Ketika gadis customer service itu menerima Kartu Tabungan Ekonomi dari tangan Xander, ia memegangnya dengan telunjuk dan jempol, seolah-olah sedang menjinjing sampah yang menjijikkan.
Bahkan, jika Lidia, sang customer service, tidak terikat oleh SOP – Standar Operasional Prosedur Bank Central Halilintar, ia mungkin sudah membuang Kartu Tabungan Ekonomi Xander yang tampak lusuh dan terlipat-lipat itu.
"Sepertinya pemuda miskin ini selalu mengantongi buku tabungan ini ke mana pun ia pergi. Ia menganggap ini adalah harta karun yang tak boleh ditinggalkan. Aku jadi penasaran, seberapa banyak saldo di rekening ini, sampai-sampai ia membawanya ke mana-mana dan terlihat lusuh!" Lidia berpikir dengan jijik melihat buku yang acak-acakan itu.
Namun, mau tidak mau Lidia harus melakukan tugasnya, mencetak saldo di buku tabungan itu.
Ketika Lidia membuka lembar kedua, sekilas ia melirik dengan rasa ingin tahu yang mendalam pada isi rekening Xander. Namun, ia hampir pingsan, tak tega melihat bahwa saldo yang tercetak hanya Rp. 350.000.
"Cih... hanya sebesar Rp. 350.000 yang tersisa? Di zaman sekarang? Mau dipakai membeli apa? Bahkan untuk bedakku saja tak akan cukup!" Lidia melirik sinis pada Xander, sementara pemuda itu dengan gelisah memalingkan muka, takut kalau-kalau Lidia akan mencacinya lebih lagi jika menatap wajah gadis customer service itu.
Di sisi lain, Xander berdoa dalam hati saat melihat jari-jari Lidia, yang diwarnai kuteks merah menyala itu, saat memasukkan buku tabungannya ke dalam printer. Sesudah menyentuh buku tabungan Xander, Lidia meniup-niup kukunya dengan warna merah yang mencolok, warna yang sering diasosiasikan dengan pramuria.
Tampak jelas Lidia ogah-ogahan melakukan tugasnya, melayani Xander hanya karena pemuda ini terlihat tidak gaul, dan semua bahan yang ia kenakan dari kelas bawah, jika tidak ingin disebut KW atau palsu.
Di sisi Xander, pemuda ini berdoa dalam hati. "Semoga apa yang dikatakan itu benar adanya, bahwa ada saldo sebanyak satu quadriliun di rekening terkutuk ini. Semoga itu kenyataan," Xander berdoa dalam hati. Mengapa dahulu dia selalu memandang rendah buku tabungan itu, dan menyimpannya sembarangan. Akibatnya lusuh dan mendatangkan celaan pada hari ini.
Namun, semua penderitaan Xander tidak berhenti sampai di sana.
SRTT
Wajah Lidia berubah saat suara kresek terdengar keluar dari mesin printer.
"Apa yang terjadi? Mengapa mesin printer ini hang? Ataukah, saldo rekening ini sudah nihil?"
Lidia tak segan-segan berteriak keras-keras. Ia memang sengaja mempermalukan Xander yang terlihat malu-malu. Entah mengapa, melihat Xander yang lusuh dengan busana dari kain murah dan sepatu imitasi, ditambah Kartu Tabungan Xander yang lusuh itu tidak mau di-print oleh mesin, kebencian Lidia semakin mendalam. Padahal ia tidak kenal Xander. Mereka baru saja bertemu hari ini.
Dengan wajah tawar, Lidia berdiri dari kursinya dengan malas-malasan. Suaranya terdengar tidak bersahabat ketika menyebut nama Xander.
"Xander Sanjaya!"
Lidia berteriak keras, namun ia membuang muka ketika Xander mencoba menatapnya dengan tatapan ragu-ragu.
"Iya. Itu aku. Apakah ada masalah?" suara Xander terdengar gugup, takut impiannya semalam benar-benar hanya mimpi belaka. Uang sebanyak satu quadriliun itu hanyalah ilusinya semata.
"Rekening Anda sepertinya terkena blokir. Apakah kamu baru-baru ini melakukan tindakan ilegal atau kejahatan online seperti judi online? Tampaknya sistem memblokir rekening ini dan memberi peringatan bahwa ini rekening yang private!"
Wajah Lidia terlihat ketus, nadanya tinggi sehingga memancing keributan di sekitar.
"Sayang sekali. Masih muda, tapi mau kaya mendadak dengan terlibat judi online," kata seorang bapak-bapak yang tercengang menatap Xander. Sementara Xander buru-buru mengulurkan tangan, ingin mengambil buku tabungannya.
"Anak muda zaman sekarang sepertinya memang pemalas. Xander ini adalah contoh nyata. Ia ingin menjadi kaya, namun melakukan kecurangan," seorang perempuan tua berbisik pada gadis yang duduk di sampingnya. Mereka ikut menatap Xander dengan sorot mata penuh penghakiman, seolah-olah lebih kejam daripada tatapan malaikat maut.
Sebenarnya, tindakan Lidia ini sudah keterlaluan.
Bukannya mencari solusi untuk mencetak buku tabungan seorang nasabah, ia malah menyebar rumor tak jelas mengenai Xander, seolah-olah dia terlibat dalam kejahatan judi online karena bukunya tidak bisa dicetak.
Setelah berhasil menahan malu dan membawa pergi buku tabungannya, Xander keluar dari Banking Hall Bank Central Halilintar dan berdiri di ruang ATM yang berjejeran di sana. Ada lebih dari lima mesin ATM, termasuk mesin setoran dan mesin penarikan tunai.
Xander berdiri di dalam ruangan mesin ATM selama lebih dari sepuluh menit. Udara dingin di ruangan khusus ini setidaknya membantunya bernapas lega dan membuat kepalanya sedikit lebih ringan. Biaya untuk mengganti sepeda motor milik Dimas dari Gorilla’s Kafe harus segera diganti.
Dia baru saja menghabiskan uang sebanyak satu juta lima ratus ribu untuk membeli sepatu high heels merek Pedro, hanya untuk menyenangkan hati istrinya, Lucy Setiawan. Namun kenyataannya, dia justru diselingkuhi. Xander sungguh tidak percaya bahwa Lucy, yang demikian alim dan bahkan tak mau disentuh sejak pernikahan mereka, ternyata dengan tidak tahu malu menginap di rumah laki-laki lain. Yang lebih parah, Xander harus membawa kondom yang akan digunakan Lucy untuk berselingkuh dengan Kevin Ng.
Xander menikah dengan Lucy hanya karena tuntutan keluarga.
Dahulu, kakek Xander adalah seorang yang cukup terpandang. Kakeknya berteman dengan kakek Lucy, lalu menjodohkan Xander dengan Lucy ketika mereka berdua masih di dalam kandungan.
Xander sudah tahu kalau Lucy tidak mencintainya sejak malam pertama.
Lucy memilih untuk tidur di kamar lain dan tidak pernah mau melayani Xander karena menganggapnya bodoh dan berasal dari keluarga miskin. Memang, ketika dinikahkan dengan Lucy, keadaan Xander sudah dalam keadaan miskin. Kakeknya bangkrut, ayahnya meninggal, dan hanya dia yang tersisa setelah sang ibu menyusul kepergian orang-orang yang ia kasihi.
Xander termenung, bukan lagi memikirkan tindakan Lucy yang telah berkhianat darinya.
“Aku tidak akan bersedih untuk seorang yang tidak mencintaiku, tidak menganggapku eksis, dan terlebih lagi sudah berselingkuh di depan mata! Aku hanya bersedih memikirkan dari mana uang akan aku dapatkan untuk mengganti sepeda motor Dimas,” batinnya penuh kegalauan.
Ketika Xander makin larut dalam kegalauan, tiba-tiba sebuah suara menyapanya. Suara itu lembut, terdengar bernada keibuan.
“Permisi, dek. Aku lihat kamu sejak tadi termenung saja di dalam ruang ATM ini, namun tidak melakukan transaksi apa pun dengan mesin. Apakah kamu seorang pelanggan di bank ini? Dapatkah aku membantumu untuk memecahkan kesulitanmu?”
Perempuan itu berusia empat puluh tahun lebih. Tubuhnya tinggi, ia mengenakan kacamata, namun make-up yang menghiasi wajahnya tidak menor seperti yang dikenakan Lidia.
Ragu-ragu, Xander menunjukkan Buku Tabungan Ekonomi yang lusuh itu.
“Aku- aku...”
Xander ragu-ragu menjelaskan. Namun ketika wajah keibuan perempuan itu tersenyum, tanpa ragu-ragu ia bersuara.
“Sebenarnya aku ingin mencetak saldo tabunganku ini. Namun, entah mengapa, petugas mengatakan rekening ini diblokir, dan tidak bisa lagi melakukan transaksi apa pun.”
Suara Xander terdengar lemas, namun wajah perempuan itu berubah.
“Coba aku lihat buku tabungan itu!”
Tanpa menunggu jawaban Xander, dengan tergesa-gesa perempuan berwibawa itu mengambil buku tabungan Xander. Ia membukanya, dan matanya terbelalak. Wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut, mulutnya berteriak keras.
“Xander? Anda adalah Xander Sanjaya? Ayo ikut aku!” Wajah permpuan itu berubah pucat. Ia menarik tangan Xander, dan mereka tergesa-gesa memasuki lobi Bank Central Halilintar.
Bersambung
Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah ap
Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.“Perfect!”Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia y
Duduk di dalam mobil BMW Seri 5 yang masih berbau baru, Xander meresapi aroma jok kulit yang berpadu sempurna dengan dinginnya hembusan udara dari pendingin.Selama hampir satu jam perjalanan menuju Gorilla’s Kafe, tempat dia bekerja, dia tetap diam, membisu. Xander duduk kaku, seolah-olah setiap gerakannya bisa mencemari kemewahan jok mobil yang mengkilap ini.Di sebelahnya, Grace Song juga tak bersuara.Bukannya tak ingin menyapa, tapi Grace yakin diamnya Xander karena masih merasa marah akibat perbuatan tercela Lidia, yang merendahkan dirinya dengan menyebutnya hanya seorang penjudi online rendahan.Keheningan itu akhirnya pecah ketika mobil BMW Seri 5 yang dikendarai sopir pribadi Grace berhenti dengan halus.Xander menghela napas lega, bergegas berkata, “Ibu Grace, terima kasih atas kebaikan Anda, mengantarkan saya ke Gorilla’s Kafe.”Xander menunduk hormat, kemudian berjalan cepat menuju tempat kerjanya yang terlihat cukup ramai dari luar. Dia berusaha menyelinap, menyembunyikan
Jam menunjukkan pukul 20.00, dan Kafe Gorilla’s harus segera ditutup. Lampu-lampu neon di luar mulai meredup, meninggalkan suasana remang-remang yang sepi. Hanya bau kopi yang tersisa di udara, bercampur dengan aroma kayu dan kue yang sudah lama dipanggang.Ketika Xander baru saja selesai membersihkan meja barista, bersiap-siap untuk pulang, Dimas, manajer kafe, memanggilnya dengan suara yang berat dan serius.“Kita perlu bicara empat mata. Seharian sibuk dirimu melayani pelanggan, aku tak bisa mengganggumu sebelumnya,” kata Dimas, sambil menurunkan kursi dari meja dan meminta Xander juga mengambil salah satu kursi yang terbalik di atas meja. Suara gesekan kursi di lantai kayu menambah kesan berat dan serius.“Xander…” kata Dimas dengan nada yang misterius, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan.Xander meremas tangannya, membayangkan kalau dia akan dipecat dari jabatannya sebagai barista di kafe itu. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia sungguh
Siapa sangka urusan dengan Grace Song bisa begitu mudah?Penawaran yang dilontarkan Xander hanyalah spekulasi belaka, namun Grace Song tanpa ragu-ragu langsung menjawab."Aku bersedia bekerja untuk Anda, Tuan Xander. Besok setelah mengajukan surat pengunduran diri, aku akan mengunjungi Anda.""Ngomong-ngomong, di mana Anda tinggal? Biarkan aku mengantar Anda mala mini ..."BAM!Kata-kata Grace Song membuat Xander tersadar seketika. "Tak mungkin aku kembali ke rumah itu!"Setelah insiden memergoki Lucy Setiawan, istrinya, berselingkuh, Xander memutuskan untuk meninggalkan rumah mertuanya, tempat mereka hidup menumpang selama ini. Kenangan pahit itu masih jelas di benaknya, menggoreskan banyak luka yang belum sembuh.Melihat jejak keraguan di wajah Xander, Grace Song segera mengambil inisiatif."Baiklah... aku akan mengantar Anda menginap di Hotel Filantrofi, sebuah hotel bintang enam di jantung kota."+++Tak lama kemudian, mobil BMW G20 itu meluncur melewati jalan-jalan kota yang sibu
Terbiasa tidur dalam gelap, nyala sirkuit di layar sistem yang mirip monitor komputer itu membuat Xander terjaga. Cahaya biru yang terpancar menerangi ruangan yang sempit, memberikan kesan dingin dan asing."Apa yang terjadi?" kata Xander dengan mata mengantuk. Ia menguap lebar, mengucek matanya yang berat, dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan.“Sebuah layar komputer? Permainan apa lagi ini?” gumamnya dengan nada bingung.Namun Xander tidak sempat menggerutu lebih lama. Sebuah suara yang akrab di telinganya, suara yang pada malam misterius memberinya uang sebanyak satu kuadriliun, terdengar keluar dari siluet layar komputer.[Mungkin kamu lupa. Tapi izinkan aku untuk mengingatkanmu sekali lagi. Sistem Kekayaan ini bukan cuma-cuma. Kamu harus menyelesaikan quest harian. Paling lambat keesokan hari sebelum pukul 7 pagi!]Xander terkejut, suara itu menusuk telinganya, membawa kembali ingatan malam itu yang penuh teka-teki."Apa maksudmu? Sesungguhnya aku
Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan
Ketika briefing bersama Robbie Pangestu, orang kantor pusat bagian auditor selesai, suasana tegang mulai mereda.Setelah semua orang bersiap kembali ke posisi pekerjaan mereka untuk mempersiapkan Kafe Gorilla's menerima pelanggan, tiba-tiba suara dingin memecah keheningan, menghentikan langkah Xander."Xander Sanajaya!" suara Robbie Pangestu terdengar bergema di ruang meeting, ibarat perintah dari seorang Kaisar Ming yang agung. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan drama yang tak terduga ini."Aku belum selesai berbicara dengan Anda. Mengapa buru-buru hendak ke front office?" lanjut Robbie dengan nada penuh otoritas.Wajah Robbie Pangestu menunjukkan ketersinggungan yang mendalam. 'Bukankah Xander ini datang terlambat? Seharusnya ia meminta maaf dengan penyesalan di depanku sebagai Pegawai Kantor Psat? Bukan langsung ngeloyor pergi seolah-olah tak punya kesalahan!' pikir Robbie Pangestu dalam hati.Tadinya dia akan memberi sedikit kelonggaran pada Xander.Namun, melihat sikap pem
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.
Setelah kegagalan Setiawan Corporation dalam mendapatkan pinjaman dari Bank Central Halilintar, Nyonya Ouyang tidak tinggal diam. Ia segera mencari jalan lain untuk menyelamatkan perusahaannya yang mulai terancam, mengajukan permohonan pinjaman ke berbagai lembaga keuangan lain.Namun, seperti kata pepatah, "Jika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain yang terbuka." Sayangnya, pepatah itu tidak berlaku di dunia perbankan, terutama jika nasabah yang datang adalah Setiawan Corporation, yang reputasinya sudah ternoda.Begitu utusan Setiawan Corporation datang ke bank-bank untuk mempresentasikan rencana bisnis masa depan mereka, pintu-pintu bank tersebut langsung tertutup rapat.“Maaf, kami tidak berurusan dengan orang-orang kasar yang gemar berkelahi!” kata seorang pejabat bank dengan nada yang tak peduli.“Kalian sudah ditolak di Bank Central Halilintar dan malah datang ke sini? Kalian kira kami tidak tahu tentang kekacauan manajerial di perusahaan kalian?” tanya direktur bank lain s
“Halo, Tuan Simon Koh. Ada hal penting yang harus aku urus?” Suara penuh kekhawatiran itu terdengar dari seberang telepon. Pria paruh baya itu, dengan tangan gemetar, segera membuat panggilan.Luka di pipinya berdenyut, tetapi amarah yang membara di hatinya lebih menyakitkan daripada rasa sakit fisik itu.“Kamu datang ke sini sekarang! Ada seseorang yang berani menganiaya aku! Aku tunggu dalam lima menit!” Nada dingin suara Simon Koh tidak bisa menyembunyikan amarah yang meluap.Ia menyalakan speaker, memastikan semua orang di pelataran parkir Bank Central Halilintar mendengar percakapannya. Dalam pikirannya, dunia harus tahu bahwa ia, Simon Koh, bukan seseorang yang bisa dipermainkan begitu saja.“Kurang ajar! Siapa bajingan yang berani mengganggu Anda? Katakan lokasi Anda, dan saya akan segera meluncur bersama anak buah!” Suara di seberang membalas, keras dan penuh ketegangan.“Di pelataran parkir Bank Central Halilintar! Cepat datang!” Simon Koh berteriak lagi, nadanya meninggi, me