Paragraf 01
“Kalau berdasarkan data dan informasi pribadi yang diajukan, keponakan Mas Banu akan ditempatkan di Gedung Supernova. Karena pekerjaannya yang bergaji kurang dari sejuta perbulan.” ucap seorang lelaki paruh baya berpakaian kemeja hitam dan dengan rambut super klimis. Sementara lawan bicara, adalah seorang cowok yang tampaknya berusia di penghujung umur 20an. Memakai kaos polos lengan pendek berwarna abu-abu dengan celana panjang jeans warna biru tua. Wajahnya agak bulat dengan alis tipis yang terukir di pelipis. “Kau yakin, Nara? Bukankah lebih baik pindah saja ke Gedung Nebula? Apalagi, sebenarnya…” “Ssst… Aku tahu apa yang kuinginkan, Kak Banu. Tenang saja, setelah ini kau tak usah repot-repot mengantar-jemput. Aku akan mengontrak sebuah kamar pribadi di sini.” ucapku meyakinkan satu-satunya saudara kandung mendiang Ibu. Paman Banua, lelaki yang selalu menjaga dan memelihara diriku setelah Ibu meninggal saat aku berusia 3 tahun. “Oke! Oke! Baiklah kalau begitu.” Dari balik meja kerja, lelaki yang tadi menerima berkas dari Kak Banua tiba-tiba memandangku dan memanggil kami. “Jadi, Nona bersedia menyewa kamar di Gedung Supernova? Tapi, yang tersisa hanya ada di lantai 4 dan 5.” ujar pria paruh baya tersebut dengan senyuman meremehkan. “Apa!!? Maksudmu keponakanku harus naik ke sana sendirian?” protes Kak Banua sambil menggebrak meja. “Oh, tentu saja! Seperti yang kita semua tahu. Gedung Supernova disediakan untuk rakyat jelata yang ingin mengontrak kamar dengan harga terjangkau. Pasti banyak fasilitas yang dikurangi oleh pemilik aslinya. Tanpa lift atau eskalator. Tidak tersedia pendingin ruangan. Bahkan para calon pelanggan, diwajibkan mengangkat barang bawaannya sendiri ke kamar yang telah disediakan.” tukas lelaki di balik meja itu sambil menatapku tajam. “Lantai 4 nomor berapa? Nanti biar aku sendiri yang mencari dan menjinjing kopernya.” sambungku singkat tanpa mau memperpanjang perdebatan. “Hoo… Memangnya Nona mau menyewa untuk beberapa minggu?” tanya si lelaki lagi dengan penekanan di ujung kalimat. “Hah? Berapa minggu katamu?” balasku sambil berjalan mendekati meja. Langkah kakiku melewati posisi di mana kak Banua berdiri. Kini, wajah ini tepat di bawah dagu si lelaki songong itu. Mataku menantangnya, tanganku melayangkan selembar cek yang siap untuk dicairkan. “Aku akan menyewa sebuah kamar di Gedung Supernova ini selama setahun penuh! Dibayar tunai!” balasku ketus dengan mata masih menatap wajah si lelaki. “Waaah. Baiklah. Akan kuterima dengan lapang dada!” Selembar cek berbentuk persegi panjang di tangan kananku berpindah menuju ke tangan si lelaki di balik meja. “Ayo, Nara. Biar kubantu bawakan sampai ke kamarmu.” sela Kak Banu di tengah panasnya aksi saling tatap antara aku dan si lelaki tersebut. “Ini kunci dan nomor kamarnya, serta tanda pengenal bagi penghuni di setiap kamar gedung. Selamat menikmati!” tutur sang lelaki paruh baya itu sambil menyerahkan 2 buah kunci, selembar nomor, plus kartu identitas milikku. Tiba-tiba, dari gedung seberang, keluarlah seorang wanita tinggi semampai dengan wajah tegas. Berbedak tipis berlipstik merah marun. Rambut hitam kelam terurai panjang sampai menutupi bagian pinggang belakang. Kulitnya putih bersih seperti batu pualam. “Aaah... Penghuni baru Gedung Nebula. Mungkin dia model atau bintang iklan.” ucap si lelaki dari balik meja dengan penuh kekaguman. “Huh. Pengelola dan pemilik kedua tempat ini benar-benar pilih kasih!” sindir Kak Banu tajam. “Lho? Belum pergi juga? Yaaah, pasti tidak akan adil bagi kalian yang tidak mempunyai banyak uang atau harta yang melimpah.” “Kau!? Mulut itu apa tidak diajari oleh ayah dan ibumu?” “Sudahlah Kak Banu! Kalau mau membantuku, cepatlah berangkat sekarang! Bawakan satu yang paling besar itu. Sisanya biar aku tangani sendiri.” Aku bergegas keluar dari kantor penerimaan itu dengan penuh rasa muak. Sementara Kak Banua, berada di depan sebagai kompas penunjuk arah. “Pelan-pelan saja Kak Banu. Aku masih ingin melihat-lihat sekeliling.” ucapku sedikit lantang. Sambil berjalan menuju tangga naik, mataku melirik keadaan gedung seberang, tempat yang tadi dinamai sebagai Gedung Nebula. Terdapat tangga berjalan bolak-balik di setiap sisi. Tersedia juga lift yang lebarnya 1 meter, cukup untuk menampung orang dan barang. Aku mengintip sekelebat, ruang tunggu dengan mesin pendingin yang bertaburan. Beberapa pelayan siap sedia di berbagai sudut area. Berjaga-jaga kalau ada pelanggan yang membutuhkan bantuan. “Aaah. Bukankah memang beginilah dunia berjalan?” gumamku sambil terus menjinjing tas selempang berisi buku dan alat tulis. “Nara! Ada apa? Kenapa langkahmu pelan sekali?” teriak Kak Banua yang sudah berjarak sekitar 10 langkah di depan. “Tidak! Aku hanya sedikit kelelahan.” “Apa perlu beristirahat dan duduk sebentar?” “Jangan! Lanjutkan saja, Kak. Sebentar lagi pasti tersusul.” Aku membuang pandang dan memutuskan untuk fokus ke tangga naik. Di bola mataku kini hanya ada punggung tangguh milik Kak Banua, pamanku satu-satunya. Keluarga kandung yang paling peduli dan melindungiku. *** Aku dan Kak Banua tiba di depan sebuah ruangan yang pintunya terkunci rapat. Di sebelah sisi kiri, adalah kamar yang sudah berpenghuni. Aku yakin karena terdapat keset di bagian depan. Ditambah lagi, ada suara musik klasik yang terdengar dari dalam. “Untunglah di sebelahmu sudah berpenghuni, Nara!” ucap Kak Banu penuh rasa syukur. Mungkin menurutnya, akan berbahaya jika aku belum memiliki tetangga. “Mana kuncinya? Biar kita lihat dulu keadaan kamar ini.” pintaku kepada Kak Banu yang berdiri di samping kanan. “Kenapa? Sudah merasa letih ya, Nara?” sindir Kak Banu sambil menatapku penuh keisengan. Tanpa banyak bicara, aku langsung meraih kunci dan memasukkannya ke lubang. Memutar knop dan mendorong pintu kayu ke arah depan. Di hadapanku, terhampar pemandangan sebuah kamar yang lumayan tenang. Meski tak terlampau luas dan besar. Ranjang tidur untuk satu orang dengan sebuah bantal dan guling bersarung warna coklat. Lemari pakaian di sudut kiri dengan kaca besar seukuran tubuh. Terdapat pula toilet pribadi dengan sepetak bak berisi air bersih. “Lebih baik dari yang kukira ternyata.” bisikku perlahan sambil terus melangkah mengelilingi ruangan. “Kopermu aku taruh di sini saja, ya?” “Oke. Terima kasih, Kak Banu. “Nara… Benar kau tak masalah tinggal seorang diri begini?” Aku menatap sepasang mata Kak Banua dengan wajah memerah. “Aku sudah dewasa, Kak. Tidak perlu khawatir.” jawabku terbata karena menahan sesak yang tersangkut di tenggorokan. “Hubungi aku kalau kau memerlukan bantuan.” “Kau adalah orang pertama yang akan mengetahui segalanya tentangku disini, Kak. Aku berjanji.” Kak Banua mengusap kedua ujung mata dengan punggung tangan kanannya. Sementara aku pura-pura sibuk mengeluarkan baju dan pakaian dari dalam koper besar yang tadi dibawa olehnya. “Kakak pasti sangat bangga melihatmu hari ini.” lanjut Kak Banua dengan senyuman lebar merekah di wajahnya yang rupawan. ***Paragraf 02Remang-remang langit atap berwarna keabu-abuan. Suara air mengalir tertangkap oleh sepasang daun telinga. Satu stel pakaian kerja tergeletak di sisi kanan ranjang. Aku berdiri sedikit miring ke kiri di hadapan cermin lemari. Menyisir rambut kusut dan membetulkan letak kacamata minus. Di badanku yang tidak terlampau kurus. Telah terbungkus sempurna sepasang bra di dada dan sepotong celana dalam di pangkal paha.Setelah itu, aku oleskan deodoran di kedua ketiak. Lalu membiarkannya kering oleh udara yang mengular di sekitar. Kutengok sesekali jam di dinding kamar yang tergantung. Memastikan jika masih ada waktu untukku sarapan atau sekadar menyesap secangkir teh di cafe lantai bawah.Tangan kananku kemudian meraih pakaian yang terbaring di ranjang. Mungkin jika bisa berbicara, suara protes akan terdengar dari mulut mereka dengan lancangnya. Karena sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja.Kumasukkan kedua lengan secara bergantian melalui lubang yang tersedia di kiri dan kanan
Paragraf 03“Di sini tidak ada kanvas atau cat air, ya?” tanya sesosok lelaki yang baru saja melangkah dari luar menuju ke tokoku.Lelaki itu berpakaian kemeja hitam polos dengan lengan tiga perempat. Rambutnya panjang melewati tengkuk leher dengan warna alami coklat kehitaman. Warna kulitnya kuning langsat dengan alis mata yang super tebal.“Hanya ada cat air. Itu juga modelnya yang lama. Terdiri dari 12 warna dan ukurannya sebesar jari kelingking.” ucapku dengan berdiri karena hendak melangkah ke belakang untuk mengambil barang yang dimaksud.“Aaah. Itu jenis cat air untuk anak Sekolah Dasar.” sahut pelanggan pertamaku itu dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Bagaimana? Mau lihat dulu?” lanjutku menawarkan sebuah pilihan.Lelaki berambut agak panjang itu mengangguk sambil sesekali memandangi sekeliling toko.Langkah kakiku menjauh dari meja kasir. Menuju ke rak buku paling belakang sekaligus paling terpencil. Dulu, sebelum pindah ke sini, toko buku ini adalah yang paling lengkap di da
Paragraf 04Aku duduk di depan laptop yang tergeletak di atas meja. Meja itu diletakkan tepat di sebelah kiri meja dandan yang diatasnya berhamburan beberapa produk kecantikan ala kadarnya.Layar laptop menyala di tengah redupnya lampu kamar yang memang sengaja dibuat remang. Kesepuluh jari tangan menari di atas permukaan keyboard. Satu per satu huruf terketik. Kata demi kata termaktub. Di atas dokumen yang kelak akan dicetak oleh penerbit sebagai novel kedua. Tentu dengan cerita dan tema yang berbeda jauh dari yang pertama.Satu jam sudah otak diperas untuk meracik konflik menarik. Membentuk plot atau sekadar mengutak-atik kosakata serta bermain diksi.“Haaah… Ternyata tak semudah menjaga toko buku. Gak segampang itu rupanya.” keluhku di depan layar gawai sambil mencari nomor pribadi Kak Banua.Laptop ditutup dan dokumen disimpan meskipun baru 1 paragraf yang terlahir dari proses berpikir keras selama enam puluh menit. Mengalihkan fokus kepada kak Banua yang harus menerima kabar gemb
Paragraf 05“Lebih baik yang ini saja, kaktus mini yang tak perlu disiram terlampau sering. Tanaman ini juga gak akan tumbuh melebihi pot yang ditempati. Ia juga tangguh di cuaca yang gersang dan kering.”Bibir mungil Lila bergerak menjelaskan tanaman yang kucari. Sebenarnya, tak ada niat untuk menambah pajangan di toko ataupun di kamar. Namun, mengingat minimnya kenalan orang di area ini, lebih baik kucoba menjalin hubungan akrab dengan yang mudah didekati. Dan pikiran ini langsung menuntunku untuk mengingat wajah Lila.“Aku beli 2 buah saja. Yang bentuknya seperti bola kasti itu.” pintaku kepada si cewek polos sambil menatap ke arah tanaman jenis lain.“Namanya kaktus Parodia. Ini sajakah, Mbak Nara? Tak ada tambahan?”Aku menggeleng diiringi senyuman tipis dari bibirku yang lumayan tebal.“Apa Lila sudah lama membuka toko ini?” tanyaku tanpa menatap matanya, lantaran sibuk merogoh dompet yang terselip di dalam tas selempang.“Baru jalan 3 bulan, Mbak Nara. Sebenarnya ingin pindah k
Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send
Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga
Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,
Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah
Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a
Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb
Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia
Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi
Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini
Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k
Paragraf 16Jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tapi, tubuh ini tetap terkapar di atas kasur tanpa timbul keinginan untuk segera bangkit. Tenaga yang masih belum terisi penuh, kantung mata yang kian menghitam, tumit serta lutut yang pegalnya belum hilang, dan keluhan lain yang berkaitan dengan pesta semalam masih menjangkiti badan. Terbesit keinginan untuk tidak membuka toko lagi hari ini. Namun, dekorasi dan aksesoris yang tersimpan di dalam laci meja seolah berteriak memanggil. Berharap untuk segera ditempel dan dipajang pada bagian dinding depan toko buku. “Aaaaih. Toko itu gak mungkin membuka dan mempercantik dirinya sendiri.” ujarku dalam hati sambil memaksa tubuh untuk melakukan peregangan.Setelah 10 menit terduduk di atas kasur. Kuputuskan untuk mandi dan sarapan pagi. Berharap semangatku kembali dan hasrat untuk menghias toko terisi lagi.***Duuk! Aku tertabrak di tangga turun menuju ke lantai 2. Sempat goyah sesaat, namun kakiku refleks menahan agar badan tidak ol
Paragraf 15“Kita sudah seperti Cinderella saja.” celetukku tepat di pinggir trotoar dekat hotel.“Kenapa? Apa karena menggunakan gaun? Atau karena riasan kita?” tanya Lila yang ternyata masih menyimpan sedikit tenaga untuk sekadar tersenyum meladeni omonganku.“Lihatlah! Sudah pukul berapa ini? Dua belas malam! Akan sangat sulit menemukan sopir mobil yang mau mengantarkan kita pulang ke gedung.” ujarku masih berusaha mencari taksi yang bersedia menjemput kami di depan hotel.“Nah! Kalau berdasarkan dongeng. Berarti akan ada kereta dari buah labu yang bakalan menjemput kita di sini.” celoteh Lila yang baterainya masih tersisa sedikit. Sementara aku, sudah kepikiran untuk segera merebahkan badan di atas kasur kamar.“Ngawur! Orang misterius mana yang mau menjemput dua gadis asing yang berdiri di pinggir jalan begini?” gerutuku kesal lantaran aplikasi taksi online di gawai tak kunjung merespon.Brrm. Brrrm. Saat kami sedang bercanda tentang Cinderella dan kereta kencananya. Tiba-tiba te
Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir