraan. Tapi, awas ya kalau kamu ikutan suka sama Ali. Aku getok palamu. Emang ustadz Mahfud mau kamu kemanain," ancam Zahra sambil tertawa kecil setengah bercanda."Heh, ngeri banget ka
"Hei, bangun!" seru Ustadz Mahfud dengan suara keras, membuat Ali terperanjat.Ali yang kaget merenggangkan kakinya hingga tanpa sengaja menendang santri yang duduk di depannya."Aduh, sakit!" erang santri tersebut."Enak ya tidurnya?" tanya Ustadz Mahfud dengan nada sinis."Orang tidur aja dimarahi, emangnya mereka enggak pernah tidur?" gerutu Ali dalam hati."Jawab!" bentak Ustadz Mahfud lagi.Ali mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk, lalu bangkit dengan malas. Ia tahu tidak ada gunanya membantah di hadapan Ustadz Mahfud. Dengan pandangan kosong, Ali mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang tidak jelas."Apa?!" Ustadz Mahfud semakin mendekat, menunduk di depan Ali yang masih setengah berdiri. "Kalau mengantuk, wudhu dulu! Jangan tidur di majelis ilmu!"Ali menunduk, merasa berat untuk menjawab. Di sudut matanya, ia melihat Abah Kiyai masih duduk t
Membayangkan ucapan Ridwan yang tadi, (di sholat kan). Ali membayangkan dirinya tengah berada di depan imam. "Tidak....! Jangan sampai itu benar-benar terjadi. Kayaknya benar kata dia tadi, lebih baik gue pergi sekarang." Ali gegas keluar dari gotaan (sebutan kamar pondok) menuju kamar mandi untuk berwudhu.Dengan langkah tergesa-gesa, Ali menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sedikit kesegaran, namun tak cukup untuk mengusir kecamuk di hatinya. Setelah selesai berwudhu, Ali langsung menuju masjid. Ia terlambat.Saat masuk ke masjid, para santri sudah khusyuk dalam rakaat terakhir. Mereka sudah sampai pada posisi duduk dua sujud, hampir menyelesaikan sholat. Ali melihat sekeliling dengan tanpa merasa bersalah, bukannya memulai sholat dari awal, ia malah memilih untuk langsung ikut duduk di dua sujud, seolah-olah sudah menjalankan seluruh rakaat. Ketika para santri mengucapkan salam, Ali mengikuti dengan gerakan cepat."Assalamualaiku
"Astaghfirullahaladzim, istigfar... Kang! Assalamualaikum," ucap Nisa buru-buru, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Ali.Ali hanya tersenyum menatap punggung Nisa yang menjauh. Wajah gadis itu tampak menggemaskan dengan rona merah yang muncul karena malu."Benar-benar gadis berbeda yang menguji hatiku," gumam Ali pelan, masih memandang ke arah Nisa yang kini hampir menghilang di balik belokan jalan.Ali menghela napas, senyumnya tak kunjung hilang."Ketulusan jelas terpancar dari matanya," imbuh Ali. Ia perlahan melanjutkan langkahnya namun hatinya tertinggal di tempat Nisa tadi berdiri, meninggalkan jejak rasa yang sulit ia abaikan.***Di lorong yang lengang, deretan kamar santri berdiri rapat, memantulkan suara langkah para petugas keamanan yang rutin memeriksa setiap ruangan. Tugas mereka sederhana, memastikan tak ada santri yang menghindari waktu sholat, khususnya sholat Dhuha yang diwajibkan setiap pagi pukul delapan di masjid.Sampailah mereka di kamar nomor 12, kamar yang
Ali berjalan menuju aula pesantren dengan perasaan enggan. Setiap langkah terasa berat, karena hatinya belum sepenuhnya bisa menerima kehidupan sederhana di pesantren ini. Ali merindukan kenyamanan yang biasa ia nikmati di rumah—kamar mandi bersih, makanan enak, dan fasilitas yang memadai. Namun, semua pikiran itu seakan berhenti ketika ia sampai di halaman pesantren.Di depan aula, beberapa santriwati tampak sibuk menata bunga di sekitar taman. Salah satu dari mereka, seorang santriwati yang belum pernah Ali lihat sebelumnya, menarik perhatiannya. Gadis itu tampak berbeda dari yang lain. Gerakannya lembut, setiap langkahnya anggun, dan senyumnya membuat suasana pagi itu terasa lebih cerah. Ali terpaku. Jantungnya berdebar lebih cepat, tanpa ia sadari.Santriwati yang rambutnya tertutup jilbab putih sederhana, namun justru membuat wajahnya semakin bercahaya. Dia sedang membantu teman-temannya menyiram tanaman dan merapikan beberapa pot bunga yang tertata rapi di su
Para santri berjalan beriringan menuju masjid. Di sepanjang jalan, Ali melihat santri-santri lain yang berbondong-bondong menuju tempat yang sama. Semua dengan langkah tenang dan penuh keyakinan.Setibanya di masjid, Ali dan Rafiq mengambil tempat di saf tengah. Ketika imam mulai mengucapkan takbir, Ali merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana khusyuk di masjid itu sangat berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan. Setiap gerakan, setiap doa, terasa begitu khidmat.Setelah salat selesai, Ali terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit masjid yang dihiasi ornamen kaligrafi indah. Ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Rafiq mendekat dan tersenyum. “Bagaimana, Ali? Apa kamu udah mulai merasakan sesuatu yang berbeda?”Ali mengangguk perlahan. “Gue enggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... ya, ada sesuatu yang... damai.”Rafiq tertawa kecil. “Itulah yang dirasakan kebanyakan orang saat pertama kali tinggal di sini. Lingkungan i
Langkah-langkah santri bergegas melewatinya, beberapa mengobrol santai, yang lain membawa kitab di tangan mereka. Sebagian santri memandangnya sekilas, tetapi tak ada yang menyapanya. Ali merasa benar-benar sendirian.Sebuah suara lembut tiba-tiba membuyarkan lamunannya.“Assalamualaikum, akhi,” seorang santri dengan wajah ramah berdiri di sampingnya, tersenyum hangat. “Kamu baru datang, ya?”Ali menoleh, sedikit terkejut, tapi segera membalas salam itu. “Waalaikumsalam... Iya, gue baru tiba. Nama gue Ali.”Santri itu mengulurkan tangannya meski nampak canggung terhadap Ali. “Aku Rafiq. Santri di sini sudah dua tahun. Selamat datang di Pesantren Darul Hikmah.”Ali menjabat tangan Rafiq dengan canggung. “Terima kasih,” jawabnya singkat.“Pasti masih kaget, ya? Baru pertama kali ke pesantren?” tanya Rafiq sambil melihat ekspresi Ali yang masih bingung.Ali mengangguk. “Iya, gue belum pernah ke tempat seperti ini. Semuanya... terasa begitu sepi dan berbeda.”Rafiq tertawa kecil. “Awalnya
Semalam, Ali sulit memejamkan mata. Pikirannya terus berkecamuk, membayangkan bagaimana kehidupan di pesantren yang akan segera dijalaninya. Pagi ini, ia harus berangkat, meski hatinya penuh dengan pertanyaan. Mengapa Papa dan Mama begitu memaksanya untuk pergi ke pesantren?"Mama sama Papa enggak nganterin aku?" tanya Ali saat melihat kedua orang tuanya juga bersiap tetapi dengan mobil yang berbeda."Tidak, Sayang, Mama dan Papa ada urusan yang tidak bisa di tinggalkan. Kamu berangkat sama pak Anwar ya," balas sang Reva.Brak!Ali membanting tasnya ke tanah dengan penuh emosi. Kekecewaannya terhadap orang tua yang dianggapnya tidak pernah memahami perasaannya meledak."Ali, kamu mau ke mana? Ali, kembali!" pekik Nathan dari teras rumah, suaranya menggema, penuh kekhawatiran.Ali berhenti sejenak, lalu berbalik dengan mata yang berkaca-kaca, emosinya tak bisa lagi dibendung."Ali enggak mau ke pesantren! Mama sama Papa enggak pernah peduli sama Ali. Kalau kalian enggak peduli, biarkan