Share

Kesalahan Sang Customer Service.

Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.

Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.

Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.

“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.

“Perfect!”

Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.

Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia yang memiliki gelar S2 dalam bidang Ekonomi dan Bisnis.

Mengingat status pendidikannya yang tinggi, tentu saja Lidia memandang rendah dua kandidat lain—Intan dan Tamara. “Mereka bahkan bukan tamatan S1. Hanya Diploma Tiga semata, jadi jelas-jelas akulah yang akan diangkat menjadi supervisor, karena secara kualitas aku di atas dua gadis kampung itu,” pikirnya dengan cibir.

Lidia melangkah panjang-panjang, seolah-olah ia sedang berjalan di panggung runway seperti supermodel. Dalam hatinya, ia sangat bersuka cita, menyangka kalau panggilan menghadap atasan—Grace Song—adalah momentum berharga. Dia akan menerima Surat Keputusan sebagai Supervisor di Front Office.

Tuk-tak-tuk-tak.

Bunyi sepatu hak tingginya bergema, memaksa pegawai lainnya di lantai dua diam-diam memanjangkan leher, mencari tahu siapa yang datang dengan langkah sedemikian keras. Suara itu terdengar seperti sepatu yang solnya sudah aus, menyisakan paku yang membentur lantai bertegel. Ketika mereka menyadari itu adalah Lidia, mulut mereka mengerucut, pertanda tidak senang melihatnya.

Memang, sepatu high heels setinggi dua belas sentimeter yang Lidia kenakan itu terlalu berlebihan untuk seorang customer service. Namun, dengan tubuh ramping dan tinggi semampainya, Lidia tampak tiada cacat cela saat melenggang dengan sepatu hak tinggi, seperti biduan yang akan mengikuti konser dangdut.

Tok -tok – tok

Pintu diketuk, dan sekali lagi Lidia menatap bayangannya yang tercermin di pintu kantor Branch Manager. Dia tertegun melihat sosoknya yang lebih mirip seorang gadis model daripada seorang customer di sebuah bank, lalu mengeluh pelan.

“Ah... mengapa aku harus begitu cantik?” batin Lidia gemes pada dirinya sendiri.

Namun suara dari dalam kamar kerja Branch Manager terdengar keras.

“Silakan masuk.”

Dengan penuh percaya diri, Lidia langsung masuk, membungkuk sebagai sikap sopan santun. Lalu dia tersenyum semanis yang ia bisa setelah berlatih berulang kali di cermin di wc umum. Merasa masih kurang manis, Lidia berusaha mengecilkan bibirnya agar terkesan imut dan rendah hati di hadapan Grace Song—sang Branch Manager.

Buru-buru Lidia mendekat dan bersuara dengan lembut, namun suaranya terdengar seperti cicitan tikus.

“Ibu Grace, Anda memanggil Lidia? Ngomong-ngomong... apakah ini sehubungan dengan SK pengangkatan saya sebagai...”

Lidia baru saja akan menyebutkan pengangkatannya sebagai supervisor, namun tiba-tiba dia merasa ada kehadiran lain di ruangan Branch Manager selain dirinya. Dengan hati-hati, ia memutar kepalanya dan sorot matanya bertemu dengan pria yang baru dikenalnya belakangan ini.

Pria itu menundukkan kepala setelah tatapannya bertabrakan dengan mata Lidia.

“Kamu! Hei... apa maumu datang ke ruang pimpinan? Apakah kamu ingin melaporkan aku, padahal aku sudah melayanimu dengan pelayanan prima di meja customer service tadi? Kamu benar-benar jahat!”

Dada Lidia berdegup kencang, dia merasa ketakutan.

Laki-laki itu adalah Xander Sanjaya, yang baru saja ia perlakukan tidak adil di lantai satu. Lidia sangat khawatir jika Xander ini melaporkan bahwa dia bersikap kasar padanya, dan melanggar aturan dan SOP di banking hall.

“Ibu Lidia, sebaiknya Anda jangan percaya pada pria ini! Dia seorang penjudi online. Bahkan buku tabungannya sudah terblokir oleh pihak berwajib, sehingga tidak dapat melakukan transaksi apapun. Ayo panggil Satpam dan giring dia ke polisi!”

Lidia menjerit histeris, memukul Xander seolah dia seorang petarung ulung. Bahkan, dia tak segan menjambak rambut Xander dan berteriak keras.

“Tangkap penjudi online ini!”

“Satpam, di mana satpam!”

Lidia berubah menjadi setan, bergerak begitu cepat sehingga pewarna matanya terlihat gemuruh karena keringat yang mengalir, melakukan gerakan bela diri yang terinspirasi dari pelatihan Line Dance.

Namun… pipi Lidia tiba-tiba terasa panas.

PLAK!

Sebuah tamparan keras menghantam pipinya, membuatnya terkejut.

Ketika Lidia belum melepaskan cengkeraman rambut Xander, tangan Grace Song tanpa ampun langsung menjambak rambut Lidia, membuatnya berteriak kesakitan.

“Tolong, lepaskan aku, Ibu Grace. Mengapa Anda malah menyakitiku?” Lidia merintih seperti harimau terluka.

Saat dua Satpam Bank masuk dengan dingin, Grace Song memerintah.

“Ikat pelaku ini. Bawa dia ke gudang. Dia telah mempermalukan perusahaan dengan melukai Nasabah Super VVIP!”

Lidia, sang Customer Service, terdiam seketika, tidak lagi berteriak. Di dalam hatinya, ketakutan tiba-tiba melanda. “Xander, si miskin itu, mengapa dia disebut Nasabah Super VVIP? Apakah aku sudah membuat keputusan yang salah?”

Yang dimaskud dengan gudang, itu adalah tempat bagian umum yang oenuh dengan tumpukan barang. Barang promosi peruahaan, segala macam kertas, dan slip penarikan maupun penyetoran ada disana.

Gudang di Bank Central Halilintar tidak berpendingin udara. Hanya ada kipas angin seadanya, sehingga udara sangat panas dan pengap didalamnya.

Lidia tertatih-tatih mengangkat satu demi satu barang permintaan dari bagian dalam di bank. Dandanannya luntur seketika. Bahkan, ia tidakperlu repot-repot mengenakan sepatu berhak tinggi disana. Tak akan ada yang bakal mengagumi dirinya yang melenggang seolah-olah gadis model disana. Sesekali hanya tikus menjijikkan yang menemani Lidia pada masa jam kerja.

Kecantikannyamenjadi pudar dan ia tidaklagi menjadi pusat perhatian seperti ketika bertugas sebagai customer service.

+++

Di dalam ruangan berpendingin udara yang sejuk, Grace Song dengan hati-hati bertanya pada Xander.

“Maafkan kekasaran karyawan kami, Lidia. Dia sudah diamankan, dan tidak akan pernah lagi muncul di bagian depan bank kami.”

Melihat Xander masih terdiam, Grace Song semakin cemas.

Sebagai seorang nasabah yang memiliki saldo di rekening sebesar satu kuadriliun, pemuda sederhana ini bahkan bisa membeli sepuluh bank besar di negara Konoya ini. Apalah artinya sebuah bank seperti Bank Central Halilintar? Jika ia mau, dia dapat menyingkirkan semua orang yang sudah menyinggungnya hanya dengan sekali kedipan mata.

Tangan Grace Song gemetar. Namun beruntung, pemuda itu bersuara pelan, tak terdengar marah.

“Apakah bisa Anda memanggil taksi online? Aku harus kembali ke Kafe Gorilla’s dan melapor pada atasanku,” jawab Xander pelan.

Mata Grace Song terbelalak. “Sebuah permintaan yang sederhana, yang keluar dari pemilik Black Card Bank Central Halilintar. Mengapa bukan aku sendiri yang mengantarnya? Bukankah ini kesempatan meminta maaf, sekaligus berbuat baik pada Tuan Xander ini?”

Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di dalam sebuah mobil BMW Seri 5 yang mahal. Dia diantar langsung oleh Ibu Grace Song ke Kafe Gorilla’s tempat dia bekerja. Dalam hatinya, Xander bertanya-tanya, apa yang akan Dimas, sang manajer kafe, katakan saat ia melihat Xander turun dari sebuah mobil seharga hampir 2 miliar itu?

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Jimmy Chuu
haha sampe disini sis?
goodnovel comment avatar
Rai Seika
xixixixi xixixi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status