Seminggu berlalu sejak Reva bekerja di Adinata Group. Dia mulai menikmati pekerjaannya dan menyukai suasana kantor. Reva berhasil menghilangkan kecanggungan dengan karyawan lain seperti saat pertama kali bekerja. Dia juga mengakrabkan diri dengan rekan kerjanya, terutama Tika dan Sekar.
Reva senang memiliki teman baru seperti Tika dan Sekar. Mereka selalu membantu dan membimbingnya saat bekerja. Sesekali mereka akan menggoda Reva soal Azka.
Bicara soal Azka, Reva masih belum bisa menghilangkan kegugupannya tiap kali berhadapan dengan pria itu. Debaran jantung Reva semakin ke sini semakin kencang, bahkan saat dia hanya melihat Azka dari kejauhan.
“Itu namanya cinta, Reva. Kamu pasti sudah jatuh cinta pada Pak Azka.”
Ada kalanya Reva menyesal karena sudah menceritakan masalah itu kepada Tika dan Sekar. Mereka justru semakin bersemangat mendukungnya bersama Azka.
“Aku tidak mengerti apa yang mereka pikirkan. Pak Azka
“Kamu bilang apa?!”“Lina memberitahu saya kalau dia menemukan Reva pingsan di toilet, Pak. Sekarang Reva sudah dibawa ke—”Dalam hitungan detik, Azka sudah melesat keluar meninggalkan ruangan.“—klinik kesehatan.”Naufal menghela napas melihat kepergian Azka. Meski dua kata terakhir tidak didengar, dia tahu Azka sudah pergi ke sana untuk melihat Reva. Pandangan Naufal beralih pada klien perusahaan mereka. Ekspresi pria itu terlihat kebingungan sekaligus penasaran.“Apa semua baik-baik saja?”Naufal mengangguk dan menatap klien mereka, Erick, dengan penuh rasa bersalah. “Saya minta maaf atas ketidaknyamanan Anda. Pak Azka mendadak ada keperluan mendesak.”“Tidak apa-apa. Kebetulan urusan saya dengan Pak Azka sudah selesai. Saat Anda datang, kami sedang mengobrol santai.”Melihat senyuman yang terukir di Erick, hati Naufal menjadi lebih tenang. D
Aris baru saja turun dari mobilnya dan berjalan memasuki rumah. Ketika sampai di ruang tamu, dia terheran melihat tiga orang pelayan secara bergantian keluar-masuk kamar sisi barat di lantai satu. Hal yang membuat Aris semakin penasaran adalah barang yang mereka bawa. Mulai dari baskom berisi air, handuk, hingga setelah piyama sutra warna merah untuk wanita.“Ada apa ini?” gumam Aris kebingungan.“Mas Aris?”Suara khas penuh kesopanan itu membuat Aris menoleh. Dia melihat Heri, kepala pengurus rumah, sudah berjalan menghampirinya. Langkah pria itu terlihat terburu-buru.“Maaf, saya tidak menyambut Mas Aris. Saya tidak tahu kalau Mas sudah pulang,” tutur Heri penuh penyesalan.“Tidak masalah.” Aris kembali memperhatikan pelayan yang memasuki kamar itu. “Semua orang sepertinya sedang sibuk sampai tidak menyadari kepulanganku.”Heri mengangguk lagi dan secara tidak langsung membenarkan
Azka sudah mengganti pakaiannya dengan setelan santai. Dia mengenakan kaos warna abu-abu berlengan panjang yang dengan bawahan celana panjang warna hitam.Untuk kesekian kali, Azka memasuki kamar Reva. Gadis itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Azka mulai frustrasi dan semakin mengkhawatirkan kondisinya.Dengan telaten, Azka mengganti kompres di kening Reva. Sesekali dia memeriksa suhu tubuhnya. Panas Reva berangsur turun meskipun tubuhnya masih terasa hangat.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dan membuat Azka terkesiap. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Wajah Azka tampak serius begitu membaca nama kontak Naufal di layar.“Halo?”“Maaf, Mas. Aku mengganggu waktumu sebentar.”Azka melirik Reva sekilas. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTVnya?”Azka tersenyum mendengar laporan yang disampaikan Naufal.“Bagus. Tolong kamu simp
“Kamu harus berhati-hati dengan Feby.”Peringatan yang dilontarkan Azka membuat Reva mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa, Mas?” tanyanya bingung sekaligus penasaran.“Demi kebaikan dan keselamatanmu,” jawab Azka. Dia mencoba memberi pemahaman tentang Feby. “Apa Feby mengatakan sesuatu ketika kalian bertemu?”Reva ragu apakah harus memberitahu Azka soal ancaman Feby. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tetap merahasiakannya.“Tidak, Mas.”Azka menaikkan sebelah alisnya. “Kamu yakin?”Reva mengangguk. Dia refleks menunduk sambil memainkan jemari tangan karena terus dipandangi Azka penuh selidik.Azka tahu bahwa Reva menyembunyikan sesuatu tentang Feby. Dia hanya bisa menunggu Reva menceritakannya sendiri dengan jujur padanya.Azka sadar, Feby memiliki perasaan khusus padanya. Namun, dia hanya menganggap Feby sebagai karyawannya, tidak lebih. Sayangnya
Keesokan paginya, Azka dan Aris terlihat sudah menikmati sarapan bersama. Reva tidak bergabung lantaran masih tidur. Azka sengaja tidak membangunkannya agar Reva bisa beristirahat secara maksimal demi pemulihan. “Kak Azka?” Perhatian Azka beralih pada Aris. Dia baru saja meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap ngeri pada menu sarapan sang adik yang melebihi porsinya. Azka geleng-geleng kepala melihat kegemaran Aris dalam urusan makanan. “Ada apa?” Azka fokus kembali pada iPad-nya. “Ini soal Kak Reva.” Aris melirik kamar Reva sejenak. Raut wajahnya tampak serius. “Apa kamu akan tetap mempekerjakan dia sebagai office girl?” Alis Azka bertautan. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Bukan apa-apa.” Aris tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir kejadian kemarin terulang dan kembali menimpa Kak Reva. Lebih baik dia berhenti bekerja di perusahaan, Kak.” Melihat ekspresi Aris, Azka tahu bahwa adiknya mengkhawatirkan keselamatan Reva.
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
Mata Reva perlahan terbuka setelah dia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepalanya. Dia memperhatikan sekeliling, menyadari suasana kamar dalam keadaan temaram. Untuk sesaat, Reva meringis begitu rasa sakit kembali datang. Tangannya refleks memegangi pelipis karena kepalanya berdenyut“Reva?”Suara familiar itu menyapa gendang telinga Reva. Dia menoleh. Matanya nyaris tak berkedip saat mendapati Yuni duduk di sampingnya. “Mama?”Raut wajah Yuni terlihat cemas. “Kepalamu masih sakit?”“Sedikit.” Reva terdiam sejenak, lalu menyadari keberadaan Yuni secara mengejutkan. “Kenapa Mama bisa di sini?”Yuni tersenyum tipis. Dia sudah menebak pertanyaan itu dan tidak langsung menjawabnya. Yuni justru memilih memijat lembut pelipis Reva terlebih dahulu.“Mama?” Reva semakin penasaran melihat sorot mata Yuni begitu tajam.“Mulai hari ini,” Yuni mengambil jed
Jeritan Reva dari kamar terdengar sampai kamar Azka. Dia bergegas keluar menuruni tangga menuju kamar Reva. Tanpa basa-basi, Azka membuka pintu kamar Reva dengan dorongan kasar.“Re—” Bibir Azka terkatup rapat seiring dengan matanya yang melotot. Bukan hanya pemandangan Reva yang masih memakai bathrobe, tetapi keberadaan Aris yang duduk di tepi tempat tidur. Darah Azka serasa mendidih melihat pandangan Aris terus tertuju pada penampilan Reva.“Akh!” Aris berteriak kesakitan begitu mendapat jeweran penuh kasih sayang dari Azka. “Kakak, sakit!”“Apa yang kamu lakukan di sini bocah tengik?!” semprot Azka tak melepaskan tangannya sedikit pun dari telinga Aris.“Aduh, aduh!” Aris memegangi tangan Azka. “Lepaskan tanganmu, Kak! Telingaku sakit!”“Sedang apa kamu di sini? Kamu mengintip Vava mandi, hah?!”Reva yang berdiri menghadap pintu kamar
“Pak, kita sudah sampai.”Suara dari sopir membuyarkan lamunan Azka. Dia mendekati kaca jendela mobil dan baru menyadari bahwa mobil sudah berhenti di halaman depan rumahnya. Azka melihat sopir keluar dan bergegas membukakan pintu untuknya.Kepulangan Azka disambut ramah oleh Heri. “Selamat datang, Pak.”Azka mengangguk. “Di mana Reva?”“Non Reva ada di taman belakang.” Heri terdiam sebentar sambil mengamati ekspresi wajah Azka. “Untuk makan siangnya mau disiapkan sekarang, Pak?”“Tidak usah. Aku sudah makan di luar.” Azka hendak melangkah ke taman belakang, tetapi berbalik kembali pada Heri dan menanyakan sesuatu. “Tadi saat jam makan siang, apa Reva menungguku?”“Iya, Pak.”Heri tersenyum tipis. Masih membekas dalam ingatannya wajah murung Reva ketika menikmati makan siang hanya bersama Aris. Candaan konyol yang dilempar Aris tetap tidak
Lina sedang mencuci tangannya pada wastafel yang tersedia di toilet. Beberapa menit kemudian, dia mendengar suara ketukan hak sepatu dari luar. Menyadari ada orang lain yang hendak masuk, Lina menoleh ke arah pintu. Ekspresinya berubah malas begitu melihat kemunculan Feby.Alis Feby bertautan setelah merasakan aura suram yang terpancar dari Lina. Namun, Feby memilih mengabaikannya dan berjalan memasuki salah satu bilik toilet. Dia enggan mengajak Lina bicara mengingat mereka adalah musuh bebuyutan di kantor. Mustahil untuk bertegur sapa di luar urusan pekerjaan.Setelah Feby memasuki salah satu bilik toilet, Lina kembali menoleh ke arah pintu. Kali ini, dia melihat Tika dan Sekar yang datang sambil membawa satu ember. Lina tersenyum menyeringai setelah memastikan isi ember tersebut.Air kotor sisa pel lantai.“Kalian siap?” tanya Lina dengan gerakan bibirnya yang tidak mengeluarkan suara. Kedua gadis itu mengangguk kompak.Lina memberi
"Terima kasih."Yuni tersenyum pada pelanggan yang baru saja menyelesaikan makan siang mereka. Setelahnya, dia bergegas membersihkan meja yang sebelumnya digunakan pelanggan itu. Sesaat, dia memperhatikan sekeliling. Suasana restoran tempatnya bekerja terbilang ramai mengingat sekarang adalah jam makan siang. Yuni yang notabene bekerja sebagai pelayan harus bergerak lebih gesit untuk pelanggan restoran.Kling!Lonceng berbunyi ketika pintu dibuka seseorang. Yuni yang hendak kembali ke dapur refleks berbalik dan berlari menghampiri pintu untuk menyapa pelanggan yang baru saja masuk ke restoran."Selamat datang!" Yuni membungkuk sopan sambil tersenyum ramah. Dia mendongak dan baru mengetahui bahwa pelanggan itu adalah seorang pria. Namun, setelah melihat dengan jelas wajah pria itu, senyuman seketika memudar.Tubuh Yuni membeku. Meski sudah lama tidak bertemu, dia masih bisa mengenali sosoknya. Yuni masih ingat pertemuan terakhir mereka saat
Pelayan sudah menyarankan Reva untuk beristirahat. Namun karena bosan, dia meyakinkan pada mereka bahwa kondisinya sudah baik dan ingin melihat-lihat suasana rumah Azka dan Aris.Rumah dengan gaya klasik khas Eropa itu memiliki halaman depan yang sangat luas, berhiaskan sejumlah tanaman yang membuat suasana rumah terasa asri. Pilar-pilar pada beberapa bagian rumah semakin memperkuat kesan megah dan klasik.Reva tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat menelusuri setiap sudut rumah Azka dan Aris, terutama pada halaman belakang rumah. Ada kolam renang berbentuk persegi panjang dan dikelilingi area rerumputan yang luas.Tangan Reva terentang ke atas saat angin sepoi-sepoi berembus hingga menerbangkan helaian rambutnya."Sejuk sekali!" Reva berseru gembira. Setelah puas menikmati suasana halaman belakang, dia kembali masuk ke rumah.Reva tersenyum canggung membalas sapaan beberapa pelayan yang berpapasan dengannya. Dia berhenti di dekat ruang tamu
Keesokan paginya, Azka dan Aris terlihat sudah menikmati sarapan bersama. Reva tidak bergabung lantaran masih tidur. Azka sengaja tidak membangunkannya agar Reva bisa beristirahat secara maksimal demi pemulihan. “Kak Azka?” Perhatian Azka beralih pada Aris. Dia baru saja meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap ngeri pada menu sarapan sang adik yang melebihi porsinya. Azka geleng-geleng kepala melihat kegemaran Aris dalam urusan makanan. “Ada apa?” Azka fokus kembali pada iPad-nya. “Ini soal Kak Reva.” Aris melirik kamar Reva sejenak. Raut wajahnya tampak serius. “Apa kamu akan tetap mempekerjakan dia sebagai office girl?” Alis Azka bertautan. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” “Bukan apa-apa.” Aris tersenyum tipis. “Aku hanya khawatir kejadian kemarin terulang dan kembali menimpa Kak Reva. Lebih baik dia berhenti bekerja di perusahaan, Kak.” Melihat ekspresi Aris, Azka tahu bahwa adiknya mengkhawatirkan keselamatan Reva.
“Kamu harus berhati-hati dengan Feby.”Peringatan yang dilontarkan Azka membuat Reva mengerutkan dahi. “Memangnya kenapa, Mas?” tanyanya bingung sekaligus penasaran.“Demi kebaikan dan keselamatanmu,” jawab Azka. Dia mencoba memberi pemahaman tentang Feby. “Apa Feby mengatakan sesuatu ketika kalian bertemu?”Reva ragu apakah harus memberitahu Azka soal ancaman Feby. Setelah lama berpikir, dia memutuskan untuk tetap merahasiakannya.“Tidak, Mas.”Azka menaikkan sebelah alisnya. “Kamu yakin?”Reva mengangguk. Dia refleks menunduk sambil memainkan jemari tangan karena terus dipandangi Azka penuh selidik.Azka tahu bahwa Reva menyembunyikan sesuatu tentang Feby. Dia hanya bisa menunggu Reva menceritakannya sendiri dengan jujur padanya.Azka sadar, Feby memiliki perasaan khusus padanya. Namun, dia hanya menganggap Feby sebagai karyawannya, tidak lebih. Sayangnya
Azka sudah mengganti pakaiannya dengan setelan santai. Dia mengenakan kaos warna abu-abu berlengan panjang yang dengan bawahan celana panjang warna hitam.Untuk kesekian kali, Azka memasuki kamar Reva. Gadis itu belum memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Azka mulai frustrasi dan semakin mengkhawatirkan kondisinya.Dengan telaten, Azka mengganti kompres di kening Reva. Sesekali dia memeriksa suhu tubuhnya. Panas Reva berangsur turun meskipun tubuhnya masih terasa hangat.Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dan membuat Azka terkesiap. Dia buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Wajah Azka tampak serius begitu membaca nama kontak Naufal di layar.“Halo?”“Maaf, Mas. Aku mengganggu waktumu sebentar.”Azka melirik Reva sekilas. “Tidak apa-apa. Kamu sudah berhasil mendapatkan rekaman CCTVnya?”Azka tersenyum mendengar laporan yang disampaikan Naufal.“Bagus. Tolong kamu simp