Home / Romansa / Rahasia Nara / Paragraf 03

Share

Paragraf 03

Author: ulan_deui
last update Last Updated: 2024-10-31 13:19:24

Paragraf 03

“Di sini tidak ada kanvas atau cat air, ya?” tanya sesosok lelaki yang baru saja melangkah dari luar menuju ke tokoku.

Lelaki itu berpakaian kemeja hitam polos dengan lengan tiga perempat. Rambutnya panjang melewati tengkuk leher dengan warna alami coklat kehitaman. Warna kulitnya kuning langsat dengan alis mata yang super tebal.

“Hanya ada cat air. Itu juga modelnya yang lama. Terdiri dari 12 warna dan ukurannya sebesar jari kelingking.” ucapku dengan berdiri karena hendak melangkah ke belakang untuk mengambil barang yang dimaksud.

“Aaah. Itu jenis cat air untuk anak Sekolah Dasar.” sahut pelanggan pertamaku itu dengan ekspresi penuh kekecewaan.

“Bagaimana? Mau lihat dulu?” lanjutku menawarkan sebuah pilihan.

Lelaki berambut agak panjang itu mengangguk sambil sesekali memandangi sekeliling toko.

Langkah kakiku menjauh dari meja kasir. Menuju ke rak buku paling belakang sekaligus paling terpencil. Dulu, sebelum pindah ke sini, toko buku ini adalah yang paling lengkap di daerah lain. Segala macam alat tulis serta berbagai jenis kertas kerajinan tersedia.

Di deretan rak paling bawah, bertumpuk selusin cat air yang dimaksudkan. Rupanya di samping barang tersebut, masih tersisa 1 buah kanvas ukuran sedang. Berselimut debu dan sarang laba-laba. Aku tersenyum tipis sambil meraih kedua barang pesanan si pelanggan pertama, di hari pertamaku menjadi penjaga toko.

Rupanya lelaki itu masih menunggu sambil berdiri. Sesekali, ia berjalan menuju rak dan membuka secara acak buku yang terpajang di sana.

“Ah, kanvasnya ada juga?” tutur bibir si lelaki itu yang nampak terkejut lantaran melihatku menenteng kanvas bertaburan butiran debu.

“Tapi kondisi barang dalam keadaan tidak baru. Akan kujual setengah dari harga yang tertera. Itupun kalau Tuan bersedia.” jawabku sesopan dan seramah mungkin. Meskipun wajah ini kurasa gak mencerminkan keramahtamahan yang berasal dari hati.

“Aku ambil keduanya.” lanjutnya tegas.

Mataku berbinar mendengar kalimat yang terlontar. Entah kekuatan dari mana, secepat kilat, kumasukkan kedua barang pesanan si lelaki tersebut ke dalam plastik sedang berwarna putih gading.

“Ini barang milik Tuan.” ujarku melakukan proses serah terima barang kepemilikan.

Si lelaki berwajah maskulin tersebut tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah dengan tangan kanan. Lalu dengan secepat kilat, mengambil barang belanjaan. Dan mulai beranjak menuju pintu keluar.

“Uang kembaliannya, Tuan!” teriakku spontan setelah melihatnya melangkah menjauhi meja.

“Ambil saja. Aku sedang terburu-buru.”

Pandangan mataku membuntuti si pria yang baru saja menjauh dari tokoku. Ia berjalan cepat menuju ke arah gerbang pangkal Gedung Nebula.

“Pantas saja. Rupanya ia salah satu penghuni kamar mewah di sana.”

Aku kembali ke habitat awal. Meja kasir sekaligus tempat kerja. Memasukkan lembar rupiah pertama ke dalam laci di bagian kanan.

“Semoga berjalan lancar untuk hari ini.”

harapku sambil memilih buku apa yang akan dibaca hari ini.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Cuaca panas menyengat dari luar sampai masuk menembus ke dalam toko. Aku kegerahan dengan keringat mengucur di dahi juga kening yang kering karena pelembab yang sudah terkikis.

Akhirnya kuputuskan untuk berjalan menuju ke halaman depan. Mencoba memperbarui penglihatan dengan menyaksikan sesuatu yang baru di luar ruangan.

Kendaraan bermotor sesekali berlalu-lalang. Beberapa orang nampak berjalan santai sambil menatap gawai. Ada juga seekor kucing jantan berwarna oren, sedang tertidur pulas di bawah pohon rindang yang tumbuh secara alami di seberang tempatku berdiri.

“Aaah. Mbak yang tinggal di gedung Supernova, ya?”

Aku terperanjat kaget mendengar suara tanpa rupa itu. Kuputar leher ke kiri dan ke kanan. Mencoba mendeteksi sumber bunyi berasal, meski kutahu, pasti si cewek kekanakan itu yang menyapa.

“Sebelah sini, Mbak.” lanjutnya lagi dari arah belakang.

Ia menaiki sepeda dengan membawa sekuntum bunga mawar di bagian depan. Mengenakan topi bundar yang menutupi wajah polosnya. Pakaiannya sejenis gamis panjang mekar di bagian bawah.

“Mbak penjaga toko buku ini?” Cewek kekanakan itu bertanya lagi sambil turun dari sepeda.

“Iya. Mau mampir dulu?” tawarku sekadar basa-basi saja.

“Gak usah! Aku juga kerja sebagai penjaga toko. Lokasinya persis di sebelah gedung Nebula. Kalau Mbak ada waktu senggang. Boleh kok lihat-lihat sebentar.” ujarnya dengan senyuman cerah. Mengalahkan teriknya matahari yang menyengat siang ini.

“Oh! Jenis toko apa kalau boleh tahu?”

“Toko bunga dan tanaman hias. Kami juga menawarkan jasa untuk menyusun atau mengirim buket bunga sesuai pesanan.”

Lirikan mataku beralih dari wajah si cewek menuju ke seikat bunga mawar merah yang tertumpuk rapi di keranjang yang terletak di depan stang sepeda.

“Apa itu pesanan pelangganmu juga?”

“I, iya. Itu untuk dirangkai dengan tanaman hias lain. A, anu, nama Mbak siapakah? Rasanya tadi pagi , baru aku saja yang menyebutkan nama.” sambung si cewek dengan senyuman yang tak pernah pupus dari wajahnya yang tembam.

“Namaku, Nara. Tapi, sebenarnya aku pun sudah tak ingat lagi dengan namamu yang diucapkan saat pertemuan kita tadi pagi.” tuturku dengan penuh kejujuran.

“Aaaih. Jahat sekali Mbak Nara. Akan kuulangi lagi, namaku Lila Shangrila. Kamarku di lantai 3 nomor 7.” gerutu cewek di hadapanku dengan wajah cemberutnya.

“Iya. Baiklah, baik. Senang berkenalan denganmu, Lila.”

Tanpa sengaja, aku melukiskan seulas senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya.

***

Senja di pelupuk barat telah nampak jelas terlihat. Kondisi jalanan juga berangsur sepi dari hilir mudik kendaraan. Aktivitas manusia pun sudah mulai mendekati kata tamat. Termasuk toko buku ini yang sebentar lagi akan ditutup. Agar besok bisa lanjut untuk dibuka kembali.

Aku bergegas mengelilingi ruangan. Mengecek setiap rak buku sambil mematikan stop kontak agar listrik tidak mengalir sepanjang malam. Hari ini, hanya ada 1 pengunjung sekaligus pelanggan yang membeli barang. Si cowok maskulin berkulit langsat. Sisanya, aku hanya membunuh waktu dengan membaca dan menulis naskah novel. Beberapa kali, sempat juga mengecek gawai dan melihat beberapa potongan video viral melalui aplikasi TikTok.

“Yaah. Setidaknya aku masih hidup dan bernafas sampai hari ini.” bisikku kepada diri sendiri.

Pintu toko kemudian kukunci dengan sangat rapat. Dan meteran listrik diturunkan secara total. Tiba-tiba, terasa getaran yang mengalir dari dalam tas selempang. Gawai milikku menerima notifikasi dari pihak penerbitan. Sebuah chat yang berasal dari editor sekaligus wanita yang terus memaksaku untuk menjadi penulis buku. Wanita yang menjerumuskanku ke dalam jurang dunia kepenulisan.

“Selamat ya, Nara! Novel pertamamu kembali dicetak ulang untuk kedua kalinya.” bunyi pesan yang masuk melalui aplikasi hijau.

Aku tersenyum lagi kali ini. Dengan tingkat kelebaran yang sama saat aku berhadapan dengan si cewek kekanakan itu tadi siang.

***

Related chapters

  • Rahasia Nara   Paragraf 04

    Paragraf 04Aku duduk di depan laptop yang tergeletak di atas meja. Meja itu diletakkan tepat di sebelah kiri meja dandan yang diatasnya berhamburan beberapa produk kecantikan ala kadarnya.Layar laptop menyala di tengah redupnya lampu kamar yang memang sengaja dibuat remang. Kesepuluh jari tangan menari di atas permukaan keyboard. Satu per satu huruf terketik. Kata demi kata termaktub. Di atas dokumen yang kelak akan dicetak oleh penerbit sebagai novel kedua. Tentu dengan cerita dan tema yang berbeda jauh dari yang pertama.Satu jam sudah otak diperas untuk meracik konflik menarik. Membentuk plot atau sekadar mengutak-atik kosakata serta bermain diksi.“Haaah… Ternyata tak semudah menjaga toko buku. Gak segampang itu rupanya.” keluhku di depan layar gawai sambil mencari nomor pribadi Kak Banua.Laptop ditutup dan dokumen disimpan meskipun baru 1 paragraf yang terlahir dari proses berpikir keras selama enam puluh menit. Mengalihkan fokus kepada kak Banua yang harus menerima kabar gemb

    Last Updated : 2024-10-31
  • Rahasia Nara   Paragraf 05

    Paragraf 05“Lebih baik yang ini saja, kaktus mini yang tak perlu disiram terlampau sering. Tanaman ini juga gak akan tumbuh melebihi pot yang ditempati. Ia juga tangguh di cuaca yang gersang dan kering.”Bibir mungil Lila bergerak menjelaskan tanaman yang kucari. Sebenarnya, tak ada niat untuk menambah pajangan di toko ataupun di kamar. Namun, mengingat minimnya kenalan orang di area ini, lebih baik kucoba menjalin hubungan akrab dengan yang mudah didekati. Dan pikiran ini langsung menuntunku untuk mengingat wajah Lila.“Aku beli 2 buah saja. Yang bentuknya seperti bola kasti itu.” pintaku kepada si cewek polos sambil menatap ke arah tanaman jenis lain.“Namanya kaktus Parodia. Ini sajakah, Mbak Nara? Tak ada tambahan?”Aku menggeleng diiringi senyuman tipis dari bibirku yang lumayan tebal.“Apa Lila sudah lama membuka toko ini?” tanyaku tanpa menatap matanya, lantaran sibuk merogoh dompet yang terselip di dalam tas selempang.“Baru jalan 3 bulan, Mbak Nara. Sebenarnya ingin pindah k

    Last Updated : 2024-10-31
  • Rahasia Nara   Paragraf 06

    Paragraf 06Kepulan asap terangkat dari pinggir penggorengan. Uap panas berputar mengitari dapur, tembus sampai ke kamar tidur yang hanya disekat oleh kain gorden berwarna hijau sage. Aku mulai berimprovisasi malam ini. Membuat makan malam sendiri berdasarkan resep yang ditemui via internet atau halaman Facebook. Lantaran mood yang tak kunjung membaik usai bertemu dengan dua lelaki paling kurang ajar seantero Gedung Nebula dan Supernova. Bahkan untuk melanjutkan naskah novel, diri ini rasanya sudah mau menyerah.Setelah minyak mendidih di dalam kuali, masukkan potongan kubis dan juga beberapa siung bawang merah beserta bawang putih. Tak lupa sedikit garam dan juga bumbu penyedap. Lalu, menyusul secentong nasi putih sisa sarapan tadi pagi. “Lihatlah, Ibu! Anakmu memasak sendiri malam ini.” tuturku dalam hati dengan ekspresi bangga yang tercermin dari wajah yang sudah mengkilap karena terkena uap dari minyak panas.Kompor gas lalu dimatikan. Berlanjut mengambil sebuah piring serta send

    Last Updated : 2024-11-01
  • Rahasia Nara   Paragraf 07

    Paragraf 07“Mbak Nara! Heeei! Tunggu dulu!”Sebuah teriakan khas dari suara yang baru-baru ini kukenal. Suara lucu dari pemilik yang juga memiliki karakteristik yang sama. Si cewek penjaga toko bunga, Lila. Aku berhenti melangkah lebih jauh. Dan mulai berdiri di pinggir jalan. Salahku juga karena memutuskan mengambil rute dengan berjalan kaki melalui sisi seberang, melewati gedung Nebula yang bertolak belakang keadaannya dengan gedung yang aku kamarnya kutempati sekarang, Gedung Supernova. “Ada apa, Lila?” tanyaku singkat saja di depan pekarangan toko bunga yang ia jaga.“Aku boleh minta nomor telepon dan akun Instagram milikmu?”“Ah. I, iya. Tentu saja.” jawabku agak sedikit kaget. Namun, tetap dilanjutkan dengan membuka kunci gawai untuk menunjukkan nomor telepon beserta alamat email milikku pada gadis lugu itu.“Nanti chat saja ke nomorku. Pasti akan kusimpan di dalam kontak penting.”“Tumben jam segini baru berangkat ke toko?” tutur Lila melirik arloji yang melingkari pergelanga

    Last Updated : 2024-11-02
  • Rahasia Nara   Paragraf 08

    Paragraf 08Laptop di atas meja kerja dengan khusyuk masih tertutup rapat. Niatku untuk fokus melanjutkan naskah yang tertunda pupus sudah. Seharusnya, kejadian tadi pagi mampu melecutkan motivasiku untuk mengetik novel terbaru. Tapi apa daya, aku justeru menatap berkas dari si lelaki yang meminjam novel hasil karyaku. Karena tadi aku hanya memperhatikan nama lengkapnya. Kali ini, dipelototi setiap baris tulisan tangannya. Persisi sama saat aku menyunting naskah pada novel perdanaku.“Oooh. Dia mencantumkan akun Instagram, email, dan juga nomor WhatsApp.” ujarku sambil menggapai gawai yang diletakkan terlalu ujung.Kedua ibu jari ini dengan cekatan mengetik nama Instagram yang bersangkutan. Yang ternyata dikunci dan hanya bisa dilihat jika pemilik menyetujui permintaan pertemanan. Namun, tiba-tiba pikiran ini merasakan sebuah kejanggalan.“Aneh. Kalau memang pelukis, harusnya ada sosial media di mana dia mempromosikan hasil karyanya. Apalagi dia tinggal di Gedung Nebula. Paling tidak,

    Last Updated : 2024-11-03
  • Rahasia Nara   Paragraf 09

    Paragraf 09“Maaf, ya! Tapi bunga ini sudah dipesan oleh orang lain. Bagaimana kalau pilih jenis lain saja. Yang jumlahnya sesuai dengan permintaan.” pinta Lila sambil melindungi 10 kuntum bunga mawar merah yang sudah dibungkus satu per satu dan siap untuk dikirim.Aku yang tak sengaja berjalan dan kebetulan lewat tepat di depan beranda toko itu, ikut tertarik dan tergelitik mendengar suara Lila yang sepertinya terganggu. Berjalan perlahan sambil pura-pura mengecek gawai. Tapi, ujung kedua sudut mata ini diam-diam mengawasi bagian dalam. Terdapat 2 pria yang memaksa Lila untuk menyerahkan kesepuluh bunga mawar itu. Namun, wajah kedua orang itu tak jelas terlihat. Karena membelakangi pintu depan, di mana aku sedang memperhatikan Lila. “Kami akan bayar 2 kali lipat!” seru salah satu dari kedua orang itu.“Ini bukan masalah uang! Ini soal kepercayaan pelanggan. Barang ini sudah dipesan 3 hari yang lalu! Dan uangnya sudah kuterima.” jawab Lila dengan suara bergetar seolah menahan amarah

    Last Updated : 2024-11-04
  • Rahasia Nara   Paragraf 10

    Paragraf 10Aku duduk di atas bangku yang ditawari Lila. Menjaga bagian depan agar tidak dimasuki oleh sembarang orang. Sementara cewek kekanakan itu masih sibuk di dalam ruangan lain. Yang letaknya paling belakang. Aku dengan gusarnya berkali-kali menengok jam dinding. Sudah masuk pukul 11 siang. Kusandarkan bahu ke belakang. Mengecek sosial media dan membaca beberapa buku melalui aplikasi perpustakaan daring. Lila kemudian keluar dari pintu arah belakang.“Mbak Nara serius gak mau membuka toko buku hari ini? Masih sempat walaupun cuma sebentar.” tanya Lila sambil membawa nampan berisi 2 gelas air mineral dingin.“Gak! Suasana hatiku sedang tidak bagus hari ini.” jawabku singkat.Rasa ingin kembali ke kamar. Apalagi aku belum terlalu jauh melangkah. Dan lagi, jarak antara toko bunga dengan gedung Supernova lumayan dekat.“Ah. Uang hasil pembelian bunga Krisan tadi, kita bagi dua saja.” tawar Lila dengan menyodorkan 2 lembar uang kertas seratus ribu dan selembar uang lima puluh ribu r

    Last Updated : 2024-11-05
  • Rahasia Nara   Paragraf 11

    Paragraf 11“Terima kasih banyak Mas Bakrie. Sudah mengantarkan cucian bersih punyaku. Lalu sistem pembayarannya bagaimana?” tanyaku di depan pintu kamar sambil meraih tote bag jumbo berisi baju dan celana yang dilipat ala kadarnya.“Transfer saja ke nomor rekening toko. Atau nanti malam kukirimkan saja ke WhatsApp pribadi Nara.” tawar Mas Bakrie yang sepertinya nampak sangat kelelahan.Aku mengiyakan dengan sebuah anggukan kepala. Kemudian membiarkan Mas Bakrie kembali ke kamarnya sendiri. Sementara aku di dalam kamar. Sibuk dengan tumpukan pakaian di atas ranjang yang sudah bersih dan wangi. Tinggal memilih, mana yang harus dilipat, mana yang butuh untuk disetrika. Drrrt. Drrrt. Tiba-tiba, gawai yang diletakkan di atas permukaan kasur bergetar. Sebuah pesan singkat masuk melalui aplikasi warna hijau. Melalui layar yang menyala, aku melihat sebuah pemberitahuan, kalau pesan itu berasal dari Kak Banua. Fokus langsung beralih. Dari pakaian yang sudah dilaundry berpindah ke gawai yang

    Last Updated : 2024-11-06

Latest chapter

  • Rahasia Nara   Paragraf 22

    Paragraf 22Aku merebah menahan nafas di atas kursi di balik meja. Setelah rombongan boyband VizCall itu beranjak menjauh dari toko. Kutarik udara dalam-dalam dari hidung lalu kemudian membuangnya perlahan dari rongga mulut. Berusaha mengembalikan kestabilan emosi setelah berhasil diaduk oleh aura intimasi yang sangat kuat dari tatapan mata milik Vikar Amar. Keringat sebesar butiran beras tiba-tiba menetes dari kening dan kedua pipiku. Kuseka wajah yang sudah lusuh ini dengan selembar tisu yang berasal dari dalam laci meja. Dan entah mengapa, tiba-tiba pikiranku langsung memerintah kedua tanganku untuk meraih gawai. Lalu menekan nomor Lila untuk melakukan panggilan video melalui aplikasi hijau.“Haaai… Halo Mbak Nara!” sapa Lila dengan cerianya dari balik layar gawai yang menyala bercahaya.“Halo, Lila. Temani aku beristirahat sebentar, ya?” pintaku yang wajahnya masih menyisakan guratan kelelahan.“Astaga, Mbak Nara! Kenapa mukamu kusut begitu? Apa boyband VizCall itu juga mengacak-a

  • Rahasia Nara   Paragraf 21

    Paragraf 21“Kalian bertiga bisa tidak cari tempat untuk syuting video klip di tempat lain?” tegurku pada ketiga anggota boyband VizCall yang sudah nangkring terlebih dahulu di depan pekarangan toko sedari pagi tadi. Sementara aku terburu-buru berangkat ke toko lantaran mendapatkan laporan dari Lila. Jika toko gadis itu sebelum ini juga disalahgunakan untuk pengambilan beberapa adegan dalam video klip mereka.“Cepatlah periksa toko bukumu, Mbak Nara! Para anggota Boyband VizCall itu baru saja selesai mengobrak-abrik bagian dalam toko. Dan menurut si Vikas itu, mereka tengah mencari sejenis tempat estetik yang dipenuhi banyak buku. Lalu kedua anggotanya mengarahkan mobil menuju toko Mbak Nara!” celoteh Lila panjang lebar di penghujung speaker gawai. Sementara aku baru saja selesai membenahi pakaian dan celana yang kukenakan.Secepat kilat, aku menuruni tangga dan melangkah cepat menuju ke toko buku.Dan inilah pemandangan yang kudapati sebelum toko dibuka. Ketiga pria –yang menurut seb

  • Rahasia Nara   Paragraf 20

    Paragraf 20Kepalaku mengangguk sambil memejamkan mata. Dengan telinga yang berfokus pada setiap kata dari lirik lagu boyband ViCall yang berjudul “Samudera Luka”, kubayangkan skenario terburuk di dalam pikiran sendiri. Berkisah tentang seorang wanita yang ditinggal mati kekasih hatinya. “Hmm…. Hmm.. Naa… Hmm…” aku berdehem mengikuti melodi piano dan gitar yang menggiring lagu berdurasi 3 setengah menit tersebut.“Naraa! Tumben sekali mendengarkan lagu saat istirahat? Biasanya baca buku atau gak mengecek sosial media?” tanya Kak Apsa setengah berteriak. Suaranya menembus pertahanan headset yang menutupi lubang telinga.Aku membuka mata sambil melepaskan perangkat jemala sebelah kanan. Disusul sebuah senyuman tipis kemerahan lantaran menahan malu karena kepergok mendengar lagu romantis dari boyband yang paling kubenci saat ini.“Kak Apsa mau mengembalikan novel yang dipinjam?” sambutku yang melihat lengan kanannya tengah menggendong 2 buah novel yang berasal dari tokoku.“Iya. Sekalia

  • Rahasia Nara   Paragraf 19

    Paragraf 19 “Hah? Apa-apaan brosur-brosur yang menempel di setiap dinding di gedung ini?” tanyaku agak lantang lantaran merasa terganggu dengan beraneka ragam kertas edaran yang tersebar di depan bangsal gedung Supernova. Sementara, di gedung seberang, tiga orang anggota Boyband yang menghebohkan tempo hari sibuk menyebar ke 3 penjuru berbeda dari setiap sisi gedung Nebula. Membagikan secara sopan selebaran yang sama dengan yang ditempel di dinding gedung Supernova. “Oooh. Begitu ya? Maksudnya karena gedung ini rata-rata penghuninya kelas bawah, jadi cukup diperlakukan ala kadarnya?” keluhku namun dengan suara pelan. Agar gak terdengar oleh telinga orang lain. Meskipun, wajah ini mungkin sudah menunjukkan ekspresi ketidaksukaan yang teramat sangat dalam kepada ketiga cowok kurang ajar itu. Dengan hati yang masih dongkol, kuputuskan mencabut selembar pamflet yang menempel erat di salah satu dinding pondasi bangunan. Mengabaikan 3 orang lelaki yang berada di gedung seberang. Yang masi

  • Rahasia Nara   Paragraf 18

    Paragraf 18Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan malam. Namun, aku belum juga memasak hidangan untuk disantap oleh perut yang sudah mulai separuh kosong. Adalah tumpukan pakaian dan celana kotor yang membuat jadwal makan malamku mundur setengah jam dari biasanya. Ditambah lagi, ada gaun biru navy yang dipinjamkan oleh Lila saat kami menghadiri pesta ulang tahun ibu kandung dari si kembar Nona Alice dan Elsie. Namun, gadis itu mengatakan kalau ia berniat memberikan gaun tersebut padaku.“Gaun ini untuk Mbak Nara saja. Gratis!” ucapnya meyakinkan kala itu saat kami tengah menyantap makanan pesta di meja bundar ketika pembawa acara selesai memperkenalkan ibu si kembar di atas panggung megah.“Apa? Enggak lah! Mana bisa begitu? Berapa uang yang harus dibayar?” sahutku dengan mulut yang masih mengunyah potongan kue yang diambil dari piring keramik yang berada tepat di tengah bundaran meja.“Aduh! Nanti saja membicarakan hal itu di sini.”“Berapa Lila? Sebutkan saja nominalnya. Ini

  • Rahasia Nara   Paragraf 17

    Paragraf 17“Bagaimana kalau aku bantu sebentar?” tawar suara pria dari arah belakang. Kala itu, aku sedang menghadap ke dinding sambil sibuk mengira-ngira di mana letak posisi yang pas untuk kutipan dan juga untuk beberapa potongan koran bekas yang kutemukan di gudang belakang. Leher dan kepala spontan berputar menghadap ke sumber suara. Rupanya, Mas Apsa tengah berdiri sambil memperhatikanku yang kebingungan.“Lho? Mas Apsa? Bukankah jadwal mengembalikan bukunya masih tersisa besok? Atau ingin menambah satu lagi bahan bacaan untuk di kamar?” sapaku dengan memutar badan secara penuh untuk menghadap ke arahnya.“Tidak. Hanya kebetulan lewat saja, lalu melihat Nara yang sepertinya butuh bantuan.” ujar pria yang terlihat lebih dewasa dari wajahnya itu.“Yaaah. Aku memang sedang mendekorasi ulang toko ini. Soalnya, dari luar kelihatan sangat gak menarik.”“Aku bantu, ya?”“Tidak merepotkan?”“Jangan kuatir. Aku baru saja menyelesaikan proyek lukisan untuk sebuah pameran di sebuah mall k

  • Rahasia Nara   Paragraf 16

    Paragraf 16Jam dinding sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tapi, tubuh ini tetap terkapar di atas kasur tanpa timbul keinginan untuk segera bangkit. Tenaga yang masih belum terisi penuh, kantung mata yang kian menghitam, tumit serta lutut yang pegalnya belum hilang, dan keluhan lain yang berkaitan dengan pesta semalam masih menjangkiti badan. Terbesit keinginan untuk tidak membuka toko lagi hari ini. Namun, dekorasi dan aksesoris yang tersimpan di dalam laci meja seolah berteriak memanggil. Berharap untuk segera ditempel dan dipajang pada bagian dinding depan toko buku. “Aaaaih. Toko itu gak mungkin membuka dan mempercantik dirinya sendiri.” ujarku dalam hati sambil memaksa tubuh untuk melakukan peregangan.Setelah 10 menit terduduk di atas kasur. Kuputuskan untuk mandi dan sarapan pagi. Berharap semangatku kembali dan hasrat untuk menghias toko terisi lagi.***Duuk! Aku tertabrak di tangga turun menuju ke lantai 2. Sempat goyah sesaat, namun kakiku refleks menahan agar badan tidak ol

  • Rahasia Nara   Paragraf 15

    Paragraf 15“Kita sudah seperti Cinderella saja.” celetukku tepat di pinggir trotoar dekat hotel.“Kenapa? Apa karena menggunakan gaun? Atau karena riasan kita?” tanya Lila yang ternyata masih menyimpan sedikit tenaga untuk sekadar tersenyum meladeni omonganku.“Lihatlah! Sudah pukul berapa ini? Dua belas malam! Akan sangat sulit menemukan sopir mobil yang mau mengantarkan kita pulang ke gedung.” ujarku masih berusaha mencari taksi yang bersedia menjemput kami di depan hotel.“Nah! Kalau berdasarkan dongeng. Berarti akan ada kereta dari buah labu yang bakalan menjemput kita di sini.” celoteh Lila yang baterainya masih tersisa sedikit. Sementara aku, sudah kepikiran untuk segera merebahkan badan di atas kasur kamar.“Ngawur! Orang misterius mana yang mau menjemput dua gadis asing yang berdiri di pinggir jalan begini?” gerutuku kesal lantaran aplikasi taksi online di gawai tak kunjung merespon.Brrm. Brrrm. Saat kami sedang bercanda tentang Cinderella dan kereta kencananya. Tiba-tiba te

  • Rahasia Nara   Paragraf 14

    Paragraf 14Sebuah kerumunan yang tidak biasa tersaji di depan gedung Supernova. Beberapa orang berpakaian mewah nan elegan berbaris sambil menatap ke arah jalan. Seolah sedang menunggu sesuatu yang teramat sangat penting kehadirannya. Aku dan Lila pun tampaknya akan melakukan hal yang dengan mereka. Berdiri tegak dengan penuh kecemasan sambil menatap jalan raya yang lenggang.“Mbak Nara. Jangan-jangan, mereka itu tamu undangan yang akan menghadiri pesta ultah nanti?” bisik Lila mendekatkan kedua bibirnya di hadapannya telinga kakanku.“Sepertinya. Tapi, mereka pasti sedang menanti jemputan pribadi. Berbeda sekali dengan kita.” balasku dengan memajukan wajah sambil menutup mulut dengan telapak tangan kiri.“Sama saja, Mbak Nara! Kita juga sedang menunggu. Tapi menunggu sopir taksi online.”Selang 5 menit, akhirnya sebuah mobil berkapasitas 4 orang tiba di depan beranda Gedung Nebula. Dengan langkah bak Cinderella, aku dan Lila mendekatkan diri ke arah depan. Berinteraksi dengan sopir

DMCA.com Protection Status