Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja.Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana.Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya.Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya.“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah apa jadinya kalau kamu benar-b
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja. Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana. Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya. Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya. “Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah
Lelaki itu tak sedikit pun tersenyum atau menoleh ke arah Reva. Tatapannya hanya tertuju pada sosok lelaki paruh baya yang tengah tersenyum kepadanya."Pa, restorannya kok masih sepi? Belum pada datang, ya?" tanya Aaris tanpa basa-basi, matanya menelusuri meja-meja kosong di ruangan yang masih lengang itu."Belum pada datang, mungkin sebentar lagi sampai. Bisa jadi kejebak macet di jalan," jawab Pak Jimmy, mencoba menebak-nebak.Aaris mengangguk kecil. "Oh, bisa jadi sih. Burhan mana, Pa?" tanyanya lagi, masih tak melirik ke arah Reva yang berdiri tak jauh dari mereka."Lagi di atas, bersihin ruangan atas," balas Pak Jimmy sambil menepuk bahu putranya ringan.Sejak tadi Aaris sama sekali tidak menunjukkan minat atau rasa ingin tahu terhadap kehadiran Reva. Ia berdiri membelakangi gadis itu, menatap ke arah jalanan di luar kaca restoran.Reva, yang sejak awal merasa canggung berada di antara dua pria itu, akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Ia menarik napas pelan, lalu menyusun kalim
Reva segera membawa pesanan Aaris, namun saat sampai di ujung tangga ia berpapasan dengan Nita."Heh!! Mau kemana?? Berani elo naik ke atas, kerjaan elo tuh bagian bawah, yang kotor-kotor itulah pekerjaan elo. Karyawan yang boleh naik ke atas itu cuma karyawan kepercayaan. Contohnya seperti gue!!" ujar Nita dengan sinis.Reva sama sekali tak mau memperdulikan ucapan Nita ia tak mau memasukkan ke dalam hati atas ucapan tak mengenakkan itu."Aku di suruh pak bos buat nganterin pesanannya," balas Reva dengan singkat. Ia segera naik ke atas tangga tanpa peduli Nita yang menatapnya tak suka.Saat reva sampai di pertengahan tangga ia menoleh ke arah Nita yang ternyata masih menatapnya dengan tatapan semakin garang. Ia terus naik hingga ke ujung tangga dan Nita masih memandangnya dengan tajam. Ia tak peduli hingga sosok Nita hilang dari pandangan matanya.Tok!!!Tok!!!Tok!!!!"P
Jalan Raya Pemisah Cinta "Wis mulai belajar nakal, to?!" Suara Rindi melengking dari ambang pintu kamar Reva. Tangannya mencengkeram daun pintu erat, tubuhnya sedikit bergetar menahan amarah. "Sudah Ibu bilang, kamu itu nggak boleh hubung-hubungan sama Nathan! Kamu pikir kamu siapa? Dia itu anak orang kaya, Reva! Nduk, Ibu ini nggak mau kamu ngelakoni urip sengsara! Ibu nggak mau kamu dihinak-hinakan keluargane Nathan!" Napas Rindi mulai tersengal. Suaranya parau karena terlalu banyak berteriak. Tapi kali ini, bukan hanya dia yang menangis. Reva juga sudah tak sanggup lagi menahan air matanya. Isaknya tertahan di balik bantal, tubuhnya gemetar. Pintu kamar yang tak terkunci membuat Rindi dengan mudah menerobos masuk. Matanya merah, napasnya naik-turun, tanda emosinya sudah di ubun-ubun. "Wis pirang-pirang wong teko melamar kamu! Tapi kamu nolak kabeh! Ngene iki jebule alesane?!" Reva semakin menggigit bibirnya, mencoba menahan sesak di dadanya yang makin menjadi-jadi.
Pagi datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Reva terbangun karena suara orang berbicara di luar kamarnya. Biasanya, bapak dan ibunya sudah membangunkannya sejak subuh. Tapi kali ini, tidak ada suara yang memanggilnya, tidak ada ketukan di pintu kamarnya. Ia melirik jam dinding. Setengah enam. Jantungnya mencelos. Sudah nyaris kesiangan. Reva bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudu. Setelah itu, ia berdiri di ruang tengah, siap menunaikan salat subuh. Tapi suara sinis tiba-tiba menyelusup ke telinganya. "Oalah, anak perawan jam segini baru bangun? Baru mau salat subuh?" Reva menoleh, mendapati Imam—kakak sepupunya—menatapnya dengan seringai usil. "Lihat jam, udah hampir jam enam. Salatmu itu nggak bakal diterima," lanjut Imam, tertawa mengejek. Reva mengembuskan napas kasar. "Nyebelin banget sih, Mas! Pagi-pagi udah di sini, mau minta sarapan?!" Imam terkekeh, tapi Reva tak lagi memperdulikannya. Ia segera masuk ke ruang salat, buru-buru melaks
Langkah Rindi terhenti di depan rumah. Sebuah motor asing terparkir di sana. Dahinya mengernyit. Bukan motor tetangga, bukan pula milik saudara. Dengan gerakan hati-hati, ia masuk lewat pintu belakang, mengintip dari dapur. Suara tawa lelaki terdengar dari dalam rumahnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Sudah bisa ia tebak, pasti Reva lagi-lagi menerima tamu lelaki. "Ibu sudah pulang?" tanya Reva saat Rindi melepas sepatu dengan gerakan sedikit kasar. "Heemmm..." jawab Rindi, malas meladeni. "Ada temanku yang main, Bu, tapi mereka belum dijamu. Aku mau beli ke warung, tapi nggak ada uang. Boleh minta duit?" Reva memasang wajah memohon, berharap ibunya luluh. "Nggak boleh!" jawab Rindi tegas tanpa kompromi. Sudah bukan sekali dua kali Reva membawa teman lelaki ke rumah. Selalu berbeda orang, berganti-ganti seperti baju. Rindi sampai malu diomongin para tetangga. "Anakmu lho, Rin, laris manis. Setiap hari kok ada saja lelaki yang datang." Rasanya telinganya sudah panas mendengar
Saat sampai rumah, Rindi tak bersemangat untuk memasak. Ia hanya mengambil kacang panjang yang ada di kulkas hasil panennya sendiri ia akan menumisnya dengan tempe. Siang ini dan nanti sore akan makan pakai menu itu sedangkan ikan asin akan ia masak besok pagi untuk sarapan.Sedangkan di luar rumah Tina merengek minta jajan karena dari tadi pagi ia belum jajan. Alhasil Reva harus minta uang sama Ibunya yang, padahal ia ingin marah sama sang ibu."Bu, Tina minta beli jajan," ucap Reva saat menemui ibunya.Rindi hanya diam saja tetapi ia menyodorkan uang dua ribu untuk Reva sisa belanjanya tadi. Reva menerima begitu saja tanpa peduli dengan wajah sang ibu yang terlihat masam."Ayo beli jajan, tapi jalan kaki ya. Kakak capek kalau harus gendong kamu," ujar Reva."Asyik..." seru Tina kegirangan.Reva dan Tina menuju warungnya Aris yang tak jauh dari rumahnya. "Sana mau beli apa??" Sampai di warung Reva meminta sang adik memilih jajan."Mau beli apa, Tin??" Sapa Aris."Beli jajan, Mbak,"
Reva segera membawa pesanan Aaris, namun saat sampai di ujung tangga ia berpapasan dengan Nita."Heh!! Mau kemana?? Berani elo naik ke atas, kerjaan elo tuh bagian bawah, yang kotor-kotor itulah pekerjaan elo. Karyawan yang boleh naik ke atas itu cuma karyawan kepercayaan. Contohnya seperti gue!!" ujar Nita dengan sinis.Reva sama sekali tak mau memperdulikan ucapan Nita ia tak mau memasukkan ke dalam hati atas ucapan tak mengenakkan itu."Aku di suruh pak bos buat nganterin pesanannya," balas Reva dengan singkat. Ia segera naik ke atas tangga tanpa peduli Nita yang menatapnya tak suka.Saat reva sampai di pertengahan tangga ia menoleh ke arah Nita yang ternyata masih menatapnya dengan tatapan semakin garang. Ia terus naik hingga ke ujung tangga dan Nita masih memandangnya dengan tajam. Ia tak peduli hingga sosok Nita hilang dari pandangan matanya.Tok!!!Tok!!!Tok!!!!"P
Lelaki itu tak sedikit pun tersenyum atau menoleh ke arah Reva. Tatapannya hanya tertuju pada sosok lelaki paruh baya yang tengah tersenyum kepadanya."Pa, restorannya kok masih sepi? Belum pada datang, ya?" tanya Aaris tanpa basa-basi, matanya menelusuri meja-meja kosong di ruangan yang masih lengang itu."Belum pada datang, mungkin sebentar lagi sampai. Bisa jadi kejebak macet di jalan," jawab Pak Jimmy, mencoba menebak-nebak.Aaris mengangguk kecil. "Oh, bisa jadi sih. Burhan mana, Pa?" tanyanya lagi, masih tak melirik ke arah Reva yang berdiri tak jauh dari mereka."Lagi di atas, bersihin ruangan atas," balas Pak Jimmy sambil menepuk bahu putranya ringan.Sejak tadi Aaris sama sekali tidak menunjukkan minat atau rasa ingin tahu terhadap kehadiran Reva. Ia berdiri membelakangi gadis itu, menatap ke arah jalanan di luar kaca restoran.Reva, yang sejak awal merasa canggung berada di antara dua pria itu, akhirnya memutuskan untuk berpamitan. Ia menarik napas pelan, lalu menyusun kalim
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja. Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana. Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya. Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya. “Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah
Tatapan Nathan menyapu seluruh wajahnya, penuh kelembutan. Ia lalu merangkul pundak Reva, membawanya duduk di tepi kasur. Tangannya tak lepas, tetap menggenggam erat seakan Reva bisa hilang jika ia longgarkan sedikit saja.Reva memejamkan mata saat Nathan kembali mendekat. Kali ini ciumannya lebih dalam, namun tetap penuh perasaan. Tak terburu-buru. Tak liar. Hanya cinta yang berbicara di sana.Beberapa kali Nathan mengusap rambut Reva, membelai punggungnya agar gadis itu tetap merasa nyaman dalam pelukannya. Ia tahu, Reva butuh waktu untuk merasa aman sepenuhnya.Perlahan, jemari Nathan menyusup ke sela-sela jemari Reva. Ia menggenggamnya erat sembari menarik Reva kembali dalam pelukannya.“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Dek,” bisik Nathan di antara helaan napasnya. Matanya menatap penuh harap. Reva mengangguk pelan, bibirnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun.Nathan menatap lekat wajahnya. “Entah apa jadinya kalau kamu benar-b
“Kita duduk di sini saja. Di sana itu khusus untuk orang-orang kaya, biasanya ruangan privat, jadi memang disediakan bagi yang mau membayar mahal. Kalau di sini untuk kalangan menengah ke bawah, kita bebas, apalagi kita juga bisa menikmati alunan musik,” ujar Nathan. “Kamu kenapa, Dek? Kok banyak diam? Apa kamu nggak suka tempat ini? Kalau kamu nggak suka, kita bisa cari tempat lain," tawar Nathan sebab ia melihat sang kekasih yang hanya diam bahkan seperti tak nyaman.Seketika Reva tersadar dari lamunannya dan mengalihkan fokusnya pada lelaki di hadapannya kembali.“Enggak kok, Mas. Aku suka tempatnya,” balas Reva sambil tersenyum. “Aku diam bukan karena nggak suka, tapi aku kagum banget sama tempat ini. Mungkin kamu udah terbiasa ya datang ke tempat kayak gini. Kalau aku, ini baru pertama kali. Jadi aku kelihatan katrok, ya?”Nathan tertawa kecil. Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri mereka. Nathan memesan makanan dan menawari Reva untuk memilih menu yang diinginkannya. Nam
"Silakan adukan sama tantemu, aku nggak takut! Jangan mentang-mentang kamu keponakan Bu Sarah, terus bisa berbuat seenaknya. Aku di sini bayar, bukan numpang, jadi aku nggak bakal takut! Lagi pula, aku bukan kerja jadi wanita panggilan. Aku kerja di restoran bakso Dua Putra, yang di seberang mal itu!" ujar Reva dengan tegas, menyebutkan tempat kerjanya. Meysa tertawa meremehkan. "Elo pikir gue percaya? Cewek kampung kayak elo, cuma lulusan SMA, bisa kerja di restoran mewah? Paling-paling juga cuma jadi tukang bersih-bersih atau cuci piring." "Iya! Memang kenapa kalau aku cuma jadi tukang bersih-bersih? Yang penting kerjaanku halal! Nggak kayak kamu, bisanya cuma halo Mama, halo Papa—minta ini itu. Meski aku anak orang nggak punya, setidaknya aku masih punya harga diri. Dan bisa nikmatin segala sesuatu dari hasil keringat sendiri tuh rasanya spesial banget! Jadi daripada ngurusin hidup orang lain yang nggak penting, mending kamu pakai waktumu buat hal yang bermanfaat. Biar kamu bi
Seusai salat Magrib, Reva baru saja diantarkan Nathan pulang ke kosannya. Nathan ingin menemui Bu Sarah, dan Reva berinisiatif untuk memanggilkannya."Aku ke atas dulu, naruh barang-barang ini sebentar. Nanti aku panggilkan Bu Sarah," ujar Reva berpamitan."Iya, Sayang. Aku tunggu, ya. Semoga masih ada kamar kosong, biar aku nggak jauh dari kamu," balas Nathan penuh harap."Amin. Bentar, ya," sahut Reva sambil tersenyum.Reva berjalan masuk ke halaman kos, sementara Nathan menunggu di luar gerbang. Selama menunggu, Nathan tak henti-hentinya menatap punggung sang kekasih."Mas, udah yuk. Rumah Bu Sarah ada di sebelah sana, jadi motornya bawa ke sana aja, ya," ujar Reva, menunjuk ke arah barat setelah kembali."Iya," balas Nathan singkat.Setibanya di rumah Bu Sarah, Reva menghampiri Pak Beni, penjaga keamanan rumah tersebut, dan menanyakan keberadaan Bu Sarah. Namun, ternyata Bu Sarah sedang berada di luar kota dan belum pulang."Oh, begitu ya, Pak. Saya mau tanya, apa masih ada kamar
"Iya, Bu, aku juga nggak nyangka. Pokoknya aku nggak mau buru-buru punya anak. Aku mau bersenang-senang dulu dengan hartanya Mas Nathan," ucap Kinez, bibirnya melengkung dalam senyum penuh kemenangan."Iya, itu harus! Dan jangan lupa, kamu harus selalu mengajak Ibu serta adikmu. Kamu harus bisa menguras harta orang tua Nathan dan membalikkan nama semua harta mereka menjadi milikmu dan milik Ibu," balas Yati, suaranya dipenuhi ambisi. Kinez mengangguk yakin. "Itu pasti, Bu. Aku janji akan membuat Ibu bahagia.""Pintar! Anak Ibu memang benar-benar cerdas," puji sang Ibu dengan senyum lebar."Kurang ajar!! Dasar manusia jahanam!!" teriak Siti.Tanpa aba-aba, plak!! plak!! Dua tamparan mendarat di pipi Yati. Suara benturan telapak tangan dengan kulit menggema di ruangan. Yati tersentak, kepalanya menoleh ke samping akibat kerasnya tamparan."Awww! Lepasin! Sakit!!" jerit Yati, berusaha melepaskan diri.Kinez hanya menangis ketakutan, tubuhnya gemetar melihat ibunya diamuk Siti dengan br
Seketika semua orang memandang ke arah Nandra yang melongo. Ada yang merasa kasihan, sementara yang lain hanya bisa geleng-geleng kepala."Ya sudah kalau begitu, ayo segera berangkat! Tunggu apalagi?" seru Parto dengan semangat."I-iya, ayo semuanya berangkat. Nandra, cepat! Kasihan mereka yang sudah menunggu lama," ujar Jeki.Namun, bukannya bergegas, Nandra justru memprotes. "Bapak, kenapa nggak minta persetujuanku dulu? Aku nggak mau, ya, nikah sekarang! Apalagi sama Kinez! Kalau Bapak mau, Bapak aja yang nikah sama Kinez!""Heh! Jangan ngadi-ngadi kamu, Le! Bapak itu sudah punya Ibu! Bisa-bisanya kamu nyuruh Bapak menikahi Kinez!" seru Siti geram."Ya sudah, kalau gitu jangan paksa aku!" balas Nandra keras kepala.Ibu dan anak itu kini saling beradu pandang dengan sengit. Dalam hati, Nandra merasa seperti berada di posisi Nathan yang selalu menurut dan tak pernah membantah, sehingga mendapat lebih banyak kasih sayang dari ora