Paragraf 03
“Di sini tidak ada kanvas atau cat air, ya?” tanya sesosok lelaki yang baru saja melangkah dari luar menuju ke tokoku. Lelaki itu berpakaian kemeja hitam polos dengan lengan tiga perempat. Rambutnya panjang melewati tengkuk leher dengan warna alami coklat kehitaman. Warna kulitnya kuning langsat dengan alis mata yang super tebal. “Hanya ada cat air. Itu juga modelnya yang lama. Terdiri dari 12 warna dan ukurannya sebesar jari kelingking.” ucapku dengan berdiri karena hendak melangkah ke belakang untuk mengambil barang yang dimaksud. “Aaah. Itu jenis cat air untuk anak Sekolah Dasar.” sahut pelanggan pertamaku itu dengan ekspresi penuh kekecewaan. “Bagaimana? Mau lihat dulu?” lanjutku menawarkan sebuah pilihan. Lelaki berambut agak panjang itu mengangguk sambil sesekali memandangi sekeliling toko. Langkah kakiku menjauh dari meja kasir. Menuju ke rak buku paling belakang sekaligus paling terpencil. Dulu, sebelum pindah ke sini, toko buku ini adalah yang paling lengkap di daerah lain. Segala macam alat tulis serta berbagai jenis kertas kerajinan tersedia. Di deretan rak paling bawah, bertumpuk selusin cat air yang dimaksudkan. Rupanya di samping barang tersebut, masih tersisa 1 buah kanvas ukuran sedang. Berselimut debu dan sarang laba-laba. Aku tersenyum tipis sambil meraih kedua barang pesanan si pelanggan pertama, di hari pertamaku menjadi penjaga toko. Rupanya lelaki itu masih menunggu sambil berdiri. Sesekali, ia berjalan menuju rak dan membuka secara acak buku yang terpajang di sana. “Ah, kanvasnya ada juga?” tutur bibir si lelaki itu yang nampak terkejut lantaran melihatku menenteng kanvas bertaburan butiran debu. “Tapi kondisi barang dalam keadaan tidak baru. Akan kujual setengah dari harga yang tertera. Itupun kalau Tuan bersedia.” jawabku sesopan dan seramah mungkin. Meskipun wajah ini kurasa gak mencerminkan keramahtamahan yang berasal dari hati. “Aku ambil keduanya.” lanjutnya tegas. Mataku berbinar mendengar kalimat yang terlontar. Entah kekuatan dari mana, secepat kilat, kumasukkan kedua barang pesanan si lelaki tersebut ke dalam plastik sedang berwarna putih gading. “Ini barang milik Tuan.” ujarku melakukan proses serah terima barang kepemilikan. Si lelaki berwajah maskulin tersebut tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah dengan tangan kanan. Lalu dengan secepat kilat, mengambil barang belanjaan. Dan mulai beranjak menuju pintu keluar. “Uang kembaliannya, Tuan!” teriakku spontan setelah melihatnya melangkah menjauhi meja. “Ambil saja. Aku sedang terburu-buru.” Pandangan mataku membuntuti si pria yang baru saja menjauh dari tokoku. Ia berjalan cepat menuju ke arah gerbang pangkal Gedung Nebula. “Pantas saja. Rupanya ia salah satu penghuni kamar mewah di sana.” Aku kembali ke habitat awal. Meja kasir sekaligus tempat kerja. Memasukkan lembar rupiah pertama ke dalam laci di bagian kanan. “Semoga berjalan lancar untuk hari ini.” harapku sambil memilih buku apa yang akan dibaca hari ini. *** Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Cuaca panas menyengat dari luar sampai masuk menembus ke dalam toko. Aku kegerahan dengan keringat mengucur di dahi juga kening yang kering karena pelembab yang sudah terkikis. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju ke halaman depan. Mencoba memperbarui penglihatan dengan menyaksikan sesuatu yang baru di luar ruangan. Kendaraan bermotor sesekali berlalu-lalang. Beberapa orang nampak berjalan santai sambil menatap gawai. Ada juga seekor kucing jantan berwarna oren, sedang tertidur pulas di bawah pohon rindang yang tumbuh secara alami di seberang tempatku berdiri. “Aaah. Mbak yang tinggal di gedung Supernova, ya?” Aku terperanjat kaget mendengar suara tanpa rupa itu. Kuputar leher ke kiri dan ke kanan. Mencoba mendeteksi sumber bunyi berasal, meski kutahu, pasti si cewek kekanakan itu yang menyapa. “Sebelah sini, Mbak.” lanjutnya lagi dari arah belakang. Ia menaiki sepeda dengan membawa sekuntum bunga mawar di bagian depan. Mengenakan topi bundar yang menutupi wajah polosnya. Pakaiannya sejenis gamis panjang mekar di bagian bawah. “Mbak penjaga toko buku ini?” Cewek kekanakan itu bertanya lagi sambil turun dari sepeda. “Iya. Mau mampir dulu?” tawarku sekadar basa-basi saja. “Gak usah! Aku juga kerja sebagai penjaga toko. Lokasinya persis di sebelah gedung Nebula. Kalau Mbak ada waktu senggang. Boleh kok lihat-lihat sebentar.” ujarnya dengan senyuman cerah. Mengalahkan teriknya matahari yang menyengat siang ini. “Oh! Jenis toko apa kalau boleh tahu?” “Toko bunga dan tanaman hias. Kami juga menawarkan jasa untuk menyusun atau mengirim buket bunga sesuai pesanan.” Lirikan mataku beralih dari wajah si cewek menuju ke seikat bunga mawar merah yang tertumpuk rapi di keranjang yang terletak di depan stang sepeda. “Apa itu pesanan pelangganmu juga?” “I, iya. Itu untuk dirangkai dengan tanaman hias lain. A, anu, nama Mbak siapakah? Rasanya tadi pagi , baru aku saja yang menyebutkan nama.” sambung si cewek dengan senyuman yang tak pernah pupus dari wajahnya yang tembam. “Namaku, Nara. Tapi, sebenarnya aku pun sudah tak ingat lagi dengan namamu yang diucapkan saat pertemuan kita tadi pagi.” tuturku dengan penuh kejujuran. “Aaaih. Jahat sekali Mbak Nara. Akan kuulangi lagi, namaku Lila Shangrila. Kamarku di lantai 3 nomor 7.” gerutu cewek di hadapanku dengan wajah cemberutnya. “Iya. Baiklah, baik. Senang berkenalan denganmu, Lila.” Tanpa sengaja, aku melukiskan seulas senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya. *** Senja di pelupuk barat telah nampak jelas terlihat. Kondisi jalanan juga berangsur sepi dari hilir mudik kendaraan. Aktivitas manusia pun sudah mulai mendekati kata tamat. Termasuk toko buku ini yang sebentar lagi akan ditutup. Agar besok bisa lanjut untuk dibuka kembali. Aku bergegas mengelilingi ruangan. Mengecek setiap rak buku sambil mematikan stop kontak agar listrik tidak mengalir sepanjang malam. Hari ini, hanya ada 1 pengunjung sekaligus pelanggan yang membeli barang. Si cowok maskulin berkulit langsat. Sisanya, aku hanya membunuh waktu dengan membaca dan menulis naskah novel. Beberapa kali, sempat juga mengecek gawai dan melihat beberapa potongan video viral melalui aplikasi TikTok. “Yaah. Setidaknya aku masih hidup dan bernafas sampai hari ini.” bisikku kepada diri sendiri. Pintu toko kemudian kukunci dengan sangat rapat. Dan meteran listrik diturunkan secara total. Tiba-tiba, terasa getaran yang mengalir dari dalam tas selempang. Gawai milikku menerima notifikasi dari pihak penerbitan. Sebuah chat yang berasal dari editor sekaligus wanita yang terus memaksaku untuk menjadi penulis buku. Wanita yang menjerumuskanku ke dalam jurang dunia kepenulisan. “Selamat ya, Nara! Novel pertamamu kembali dicetak ulang untuk kedua kalinya.” bunyi pesan yang masuk melalui aplikasi hijau. Aku tersenyum lagi kali ini. Dengan tingkat kelebaran yang sama saat aku berhadapan dengan si cewek kekanakan itu tadi siang. ***Paragraf 04Aku duduk di depan laptop yang tergeletak di atas meja. Meja itu diletakkan tepat di sebelah kiri meja dandan yang diatasnya berhamburan beberapa produk kecantikan ala kadarnya.Layar laptop menyala di tengah redupnya lampu kamar yang memang sengaja dibuat remang. Kesepuluh jari tangan menari di atas permukaan keyboard. Satu per satu huruf terketik. Kata demi kata termaktub. Di atas dokumen yang kelak akan dicetak oleh penerbit sebagai novel kedua. Tentu dengan cerita dan tema yang berbeda jauh dari yang pertama.Satu jam sudah otak diperas untuk meracik konflik menarik. Membentuk plot atau sekadar mengutak-atik kosakata serta bermain diksi.“Haaah… Ternyata tak semudah menjaga toko buku. Gak segampang itu rupanya.” keluhku di depan layar gawai sambil mencari nomor pribadi Kak Banua.Laptop ditutup dan dokumen disimpan meskipun baru 1 paragraf yang terlahir dari proses berpikir keras selama enam puluh menit. Mengalihkan fokus kepada kak Banua yang harus menerima kabar gemb
Paragraf 05“Lebih baik yang ini saja, kaktus mini yang tak perlu disiram terlampau sering. Tanaman ini juga gak akan tumbuh melebihi pot yang ditempati. Ia juga tangguh di cuaca yang gersang dan kering.”Bibir mungil Lila bergerak menjelaskan tanaman yang kucari. Sebenarnya, tak ada niat untuk menambah pajangan di toko ataupun di kamar. Namun, mengingat minimnya kenalan orang di area ini, lebih baik kucoba menjalin hubungan akrab dengan yang mudah didekati. Dan pikiran ini langsung menuntunku untuk mengingat wajah Lila.“Aku beli 2 buah saja. Yang bentuknya seperti bola kasti itu.” pintaku kepada si cewek polos sambil menatap ke arah tanaman jenis lain.“Namanya kaktus Parodia. Ini sajakah, Mbak Nara? Tak ada tambahan?”Aku menggeleng diiringi senyuman tipis dari bibirku yang lumayan tebal.“Apa Lila sudah lama membuka toko ini?” tanyaku tanpa menatap matanya, lantaran sibuk merogoh dompet yang terselip di dalam tas selempang.“Baru jalan 3 bulan, Mbak Nara. Sebenarnya ingin pindah k
Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send
Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga
Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,
Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah
Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r
Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang
Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir
Paragraf 13“Maksud Mbak Nara? Cewek cantik yang berkunjung kemarin punya saudara kembar?” teriak Lila setengah heboh dari balik percakapan video yang tengah kami lakukan berdua setelah makan siang selesai. “Tadi pagi, ada pelanggan datang ke toko buku. Dan dia mirip sekali dengan perempuan itu. Terutama wajah dan postur tubuhnya.” ceritaku sambil sibuk menggunting lembaran kutipan yang hendak ditempel di dinding bagian depan toko buku.“Mirip saja, mungkin. Siapa tahu bukan kembaran. Bisa jadi adik atau kakak kandungnya. Lagipula, ada banyak orang yang tinggal di kamar gedung Nebula. Siapa tahu, Mbak Nara hanya mengira-ngira saja.” ucapan Lila seolah ingin mematahkan analisisku.Aku terdiam memikirkan perkataan Lila. Mungkin ada benarnya, mungkin aku salah memprediksi. Entah kenapa pikiran ini tiba-tiba terpancing untuk membuktikan perkiraan itu.“Lila!? Bagaimana kalau kita hadiri saja undangan untuk mendatangi pesta ulang tahun ibunya si perempuan cantik itu?” ajakku kepada si cew
Paragraf 12Aku sibuk membersihkan debu yang menempel di permukaan meja. Juga menyapu lantai yang mulai dipenuhi kotoran yang masuk terbawa angin dari luar. Setelah kemarin seharian penuh, toko terpaksa tutup lantaran harus menyelesaikan urusan lain di toko bunga Lila. Berdiri tegak di pekarangan depan. Dari jarak jauh, kuratapi dinding yang mengelilingi pintu dan jendela. Polos saja tanpa hiasan dan dekorasi apapun. Cat berwarna biru kelabu juga menambah kesan suram pada toko buku ini. Terbesit ide untuk menghiasi dinding dengan berbagai kutipan yang berasal dari buku atau novel terkenal. Yah, persis sama seperti yang hendak Lila aplikasikan pada toko bunga miliknya. Kupandangi setiap sisi dinding yang kosong. Lalu diukur berapa panjang serta lebar permukaan yang hendak ditempeli. Di dalam benakku, sebuah desain estetik akan diterapkan tepat di atas permukaan dinding depan toko ini. Yang kuperlukan kini adalah waktu luang untuk mencari bahan kutipan serta tenaga ekstra untuk membua
Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang
Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r
Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah
Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,
Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga
Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send