Semua orang masih menunggu respon Azka. Mereka penasaran bagaimana reaksi Azka pada karyawan baru yang tidak mengenalinya.
“Tentu saja.” Sudut bibir Azka terangkat. “Aku mengenal semua karyawan yang bekerja di perusahaanku.”
Ada yang berbeda dari cara Azka menjawab. Sifat arogansi seorang pemimpin tetap ada, tetapi untuk pertama kalinya Azka tersenyum. Semua orang dibuat terkesima dengan senyuman Azka yang jarang mereka lihat selama berada di kantor.
Darah Feby serasa mendidih melihat Azka begitu mudah tersenyum pada office girl.
“Beliau ini CEO dari Adinata Group, Azka Rahardian Adinata.” Feby menatap tajam ke arah Reva. “Kamu seharusnya mengenali atasan kamu!”
Mendengar perkataan Feby, mata Reva membelalak lebar. Reva menyadari kesalahan yang baru saja dia lakukan.
“Maafkan saya, Pak. Maafkan saya.” Reva membungkuk beberapa kali. “Saya sudah bersikap tidak sopan pada Bapak.”
Feby tersenyum mengejek ke arah Reva. Namun, senyumannya seketika memudar begitu Azka hanya membalas Reva dengan tawa.
“Tidak apa-apa. Kamu baru bekerja di sini. Aku memakluminya.”
Semua orang saling memandang dengan penuh kebingungan. Tak terkecuali Feby.
Azka yang terkenal dingin dengan mudahnya tertawa lepas saat menanggapi karyawan baru. Apalagi karyawan baru itu hanya seorang office girl.
Reva mengerjapkan matanya beberapa kali. Cukup terkejut dengan respon yang diberikan Azka.
“Kamu boleh pergi,” titah Azka. “Aku harap kamu betah untuk bekerja di sini.”
Reva menatap sekeliling. Dia merasa ciut ketika semua orang memandanginya dengan tatapan mengintimidasi. Reva membungkuk sopan ke arah Azka sambil menyampaikan ucapan terima kasih, sebelum akhirnya sedikit berlari kembali ke pantri.
“Kalian mau naik atau tidak?”
Suara berat Azka membuyarkan lamunan semua orang. Tanpa mereka sadari, Azka sudah masuk ke dalam lift. Masih terkejut dengan pemandangan yang baru saja mereka lihat, tak ada satupun yang menjawab pertanyaan Azka. Termasuk Feby.
“Ya sudah jika tidak mau naik.” Tanpa b**a-basi, Azka menekan tombol sehingga pintu lift tertutup.
Feby terdiam di depan pintu lift. Pikirannya langsung berkelana ke mana-mana. Apalagi setelah mendengar bisikan-bisikan di sekitar yang kembali membahas tingkah aneh Azka terhadap karyawan baru tadi.
Tangan Feby mengepal kuat. Dengan langkah sedikit menghentak, dia pergi dari kerumunan orang-orang.
***
Naufal memandangi Azka dengan kerutan samar di dahi. Azka baru saja masuk ke ruangan. Ketika Naufal bermaksud meminta tandatangannya, dia justru mendapati Azka sedang tersenyum sendirian sambil memandangi dua lembar foto.
“Pak Azka?”
Berulan kali Naufal memanggil Azka, tetapi tak kunjung mendapatkan respon.
Tak punya pilihan lain, Naufal mengeluarkan dehaman pelan dan akhirnya berhasil mengalihkan perhatian pria berusia 27 tahun itu.
“Maaf, mengganggu waktu Anda, Pak,” kata Naufal sedikit menunduk.
“Tidak apa-apa.”
Naufal diam-diam mengamati gelagat Azka yang memasukkan dua lembar foto tadi ke dalam laci meja.
“Mana berkas yang harus saya tandatangani?”
Kali ini giliran Naufal yang tidak merespon.
“Naufal?”
Suara dingin dan menakutkan Azka membuat Naufal tersadar dari lamunannya. Dengan gugup, Naufal menyodorkan map kepada Azka.
“Masih ada lagi?”
Naufal menggeleng. “Sudah semua, Pak.” Dia siap berbalik, tetapi suara Azka selanjutnya membuat Naufal urung keluar dari ruangan.
“Jadi, Reva sudah mulai bekerja?”
Naufal tertegun melihat mata Azka berbinar terang. Ini sudah kesekian kali Naufal melihat antusiasme Azka saat mereka membicarakan Reva.
“Anda sudah bertemu dengannya?”
Azka mengangguk. “Kami berpapasan di lift. Dia tidak banyak berubah.”
Dahi Naufal berkerut.
“Dia masih saja bertingkah lucu.”
Lucu?
“Dan menggemaskan.”
Menggemaskan?
“Baiklah, kamu boleh keluar.”
Naufal mendengus dalam hati. ‘Sebenarnya ada hubungan apa antara Pak Azka dengan Reva?’
Dengan wajah sedikit tidak rela, Naufal membungkuk sopan lalu melangkah keluar meninggalkan ruangan Azka. Namun, dia teringat sesuatu dan kembali berbalik menghadap Azka.
“Silakan menikmati tehnya, Pak.”
Azka menautkan kedua alisnya, lalu melirik pada secangkir teh yang sudah tersaji di atas meja.
“Apa Reva yang mengantarnya ke sini?” tanya Azka dengan mata yang kembali berbinar terang dan sukses membuat Naufal tercengang.
“Iya, Pak. Reva yang mengantarnya.” Naufal mengambil jeda sejenak. “Itu adalah tugas pertama yang dia kerjakan hari ini.”
“Sungguh?” Senyuman lebar menghiasi wajah Azka. “Bagus sekali.”
Tanpa menunda lagi, Azka segera meminum teh yang dibawakan Reva. Naufal diam-diam kembali mengamati ekspresi wajah Azka yang tampak begitu senang. Padahal selama ini, ekspresi Azka terlihat biasa saja ketika meminum teh yang diantarkan office girl ataupun office boy lainnya.
Apa karena Reva yang mengantarkannya, sehingga teh tersebut terasa lebih spesial?
Naufal terlalu pusing untuk memikirkan masalah itu. Lebih baik dia menunggu sampai Azka sendiri yang menceritakan semuanya.
Sepeninggalan Naufal, Azka memutar kursinya yang kini menghadap ke arah jendela. Dia berdiri lalu berjalan mendekati jendela. Pandangan Azka tertuju pada jalanan di luar gedung yang terlihat ramai dilalui banyak kendaraan.
Bibir tipis itu melengkung sempurna. Bayangan wajah Reva saat mereka berpapasan di depan lift kembali melintas dalam kepala Azka.
“Kamu sama sekali tidak berubah.”
Tiba-tiba wajahnya berubah sendu. Di samping perasaan bahagia yang bercampur kerinduan, ada kesedihan yang terpendam dalam dirinya.
“Sayang sekali kamu tidak mengenaliku ... Reva ....”
***
Kepala tertunduk dengan kedua tangan saling bertaut. Reva tidak tahu lagi harus mengatakan apa ketika Lina tiba-tiba menyambangi pantri. Kepala bagian personalia itu menatap tajam kepada Reva yang kini tertunduk dengan tubuh sedikit gemetar di hadapannya.
“Kamu melakukan kesalahan pertama.”
Mata Reva menatap sekeliling. Beberapa rekannya menatap prihatin, termasuk Tika.
“Bagaimana bisa kamu tidak mengenali atasanmu, hah?!”
Setelah mendapat aduan dari Feby, Lina langsung mendatangi Reva. Sebenarnya dia tidak sepenuhnya marah kepada Reva. Kesan pertama melihat Reva, Lina sudah menilai bahwa dia adalah sosok gadis yang polos dan lugu.
Mendengar kesaksian orang-orang yang melihat kejadian di mana Reva begitu cuek saat berjalan melewati CEO perusahaan ini, cukup menjelaskan jika Reva tidak mengenal Azka sebelumnya. Dan kecurigaannya semula adalah sebuah kesalahan.
Lina sendiri sebenarnya sedang kesal pada Feby, karena perempuan itu dengan seenaknya mengeluarkan sumpah serapahnya kepada Lina, di hadapan beberapa bawahannya. Lina tidak terima dipermalukan begitu saja oleh perempuan yang sudah dicap sebagai musuh abadinya di kantor.
Tak ada yang tahu kenapa dua wanita hebat yang menjabat sebagai kepala di bagian perencanaan dan personalia itu tidak pernah akur.
“Saya benar-benar minta maaf, Bu.” Reva kembali membungkuk sambil mengutarakan permintaan maaf. Tulus dari hatinya yang terdalam.
“Ini peringatan pertama. Lain kali, jangan sampai kamu melakukan kesalahan sepele seperti ini lagi.”
“Iya, Bu. Saya janji tidak melakukan kesalahan lagi dan bekerja dengan baik,” kata Reva dengan penuh keyakinan.
Lina tersenyum. “Baik, saya pegang janji kamu.”
Reva bernapas lega. Dia bertekad akan memenuhi janjinya pada Lina untuk bekerja dengan baik. Reva tidak ingin merusak kesempatan yang sudah Lina berikan padanya.
TO BE CONTINUED
Lina mengalihkan perhatian pada karyawan yang lain. “Kalian boleh kembali bekerja. Jangan lupa untuk mengawasi dan mengajari junior kalian ini. Kesalahan sepele yang dilakukan salah satu karyawan bisa mencoreng semuanya. Mengerti?”“Mengerti, Bu!”Begitu Lina meninggalkan pantri, Tika dan karyawan lainnya menghela napas lega. Tak terkecuali Reva yang langsung terduduk lemas di kursinya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Tika sedikit khawatir ketika mendapati wajah Reva sedikit pucat.Reva mengangguk. Dia menerima segelas air minum yang diberikan karyawan lainnya.“Terima kasih,” ucap Reva tulus. Dia merasa bersyukur. Rekan kerjanya selain Tika tidak seperti yang dia bayangkan. Sebagai junior, dia mendapat sambutan yang cukup baik. Awalnya, mereka sedikit heran dengan bergabungnya Reva sebagai office girl yang baru. Namun, secara perlahan interaksi mereka mulai mencair. Mereka tidak lagi kaku seperti pagi t
“Pak ... Pak Azka?”Mata Reva membulat sempurna. Bibirnya bergetar saat memanggil sosok pria yang duduk di depannya. Yang menjadi pusat perhatian Reva adalah wajah Azka yang basah karena terkena semburan air minumnya.Tak ada respon yang keluar dari Azka. Dia masih mematung di tempat dengan mata berkedip-kedip. Sepertinya cukup kaget dengan hadiah air gratis yang baru saja diberikan Reva padanya.Sret!Reva berdiri dari kursi lalu berulang kali membungkukkan badan kepada Azka sambil merapalkan kata-kata maaf.“Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Reva penuh penyesalan. Dia menggigit bibir bawahnya karena tak mendapatkan tanggapan apapun dari Azka. Tanpa menengok ke belakang, tangan Reva menyambar kain yang ada di atas meja pantri, lalu berinisiatif mengusap wajah basah Azka dengan kain tersebut.“YA AMPUN!” Reva memekik histeris ketika menyadari kain yang dia ambil untuk mengusap wajah
Melihat wajah syok Reva, bibir Azka berkedut menahan tawa.“Tenang saja. Ini bukan hukuman yang berat.” Azka melangkah maju mendekati Reva. Gadis itu justru melangkah mundur sampai tubuhnya terhimpit pada meja dapur.Reva bisa merasakan hawa panas di sekitarnya saat wajah Azka sangat dekat dengan wajahnya.“Terserah waktunya kapan. Tapi—” Bibir Azka melengkung sempurna, “—aku ingin mencicipi bekal makan siang buatanmu.”“Maaf?”“Itu hukumanmu.” Azka terkekeh pelan melihat wajah kebingungan Reva. “Aku ingin kamu membuat bekal makan siang untukku.”Belum sempat Reva bertanya, Azka sudah berjalan ke arah pintu. Pria itu bersiap keluar meninggalkan pantri.“Tidak harus besok. Kamu bebas menyerahkan bekal makan siang itu kapan saja,” lanjut Azka sebelum menghilang dari balik pintu pantri.Reva masih berdiri mematung di tempatnya, dengan t
Feby tidak menjawab panggilan Naufal. Dia justru menggeram tertahan dan menatap kesal pada Azka yang begitu memperhatikan Reva. Pikiran Feby terlalu dipenuhi kemarahan terhadap Reva, sampai tidak menyadari Azka sudah berjalan menghampirinya.“Di mana sopan santun kamu, Feby?!”Feby terkesiap kaget mendengar bentakan Azka.“Kamu seharusnya mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk ke ruangan saya!”Tubuh Feby membeku. Dia terkejut melihat ekspresi marah Azka sedikit berbeda dari biasanya. Jauh lebih menyeramkan.“Sa-Saya minta maaf, Pak.”Azka berdecak kesal. “Minta maaf sama Reva. Kamu sudah membuat keningnya terluka.”“Apa?!” Nada bicara Feby meninggi. Dia tidak terima disuruh minta maaf pada Reva. Spontan saja, Feby melempar tatapan tajam menusuknya kepada Reva.Rupanya Reva menyadari tatapan mata Feby. Dia langsung menunduk ketakutan.“Pak Azka, ini salah
“Lina, kamu tidak penasaran?”Lina menoleh dan sedikit bingung dengan pertanyaan Naufal. “Maksud kamu apa? Aku tidak mengerti.”“Hubungan antara Pak Azka sama Reva. Asal kamu tahu, sebelumnya Pak Azka yang menyuruhku datang ke rumah Reva dan menawarkan pekerjaan sebagai office girl padanya,” ungkap Naufal. “Sejak saat itu, aku benar-benar penasaran dengan hubungan mereka.”Lina terkejut atas pengakuan Naufal. “Sejujurnya, aku juga penasaran. Tapi, aku tidak mau ikut campur. Itu urusan Pak Azka,” sahutnya. Lina terdiam sejenak, lalu tertawa.“Daripada memikirkan hubungan Pak Azka dan Reva, aku lebih penasaran bagaimana ekspresi Feby saat meminta maaf pada Reva.” Tawa Lina semakin keras. “Pasti lucu sekali.”Naufal tidak habis pikir interaksi Lina dan Feby seperti kucing dan anjing. Setiap kali bertemu pasti ada saja pertengkaran yang melibatkan mereka.
Terlalu larut dalam pekerjaannya, Azka tidak sadar bahwa sekarang sudah waktunya jam pulang kantor. Dia sempat melirik sekilas jam digital di atas meja, kemudian mematikan layar komputer. Azka berdiri sambil mengambil jas formalnya yang tersampir di kursi.Ketika Azka sedang memakai jas, pintu ruangannya terbuka.“Anda mau pulang sekarang, Pak?”Azka hanya menjawab dengan anggukan pelan. Melihat wajah lelahnya, Naufal enggan bertanya lebih lanjut. Dia langsung memberi jalan pada Azka dan mengikutinya dari belakang.Suasana kantor sudah mulai sepi. Hanya tersisa petugas keamanan yang masih berkeliling, juga beberapa karyawan yang terpaksa lembur karena pekerjaan mereka.TING!Tepat saat pintu lift terbuka, Azka dikejutkan dengan keberadaan Reva yang masih mengenakan seragam office girl. Gadis itu terlihat membawa nampan dengan beberapa cup mie instan di atasnya.Reva spontan membungkuk begitu melihat Azka d
Begitu Azka memberitahu Aris, dia sudah memperkirakan reaksi adiknya tersebut. Mata Aris membelalak, disusul mulutnya yang menganga lebar.“Kamu ... sudah menemukannya?” tanya Aris tak percaya.Azka mengangguk. “Sudah beberapa hari dia bekerja di perusahaan kita sebagai office girl,” lanjutnya.“Benarkah?” Aris berteriak kaget. “Kakak, kenapa kamu tidak memberitahu kalau sudah menemukan keberadaan Kak Reva?”Azka hanya menanggapi dengan cengiran khasnya.“Kamu curang, Kak! Aku juga sangat merindukan Kak Reva,” protes Aris kecewa.Menanggapi reaksi adiknya, Azka hanya tersenyum tipis. Sorot matanya perlahan berubah sendu. “Meski kamu bertemu dengannya, dia tidak akan mengenalimu.”“Apa maksudmu?” Aris bertanya karena tidak mengerti ucapan Azka.Kepala Azka tertunduk. “Dia ... tidak mengenaliku. Ris.”Dahi Aris mengernyit heran.
Seminggu berlalu sejak Reva bekerja di Adinata Group. Dia mulai menikmati pekerjaannya dan menyukai suasana kantor. Reva berhasil menghilangkan kecanggungan dengan karyawan lain seperti saat pertama kali bekerja. Dia juga mengakrabkan diri dengan rekan kerjanya, terutama Tika dan Sekar.Reva senang memiliki teman baru seperti Tika dan Sekar. Mereka selalu membantu dan membimbingnya saat bekerja. Sesekali mereka akan menggoda Reva soal Azka.Bicara soal Azka, Reva masih belum bisa menghilangkan kegugupannya tiap kali berhadapan dengan pria itu. Debaran jantung Reva semakin ke sini semakin kencang, bahkan saat dia hanya melihat Azka dari kejauhan.“Itu namanya cinta, Reva. Kamu pasti sudah jatuh cinta pada Pak Azka.”Ada kalanya Reva menyesal karena sudah menceritakan masalah itu kepada Tika dan Sekar. Mereka justru semakin bersemangat mendukungnya bersama Azka.“Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan. Pak Azka
Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed
Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar
“Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu
Keesokan paginya, Azka dan Aris terlihat sudah menikmati sarapan bersama. Reva tidak bergabung lantaran masih tidur. Azka sengaja tidak membangunkannya agar Reva bisa beristirahat secara maksimal demi pemulihan. “Kak Azka?” Perhatian Azka beralih pada Aris. Dia baru saja meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap ngeri pada menu sarapan sang adik yang melebihi porsinya. Azka geleng-geleng kepala melihat kegemaran Aris dalam urusan makanan. “Ada apa?” Azka fokus kembali pada iPad-nya. “Ini soal Kak Reva.” Aris melirik kamar Reva sejenak. Raut wajahnya tampak serius. “Apa kamu akan tetap mempekerjakan dia sebagai office girl?” Alis Azka bertautan. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Bukan apa-apa.” Aris tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir kejadian kemarin terulang dan kembali menimpa Kak Reva. Lebih baik dia berhenti bekerja di perusahaan, Kak.” Melihat ekspresi Aris, Azka tahu bahwa adiknya mengkhawatirkan keselamatan Reva.
“Kamu harus berhati-hati dengan Feby.”Peringatan yang dilontarkan Azka membuat Reva mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa, Mas?” tanyanya bingung sekaligus penasaran.“Demi kebaikan dan keselamatanmu,” jawab Azka. Dia mencoba memberi pemahaman tentang Feby. “Apa Feby mengatakan sesuatu ketika kalian bertemu?”Reva ragu apakah harus memberitahu Azka soal ancaman Feby. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tetap merahasiakannya.“Tidak, Mas.”Azka menaikkan sebelah alisnya. “Kamu yakin?”Reva mengangguk. Dia refleks menunduk sambil memainkan jemari tangan karena terus dipandangi Azka penuh selidik.Azka tahu bahwa Reva menyembunyikan sesuatu tentang Feby. Dia hanya bisa menunggu Reva menceritakannya sendiri dengan jujur padanya.Azka sadar, Feby memiliki perasaan khusus padanya. Namun, dia hanya menganggap Feby sebagai karyawannya, tidak lebih. Sayangnya
Azka sudah mengganti pakaiannya dengan setelan santai. Dia mengenakan kaos warna abu-abu berlengan panjang yang dengan bawahan celana panjang warna hitam.Untuk kesekian kali, Azka memasuki kamar Reva. Gadis itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Azka mulai frustrasi dan semakin mengkhawatirkan kondisinya.Dengan telaten, Azka mengganti kompres di kening Reva. Sesekali dia memeriksa suhu tubuhnya. Panas Reva berangsur turun meskipun tubuhnya masih terasa hangat.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dan membuat Azka terkesiap. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Wajah Azka tampak serius begitu membaca nama kontak Naufal di layar.“Halo?”“Maaf, Mas. Aku mengganggu waktumu sebentar.”Azka melirik Reva sekilas. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTVnya?”Azka tersenyum mendengar laporan yang disampaikan Naufal.“Bagus. Tolong kamu simp