Xander dan Clara, dua sosok muda yang sepakat dalam pertemuan eksklusif di Titania Auction dua minggu lalu di Pulau Para Dewa, kini duduk terguncang di dalam pesawat kargo yang berderak di udara.Malam sudah semakin larut, sekitar pukul delapan. Kegelapan di luar terasa pekat, hanya dipecah oleh kilatan samar cahaya lampu pesawat. Suara mesin bergetar konstan, mengisi kabin dengan deru yang menambah tekanan suasana.Wajah Clara terlihat tegang, bibirnya terkatup rapat, sementara Xander menatap lurus ke depan, namun sorot matanya terlihat waspada.“Apakah kamu takut?” suara Xander memecah keheningan, nada suaranya tenang.Clara yang sejak tadi tenggelam dalam diam, melirik ke arahnya, dan kemudian balik bertanya dengan nada sinis,“Apa aku terlihat takut? Bukankah aku yang melatihmu terbang?” Senyum mengejek muncul di bibirnya, meskipun sorot matanya tetap tajam. “Justru aku yang harus bertanya padamu. Apa kamu benar-benar akan melakukan aksi terjun payung ini?”Keraguan jelas tampak d
Dalam keadaan panik akibat parasut yang tidak mau terbuka—mungkin karena mekanismenya gagal berfungsi—Xander jatuh pingsan.Udara dingin yang menyapu tubuhnya, ditambah angin kencang yang menampar wajahnya, membuat kesadarannya lenyap dengan cepat.Sementara itu, jaraknya ke daratan semakin dekat, dan waktu semakin mendesak.Xander tidak ingat apa pun setelahnya. Semua gelap. Ia benar-benar tak sadar, tanpa mimpi atau ingatan apa pun tentang apa yang terjadi berikutnya.Ketika dia terbangun keesokan harinya, tubuhnya dalam keadaan sehat, tanpa luka sedikit pun. Fajar telah menyingsing, dan suara ayam hutan berkokok nyaring—begitu keras hingga menggema di telinganya, membangunkannya dari kegelapan.Cahaya matahari pagi langsung menyilaukan matanya, membuatnya tersentak. Ia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan sinar terang yang menyilaukan.“Di mana aku?” batinnya sambil melihat sekeliling. Ia tersadar sedang berbaring di atas kerikil kasar. Namun ada matras empuk yang men
Desa Pengasin masih berkabut meskipun jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kabut tebal menyelimuti, membuat suasana desa tampak misterius dan sunyi.Suara desau angin yang sesekali lewat di antara pepohonan, sepertinya setia menemani desa yang suram itu.“Kita berhenti di sini dulu, di Desa Pengasin ini,” ujar Clara. Ia menggeser kacamatanya dan memandang ke sekeliling.“Aku akan mencari penduduk lokal untuk jadi penunjuk jalan. Gunung ini penuh jebakan, dan tanpa pemandu, kita bisa celaka.”Land Cruiser perlahan berhenti di depan sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai warung kecil.Di dalamnya, hanya ada dua pria berpakaian lusuh, duduk sambil minum kopi hitam. Satu di antaranya tengah sarapan nasi dengan tempe goreng, tampak sangat sederhana, selaras dengan suasana desa yang terlihat tenang namun penuh misteri.Xander memperhatikan dari balik kaca mobil yang terbuka setengah. "Apakah kami sedang jadi tontonan di sini?" pikirnya.Rasa canggung mulai merayap di hatinya. Tatapan pen
Seperti rumah-rumah pedesaan pada umumnya, penginapan Nyonya Ciak tidak memiliki kamar mandi dan toilet yang tergabung dalam bangunan utama.Jika ingin buang air kecil, apalagi buang air besar, seseorang harus keluar dari rumah dan berjalan ke sisi samping, sekitar dua meter jauhnya, di mana terdapat kamar mandi dan toilet yang sederhana.Di dekatnya, sumur tua dengan pompa tangan berdiri sunyi, berderit sesekali tertiup angin malam.Tok-tok-tok.Ketukan di pintu kamar Xander terdengar tepat pukul 22.00."Siapa?" Xander bertanya pelan, suaranya serak oleh kantuk.“Ini aku… Clara.”Pintu kayu itu berderit saat Xander membukanya. Clara berdiri di depannya, wajahnya tampak pucat, gelisah menyelimuti sorot matanya yang biasanya tenang.“Ada apa, Nona Clara yang terhormat? Mengetuk pintu kamarku tengah malam begini?” tanya Xander sambil menyembunyikan senyum nakalnya. Tapi ia segera menyadari, Clara malam ini tidak seperti biasanya.Ada sesuatu yang membuat wanita tangguh itu goyah.“Sudah
Rupanya, itu adalah sekelompok orang yang sedang mengusung tandu. Kain panjang berwarna kelam menutupi tandu tersebut, dengan motif rumit yang tampak berasal dari masa lalu, membawa nuansa kuno yang menutupi atmosfer malam itu.Tangisan lirih yang terdengar di antara para pengiring semakin membuat suasana kian suram.Xander dan Clara berdiri terpaku di balik pagar perdu, membiarkan pemandangan aneh itu mengalir di depan mata mereka tanpa sepatah kata pun.“Semua orang di sana... mereka terlihat pucat, seperti orang yang sudah kehilangan harapan hidup,” batin Xander, matanya menyapu wajah-wajah lelah dan lunglai yang mengiringi tandu.Kebisuan menguasai malam itu, hanya diisi oleh suara langkah kaki yang memecah kerikil di jalanan, pelan tapi pasti. Prosesi terus bergerak, melewati rumah Nyonya Ciak, dan seiring waktu, cahaya obor pun perlahan menghilang, meninggalkan kesan misterius yang samar di balik kegelapan.Clara dan Xander masih terdiam, nyaris tak bernapas, hingga sesuatu yang
Pagi itu, ketika matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur, ketiga orang muda tersebut mulai bergerak. Dalam sekejab, rumah Nyonya Ciak terlihat mengecil, sementara Xander, Clara dan Shen terlihat bersemangat dengan misi pendakian mereka.Udara dingin pagi menyapu kulit mereka, membawa serta desiran angin yang menusuk, sementara tanah berbatu yang mereka lalui terasa keras di bawah kaki.Cakrawala terbentang jernih, memberikan pemandangan yang begitu tenang.“Semoga kita tidak bertemu kabut yang muncul tiba-tiba di tengah perjalanan,” kata Shen, memecah keheningan. Sebagai penunjuk jalan, Shen tampak paling siap, dengan ransel berat yang digendongnya, jauh lebih besar dibandingkan dua tamunya.Namun bukan berarti Clara dan Xander tidak membawa beban.Mereka masing-masing juga menenteng ransel di punggung, berisi barang-barang penting untuk perjalanan.Tapi hanya Xander yang tahu, bahwa dari ketiganya, dia adalah yang paling siap.Sistem yang ia miliki menyimpan segala yang ia but
Setelah melewati pendakian yang melelahkan dan medan berat yang penuh tantangan, mereka bertiga—Xander, Clara, dan Shen—sudah hampir mencapai titik tujuan yang tertulis di peta. Langkah-langkah mereka kini terasa lebih mantap meski tubuh mereka telah didera keletihan.Xander berjalan di belakang Clara, matanya memandang punggungnya sambil tersenyum tipis. Dalam hati, ia merasa lega.“Beruntung aku punya jam tangan pintar ini,” pikirnya dengan senyum penuh rahasia.“Hanya dengan sekali scan, alat canggih ini mampu menganalisis jalur terdekat dan paling efisien, membawa kami ke lokasi tanpa kesulitan berarti. Semua ini berkat teknologi satelit dan foto udara yang sangat akurat.” Xander hampir tertawa, tapi ia menahannya. Takut jika rahasianya terbongkar di hadapan Clara dan Shen.“Dalam benak mereka, aku mungkin dianggap seorang jenius yang seolah memahami area hanya dengan sekali pandang. Padahal, aku cuma mengandalkan teknologi canggih yang diberikan oleh sistem. Hahaha...” Xander men
Saat suara raungan helikopter menggema, debu dan rumput kering berterbangan dari sisi bukit. Xander, Clara, dan Shen saling berpandangan, masing-masing menyimpan rasa penasaran.“Apa itu?”“Ayo kita lihat!”“Aku penasaran!”Spontan, ketiga anak muda itu langsung bergerak. Kursi bongkar-pasang mereka terguling, meja dan peralatan kopi terbengkalai begitu saja. Mereka berlari dengan hati-hati menuju area helikopter, tanpa sempat membereskan apa pun.Untuk menjaga keamanan, mereka berlindung di balik batu terjal yang tinggi—tempat yang aman dari pandangan seorang pria yang sudah lebih dulu berada di bawah helikopter.Di antara kibasan angin kencang dari baling-baling, pria itu berdiri dengan kacamata hitam, berpakaian seperti tentara bayaran. Pandangannya tajam dan penuh kewaspadaan, sementara tangannya memegang senapan otomatis Browning M2 yang terlihat kokoh dan menakutkan.“Ada penjaga di bawah? Dan dia bahkan bersenjata api?” desis Shen, tak percaya. Ia selalu mengira Gunung Kunlun a