Share

Paragraf 06

Penulis: ulan_deui
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-29 09:43:41

Paragraf 06

Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman F******k. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.

Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi.

“Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.

Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta sendok dan garpu perak. Sebuah hidangan sederhana buatan tangan sendiri. Kuletakkan seporsi nasi goreng ala kadarnya itu di atas meja. Menjejerkan santapan tersebut dengan kaktus mini yang dibeli dari toko Lila. Kukeluarkan gawai dan mulai mengarahkan kamera belakang ke sekitar meja. Mencari sudut yang pas untuk mengabadikan masakan pertamaku ketika tinggal sendirian.

Ckreek. Ckreek. Cahaya dari blitz kamera menghujani sepiring nasi goreng yang mulai mengalami penurunan suhu. Satu dua kali pengambilan rekaman video. Tiga empat kali mengambil beberapa potret estetik. Sepuluh menit berlalu, dan aku baru selesai mendokumentasikan hal yang bagi orang lain mungkin terlihat biasa saja.

Kutarik bangku agar lebih merapat ke meja. Menyodok sendok ke pinggiran lingkar piring. Aku tak punya nyali untuk langsung mencicipi dalam jumlah besar. Jadi, kuraih seujung kuku dari sendok makan untuk diletakkan di daerah paling ujung lidah. Retina mata melebar seketika. Aku terkesima dengan cita rasa makanan buatan sendiri. Pas dan tidak berlebihan. Sepertinya besok, aku berkeinginan untuk mengunjungi pasar atau swalayan terdekat. Untuk mencari bahan masakan lain yang bisa disimpan lumayan lama.

Tok! Tok! Suara pintu diketuk dari luar. Dan itu adalah pintu kamar milikku. Tok! Tok! Bunyi tangan yang mengetuk permukaan padat terdengar kembali.

“Siapa yang malam-malam begini berniat untuk mengunjungi tetangganya?” gerutuku sambil berjalan menghampiri pintu.

Tangan kananku sudah memegang kenop pintu. Bersiap memutarnya untuk membukakan pintu. Tapi tiba-tiba, aku terdiam sebentar. Pikiran jahat mulai berbicara pelan.

“Bagaimana kalau itu orang jahat yang berniat mencelakai penghuni kamar?”

Sesaat setelah bisikan buruk itu terdengar di kepala. Kedua kakiku sudah bersiaga dengan sikap kuda-kuda.

Creek! Dan pintu kamar kubuka dengan dipenuhi tatapan kewaspadaan.

“Aaah. Maaf mengganggu. Kudengar dari sebelah, sepertinya Anda sedang memasak makanan bukan?” tanya sosok pria di hadapanku yang perawakannya sangat jantan.

Sepasang bola mata terfokus pada satu wajah. Pria berkulit hitam manis dengan sedikit jambang tipis di dagunya. Terdapat pula lesung pipi di bagian kiri. Suara yang keluar terdengar meneduhkan kedua telinga. Aku membantu terpesona.

“Anu, halo, Nona! Halo!” sapanya sekali lagi sambil menjentikkan jari di depan muka.

“Ah. Iya. Benar. Kebetulan aku memang baru selesai memasak resep yang didapat dari internet.” jawabku terbata karena mencoba menata lagi pikiran yang sempat melayang sejenak.

“Boleh aku minta sedikit gula pasir? Aku kehabisan stok. Dan besok pagi harus membuat kopi untuk sarapan.” pinta pria itu dengan sangat sopan.

“Sebentar, ya. Akan aku bawakan ke sini.”

Entah karena senyumnya atau lantaran aura positif dari wajah. Aku bergegas menuju dapur untuk mengambil wadah gula pasir di dalam rak. Lalu kembali lagi menuju ke pintu depan.

“Oh! Jangan, Nona! Jumlahnya kebanyakan.” tutur si pria berwajah manis tersebut setelah melihatku menawarkan gula di dalam wadah berukuran setengah kilogram.

“Bawa saja dulu. Besok kembalikan lagi jika sudah tidak diperlukan. Kamar Mas ini di sebelah mana?”

Pria yang penuh wibawa itu menggerakan ibu jari tangan kanannya ke samping. Diiringi senyuman yang tak kalah manis dari gula yang hendak dia pinta.

“Oh, tepat di sebelah! Kalau begitu santai saja. Ambillah sesuai kebutuhanmu.” sambungku dengan intonasi agak merendah. Meski wajah ini mungkin di matanya terlihat kurang ramah.

“Oke! Terima kasih banyak, Anu, Nona… Dengan siapa ini saya berbicara?”

“Nara Metana. Panggil saja Nara.”

“Perkenalkan, namaku Bakrie. Hanya Bakrie saja.”

Pria itu tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.

***

Pagi hari yang indah di dalam kamar yang super tenang. Tumpukan pakaian kotor menggunung di bawah lantai dekat kolong ranjang tidur. Rupanya selain berkeinginan untuk membeli bahan masakan di pasar swalayan. Ada hasrat lain yaitu mencari lokasi binatu terdekat untuk mencuci pakaian yang sudah kotor selama 3 hari.

Timbullah keinginanku untuk menutup toko dan rehat seharian penuh. Guna menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang ternyata tak semudah kelihatannya.

Tok! Tok! Kembali bunyi ketukan terdengar lagi dari arah pintu depan. Namun, frekuensinya tidak sekencang tadi malam. Dan tentu aku sudah tahu siapa pelakunya kali ini. Kuputar kenop pintu dengan melonggarkan pengawasan.

“Selamat pagi, Nara! Aku tak mengganggu bukan?” sapa Mas Bakrie dengan menenteng wadah gula pasir yang semalam kupinjamkan. Di tangan kanannya, dijinjing satu buah jerigen plastik berisi cairan kental berwarna putih gading. Berbau harum seperti parfum aroma terapi.

“Apakah itu deterjen cair? Sebanyak itu untuk diapakan?” tanyaku sambil meraih wadah gula dari kepalan tangan kiri Mas Bakrie.

“Anu, aku baru saja bekerja sebagai karyawan di salah satu tempat laundry kiloan. Lokasinya kira-kira satu kilometer dari sini.” jawab pria manis tersebut dengan menunduk. Mungkin ia agak malu menceritakan tentang pekerjaannya di hadapan seorang perempuan.

Namun fakta mengejutkan itu justru menimbulkan rasa bahagia. Bak mendapatkan durian runtuh, aku langsung meminta bantuan Kak Bakrie. Menyuruhnya masuk ke dalam dan tanpa rasa malu aku memperlihatkan tumpukan baju serta celana kotor di atas lantai dekat ranjang tidur.

“Ooh. Kalau masalah ini serahkan padaku. Nara cukup masukkan semuanya secara sembarangan ke dalam tas besar. Akan kuangkut ke laundry hari ini juga.” ucapnya dengan wajah tersipu. Menahan tawa dihadapanku yang dengan polosnya membawa pria ke dalam kamar sendiri.

Kak Bakrie akhirnya meninggalkanku dan menunggu di depan pintu. Sedangkan aku, sibuk memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam tote bag berukuran jumbo. Kemudian menyeretnya menuju ke arah depan. Gesekan timbul antara kain kanvas tas dengan keramik lantai kamar. Menimbulkan suara yang menggelitik telinga.

“Wah! Ternyata lumayan juga. Lihatlah, tas super besar ini sampai penuh tak bercelana.”

“Mohon bantuannya ya, Mas Bakrie.”

“Oke. Dengan senang hati, Nara. Kalau setelah ini, butuh jasa laundry lagi. Cukup bawakan ke ruanganku saja. Dan jika sudah bersih, akan diantarkan langsung ke pelanggan.” jelas pria berkulit hitam manis itu layaknya seorang sales yang memperkenalkan produk andalan perusahaan.

***

Bab terkait

  • Rahasia Nara   Paragraf 07

    Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 08

    Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 09

    Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 10

    Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 11

    Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 12

    Paragraf 12Aku sibuk membersihkan debu yang menempel di permukaan meja. Juga menyapu lantai yang mulai dipenuhi kotoran yang masuk terbawa angin dari luar. Setelah kemarin seharian penuh, toko terpaksa tutup lantaran harus menyelesaikan urusan lain di toko bunga Lila. Berdiri tegak di pekarangan depan. Dari jarak jauh, kuratapi dinding yang mengelilingi pintu dan jendela. Polos saja tanpa hiasan dan dekorasi apapun. Cat berwarna biru kelabu juga menambah kesan suram pada toko buku ini. Terbesit ide untuk menghiasi dinding dengan berbagai kutipan yang berasal dari buku atau novel terkenal. Yah, persis sama seperti yang hendak Lila aplikasikan pada toko bunga miliknya. Kupandangi setiap sisi dinding yang kosong. Lalu diukur berapa panjang serta lebar permukaan yang hendak ditempeli. Di dalam benakku, sebuah desain estetik akan diterapkan tepat di atas permukaan dinding depan toko ini. Yang kuperlukan kini adalah waktu luang untuk mencari bahan kutipan serta tenaga ekstra untuk membua

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 13

    Paragraf 13“Maksud Mbak Nara? Cewek cantik yang berkunjung kemarin punya saudara kembar?” teriak Lila setengah heboh dari balik percakapan video yang tengah kami lakukan berdua setelah makan siang selesai. “Tadi pagi, ada pelanggan datang ke toko buku. Dan dia mirip sekali dengan perempuan itu. Terutama wajah dan postur tubuhnya.” ceritaku sambil sibuk menggunting lembaran kutipan yang hendak ditempel di dinding bagian depan toko buku.“Mirip saja, mungkin. Siapa tahu bukan kembaran. Bisa jadi adik atau kakak kandungnya. Lagipula, ada banyak orang yang tinggal di kamar gedung Nebula. Siapa tahu, Mbak Nara hanya mengira-ngira saja.” ucapan Lila seolah ingin mematahkan analisisku.Aku terdiam memikirkan perkataan Lila. Mungkin ada benarnya, mungkin aku salah memprediksi. Entah kenapa pikiran ini tiba-tiba terpancing untuk membuktikan perkiraan itu.“Lila!? Bagaimana kalau kita hadiri saja undangan untuk mendatangi pesta ulang tahun ibunya si perempuan cantik itu?” ajakku kepada si cew

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Rahasia Nara   Paragraf 14

    Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29

Bab terbaru

  • Rahasia Nara   Paragraf 14

    Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir

  • Rahasia Nara   Paragraf 13

    Paragraf 13“Maksud Mbak Nara? Cewek cantik yang berkunjung kemarin punya saudara kembar?” teriak Lila setengah heboh dari balik percakapan video yang tengah kami lakukan berdua setelah makan siang selesai. “Tadi pagi, ada pelanggan datang ke toko buku. Dan dia mirip sekali dengan perempuan itu. Terutama wajah dan postur tubuhnya.” ceritaku sambil sibuk menggunting lembaran kutipan yang hendak ditempel di dinding bagian depan toko buku.“Mirip saja, mungkin. Siapa tahu bukan kembaran. Bisa jadi adik atau kakak kandungnya. Lagipula, ada banyak orang yang tinggal di kamar gedung Nebula. Siapa tahu, Mbak Nara hanya mengira-ngira saja.” ucapan Lila seolah ingin mematahkan analisisku.Aku terdiam memikirkan perkataan Lila. Mungkin ada benarnya, mungkin aku salah memprediksi. Entah kenapa pikiran ini tiba-tiba terpancing untuk membuktikan perkiraan itu.“Lila!? Bagaimana kalau kita hadiri saja undangan untuk mendatangi pesta ulang tahun ibunya si perempuan cantik itu?” ajakku kepada si cew

  • Rahasia Nara   Paragraf 12

    Paragraf 12Aku sibuk membersihkan debu yang menempel di permukaan meja. Juga menyapu lantai yang mulai dipenuhi kotoran yang masuk terbawa angin dari luar. Setelah kemarin seharian penuh, toko terpaksa tutup lantaran harus menyelesaikan urusan lain di toko bunga Lila. Berdiri tegak di pekarangan depan. Dari jarak jauh, kuratapi dinding yang mengelilingi pintu dan jendela. Polos saja tanpa hiasan dan dekorasi apapun. Cat berwarna biru kelabu juga menambah kesan suram pada toko buku ini. Terbesit ide untuk menghiasi dinding dengan berbagai kutipan yang berasal dari buku atau novel terkenal. Yah, persis sama seperti yang hendak Lila aplikasikan pada toko bunga miliknya. Kupandangi setiap sisi dinding yang kosong. Lalu diukur berapa panjang serta lebar permukaan yang hendak ditempeli. Di dalam benakku, sebuah desain estetik akan diterapkan tepat di atas permukaan dinding depan toko ini. Yang kuperlukan kini adalah waktu luang untuk mencari bahan kutipan serta tenaga ekstra untuk membua

  • Rahasia Nara   Paragraf 11

    Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang

  • Rahasia Nara   Paragraf 10

    Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r

  • Rahasia Nara   Paragraf 09

    Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah

  • Rahasia Nara   Paragraf 08

    Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,

  • Rahasia Nara   Paragraf 07

    Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga

  • Rahasia Nara   Paragraf 06

    Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send

DMCA.com Protection Status