Membayangkan ucapan Ridwan yang tadi, (di sholat kan). Ali membayangkan dirinya tengah berada di depan imam. "Tidak....! Jangan sampai itu benar-benar terjadi. Kayaknya benar kata dia tadi, lebih baik gue pergi sekarang." Ali gegas keluar dari gotaan (sebutan kamar pondok) menuju kamar mandi untuk berwudhu.Dengan langkah tergesa-gesa, Ali menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sedikit kesegaran, namun tak cukup untuk mengusir kecamuk di hatinya. Setelah selesai berwudhu, Ali langsung menuju masjid. Ia terlambat.Saat masuk ke masjid, para santri sudah khusyuk dalam rakaat terakhir. Mereka sudah sampai pada posisi duduk dua sujud, hampir menyelesaikan sholat. Ali melihat sekeliling dengan tanpa merasa bersalah, bukannya memulai sholat dari awal, ia malah memilih untuk langsung ikut duduk di dua sujud, seolah-olah sudah menjalankan seluruh rakaat. Ketika para santri mengucapkan salam, Ali mengikuti dengan gerakan cepat."Assalamualaiku
"Hei, bangun!" seru Ustadz Mahfud dengan suara keras, membuat Ali terperanjat.Ali yang kaget merenggangkan kakinya hingga tanpa sengaja menendang santri yang duduk di depannya."Aduh, sakit!" erang santri tersebut."Enak ya tidurnya?" tanya Ustadz Mahfud dengan nada sinis."Orang tidur aja dimarahi, emangnya mereka enggak pernah tidur?" gerutu Ali dalam hati."Jawab!" bentak Ustadz Mahfud lagi.Ali mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk, lalu bangkit dengan malas. Ia tahu tidak ada gunanya membantah di hadapan Ustadz Mahfud. Dengan pandangan kosong, Ali mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang tidak jelas."Apa?!" Ustadz Mahfud semakin mendekat, menunduk di depan Ali yang masih setengah berdiri. "Kalau mengantuk, wudhu dulu! Jangan tidur di majelis ilmu!"Ali menunduk, merasa berat untuk menjawab. Di sudut matanya, ia melihat Abah Kiyai masih duduk t
Nisa merasa semakin terpojok dengan desakan dari Zahra dan Aisyah. Ia harus berpikir cepat untuk menghindari pertanyaan yang semakin membuatnya gugup."Eh, ngomong-ngomong, udah pada belajar buat ulangan minggu depan belum? Soalnya aku dengar Pak Dodi bakal kasih soal yang susah banget, loh," ucap Nisa, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan nada canggung.Aisyah yang mendengar hal itu langsung tampak serius, "Iya ya, aku juga dengar itu. Katanya materi yang diujikan bakal luas banget, apalagi yang matematika."Selain di pesantren mereka masih duduk di kelas dua MA (Madrasah Aliyah). Mereka mondok dari lulus SD namun datang dari kota yang berbeda.Zahra menatap Nisa sejenak dengan tatapan curiga, tapi akhirnya ikut terpancing, "Sukanya ngalihin pembicaraan. Tapi, awas ya kalau kamu ikutan suka sama Ali. Aku getok palamu. Emang ustadz Mahfud mau kamu kemanain," ancam Zahra sambil tertawa kecil setengah bercanda."Heh, ngeri banget ka
"Hiks, hiks..."Nisa yang baru saja masuk gotaan mendengar isak tangis temannya. Zahra tampak mencoretkan pensil di buku gambarnya sambil sesekali terdengar menangis.Sambil meletakkan buku novel pemberian Rafiq di atas meja dan melepas mukena, Nisa bertanya, "Kamu kenapa nangis, Ra?""Hiks, hiks, aku kasihan sama yayangku, Nis. Dia dihukum sama Ustadz Mahfud untuk menyapu halaman pondok yang luas. Andai saja diizinkan, aku pasti akan membantunya," balas Zahra tanpa menoleh ke arah Nisa.Nisa mendekat dan terkesima melihat gambar Zahra yang nyaris sempurna. Temannya itu memang tidak terlalu unggul dalam pelajaran, tetapi bakat seni Zahra tidak bisa diragukan lagi."Kenapa kamu gambar Ali naik sapu terbang?" tanya Nisa penasaran."Tadi aku lihat dia memegang sapu. Kayaknya dia bingung banget mau ngapain. Pasti dia belum pernah nyapu kan? Jadi, aku bayangkan Ali punya sapu terbang, dan sapu ajaib itu bisa membantu dia membersihkan
Jalan Raya Pemisah Cinta "Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi.
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaks
Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
"Hiks, hiks..."Nisa yang baru saja masuk gotaan mendengar isak tangis temannya. Zahra tampak mencoretkan pensil di buku gambarnya sambil sesekali terdengar menangis.Sambil meletakkan buku novel pemberian Rafiq di atas meja dan melepas mukena, Nisa bertanya, "Kamu kenapa nangis, Ra?""Hiks, hiks, aku kasihan sama yayangku, Nis. Dia dihukum sama Ustadz Mahfud untuk menyapu halaman pondok yang luas. Andai saja diizinkan, aku pasti akan membantunya," balas Zahra tanpa menoleh ke arah Nisa.Nisa mendekat dan terkesima melihat gambar Zahra yang nyaris sempurna. Temannya itu memang tidak terlalu unggul dalam pelajaran, tetapi bakat seni Zahra tidak bisa diragukan lagi."Kenapa kamu gambar Ali naik sapu terbang?" tanya Nisa penasaran."Tadi aku lihat dia memegang sapu. Kayaknya dia bingung banget mau ngapain. Pasti dia belum pernah nyapu kan? Jadi, aku bayangkan Ali punya sapu terbang, dan sapu ajaib itu bisa membantu dia membersihkan
Nisa merasa semakin terpojok dengan desakan dari Zahra dan Aisyah. Ia harus berpikir cepat untuk menghindari pertanyaan yang semakin membuatnya gugup."Eh, ngomong-ngomong, udah pada belajar buat ulangan minggu depan belum? Soalnya aku dengar Pak Dodi bakal kasih soal yang susah banget, loh," ucap Nisa, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan nada canggung.Aisyah yang mendengar hal itu langsung tampak serius, "Iya ya, aku juga dengar itu. Katanya materi yang diujikan bakal luas banget, apalagi yang matematika."Selain di pesantren mereka masih duduk di kelas dua MA (Madrasah Aliyah). Mereka mondok dari lulus SD namun datang dari kota yang berbeda.Zahra menatap Nisa sejenak dengan tatapan curiga, tapi akhirnya ikut terpancing, "Sukanya ngalihin pembicaraan. Tapi, awas ya kalau kamu ikutan suka sama Ali. Aku getok palamu. Emang ustadz Mahfud mau kamu kemanain," ancam Zahra sambil tertawa kecil setengah bercanda."Heh, ngeri banget ka
"Hei, bangun!" seru Ustadz Mahfud dengan suara keras, membuat Ali terperanjat.Ali yang kaget merenggangkan kakinya hingga tanpa sengaja menendang santri yang duduk di depannya."Aduh, sakit!" erang santri tersebut."Enak ya tidurnya?" tanya Ustadz Mahfud dengan nada sinis."Orang tidur aja dimarahi, emangnya mereka enggak pernah tidur?" gerutu Ali dalam hati."Jawab!" bentak Ustadz Mahfud lagi.Ali mengusap wajahnya yang masih setengah mengantuk, lalu bangkit dengan malas. Ia tahu tidak ada gunanya membantah di hadapan Ustadz Mahfud. Dengan pandangan kosong, Ali mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun yang keluar dari mulutnya hanya gumaman yang tidak jelas."Apa?!" Ustadz Mahfud semakin mendekat, menunduk di depan Ali yang masih setengah berdiri. "Kalau mengantuk, wudhu dulu! Jangan tidur di majelis ilmu!"Ali menunduk, merasa berat untuk menjawab. Di sudut matanya, ia melihat Abah Kiyai masih duduk t
Membayangkan ucapan Ridwan yang tadi, (di sholat kan). Ali membayangkan dirinya tengah berada di depan imam. "Tidak....! Jangan sampai itu benar-benar terjadi. Kayaknya benar kata dia tadi, lebih baik gue pergi sekarang." Ali gegas keluar dari gotaan (sebutan kamar pondok) menuju kamar mandi untuk berwudhu.Dengan langkah tergesa-gesa, Ali menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sedikit kesegaran, namun tak cukup untuk mengusir kecamuk di hatinya. Setelah selesai berwudhu, Ali langsung menuju masjid. Ia terlambat.Saat masuk ke masjid, para santri sudah khusyuk dalam rakaat terakhir. Mereka sudah sampai pada posisi duduk dua sujud, hampir menyelesaikan sholat. Ali melihat sekeliling dengan tanpa merasa bersalah, bukannya memulai sholat dari awal, ia malah memilih untuk langsung ikut duduk di dua sujud, seolah-olah sudah menjalankan seluruh rakaat. Ketika para santri mengucapkan salam, Ali mengikuti dengan gerakan cepat."Assalamualaiku
"Astaghfirullahaladzim, istigfar... Kang! Assalamualaikum," ucap Nisa buru-buru, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan Ali.Ali hanya tersenyum menatap punggung Nisa yang menjauh. Wajah gadis itu tampak menggemaskan dengan rona merah yang muncul karena malu."Benar-benar gadis berbeda yang menguji hatiku," gumam Ali pelan, masih memandang ke arah Nisa yang kini hampir menghilang di balik belokan jalan.Ali menghela napas, senyumnya tak kunjung hilang."Ketulusan jelas terpancar dari matanya," imbuh Ali. Ia perlahan melanjutkan langkahnya namun hatinya tertinggal di tempat Nisa tadi berdiri, meninggalkan jejak rasa yang sulit ia abaikan.***Di lorong yang lengang, deretan kamar santri berdiri rapat, memantulkan suara langkah para petugas keamanan yang rutin memeriksa setiap ruangan. Tugas mereka sederhana, memastikan tak ada santri yang menghindari waktu sholat, khususnya sholat Dhuha yang diwajibkan setiap pagi pukul delapan di masjid.Sampailah mereka di kamar nomor 12, kamar yang
Ali berjalan menuju aula pesantren dengan perasaan enggan. Setiap langkah terasa berat, karena hatinya belum sepenuhnya bisa menerima kehidupan sederhana di pesantren ini. Ali merindukan kenyamanan yang biasa ia nikmati di rumah—kamar mandi bersih, makanan enak, dan fasilitas yang memadai. Namun, semua pikiran itu seakan berhenti ketika ia sampai di halaman pesantren.Di depan aula, beberapa santriwati tampak sibuk menata bunga di sekitar taman. Salah satu dari mereka, seorang santriwati yang belum pernah Ali lihat sebelumnya, menarik perhatiannya. Gadis itu tampak berbeda dari yang lain. Gerakannya lembut, setiap langkahnya anggun, dan senyumnya membuat suasana pagi itu terasa lebih cerah. Ali terpaku. Jantungnya berdebar lebih cepat, tanpa ia sadari.Santriwati yang rambutnya tertutup jilbab putih sederhana, namun justru membuat wajahnya semakin bercahaya. Dia sedang membantu teman-temannya menyiram tanaman dan merapikan beberapa pot bunga yang tertata rapi di su
Para santri berjalan beriringan menuju masjid. Di sepanjang jalan, Ali melihat santri-santri lain yang berbondong-bondong menuju tempat yang sama. Semua dengan langkah tenang dan penuh keyakinan.Setibanya di masjid, Ali dan Rafiq mengambil tempat di saf tengah. Ketika imam mulai mengucapkan takbir, Ali merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Suasana khusyuk di masjid itu sangat berbeda dengan apa yang pernah ia rasakan. Setiap gerakan, setiap doa, terasa begitu khidmat.Setelah salat selesai, Ali terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit masjid yang dihiasi ornamen kaligrafi indah. Ada ketenangan yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.Rafiq mendekat dan tersenyum. “Bagaimana, Ali? Apa kamu udah mulai merasakan sesuatu yang berbeda?”Ali mengangguk perlahan. “Gue enggak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi... ya, ada sesuatu yang... damai.”Rafiq tertawa kecil. “Itulah yang dirasakan kebanyakan orang saat pertama kali tinggal di sini. Lingkungan i
Langkah-langkah santri bergegas melewatinya, beberapa mengobrol santai, yang lain membawa kitab di tangan mereka. Sebagian santri memandangnya sekilas, tetapi tak ada yang menyapanya. Ali merasa benar-benar sendirian.Sebuah suara lembut tiba-tiba membuyarkan lamunannya.“Assalamualaikum, akhi,” seorang santri dengan wajah ramah berdiri di sampingnya, tersenyum hangat. “Kamu baru datang, ya?”Ali menoleh, sedikit terkejut, tapi segera membalas salam itu. “Waalaikumsalam... Iya, gue baru tiba. Nama gue Ali.”Santri itu mengulurkan tangannya meski nampak canggung terhadap Ali. “Aku Rafiq. Santri di sini sudah dua tahun. Selamat datang di Pesantren Darul Hikmah.”Ali menjabat tangan Rafiq dengan canggung. “Terima kasih,” jawabnya singkat.“Pasti masih kaget, ya? Baru pertama kali ke pesantren?” tanya Rafiq sambil melihat ekspresi Ali yang masih bingung.Ali mengangguk. “Iya, gue belum pernah ke tempat seperti ini. Semuanya... terasa begitu sepi dan berbeda.”Rafiq tertawa kecil. “Awalnya
Semalam, Ali sulit memejamkan mata. Pikirannya terus berkecamuk, membayangkan bagaimana kehidupan di pesantren yang akan segera dijalaninya. Pagi ini, ia harus berangkat, meski hatinya penuh dengan pertanyaan. Mengapa Papa dan Mama begitu memaksanya untuk pergi ke pesantren?"Mama sama Papa enggak nganterin aku?" tanya Ali saat melihat kedua orang tuanya juga bersiap tetapi dengan mobil yang berbeda."Tidak, Sayang, Mama dan Papa ada urusan yang tidak bisa di tinggalkan. Kamu berangkat sama pak Anwar ya," balas sang Reva.Brak!Ali membanting tasnya ke tanah dengan penuh emosi. Kekecewaannya terhadap orang tua yang dianggapnya tidak pernah memahami perasaannya meledak."Ali, kamu mau ke mana? Ali, kembali!" pekik Nathan dari teras rumah, suaranya menggema, penuh kekhawatiran.Ali berhenti sejenak, lalu berbalik dengan mata yang berkaca-kaca, emosinya tak bisa lagi dibendung."Ali enggak mau ke pesantren! Mama sama Papa enggak pernah peduli sama Ali. Kalau kalian enggak peduli, biarkan