Paragraf 13“Maksud Mbak Nara? Cewek cantik yang berkunjung kemarin punya saudara kembar?” teriak Lila setengah heboh dari balik percakapan video yang tengah kami lakukan berdua setelah makan siang selesai. “Tadi pagi, ada pelanggan datang ke toko buku. Dan dia mirip sekali dengan perempuan itu. Terutama wajah dan postur tubuhnya.” ceritaku sambil sibuk menggunting lembaran kutipan yang hendak ditempel di dinding bagian depan toko buku.“Mirip saja, mungkin. Siapa tahu bukan kembaran. Bisa jadi adik atau kakak kandungnya. Lagipula, ada banyak orang yang tinggal di kamar gedung Nebula. Siapa tahu, Mbak Nara hanya mengira-ngira saja.” ucapan Lila seolah ingin mematahkan analisisku.Aku terdiam memikirkan perkataan Lila. Mungkin ada benarnya, mungkin aku salah memprediksi. Entah kenapa pikiran ini tiba-tiba terpancing untuk membuktikan perkiraan itu.“Lila!? Bagaimana kalau kita hadiri saja undangan untuk mendatangi pesta ulang tahun ibunya si perempuan cantik itu?” ajakku kepada si cew
Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir
Paragraf 01“Kalau berdasarkan data dan informasi pribadi yang diajukan, keponakan Mas Banu akan ditempatkan di Gedung Supernova. Karena pekerjaannya yang bergaji kurang dari sejuta perbulan.” ucap seorang lelaki paruh baya berpakaian kemeja hitam dan dengan rambut super klimis.Sementara lawan bicara, adalah seorang cowok yang tampaknya berusia di penghujung umur 20an. Memakai kaos polos lengan pendek berwarna abu-abu dengan celana panjang jeans warna biru tua. Wajahnya agak bulat dengan alis tipis yang terukir di pelipis.“Kau yakin, Nara? Bukankah lebih baik pindah saja ke Gedung Nebula? Apalagi, sebenarnya…”“Ssst… Aku tahu apa yang kuinginkan, Kak Banu. Tenang saja, setelah ini kau tak usah repot-repot mengantar-jemput. Aku akan mengontrak sebuah kamar pribadi di sini.” ucapku meyakinkan satu-satunya saudara kandung mendiang Ibu. Paman Banua, lelaki yang selalu menjaga dan memelihara diriku setelah Ibu meninggal saat aku berusia 3 tahun.“Oke! Oke! Baiklah kalau begitu.”Dari bal
Paragraf 02Remang-remang langit atap berwarna keabu-abuan. Suara air mengalir tertangkap oleh sepasang daun telinga. Satu stel pakaian kerja tergeletak di sisi kanan ranjang. Aku berdiri sedikit miring ke kiri di hadapan cermin lemari. Menyisir rambut kusut dan membetulkan letak kacamata minus. Di badanku yang tidak terlampau kurus. Telah terbungkus sempurna sepasang bra di dada dan sepotong celana dalam di pangkal paha.Setelah itu, aku oleskan deodoran di kedua ketiak. Lalu membiarkannya kering oleh udara yang mengular di sekitar. Kutengok sesekali jam di dinding kamar yang tergantung. Memastikan jika masih ada waktu untukku sarapan atau sekadar menyesap secangkir teh di cafe lantai bawah.Tangan kananku kemudian meraih pakaian yang terbaring di ranjang. Mungkin jika bisa berbicara, suara protes akan terdengar dari mulut mereka dengan lancangnya. Karena sudah terlalu lama dibiarkan begitu saja.Kumasukkan kedua lengan secara bergantian melalui lubang yang tersedia di kiri dan kanan
Paragraf 03“Di sini tidak ada kanvas atau cat air, ya?” tanya sesosok lelaki yang baru saja melangkah dari luar menuju ke tokoku.Lelaki itu berpakaian kemeja hitam polos dengan lengan tiga perempat. Rambutnya panjang melewati tengkuk leher dengan warna alami coklat kehitaman. Warna kulitnya kuning langsat dengan alis mata yang super tebal.“Hanya ada cat air. Itu juga modelnya yang lama. Terdiri dari 12 warna dan ukurannya sebesar jari kelingking.” ucapku dengan berdiri karena hendak melangkah ke belakang untuk mengambil barang yang dimaksud.“Aaah. Itu jenis cat air untuk anak Sekolah Dasar.” sahut pelanggan pertamaku itu dengan ekspresi penuh kekecewaan.“Bagaimana? Mau lihat dulu?” lanjutku menawarkan sebuah pilihan.Lelaki berambut agak panjang itu mengangguk sambil sesekali memandangi sekeliling toko.Langkah kakiku menjauh dari meja kasir. Menuju ke rak buku paling belakang sekaligus paling terpencil. Dulu, sebelum pindah ke sini, toko buku ini adalah yang paling lengkap di da
Paragraf 04Aku duduk di depan laptop yang tergeletak di atas meja. Meja itu diletakkan tepat di sebelah kiri meja dandan yang diatasnya berhamburan beberapa produk kecantikan ala kadarnya.Layar laptop menyala di tengah redupnya lampu kamar yang memang sengaja dibuat remang. Kesepuluh jari tangan menari di atas permukaan keyboard. Satu per satu huruf terketik. Kata demi kata termaktub. Di atas dokumen yang kelak akan dicetak oleh penerbit sebagai novel kedua. Tentu dengan cerita dan tema yang berbeda jauh dari yang pertama.Satu jam sudah otak diperas untuk meracik konflik menarik. Membentuk plot atau sekadar mengutak-atik kosakata serta bermain diksi.“Haaah… Ternyata tak semudah menjaga toko buku. Gak segampang itu rupanya.” keluhku di depan layar gawai sambil mencari nomor pribadi Kak Banua.Laptop ditutup dan dokumen disimpan meskipun baru 1 paragraf yang terlahir dari proses berpikir keras selama enam puluh menit. Mengalihkan fokus kepada kak Banua yang harus menerima kabar gemb
Paragraf 05“Lebih baik yang ini saja, kaktus mini yang tak perlu disiram terlampau sering. Tanaman ini juga gak akan tumbuh melebihi pot yang ditempati. Ia juga tangguh di cuaca yang gersang dan kering.”Bibir mungil Lila bergerak menjelaskan tanaman yang kucari. Sebenarnya, tak ada niat untuk menambah pajangan di toko ataupun di kamar. Namun, mengingat minimnya kenalan orang di area ini, lebih baik kucoba menjalin hubungan akrab dengan yang mudah didekati. Dan pikiran ini langsung menuntunku untuk mengingat wajah Lila.“Aku beli 2 buah saja. Yang bentuknya seperti bola kasti itu.” pintaku kepada si cewek polos sambil menatap ke arah tanaman jenis lain.“Namanya kaktus Parodia. Ini sajakah, Mbak Nara? Tak ada tambahan?”Aku menggeleng diiringi senyuman tipis dari bibirku yang lumayan tebal.“Apa Lila sudah lama membuka toko ini?” tanyaku tanpa menatap matanya, lantaran sibuk merogoh dompet yang terselip di dalam tas selempang.“Baru jalan 3 bulan, Mbak Nara. Sebenarnya ingin pindah k
Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send
Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir
Paragraf 13“Maksud Mbak Nara? Cewek cantik yang berkunjung kemarin punya saudara kembar?” teriak Lila setengah heboh dari balik percakapan video yang tengah kami lakukan berdua setelah makan siang selesai. “Tadi pagi, ada pelanggan datang ke toko buku. Dan dia mirip sekali dengan perempuan itu. Terutama wajah dan postur tubuhnya.” ceritaku sambil sibuk menggunting lembaran kutipan yang hendak ditempel di dinding bagian depan toko buku.“Mirip saja, mungkin. Siapa tahu bukan kembaran. Bisa jadi adik atau kakak kandungnya. Lagipula, ada banyak orang yang tinggal di kamar gedung Nebula. Siapa tahu, Mbak Nara hanya mengira-ngira saja.” ucapan Lila seolah ingin mematahkan analisisku.Aku terdiam memikirkan perkataan Lila. Mungkin ada benarnya, mungkin aku salah memprediksi. Entah kenapa pikiran ini tiba-tiba terpancing untuk membuktikan perkiraan itu.“Lila!? Bagaimana kalau kita hadiri saja undangan untuk mendatangi pesta ulang tahun ibunya si perempuan cantik itu?” ajakku kepada si cew
Paragraf 12Aku sibuk membersihkan debu yang menempel di permukaan meja. Juga menyapu lantai yang mulai dipenuhi kotoran yang masuk terbawa angin dari luar. Setelah kemarin seharian penuh, toko terpaksa tutup lantaran harus menyelesaikan urusan lain di toko bunga Lila. Berdiri tegak di pekarangan depan. Dari jarak jauh, kuratapi dinding yang mengelilingi pintu dan jendela. Polos saja tanpa hiasan dan dekorasi apapun. Cat berwarna biru kelabu juga menambah kesan suram pada toko buku ini. Terbesit ide untuk menghiasi dinding dengan berbagai kutipan yang berasal dari buku atau novel terkenal. Yah, persis sama seperti yang hendak Lila aplikasikan pada toko bunga miliknya. Kupandangi setiap sisi dinding yang kosong. Lalu diukur berapa panjang serta lebar permukaan yang hendak ditempeli. Di dalam benakku, sebuah desain estetik akan diterapkan tepat di atas permukaan dinding depan toko ini. Yang kuperlukan kini adalah waktu luang untuk mencari bahan kutipan serta tenaga ekstra untuk membua
Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang
Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r
Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah
Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,
Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga
Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send