Dalam keadaan panik akibat parasut yang tidak mau terbuka—mungkin karena mekanismenya gagal berfungsi—Xander jatuh pingsan.Udara dingin yang menyapu tubuhnya, ditambah angin kencang yang menampar wajahnya, membuat kesadarannya lenyap dengan cepat.Sementara itu, jaraknya ke daratan semakin dekat, dan waktu semakin mendesak.Xander tidak ingat apa pun setelahnya. Semua gelap. Ia benar-benar tak sadar, tanpa mimpi atau ingatan apa pun tentang apa yang terjadi berikutnya.Ketika dia terbangun keesokan harinya, tubuhnya dalam keadaan sehat, tanpa luka sedikit pun. Fajar telah menyingsing, dan suara ayam hutan berkokok nyaring—begitu keras hingga menggema di telinganya, membangunkannya dari kegelapan.Cahaya matahari pagi langsung menyilaukan matanya, membuatnya tersentak. Ia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan sinar terang yang menyilaukan.“Di mana aku?” batinnya sambil melihat sekeliling. Ia tersadar sedang berbaring di atas kerikil kasar. Namun ada matras empuk yang men
Desa Pengasin masih berkabut meskipun jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Kabut tebal menyelimuti, membuat suasana desa tampak misterius dan sunyi.Suara desau angin yang sesekali lewat di antara pepohonan, sepertinya setia menemani desa yang suram itu.“Kita berhenti di sini dulu, di Desa Pengasin ini,” ujar Clara. Ia menggeser kacamatanya dan memandang ke sekeliling.“Aku akan mencari penduduk lokal untuk jadi penunjuk jalan. Gunung ini penuh jebakan, dan tanpa pemandu, kita bisa celaka.”Land Cruiser perlahan berhenti di depan sebuah rumah yang juga berfungsi sebagai warung kecil.Di dalamnya, hanya ada dua pria berpakaian lusuh, duduk sambil minum kopi hitam. Satu di antaranya tengah sarapan nasi dengan tempe goreng, tampak sangat sederhana, selaras dengan suasana desa yang terlihat tenang namun penuh misteri.Xander memperhatikan dari balik kaca mobil yang terbuka setengah. "Apakah kami sedang jadi tontonan di sini?" pikirnya.Rasa canggung mulai merayap di hatinya. Tatapan pen
Seperti rumah-rumah pedesaan pada umumnya, penginapan Nyonya Ciak tidak memiliki kamar mandi dan toilet yang tergabung dalam bangunan utama.Jika ingin buang air kecil, apalagi buang air besar, seseorang harus keluar dari rumah dan berjalan ke sisi samping, sekitar dua meter jauhnya, di mana terdapat kamar mandi dan toilet yang sederhana.Di dekatnya, sumur tua dengan pompa tangan berdiri sunyi, berderit sesekali tertiup angin malam.Tok-tok-tok.Ketukan di pintu kamar Xander terdengar tepat pukul 22.00."Siapa?" Xander bertanya pelan, suaranya serak oleh kantuk.“Ini aku… Clara.”Pintu kayu itu berderit saat Xander membukanya. Clara berdiri di depannya, wajahnya tampak pucat, gelisah menyelimuti sorot matanya yang biasanya tenang.“Ada apa, Nona Clara yang terhormat? Mengetuk pintu kamarku tengah malam begini?” tanya Xander sambil menyembunyikan senyum nakalnya. Tapi ia segera menyadari, Clara malam ini tidak seperti biasanya.Ada sesuatu yang membuat wanita tangguh itu goyah.“Sudah
Rupanya, itu adalah sekelompok orang yang sedang mengusung tandu. Kain panjang berwarna kelam menutupi tandu tersebut, dengan motif rumit yang tampak berasal dari masa lalu, membawa nuansa kuno yang menutupi atmosfer malam itu.Tangisan lirih yang terdengar di antara para pengiring semakin membuat suasana kian suram.Xander dan Clara berdiri terpaku di balik pagar perdu, membiarkan pemandangan aneh itu mengalir di depan mata mereka tanpa sepatah kata pun.“Semua orang di sana... mereka terlihat pucat, seperti orang yang sudah kehilangan harapan hidup,” batin Xander, matanya menyapu wajah-wajah lelah dan lunglai yang mengiringi tandu.Kebisuan menguasai malam itu, hanya diisi oleh suara langkah kaki yang memecah kerikil di jalanan, pelan tapi pasti. Prosesi terus bergerak, melewati rumah Nyonya Ciak, dan seiring waktu, cahaya obor pun perlahan menghilang, meninggalkan kesan misterius yang samar di balik kegelapan.Clara dan Xander masih terdiam, nyaris tak bernapas, hingga sesuatu yang
Pagi itu, ketika matahari belum sepenuhnya muncul di ufuk timur, ketiga orang muda tersebut mulai bergerak. Dalam sekejab, rumah Nyonya Ciak terlihat mengecil, sementara Xander, Clara dan Shen terlihat bersemangat dengan misi pendakian mereka.Udara dingin pagi menyapu kulit mereka, membawa serta desiran angin yang menusuk, sementara tanah berbatu yang mereka lalui terasa keras di bawah kaki.Cakrawala terbentang jernih, memberikan pemandangan yang begitu tenang.“Semoga kita tidak bertemu kabut yang muncul tiba-tiba di tengah perjalanan,” kata Shen, memecah keheningan. Sebagai penunjuk jalan, Shen tampak paling siap, dengan ransel berat yang digendongnya, jauh lebih besar dibandingkan dua tamunya.Namun bukan berarti Clara dan Xander tidak membawa beban.Mereka masing-masing juga menenteng ransel di punggung, berisi barang-barang penting untuk perjalanan.Tapi hanya Xander yang tahu, bahwa dari ketiganya, dia adalah yang paling siap.Sistem yang ia miliki menyimpan segala yang ia but
Setelah melewati pendakian yang melelahkan dan medan berat yang penuh tantangan, mereka bertiga—Xander, Clara, dan Shen—sudah hampir mencapai titik tujuan yang tertulis di peta. Langkah-langkah mereka kini terasa lebih mantap meski tubuh mereka telah didera keletihan.Xander berjalan di belakang Clara, matanya memandang punggungnya sambil tersenyum tipis. Dalam hati, ia merasa lega.“Beruntung aku punya jam tangan pintar ini,” pikirnya dengan senyum penuh rahasia.“Hanya dengan sekali scan, alat canggih ini mampu menganalisis jalur terdekat dan paling efisien, membawa kami ke lokasi tanpa kesulitan berarti. Semua ini berkat teknologi satelit dan foto udara yang sangat akurat.” Xander hampir tertawa, tapi ia menahannya. Takut jika rahasianya terbongkar di hadapan Clara dan Shen.“Dalam benak mereka, aku mungkin dianggap seorang jenius yang seolah memahami area hanya dengan sekali pandang. Padahal, aku cuma mengandalkan teknologi canggih yang diberikan oleh sistem. Hahaha...” Xander men
Saat suara raungan helikopter menggema, debu dan rumput kering berterbangan dari sisi bukit. Xander, Clara, dan Shen saling berpandangan, masing-masing menyimpan rasa penasaran.“Apa itu?”“Ayo kita lihat!”“Aku penasaran!”Spontan, ketiga anak muda itu langsung bergerak. Kursi bongkar-pasang mereka terguling, meja dan peralatan kopi terbengkalai begitu saja. Mereka berlari dengan hati-hati menuju area helikopter, tanpa sempat membereskan apa pun.Untuk menjaga keamanan, mereka berlindung di balik batu terjal yang tinggi—tempat yang aman dari pandangan seorang pria yang sudah lebih dulu berada di bawah helikopter.Di antara kibasan angin kencang dari baling-baling, pria itu berdiri dengan kacamata hitam, berpakaian seperti tentara bayaran. Pandangannya tajam dan penuh kewaspadaan, sementara tangannya memegang senapan otomatis Browning M2 yang terlihat kokoh dan menakutkan.“Ada penjaga di bawah? Dan dia bahkan bersenjata api?” desis Shen, tak percaya. Ia selalu mengira Gunung Kunlun a
Tak lama kemudian, kesibukan orang-orang berpakaian serba hitam, yang tampak seperti tim satuan khusus, menghilang dari datarandi lereng Gunung Kunlun.Bersepuluh mereka, bersama Nathan Wijaya—pria dengan setelan serba putih yang menjadi pusat perhatian — seketika lenyap dari pandangan, seolah ditelan bumi. Padahal, Xander tak pernah berkedip sedikitpun menonton aksi mereka.“Pasti ada rahasia, mereka menghilang seperti itu,” kata Xander pelan.ROAAR! Suara helikopter yang mengudara.Tak lama kemudian, suara deru helikopter perlahan memudar, menyisakan keheningan yang membingungkan.Kini, hanya suara desiran angin yang terdengar di lereng Gunung Kunlun, membawa hawa dingin yang menggigit. Tak ada jejak yang tersisa dari kedatangan dramatis mereka. Bagi ketiga anak muda itu, kejadian yang terjadi barusan, itu seperti sebuah ilusi belaka.“Kemana mereka pergi? Orang-orang tadi… hilang begitu saja?” Clara berbisik, suaranya mengandung rasa penasaran.Xander menoleh, mengawasi keadaan sek
Masalah di panti asuhan untuk sementara terlupakan.Pihak kontraktor tampaknya menghentikan aksi mereka meneror Ibu Mary dan anak-anak panti. Kehidupan di panti perlahan kembali normal, meskipun bangunan tua itu kini menjadi satu-satunya yang tersisa di area tersebut.Rumah-rumah lain di sekitar panti telah diratakan, menyisakan hamparan tanah kosong yang mulai tertata rapi. Pekerja kontraktor hanya sibuk membersihkan sisa-sisa puing dan limbah dari kekacauan sebelumnya.Proyek besar yang katanya membawa perubahan justru meninggalkan ketidakpastian bagi penghuni terakhir kawasan ini—anak-anak panti yang tidak punya tempat lain untuk berlindung.Xander baru saja akan kembali ke ibukota setelah menginap semalam di pegunungan.Tidak seperti kebanyakan orang yang datang dengan mobil mewah atau campervan besar, Xander memilih sesuatu yang berbeda: sebuah campervan mini yang dimotori sepeda listrik. Kendaraan unik ini adalah hasil rakitan khusus, lengkap dengan gerbong kecil di belakangnya
Sandy Setiawan memukul meja dengan keras. Dentuman kayu itu memenuhi ruangan, membuat dua petugas di hadapannya terkejut. Wajah Sandy memerah, sorot matanya menyala seperti bara api, siap membakar apa pun."Hanya untuk menggusur anak-anak kecil, seorang nenek tua, dan seorang gadis lemah, kalian gagal?!" bentaknya. Ia tidak percaya bahwa tugas sesederhana itu tidak bisa mereka selesaikan.Salah satu petugas, pria bertubuh kekar, berusaha menjawab meski suaranya terdengar gemetar. "Bos, ada seorang pemuda di sana. Dia menguasai ilmu bela diri, sepertinya seorang kultivator. Dia bahkan meninggalkan pesan untuk Anda."Sandy mengangkat alis, matanya menyipit. "Pesan apa?"Petugas itu menelan ludah. "Dia bilang namanya Xander dan yakin Anda tahu siapa dia."Ekspresi Sandy berubah drastis, wajahnya sekaku patung marmer. Napasnya tertahan, dan ruangan itu sunyi sementara kedua petugas saling pandang, bingung."Apakah Anda mengenalnya? Dia... orang dalam?" seorang petugas memberanikan diri be
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari