Karena Xander baru-baru ini bercerita pada Grace Song bahwa dia baru saja bercerai, dan sejak lama ingin tinggal di apartemen sendiri, siang itu Grace Song mengajaknya untuk melihat-lihat unit apartemen.“Aku punya kenalan. Dia direktur di Pacific Residences, anak perusahaan Pacific Holding,” kata Grace Song saat mereka duduk di dalam mobil mewah yang melaju di tengah kota.“Jika Tuan Xander ingin hunian yang nyaman untuk sendirian, mengapa tidak memilih tempat di Pacific Residences itu? Mereka terkenal dengan fasilitas yang lengkap dan pemandangan kota yang menakjubkan,” tambah Grace, sambil menatap Xander dengan senyuman.Tinggal di apartemen adalah cita-cita Xander sejak lama, setelah memiliki cukup uang.Sayangnya, meskipun kini ia memiliki kekayaan yang melimpah, ia harus berpisah dengan Lucy. ‘Well, biar bagaimanapun, kesalahannya itu tak bisa dimaafkan!’ pikir Xander dengan rasa pahit.Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di ruang tunggu Kantor Pacific Residences. Grace Song m
“Tuan Paul Ombudsman... Aku Sandy Setiawan, anak sulung dari Keluarga Setiawan. Nenekku baru-baru ini mengatakan bahwa ia mengenal Anda dengan baik, dan merupakan pelanggan setia Pacific Holding. Aku datang ke sini untuk melihat-lihat satu apartemen tipe studio...”Sandy Setiawan berbicara dengan nada suara penuh keyakinan, bahkan sedikit sombong, sambil menatap Paul dengan tatapan penuh harap akan dikenali sang CEO.Dia memang terlalu percaya diri, memandang sekeliling ruangan seolah-olah ngin mengumumkan bahwa masuk dalam jajaran elit orang kaya kelas satu.Namun, dia lupa bahwa meskipun Keluarga Setiawan cukup kaya, mereka hanya masuk dalam lingkaran orang kaya kelas dua di Kota Jatavia ini. Mana mungkin Paul Ombudsman, seorang CEO anak perusahaan papan atas, mengenal keluarga Setiawan mereka?Suasana ruangan yang awalnya tegang pun semakin terasa canggung.Dengan acuh tak acuh, tanpa memandang tangan Sandy yang sudah terjulur untuk bersalaman, Paul Ombudsman mendekati Xander yang
Xander melangkah keluar dari lift eksekutif khusus untuk penghuni VVIP, diikuti oleh Grace Song, dan terakhir Paul Ombudsman. Langkah-langkah mereka menggema di koridor yang sepi dan berkilau dengan lantai marmer."Jadi Anda berniat mengambil unit tersebut, Tuan Xander?" Paul Ombudsman bertanya dengan nada penuh harap. Penjualan sebesar 40 miliar jelas akan menaikkan reputasinya, selain itu, ia akan menjalin hubungan baik dengan anak muda kaya ini."Aku akan mengambil unit tersebut. Tolong beritahu kapan aku bisa menempatinya, karena hari ini aku masih menginap di Hotel Fiantrofi," jawab Xander dengan suara tenang namun tegas.Mendengar kata-kata dari anak muda yang ia kira berasal dari keluarga kaya generasi kedua, namun tak ingin identitasnya diketahui, Paul Ombudsman merasa sangat gembira. Ia berkata, "Pembayaran Anda dapat dilakukan melalui transfer antar bank kapan saja. Aku tidak meragukan itu mengingat Ibu Grace Song adalah pelanggan tetap dari perusahaan kami."Namun, Paul ter
Xander sedang berbaring di kamar suite Hotel Filantrofi, memandang langit-langit sambil merenung.Cahaya lampu kristal yang berkilauan menerangi ruangan dengan lembut, menciptakan bayangan yang bergerak pelan di dinding.Keahliannya dalam memahami seni lukis terasa sangat rendah jika dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga kaya atau generasi kedua yang sejak usia dini telah mempelajari lukisan indah karya pelukis kenamaan nasional atau dunia.Sambil merenung, suasana kamar yang mewah semakin membuatnya merasa kecil sebagai orang kaya baru."Bagaimana jika Sandy Setiawan datang memenuhi undangan dan membuat kekacauan serta mempermalukanku?" pikirnya dengan cemas.Pikiran ini menggelayut di hatinya, menambah beban yang sudah cukup berat ia pikul sebagai seorang kaya baru. Xander sangat ingin membalas dendam, namun untuk itu ia harus berubah, harus terlihat kaya, tidak lagi kampungan, dan mampu membalas setiap perlakuan penindasan yang dilakukan oleh keluarga Setiawan dengan cara yan
Karena masih sibuk, atau lebih tepatnya lagi karena memegang teguh prinsip berhemat ala orang miskin yang hidup pas-pasan, Xander belum melakukan upgrade atas busana-busana yang ia miliki. Ia lebih memilih menyimpan uangnya untuk kebutuhan yang lebih mendesak, meski kini hidupnya telah berubah drastis.Hari ini Xander sudah pindah ke apartemen VVIP di Pacific Residence, sebuah hunian berkelas tinggi yang hanya dapat dinikmati segelintir orang sangat kaya di Kota Jatavia. Apartemen ini begitu megah, terletak di lantai paling tinggi dari 20 lantai Pacific Residence.“Sungguh sebuah unit VVIP, yang dilengkapi dengan segala kemewahan yang hanya bisa diimpikan oleh kebanyakan orang,” teriak Xander keras-keras. Ia berlari-larian didalam appartemen yang luas, dan miliki dua lantai, berbentuk atriumPagi itu, waktu menunjukkan pukul 7 dan dia sedang menikmati pagi yang indah di teras apartemennya, dengan pemandangan yang mengarah ke keindahan Kota Metropolitan Jatavia. Gedung-gedung pencakar
Armani adalah desainer ternama dari luar negeri yang dikenal dengan karya-karya modisnya, terutama untuk kaum pria.Jaket-jaketnya dibuat dari bahan berkualitas tinggi dan ditenun dengan keahlian tangan terbaik. Setiap detailnya mencerminkan keanggunan dan kemewahan, menjadikannya primadona di dunia fesyen internasional.Lebih dari sekadar nama, Armani telah membangun reputasi yang kuat.Karyanya sering dipilih oleh selebriti dan kalangan elite yang ingin menampilkan status dan gaya hidup mereka. Oleh karena itu, harga yang ditawarkan untuk setiap koleksi adalah pantas, dan sering kali melambung tinggi.Seperti halnya jaket semi-formal terbaru dari koleksi musim semi yang dibawa oleh sepasang kekasih ke dalam ruang ganti.Dengan harga enam puluh juta rupiah, jaket ini adalah salah satu item paling eksklusif di butik Armani. Terbuat dari material premium, jaket ini memancarkan aura kemewahan yang tak tertandingi.Di dalam ruang ganti butik Armani itu, terdengar cekikikan lembut dari ga
Entah mengapa, saat melihat dirinya menjadi tontonan, Xander merasa jantungnya berdebar-debar, seolah-olah Black Card yang ia genggam hanyalah sebuah kartu tak berarti. Kegelisahan merayap perlahan, membuat keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.Dia melirik ke arah gadis sombong yang tampak sangat antusias.Gadis itu berdiri dengan leher terulur panjang, seakan-akan dia ingin melongok ke dalam meja konter pembayaran, berharap menemukan kenyataan bahwa kartu yang diberikan Xander palsu atau setidaknya tidak ada isinya sama sekali."Maaf... ini area khusus. Hanya diperuntukkan untuk karyawan, terutama bagian kasir!"Beruntung, kasir perempuan di butik Armani itu sangat ketat menjalankan prosedur sesuai SOP perusahaan. Dia memberi tahu gadis yang mulai kepo dengan kartu Xander itu bahwa ada batasan antara pelanggan dan area karyawan. Gadis itu tampak kesal, bibirnya mengerucut tanda tidak puas, dan dia mencibir dengan tajam.“Buat apa kalian melindungi pelanggan yang jelas-jelas s
Waktu menunjukkan pukul 11.00, dan acara pembukaan Peza Gallery hampir dimulai.Karena tidak memiliki mobil pribadi, Xander memutuskan untuk menggunakan jasa taksi online merek Uber. Dia membuka aplikasi di ponselnya dengan gesekan jari yang terampil.“Tak mungkin aku meminta Grace Song untuk mengantarkanku dengan mobilnya. Dia masih sibuk menyelesaikan semua transaksi kepemilikan Gorilla’s Kafe. Lebih baik aku menggunakan taksi online saja,” pikirnya, sambil memeriksa layar ponsel.Tak lama kemudian, sebuah mobil Avanza sederhana—kendaraan yang umum dimiliki oleh banyak orang di Negeri Konoya—menyusul di depan Xander. Avanza berwarna silver itu tampak sedikit kusam dan kurang terawat. Catnya mulai memudar, menampakkan noda-noda kecil yang tampak seperti bekas hujan.Meskipun demikian, bentuknya masih cukup layak untuk dinaiki Xander, yang sifatnya memang sederhana dan tak suka menonjol.Peza Gallery terletak di lantai sepuluh gedung perkantoran tinggi yang megah bernama 'Azure Buildi
"Kamu meminta untuk tidak mematahkan tangan, bukan? Baiklah. Anggap saja aku sedang berbelas kasih," ujar Xander sambil mencibir, sudut bibirnya terangkat tipis seperti menikmati permainan sederhana.Petarung itu tampak lega sesaat, seperti menerima hadiah yang tak diduga. Namun, jauh di dalam hati, ia justru menertawakan Xander."Dasar bocah bodoh. Mau saja percaya mulut berbisa seperti milikku. Ini akan jadi hiburan memuaskan," pikirnya penuh kepuasan.Wajahnya ia poles dengan senyuman palsu, berharap akting penuh rasa terima kasihnya mampu menyentuh simpati penonton.Namun, sebelum rencananya berjalan sesuai harapan, sesuatu yang tak terduga terjadi.PLAK – PLAK – PLAK!Tiga tamparan keras mendarat di pipinya. Suara tamparan itu menggema seperti cambuk yang menyayat udara. Matanya membelalak, rasa perih menjalar panas ke wajahnya. Ia tertegun, sulit percaya Xander benar-benar melakukannya."Ini… ini…" gumamnya terbata-bata, suaranya serak karena syok. Kedua pipinya memerah menyala
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.
Setelah kegagalan Setiawan Corporation dalam mendapatkan pinjaman dari Bank Central Halilintar, Nyonya Ouyang tidak tinggal diam. Ia segera mencari jalan lain untuk menyelamatkan perusahaannya yang mulai terancam, mengajukan permohonan pinjaman ke berbagai lembaga keuangan lain.Namun, seperti kata pepatah, "Jika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain yang terbuka." Sayangnya, pepatah itu tidak berlaku di dunia perbankan, terutama jika nasabah yang datang adalah Setiawan Corporation, yang reputasinya sudah ternoda.Begitu utusan Setiawan Corporation datang ke bank-bank untuk mempresentasikan rencana bisnis masa depan mereka, pintu-pintu bank tersebut langsung tertutup rapat.“Maaf, kami tidak berurusan dengan orang-orang kasar yang gemar berkelahi!” kata seorang pejabat bank dengan nada yang tak peduli.“Kalian sudah ditolak di Bank Central Halilintar dan malah datang ke sini? Kalian kira kami tidak tahu tentang kekacauan manajerial di perusahaan kalian?” tanya direktur bank lain s