Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan
Ketika briefing bersama Robbie Pangestu, orang kantor pusat bagian auditor selesai, suasana tegang mulai mereda.Setelah semua orang bersiap kembali ke posisi pekerjaan mereka untuk mempersiapkan Kafe Gorilla's menerima pelanggan, tiba-tiba suara dingin memecah keheningan, menghentikan langkah Xander."Xander Sanajaya!" suara Robbie Pangestu terdengar bergema di ruang meeting, ibarat perintah dari seorang Kaisar Ming yang agung. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan drama yang tak terduga ini."Aku belum selesai berbicara dengan Anda. Mengapa buru-buru hendak ke front office?" lanjut Robbie dengan nada penuh otoritas.Wajah Robbie Pangestu menunjukkan ketersinggungan yang mendalam. 'Bukankah Xander ini datang terlambat? Seharusnya ia meminta maaf dengan penyesalan di depanku sebagai Pegawai Kantor Psat? Bukan langsung ngeloyor pergi seolah-olah tak punya kesalahan!' pikir Robbie Pangestu dalam hati.Tadinya dia akan memberi sedikit kelonggaran pada Xander.Namun, melihat sikap pem
Mendekati pukul 12.00, suasana di Gorilla’s Kafe semakin padat seiring dengan jam istirahat makan siang yang sudah mulai. Suara gemuruh pelanggan berbicara, bercampur dengan aroma kopi yang kuat memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan nyaman di dalam kafe tersebut.Xander sedang sibuk membuat dua gelas Americano pesanan pelanggan, ketika tiba-tiba seorang office boy menegurnya."Pak Xander... Anda diminta menghadap Pak Robbi Pangestu di ruangan meeting. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Penting katanya," ujarnya dengan nada serius.Xander mengerutkan kening, merasa terganggu."Katakan padanya, aku akan ke sana setelah menyelesaikan pesanan dua pelanggan ini," jawabnya tegas namun tetap tenang.Setelah menyelesaikan pesanan dengan cekatan, Xander menuju ruang pertemuan. Di sana, ia melihat Robbi Pangestu duduk dengan laptop dan setumpuk map serta kertas di hadapannya."Tok – tok – tok," suara ketukan pintu menggema di ruangan.Robbi tidak mendongak, juga tidak memalingkan waj
“Semua bermula dari Xander Sanjaya, pria miskin itu!” Robbie menunjuk sambil berdiri.Saat itu setelah mendengar keributan di rruang meeting, semua karyawan berkerumun disana.Robbie menyeret Xander lebih dekat dengan Grace Song. Suasana ruangan kantor yang dingin semakin terasa tegang dengan kehadiran Xander didepan Ibu Grace Song. Semua bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi pesakitan di hadapan Ibu Grace nanti?Saat ini, Xander hanya diam saja, ia kehabisan akal. Tak sanggup menjelaskan siapa dirinya sesungguhnya sekarang. “Lagipula, siapa yang akan percaya dengan ceritalu?” pikir Xander outus asa.Dia menyerahkan semua pada Grace Song yang akan menyelesaikan masalah kecil ini. Suara detak jam dinding terdengar jelas di telinganya, menambah tekanan pada setiap detik yang berlalu di ruangan meeting.Saat itu, Robbie Pangestu masih berusaha mendapat simpati Grace Song.“Ibu Grace Song... tolonglah. Anda harus percaya denganku. Xander inilah yang memulai semua keributan kecil ini!” D
Lorong Kancil adalah sebuah gang kecil di pusat kota, tersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit dan bangunan super mewah.Lorong Kancil seakan-akan menjadi rahasia kota, terselubung bayang-bayang beton yang menjulang tinggi. Di tengah gemerlapnya kota, gang ini seolah menghilang, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tahu persis keberadaannya.Di ujung gang ini berdiri sebuah rumah kumuh, meski fungsinya lebih dari sekadar tempat tinggal. Rumah ini adalah sarang perjudian ilegal. Pemiliknya, Hui Tanasal, atau lebih dikenal sebagai Bos Hui, juga berprofesi sebagai kepala preman yang disegani di kawasan ini.Siang itu, Rika Setiawan berjalan keluar dari Lorong Kancil dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak muram, dan rambutnya yang menipis dan ia coba samarkan dengan pengeritingan di salon murah milik Ci Yoan tampak berantakan.Rika berjalan dengan langkah gontai, menyusuri gang sempit itu.Matahari yang terik tak mampu menghangatkan hatinya yang beku oleh kekalahan. Rambutnya yan
Karena Xander baru-baru ini bercerita pada Grace Song bahwa dia baru saja bercerai, dan sejak lama ingin tinggal di apartemen sendiri, siang itu Grace Song mengajaknya untuk melihat-lihat unit apartemen.“Aku punya kenalan. Dia direktur di Pacific Residences, anak perusahaan Pacific Holding,” kata Grace Song saat mereka duduk di dalam mobil mewah yang melaju di tengah kota.“Jika Tuan Xander ingin hunian yang nyaman untuk sendirian, mengapa tidak memilih tempat di Pacific Residences itu? Mereka terkenal dengan fasilitas yang lengkap dan pemandangan kota yang menakjubkan,” tambah Grace, sambil menatap Xander dengan senyuman.Tinggal di apartemen adalah cita-cita Xander sejak lama, setelah memiliki cukup uang.Sayangnya, meskipun kini ia memiliki kekayaan yang melimpah, ia harus berpisah dengan Lucy. ‘Well, biar bagaimanapun, kesalahannya itu tak bisa dimaafkan!’ pikir Xander dengan rasa pahit.Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di ruang tunggu Kantor Pacific Residences. Grace Song m
“Tuan Paul Ombudsman... Aku Sandy Setiawan, anak sulung dari Keluarga Setiawan. Nenekku baru-baru ini mengatakan bahwa ia mengenal Anda dengan baik, dan merupakan pelanggan setia Pacific Holding. Aku datang ke sini untuk melihat-lihat satu apartemen tipe studio...”Sandy Setiawan berbicara dengan nada suara penuh keyakinan, bahkan sedikit sombong, sambil menatap Paul dengan tatapan penuh harap akan dikenali sang CEO.Dia memang terlalu percaya diri, memandang sekeliling ruangan seolah-olah ngin mengumumkan bahwa masuk dalam jajaran elit orang kaya kelas satu.Namun, dia lupa bahwa meskipun Keluarga Setiawan cukup kaya, mereka hanya masuk dalam lingkaran orang kaya kelas dua di Kota Jatavia ini. Mana mungkin Paul Ombudsman, seorang CEO anak perusahaan papan atas, mengenal keluarga Setiawan mereka?Suasana ruangan yang awalnya tegang pun semakin terasa canggung.Dengan acuh tak acuh, tanpa memandang tangan Sandy yang sudah terjulur untuk bersalaman, Paul Ombudsman mendekati Xander yang
Xander melangkah keluar dari lift eksekutif khusus untuk penghuni VVIP, diikuti oleh Grace Song, dan terakhir Paul Ombudsman. Langkah-langkah mereka menggema di koridor yang sepi dan berkilau dengan lantai marmer."Jadi Anda berniat mengambil unit tersebut, Tuan Xander?" Paul Ombudsman bertanya dengan nada penuh harap. Penjualan sebesar 40 miliar jelas akan menaikkan reputasinya, selain itu, ia akan menjalin hubungan baik dengan anak muda kaya ini."Aku akan mengambil unit tersebut. Tolong beritahu kapan aku bisa menempatinya, karena hari ini aku masih menginap di Hotel Fiantrofi," jawab Xander dengan suara tenang namun tegas.Mendengar kata-kata dari anak muda yang ia kira berasal dari keluarga kaya generasi kedua, namun tak ingin identitasnya diketahui, Paul Ombudsman merasa sangat gembira. Ia berkata, "Pembayaran Anda dapat dilakukan melalui transfer antar bank kapan saja. Aku tidak meragukan itu mengingat Ibu Grace Song adalah pelanggan tetap dari perusahaan kami."Namun, Paul ter