“Nama lengkap kamu Revalia Putri?”
Reva mengangguk kaku. Dia terlihat gugup ketika tatapan penuh mengintimidasi ditujukan padanya. Setibanya di Adinata Group, gadis itu langsung menghadap kepala bagian personalia.
“Nama saya Delina Maharani, kamu bisa memanggil saya Bu Lina.”
“Baik, Bu.”
Lina kembali membaca CV milik Reva. Dia bersedekap sambil memicingkan matanya. “Kamu menerima rekomendasi dari siapa?”
Reva tersenyum kaku. Dia teringat kembali tawaran pekerjaan yang diberikan oleh salah satu karyawan di Adinata Group.
*
“Reva, ada tamu!”
Reva mengernyitkan dahi setelah mendengar teriakan dari ibunya. Dia sedang menyirami tanaman yang ada di halaman kecil belakang rumah kontrakannya.
“Reva!”
“Iya, Ma!” Reva bergegas menyelesaikan kegiatannya karena kembali mendengar seruan dari dalam rumah. Sebelum masuk, Reva tidak lupa mencuci tangan terlebih dahulu.
“Mama?” Volume suara Reva mengecil ketika sampai di ruang tamu. Dia melihat seorang pria muda duduk berhadapan dengan ibunya, Yuni.
“Reva, duduk sini!” Yuni yang melihat kedatangan Reva langsung memintanya duduk di sampingnya. Perhatian Yuni kembali pada tamu pria yang baru saja datang ke rumah mereka.
Tak jauh berbeda dengan Yuni, Reva terus memperhatikan pria yang memakai setelan formal itu. Matanya mengerjap polos. “Maaf. Bapak siapa, ya?”
Yuni langsung menyikut lengan Reva yang dibalas gerutuan kecil oleh putrinya. Dia semakin gugup mendapati ekspresi serius di wajah pria itu.
“Maaf, kalau kedatangan saya ke sini mengganggu waktu kalian.”
Yuni buru-buru menggelengkan kepala. “Sama sekali tidak, Pak.”
Reva hendak bertanya tetapi Yuni lebih dulu melayangkan tatapan tajam untuknya. Memberi isyarat pada Reva agar diam. Interaksi pasangan ibu dan anak ini ternyata berhasil tertangkap oleh pria itu. Dia memasang senyuman ramah kepada Reva.
“Perkenalkan, nama saya Naufal. Kedatangan saya ke sini ingin menawarkan pekerjaan untuk Anda.”
Reva menunjuk wajahnya sendiri. “Pekerjaan untukku?!” Dia refleks berteriak karena terlalu kaget mendengar tawaran itu.
“Aduh!” Reva ingin protes pada Yuni karena mencubit pahanya. Namun, melihat ekspresi ibunya yang jauh lebih spektakuler—mulut menganga lebar—Reva langsung menundukkan kepala karena malu. “Ma, mulutnya ditutup. Nanti ada lalat masuk.”
Yuni buru-buru mengatupkan bibir dan tersenyum kikuk pada Naufal. Dia menoleh sebentar pada Reva yang memasang seringaian jahil.
“Maaf, pekerjaan apa yang Anda tawarkan untuk putri saya?” tanya Yuni penasaran.
Naufal bergumam sebentar, lalu menjawab, “Jika melihat latar pendidikan Reva yang lulusan SMA, dia bisa bekerja sebagai office girl di perusahaan kami.”
Alis Reva bertautan. “Tunggu sebentar. Dari mana Bapak tahu kalau saya hanya lulusan SMA?”
Naufal tersenyum tipis. Dia mengalihkan perhatiannya pada Yuni. Ekspresi wanita ini justru terlihat mencurigainya.
“Bu Yuni?”
Reva menoleh kaget. Dia berbisik pada Yuni. “Ma, apa kalian sudah saling mengenal? Bagaimana orang ini bisa tahu nama Mama?” tanyanya penuh selidik.
“Mama juga tidak tahu, Reva,” jawab Yuni dengan gelengan pelan.
Naufal tertawa kecil. Di matanya, interaksi Reva dan Yuni terlihat lucu. Terutama ekspresi mereka yang selalu berubah-ubah.
“Saya tahu nama Bu Yuni karena sebelumnya pernah mendatangi restoran tempat Anda bekerja.”
Reva langsung menunduk malu. Sepertinya Naufal mendengar pembicaraannya dengan Yuni.
“Pemilik restoran yang memberitahu semua informasi tentang kalian. Saya mendengar bahwa Anda sedang membutuhkan pekerjaan. Itulah sebabnya saya datang ke sini untuk menawarkan pekerjaan pada Anda,” jelas Naufal pada Reva. Gaya bicaranya yang begitu tenang membuat ekspresi Yuni perlahan mulai rileks. Hanya Reva yang masih terlihat ragu dengan Naufal.
“Boleh saya tahu nama perusahaan tempat Anda bekerja?” tanya Yuni lagi.
Bibir Naufal melengkung sempurna. “Adinata Group.” Dia menjawab singkat.
Mata Yuni melotot. “Apa? Adinata Group?!”
Reva nyaris terjungkal karena terkejut mendengar teriakan histeris Yuni.
“Mama, kenapa tiba-tiba berteriak?” protes Reva kesal. Dia mengusap-usap dada demi menetralisir debaran jantungnya yang sangat cepat.
Yuni tersenyum kikuk. “Maaf, Mama kaget setelah mendengar nama perusahaannya.”
Dahi Reva mengerut tajam. “Memangnya itu perusahaan di bidang apa, Ma?” tanyanya ingin tahu.
“Setahu Mama, Adinata Group sangat terkenal karena termasuk perusahaan properti ternama di negara kita,” jawab Yuni.
Ekspresi Reva semakin kebingungan.
“Bagaimana? Anda menerima tawaran pekerjaan ini?” Naufal tidak peduli sikapnya barusan menyela pembicaraan antara Yuni dan Reva. Dia hanya ingin membutuhkan jawaban Reva secepatnya.
Reva dan Yuni saling memandang. Terlihat jelas Yuni langsung menganggukan kepala—seolah memberi isyarat pada Reva untuk menerima tawaran pekerjaan tersebut meskipun hanya sebagai office girl.
Namun, keraguan masih terlihat di wajah Reva. Jika benar seperti yang dikatakan ibunya, untuk apa perusahaan sebesar itu menawari pekerjaan padanya? Bahkan sampai repot-repot menyuruh seseorang dari perusahaan datang ke rumahnya hanya untuk menawari Reva pekerjaan sebagai office girl.
“Maaf, saya belum bisa memutuskan sekarang. Ini terlalu mendadak.” Reva menggigit bibir bawahnya, lalu menatap Naufal. Dia terheran mendapati ekspresi wajah Naufal berubah tegang.
“Saya akan mempertimbangkannya,” jawab Reva kemudian. “Terima kasih karena sudah datang untuk menawarkan pekerjaan pada saya, Pak Naufal.”
*
“Reva?”
“Iya!” Reva menyadari kesalahannya karena melamun di depan Lina. “Maaf, Bu.”
“Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Kamu mendapat rekomendasi dari siapa?” tanya Lina lagi.
“Pak Naufal.”
Lina berdecih. “Pantas saja dia meminta saya mengawasi kamu. Apa kamu memiliki hubungan spesial dengan CEO kami?”
“Maaf?” Reva terlalu kaget sekaligus bingung dengan rentetan kalimat yang dilontarkan Lina. Kesan pertama Reva terhadap kepala bagian personalia ini.
Perempuan yang cerewet dan suka berbicara asal.
“Lupakan!” Lina membalas tegas kemudian menghela napas pendek. “Saya akan menjelaskan apa saja yang harus kamu kerjakan sebagai office girl. Dengarkan baik-baik. Kalau perlu catat semua perkataan saya setelah ini.”
Reva mengangguk. Dia buru-buru mengeluarkan notes kecil yang sudah disiapkan dari saku celananya.
“Kamu harus tiba di kantor jam delapan tepat. Secara umum, tugasmu memenuhi segala kebutuhan di dalam kantor. Mulai dari membersihkan dan merapikan meja, kursi, komputer dan perlengkapan lain. Menyiapkan minuman untuk semua karyawan.”
Lina menatap Reva lagi.
“Untuk tugas lainnya, kamu bisa bertanya pada rekan sesama office girl maupun office boy. Supaya pekerjaan kalian tidak saling tumpang tindih. Kamu mengerti?”
“Saya mengerti, Bu,” jawab Reva dengan penuh semangat. Sekilas dia tidak sengaja menangkap seringaian tipis di bibir Lina.
“Tunggu sebentar.” Lina meraih gagang telepon di mejanya, lalu menekan salah satu nomor. “Suruh Tika datang ke sini.”
Kurang dari 10 menit, sosok gadis dengan seragam kerja office girl datang dan menghampiri keduanya.
“Anda memanggil saya, Bu?”
Lina mengangguk. “Dia karyawan baru yang akan menjadi rekanmu sebagai office girl. Kamu saya tugaskan untuk membimbing dan membantunya. Jika dia melakukan kesalahan, tegur saja. Jangan lupa laporkan pada saya bagaimana kinerjanya.”
“Baik, Bu Lina.”
Lina memperhatikan Reva sebentar lalu mengedikkan dagu ke arah Tika. “Kamu ikut Tika. Dia salah satu office girl yang sudah bekerja cukup lama di sini. Anggap dia sebagai senior kamu.”
Reva mengangguk patuh. Dia memandangi Lina dan Tika secara bergantian
“Kenapa kamu masih diam saja?! Cepat kerjakan tugasmu!”
“Baik, Bu!” seru Reva lantang karena terlalu kaget dengan teriakan Lina.
Tika mati-matian menahan tawa saat melihat raut kekesalan di wajah Lina. Sedangkan Reva langsung menutup mulut dengan wajahnya yang merah padam. Malu sekaligus bersalah karena dia baru saja berteriak pada atasannya.
“Ayo!” Tika mengajak Reva keluar meninggalkan ruangan Lina.
Reva bergegas mengikuti Tika sambil memanjatkan doa dan memberi semangat untuk dirinya sendiri. Reva berdoa semoga di hari pertamanya bekerja bisa berjalan lancar.
TO BE CONTINUED
Setelah mendapat arahan dari Tika, sekaligus berkenalan dengan rekan kerja lainnya, Reva melakukan tugas pertamanya sebagai office girl.Sambil membawa cangkir teh dengan nampan, Reva berjalan menuju lift. Dia memandangi sekeliling dan menyadari suasana kantor masih sepi. Belum banyak karyawan yang datang mengingat jam kantor baru dimulai pukul delapan. Mereka yang bekerja sebagai office boy maupun office girl harus datang lebih awal dari karyawan lainnya.Beberapa menit yang lalu, Tika memberikan tugas pertama kepada Reva yang sukses membuatnya tercengang. Belum apa-apa Reva sudah diminta mengantarkan minuman untuk pimpinan tertinggi perusahaan ini. Sebagai karyawan baru, sudah pasti Reva tidak bisa menutupi rasa gugupnya. Terlebih dia sendiri belum begitu mengenal perusahaan tempatnya bekerja ini, termasuk pimpinannya.Untung saja Tika bukan tipe karyawan yang mengutamakan senioritas. Dengan penuh kesabaran, dia memberikan pemahaman dan pengertian kepada Reva
Semua orang masih menunggu respon Azka. Mereka penasaran bagaimana reaksi Azka pada karyawan baru yang tidak mengenalinya.“Tentu saja.” Sudut bibir Azka terangkat. “Aku mengenal semua karyawan yang bekerja di perusahaanku.”Ada yang berbeda dari cara Azka menjawab. Sifat arogansi seorang pemimpin tetap ada, tetapi untuk pertama kalinya Azka tersenyum. Semua orang dibuat terkesima dengan senyuman Azka yang jarang mereka lihat selama berada di kantor.Darah Feby serasa mendidih melihat Azka begitu mudah tersenyum pada office girl.“Beliau ini CEO dari Adinata Group, Azka Rahardian Adinata.” Feby menatap tajam ke arah Reva. “Kamu seharusnya mengenali atasan kamu!”Mendengar perkataan Feby, mata Reva membelalak lebar. Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan.“Maafkan saya, Pak. Maafkan saya.” Reva membungkuk beberapa kali. “Saya sudah bersikap tidak sopan pada B
Lina mengalihkan perhatian pada karyawan yang lain. “Kalian boleh kembali bekerja. Jangan lupa untuk mengawasi dan mengajari junior kalian ini. Kesalahan sepele yang dilakukan salah satu karyawan bisa mencoreng semuanya. Mengerti?”“Mengerti, Bu!”Begitu Lina meninggalkan pantri, Tika dan karyawan lainnya menghela napas lega. Tak terkecuali Reva yang langsung terduduk lemas di kursinya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Tika sedikit khawatir ketika mendapati wajah Reva sedikit pucat.Reva mengangguk. Dia menerima segelas air minum yang diberikan karyawan lainnya.“Terima kasih,” ucap Reva tulus. Dia merasa bersyukur. Rekan kerjanya selain Tika tidak seperti yang dia bayangkan. Sebagai junior, dia mendapat sambutan yang cukup baik. Awalnya, mereka sedikit heran dengan bergabungnya Reva sebagai office girl yang baru. Namun, secara perlahan interaksi mereka mulai mencair. Mereka tidak lagi kaku seperti pagi t
“Pak ... Pak Azka?”Mata Reva membulat sempurna. Bibirnya bergetar saat memanggil sosok pria yang duduk di depannya. Yang menjadi pusat perhatian Reva adalah wajah Azka yang basah karena terkena semburan air minumnya.Tak ada respon yang keluar dari Azka. Dia masih mematung di tempat dengan mata berkedip-kedip. Sepertinya cukup kaget dengan hadiah air gratis yang baru saja diberikan Reva padanya.Sret!Reva berdiri dari kursi lalu berulang kali membungkukkan badan kepada Azka sambil merapalkan kata-kata maaf.“Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Reva penuh penyesalan. Dia menggigit bibir bawahnya karena tak mendapatkan tanggapan apapun dari Azka. Tanpa menengok ke belakang, tangan Reva menyambar kain yang ada di atas meja pantri, lalu berinisiatif mengusap wajah basah Azka dengan kain tersebut.“YA AMPUN!” Reva memekik histeris ketika menyadari kain yang dia ambil untuk mengusap wajah
Melihat wajah syok Reva, bibir Azka berkedut menahan tawa.“Tenang saja. Ini bukan hukuman yang berat.” Azka melangkah maju mendekati Reva. Gadis itu justru melangkah mundur sampai tubuhnya terhimpit pada meja dapur.Reva bisa merasakan hawa panas di sekitarnya saat wajah Azka sangat dekat dengan wajahnya.“Terserah waktunya kapan. Tapi—” Bibir Azka melengkung sempurna, “—aku ingin mencicipi bekal makan siang buatanmu.”“Maaf?”“Itu hukumanmu.” Azka terkekeh pelan melihat wajah kebingungan Reva. “Aku ingin kamu membuat bekal makan siang untukku.”Belum sempat Reva bertanya, Azka sudah berjalan ke arah pintu. Pria itu bersiap keluar meninggalkan pantri.“Tidak harus besok. Kamu bebas menyerahkan bekal makan siang itu kapan saja,” lanjut Azka sebelum menghilang dari balik pintu pantri.Reva masih berdiri mematung di tempatnya, dengan t
Feby tidak menjawab panggilan Naufal. Dia justru menggeram tertahan dan menatap kesal pada Azka yang begitu memperhatikan Reva. Pikiran Feby terlalu dipenuhi kemarahan terhadap Reva, sampai tidak menyadari Azka sudah berjalan menghampirinya.“Di mana sopan santun kamu, Feby?!”Feby terkesiap kaget mendengar bentakan Azka.“Kamu seharusnya mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk ke ruangan saya!”Tubuh Feby membeku. Dia terkejut melihat ekspresi marah Azka sedikit berbeda dari biasanya. Jauh lebih menyeramkan.“Sa-Saya minta maaf, Pak.”Azka berdecak kesal. “Minta maaf sama Reva. Kamu sudah membuat keningnya terluka.”“Apa?!” Nada bicara Feby meninggi. Dia tidak terima disuruh minta maaf pada Reva. Spontan saja, Feby melempar tatapan tajam menusuknya kepada Reva.Rupanya Reva menyadari tatapan mata Feby. Dia langsung menunduk ketakutan.“Pak Azka, ini salah
“Lina, kamu tidak penasaran?”Lina menoleh dan sedikit bingung dengan pertanyaan Naufal. “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”“Hubungan antara Pak Azka sama Reva. Asal kamu tahu, sebelumnya Pak Azka yang menyuruhku datang ke rumah Reva dan menawarkan pekerjaan sebagai office girl padanya,” ungkap Naufal. “Sejak saat itu, aku benar-benar penasaran dengan hubungan mereka.”Lina terkejut atas pengakuan Naufal. “Sejujurnya, aku juga penasaran. Tapi, aku tidak mau ikut campur. Itu urusan Pak Azka,” sahutnya. Lina terdiam sejenak, lalu tertawa.“Daripada memikirkan hubungan Pak Azka dan Reva, aku lebih penasaran bagaimana ekspresi Feby saat meminta maaf pada Reva.” Tawa Lina semakin keras. “Pasti lucu sekali.”Naufal tidak habis pikir interaksi Lina dan Feby seperti kucing dan anjing. Setiap kali bertemu pasti ada saja pertengkaran yang melibatkan mereka.
Terlalu larut dalam pekerjaannya, Azka tidak sadar bahwa sekarang sudah waktunya jam pulang kantor. Dia sempat melirik sekilas jam digital di atas meja, kemudian mematikan layar komputer. Azka berdiri sambil mengambil jas formalnya yang tersampir di kursi.Ketika Azka sedang memakai jas, pintu ruangannya terbuka.“Anda mau pulang sekarang, Pak?”Azka hanya menjawab dengan anggukan pelan. Melihat wajah lelahnya, Naufal enggan bertanya lebih lanjut. Dia langsung memberi jalan pada Azka dan mengikutinya dari belakang.Suasana kantor sudah mulai sepi. Hanya tersisa petugas keamanan yang masih berkeliling, juga beberapa karyawan yang terpaksa lembur karena pekerjaan mereka.TING!Tepat saat pintu lift terbuka, Azka dikejutkan dengan keberadaan Reva yang masih mengenakan seragam office girl. Gadis itu terlihat membawa nampan dengan beberapa cup mie instan di atasnya.Reva spontan membungkuk begitu melihat Azka d
Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed
Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar
“Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu
Keesokan paginya, Azka dan Aris terlihat sudah menikmati sarapan bersama. Reva tidak bergabung lantaran masih tidur. Azka sengaja tidak membangunkannya agar Reva bisa beristirahat secara maksimal demi pemulihan. “Kak Azka?” Perhatian Azka beralih pada Aris. Dia baru saja meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap ngeri pada menu sarapan sang adik yang melebihi porsinya. Azka geleng-geleng kepala melihat kegemaran Aris dalam urusan makanan. “Ada apa?” Azka fokus kembali pada iPad-nya. “Ini soal Kak Reva.” Aris melirik kamar Reva sejenak. Raut wajahnya tampak serius. “Apa kamu akan tetap mempekerjakan dia sebagai office girl?” Alis Azka bertautan. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Bukan apa-apa.” Aris tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir kejadian kemarin terulang dan kembali menimpa Kak Reva. Lebih baik dia berhenti bekerja di perusahaan, Kak.” Melihat ekspresi Aris, Azka tahu bahwa adiknya mengkhawatirkan keselamatan Reva.
“Kamu harus berhati-hati dengan Feby.”Peringatan yang dilontarkan Azka membuat Reva mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa, Mas?” tanyanya bingung sekaligus penasaran.“Demi kebaikan dan keselamatanmu,” jawab Azka. Dia mencoba memberi pemahaman tentang Feby. “Apa Feby mengatakan sesuatu ketika kalian bertemu?”Reva ragu apakah harus memberitahu Azka soal ancaman Feby. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tetap merahasiakannya.“Tidak, Mas.”Azka menaikkan sebelah alisnya. “Kamu yakin?”Reva mengangguk. Dia refleks menunduk sambil memainkan jemari tangan karena terus dipandangi Azka penuh selidik.Azka tahu bahwa Reva menyembunyikan sesuatu tentang Feby. Dia hanya bisa menunggu Reva menceritakannya sendiri dengan jujur padanya.Azka sadar, Feby memiliki perasaan khusus padanya. Namun, dia hanya menganggap Feby sebagai karyawannya, tidak lebih. Sayangnya
Azka sudah mengganti pakaiannya dengan setelan santai. Dia mengenakan kaos warna abu-abu berlengan panjang yang dengan bawahan celana panjang warna hitam.Untuk kesekian kali, Azka memasuki kamar Reva. Gadis itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Azka mulai frustrasi dan semakin mengkhawatirkan kondisinya.Dengan telaten, Azka mengganti kompres di kening Reva. Sesekali dia memeriksa suhu tubuhnya. Panas Reva berangsur turun meskipun tubuhnya masih terasa hangat.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dan membuat Azka terkesiap. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Wajah Azka tampak serius begitu membaca nama kontak Naufal di layar.“Halo?”“Maaf, Mas. Aku mengganggu waktumu sebentar.”Azka melirik Reva sekilas. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTVnya?”Azka tersenyum mendengar laporan yang disampaikan Naufal.“Bagus. Tolong kamu simp