Foto Syakila yang ditemukan Arsyila di kamar Reyga benar-benar membuat Arsyila kalut.Pemikiran bahwa Reyga yang sebenarnya mencintai Syakila sungguh menganggunya. Kepala Arsyila kembali kacau.Perasaannya bercampur aduk dan sulit dipilah. Arsyila merasa sedih dan bingung secara bersamaan. Arsyila tau dirinya sedih mengetahui Reyga yang merupakan suaminya mencintai wanita lain, yang tak lain adalah Syakila. Tapi Arsyila juga merasa bingung dengan alasannya merasa demikian. Bukankah itu hal yang wajar jika Reyga memang mencintai kakaknya. Mereka berdua adalah pasangan yang seharusnya menikah hari itu. Dari awal, wanita yang dilamar oleh Reyga adalah Syakila. Bukankah sudah pasti jika Reyga mencintai wanita yang dia lamar? Arsyila tertawa miris. Bola matanya berkaca-kaca. Arsyila merasa sangat bodoh karena percaya begitu saja saat Reyga mengatakan alasannya menikah hanya demi ibunya, nyonya Sisilia. Sekarang Arsyila sadar jika apa yang dikatakan Reyga hari itu h
Arsyila dalam suasana hati yang baik. Tentu Arsyila tak akan lupa pada kenyataan yang pernah menamparnya dan melemparkannya ke lubang paling gelap. Arsyila pikir dirinya akan terus terpuruk dan tenggelam dalam stres yang berkepanjangan. Patah hati memang mengerikan. Setelah dua kali dipatahkan dan dihancurkan tanpa ampun. Siapa yang akan tahan? Hati Arsyila dipatahkan oleh Ayah yang dipercayainya. Kemudian masih dihacurkan lagi oleh cinta pertamanya. Arsyila pikir setelah itu semua hatinya bakalan mati rasa untuk waktu yang lama. Tapi siapa yang menyangka bahwa Tuhan masih berbaik hati padanya. Rasanya seperti kepingan hatinya kembali disusun saat dirinya jatuh cinta pada Reyga.Rasanya seperti air yang diguyur di atas tanah yang tandus. Begitu menyegarkan dan menghidupkan lagi perasaan-perasaan yang sempat lumpuh. Arsyila bersenandung lirih. Tenggelam pada euforia akibat hormon jatuh cinta yang meluap dalam dirinya. Anes tak bisa berhenti tersenyum melihat perubahan yang terjadi pad
Zhou, itu nama yang selalu Arsyila tunggu untuk muncul di layar ponselnya. Kini akhirnya nama itu muncul juga. Seandainya pria itu menelponnya lebih awal, mungkin Arsyila akan merasa senang. Tapi sekarang Arsyila tak merasakan apa-apa. Arsyila menatap layar ponselnya cukup lama. Merasa ragu untuk menelpon Zhou balik. Setelah penolakan Zhou hari itu, mereka sama sekali belum bicara. Jadi apa yang harus Arsyila katakan ketika menelponnya? Tangan Arsyila yang memegang ponsel mulai berkeringat. Gadis itu mulai gugup dan gelisah setelah memberanikan diri membuat panggilan.“Nyonya!”Arsyila menjatuhkan ponselnya tepat ketika suara Anes mengejutkannya. Arsyila cepat -cepat memungut ponselnya dan mengurungkan panggilannya. Gadis itu segera berbalik ketika Anes masuk melalui pintu kamar yang setengah terbuka. “Ada apa Anes?”“Maaf, Nyonya. Itu … tuan baru saja menelpon.” Arsyila mengerutkan keningnya, melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh mala
‘Damian Rowel’Itu adalah nama yang terukir di atas batu nisan. Hanya sekali membacanya, Arsyila langsung tau siapa pemilik makam yang dia datangi bersama Reyga sekarang.“Ini makam ayah.” Suara Reyga membuat Arsyila mengalihkan atensinya pada pria itu. “Maaf, harusnya aku membawamu kemari lebih awal,” lanjutnya dengan mata kelabu yang terlihat sendu. Arsyila mengikuti Reyga, berjongkok di samping makam ayah mertuanya.“Tidak. Terimakasih sudah membawaku ke makam paman—““Bukan paman. Panggil dia ayah,” tegas Reyga mengejutkan Arsyila. Reyga benar, bagaimanapun orang itu adalah ayah mertuanya. Buru-buru Arsyila meralat ucapannya. “Ayah.” Meski yang Arsyila hadapi hanyalah sebuah makam, tapi Arsyila merasa canggung saat memanggil ayah mertuanya. Rasanya seolah-orang beliau ada di depan Arsyila sekarang.“Sa-salam Ayah. Nama saya Arsyila. Saya adalah istri putra Anda, jadi saya sekarang adalah menantu Ayah. Saya harap Ayah merestu
Arsyila duduk dengan gelisah di kursinya. Setelah Arsyila memberitahu Reyga jika dia ingin bicara, pria itu segera membawa Arsyila keluar dan pergi ke tempat yang lebih tenang. Lalu disinilah dirinya sekarang. Ini adalah sebuah rumah makan bergaya kuno yang cukup sepi pengunjung. Mungkin karena ini belum masuk jam makan siang, makanya hanya sedikit orang yang datang ke sana. Reyga pergi untuk memesan makanan selagi Arsyila melihat-lihat sekitarnya. “Reyga,” panggil Arsyila begitu Reyga kembali ke tempat duduknya. Arsyila ingin cepat-cepat menceritakan semuanya pada Reyga. Tapi pria itu menahan Arsyila.“Tidak perlu terburu-buru. Kita makan dulu, ya?” Arsyila kembali menelan kata-katanya. Seorang pelayan yang membawa sebuah nampan besar berisi makanan membuat perut Arsyila seketika merasa lapar. Reyga benar. Arsyila rasa memang lebih baik mengisi tenaga lebih dulu sebelum mereka berbicara. Karena itu adalah pembicaraan yang panjang, jadi Arsyila pasti akan membutuhkan banyak tenaga.
“Besok, aku sendiri yang akan mengantarmu menemui pria itu.” Itulah keputusan akhir dari pembicaraan Arsyila dengan Reyga kemarin. Reyga memutuskan itu dengan tegas. Wajahnya yang biasanya tenang begitu dingin kemarin. Mata kelabunya juga memberikan tatapan tajam seolah tidak menerima penolakan. Semalam Arsyila sudah mengirim pesan pada Zhou. Arsyila mengajak Zhou bertemu di taman Belgum, tempat dimana terakhir kali mereka berpisah hari itu. Awalnya Arsyila sempat cemas jika Zhou mengabaikan pesan darinya. Tapi untungnya pria itu membalasnya. Meski butuh waktu satu jam untuk menunggu jawabannya. Itu pun hanya dua huruf, ‘Ya’. Tapi itu cukup membuat Arsyila puas. Yah, Zhou memang sedingin itu, pria itu sama sekali tak berubah. Arsyila kembali mengirim pesan pada Zhou saat dirinya sudah sampai di tempat mereka janjian. Dengan gugup Arsyila melirik ke arah Reyga. Setelah pembicaraan mereka kemarin, suasana diantara mereka jadi terasa begitu canggung. Perub
Arsyila menyesap minumannya perlahan. Saat ini dirinya berada di salah satu cafe yang tak jauh dari taman Belgum. Arsyila yang terlalu gugup hanya bisa mengeluarkan suara serak yang mirip seseorang yang tengah sekarat. Terdengar begitu menyedihkan, hingga siapapun tak tahan untuk mendengarnya. Itulah kenapa Zhou mengajak Arsyila ke cafe terdekat. Selain mencari minum untuk membasahi tenggorokan, tempat ini juga memberikan kenyamanan sehingga mereka bisa leluasa bicara.“Katakan saja, aku tidak akan memakanmu,” ucap Zhou terdengar begitu lelah menunggu Arsyila bicara. Tentu saja, itu karena sudah hampir lima belas menit mereka hanya duduk di sana tanpa satupun percakapan. Zhou bahkan sudah hampir menghabiskan satu gelas besar frapenya.“Aku minta maaf,” ucap Arsyila setelah berkali-kali menghela napas. Meski suasananya sudah tidak sekaku sebelumnya, tapi tetap saja Arsyila merasa masih sulit untuk bicara.“A-aku tidak berniat menyembunyikan hal ini darimu.”
“Syila, ada apa?” Zhou yang baru keluar terlihat terkejut mendengar teriakan Arsyila. Tangan pria itu menarik lengan Arsyila yang terlihat begitu terburu-buru. Gadis itu terlihat panik dan linglung.“Kakak. Kak Kila? Tadi …” racau Arsyila tak bisa dimengerti Zhou. Otak Arsyila kacau sesaat. Wanita barusan memiliki mata amber yang mirip dengan Syakila. Arsyila berteriak begitu saja tanpa berpikir apa-apa. Apa wanita tadi benar-benar Syakila.Tidak mungkin …Apa tadi hanya perasaan Arsyila saja. Ada banyak manusia yang memiliki warna mata yang hampir sama. Syakila bukan satu-satunya wanita yang memiliki mata amber. Jadi, itu tidak mungkin. Lagi pula Arsyila melihat sendiri pemakaman Syakila.“Syila!” Zhou setengah berteriak, mengguncang bahu Arsyila yang sedari tadi sulit diajak bicara. Arsyila tersentak. Mata coklatnya yang sebelumnya kosong kembali berwarna. Seperti baru saja kerasukan, Arsyila mencengkram kerah Zhou dan berteriak di depan pria i