Siapa sangka urusan dengan Grace Song bisa begitu mudah?Penawaran yang dilontarkan Xander hanyalah spekulasi belaka, namun Grace Song tanpa ragu-ragu langsung menjawab."Aku bersedia bekerja untuk Anda, Tuan Xander. Besok setelah mengajukan surat pengunduran diri, aku akan mengunjungi Anda.""Ngomong-ngomong, di mana Anda tinggal? Biarkan aku mengantar Anda mala mini ..."BAM!Kata-kata Grace Song membuat Xander tersadar seketika. "Tak mungkin aku kembali ke rumah itu!"Setelah insiden memergoki Lucy Setiawan, istrinya, berselingkuh, Xander memutuskan untuk meninggalkan rumah mertuanya, tempat mereka hidup menumpang selama ini. Kenangan pahit itu masih jelas di benaknya, menggoreskan banyak luka yang belum sembuh.Melihat jejak keraguan di wajah Xander, Grace Song segera mengambil inisiatif."Baiklah... aku akan mengantar Anda menginap di Hotel Filantrofi, sebuah hotel bintang enam di jantung kota."+++Tak lama kemudian, mobil BMW G20 itu meluncur melewati jalan-jalan kota yang sibu
Terbiasa tidur dalam gelap, nyala sirkuit di layar sistem yang mirip monitor komputer itu membuat Xander terjaga. Cahaya biru yang terpancar menerangi ruangan yang sempit, memberikan kesan dingin dan asing."Apa yang terjadi?" kata Xander dengan mata mengantuk. Ia menguap lebar, mengucek matanya yang berat, dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan.“Sebuah layar komputer? Permainan apa lagi ini?” gumamnya dengan nada bingung.Namun Xander tidak sempat menggerutu lebih lama. Sebuah suara yang akrab di telinganya, suara yang pada malam misterius memberinya uang sebanyak satu kuadriliun, terdengar keluar dari siluet layar komputer.[Mungkin kamu lupa. Tapi izinkan aku untuk mengingatkanmu sekali lagi. Sistem Kekayaan ini bukan cuma-cuma. Kamu harus menyelesaikan quest harian. Paling lambat keesokan hari sebelum pukul 7 pagi!]Xander terkejut, suara itu menusuk telinganya, membawa kembali ingatan malam itu yang penuh teka-teki."Apa maksudmu? Sesungguhnya aku
Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan
Ketika briefing bersama Robbie Pangestu, orang kantor pusat bagian auditor selesai, suasana tegang mulai mereda.Setelah semua orang bersiap kembali ke posisi pekerjaan mereka untuk mempersiapkan Kafe Gorilla's menerima pelanggan, tiba-tiba suara dingin memecah keheningan, menghentikan langkah Xander."Xander Sanajaya!" suara Robbie Pangestu terdengar bergema di ruang meeting, ibarat perintah dari seorang Kaisar Ming yang agung. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan drama yang tak terduga ini."Aku belum selesai berbicara dengan Anda. Mengapa buru-buru hendak ke front office?" lanjut Robbie dengan nada penuh otoritas.Wajah Robbie Pangestu menunjukkan ketersinggungan yang mendalam. 'Bukankah Xander ini datang terlambat? Seharusnya ia meminta maaf dengan penyesalan di depanku sebagai Pegawai Kantor Psat? Bukan langsung ngeloyor pergi seolah-olah tak punya kesalahan!' pikir Robbie Pangestu dalam hati.Tadinya dia akan memberi sedikit kelonggaran pada Xander.Namun, melihat sikap pem
Mendekati pukul 12.00, suasana di Gorilla’s Kafe semakin padat seiring dengan jam istirahat makan siang yang sudah mulai. Suara gemuruh pelanggan berbicara, bercampur dengan aroma kopi yang kuat memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan nyaman di dalam kafe tersebut.Xander sedang sibuk membuat dua gelas Americano pesanan pelanggan, ketika tiba-tiba seorang office boy menegurnya."Pak Xander... Anda diminta menghadap Pak Robbi Pangestu di ruangan meeting. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Penting katanya," ujarnya dengan nada serius.Xander mengerutkan kening, merasa terganggu."Katakan padanya, aku akan ke sana setelah menyelesaikan pesanan dua pelanggan ini," jawabnya tegas namun tetap tenang.Setelah menyelesaikan pesanan dengan cekatan, Xander menuju ruang pertemuan. Di sana, ia melihat Robbi Pangestu duduk dengan laptop dan setumpuk map serta kertas di hadapannya."Tok – tok – tok," suara ketukan pintu menggema di ruangan.Robbi tidak mendongak, juga tidak memalingkan waj
“Semua bermula dari Xander Sanjaya, pria miskin itu!” Robbie menunjuk sambil berdiri.Saat itu setelah mendengar keributan di rruang meeting, semua karyawan berkerumun disana.Robbie menyeret Xander lebih dekat dengan Grace Song. Suasana ruangan kantor yang dingin semakin terasa tegang dengan kehadiran Xander didepan Ibu Grace Song. Semua bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi pesakitan di hadapan Ibu Grace nanti?Saat ini, Xander hanya diam saja, ia kehabisan akal. Tak sanggup menjelaskan siapa dirinya sesungguhnya sekarang. “Lagipula, siapa yang akan percaya dengan ceritalu?” pikir Xander outus asa.Dia menyerahkan semua pada Grace Song yang akan menyelesaikan masalah kecil ini. Suara detak jam dinding terdengar jelas di telinganya, menambah tekanan pada setiap detik yang berlalu di ruangan meeting.Saat itu, Robbie Pangestu masih berusaha mendapat simpati Grace Song.“Ibu Grace Song... tolonglah. Anda harus percaya denganku. Xander inilah yang memulai semua keributan kecil ini!” D
Lorong Kancil adalah sebuah gang kecil di pusat kota, tersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit dan bangunan super mewah.Lorong Kancil seakan-akan menjadi rahasia kota, terselubung bayang-bayang beton yang menjulang tinggi. Di tengah gemerlapnya kota, gang ini seolah menghilang, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tahu persis keberadaannya.Di ujung gang ini berdiri sebuah rumah kumuh, meski fungsinya lebih dari sekadar tempat tinggal. Rumah ini adalah sarang perjudian ilegal. Pemiliknya, Hui Tanasal, atau lebih dikenal sebagai Bos Hui, juga berprofesi sebagai kepala preman yang disegani di kawasan ini.Siang itu, Rika Setiawan berjalan keluar dari Lorong Kancil dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak muram, dan rambutnya yang menipis dan ia coba samarkan dengan pengeritingan di salon murah milik Ci Yoan tampak berantakan.Rika berjalan dengan langkah gontai, menyusuri gang sempit itu.Matahari yang terik tak mampu menghangatkan hatinya yang beku oleh kekalahan. Rambutnya yan
Karena Xander baru-baru ini bercerita pada Grace Song bahwa dia baru saja bercerai, dan sejak lama ingin tinggal di apartemen sendiri, siang itu Grace Song mengajaknya untuk melihat-lihat unit apartemen.“Aku punya kenalan. Dia direktur di Pacific Residences, anak perusahaan Pacific Holding,” kata Grace Song saat mereka duduk di dalam mobil mewah yang melaju di tengah kota.“Jika Tuan Xander ingin hunian yang nyaman untuk sendirian, mengapa tidak memilih tempat di Pacific Residences itu? Mereka terkenal dengan fasilitas yang lengkap dan pemandangan kota yang menakjubkan,” tambah Grace, sambil menatap Xander dengan senyuman.Tinggal di apartemen adalah cita-cita Xander sejak lama, setelah memiliki cukup uang.Sayangnya, meskipun kini ia memiliki kekayaan yang melimpah, ia harus berpisah dengan Lucy. ‘Well, biar bagaimanapun, kesalahannya itu tak bisa dimaafkan!’ pikir Xander dengan rasa pahit.Tak lama kemudian, Xander sudah duduk di ruang tunggu Kantor Pacific Residences. Grace Song m
“Xander?” desis Dimas tak percaya. Wajahnya yang bulat dengan mulut terbuka lebar tampak lucu. Rasanya, jika ada telur ayam dilempar ke sana, pasti lolos tanpa hambatan masuk ke lambungnya.“Xander!” teriak Hannah, nyaris melompat dari tempatnya. “Mengapa aku merasa seperti sedang menonton adegan di drama Xianxia? Kamu masuk ke buldozer seperti pahlawan dalam cerita di film!”Xander turun dari ruang kemudi buldozer dengan tenang.Wajahnya berseri-seri, seolah-olah diselimuti cahaya pagi yang membuatnya tampak seperti tokoh abadi dari kisah fantasi Xianxia atau Wuxia di televisi Tiongkok.Anak-anak panti asuhan, yang sejak tadi menonton dengan penuh ketegangan, langsung bersorak gembira tanpa perlu dikomando. Tepuk tangan mereka riuh, bercampur dengan suara tawa kecil.“Hore! Pendekar Rajawali Sakti – Guo Jing!” teriak seorang anak dengan suara penuh semangat.“Ah, tapi wajahnya setampan Yang Kang!” sahut yang lain, sambil menunjuk Xander dengan penuh antusias.Serial Pendekar Rajawali
“Pak Conan, ayo maju! Ini kesempatan yang bagus untuk merubuhkan bangunan tua itu!” teriak seorang pemuda yang duduk di atas salah satu buldozer. Wajahnya penuh semangat, berbeda dengan pria paruh baya bernama Pak Conan yang masih ragu-ragu.“Aku... aku tidak tega,” gumam Pak Conan. Tangannya yang gemetar menggenggam tuas kendali, tetapi hati kecilnya tak mampu memerintah dirinya untuk melanjutkan.“Ah, masa bodoh!” teriak si pemuda muda itu kesal. “Kalau Anda tidak mau melakukannya, biarkan aku yang menyelesaikan pekerjaan ini!”Dengan gesit, pemuda itu melompat dari buldozernya ke arah buldozer Pak Conan. Tanpa ragu, ia menyalakan mesin. Suara alat berat itu meraung, dan buldozer mulai bergerak maju dengan kecepatan yang semakin bertambah.“Berhenti!” teriak Hannah Laksa, suaranya penuh kepanikan.“Tolong jangan hancurkan tempat tinggal kami!” ratap Ibu Mary, tangannya bergetar sambil menahan tangis.Anak-anak kecil pun menangis sejadi-jadinya, memohon agar tempat yang mereka sebut
Pagi itu, matahari baru saja terbit, namun suara getaran ponsel Xander membangunkannya.Semalam, ia tidur agak larut, bisa dibilang hampir dini hari. Namun pagi ini, ia sudah terbangun oleh panggilan yang datang tiba-tiba.“Siapa yang mengganggu pagi-pagi begini?” pikir Xander, matanya masih menyipit, jelas terlihat ia masih mengantuk.Namun, matanya langsung terbuka lebar ketika ia membaca nama yang muncul di layar ponselnya: "Dimas – Memanggil."“Ada apa?” gumamnya pelan, suara Dimas mulai terdengar samar, diselingi suara hiruk-pikuk di latar belakang. Sepertinya ada sesuatu yang mendesak.“Xander, kamu harus datang ke Panti Asuhan Penuh Kasih. Ada yang terjadi!” Suara Dimas terdengar gugup dan terburu-buru. Teriakan anak-anak dan suara mesin buldozer yang menggema semakin jelas, membuat bulu kuduk Xander merinding.“Tunggu sebentar! Aku akan kesana!” jawab Xander dengan nada tegas, meskipun baru saja terbangun.Tak perlu seorang jenius untuk menebak apa yang sedang terjadi. Suara a
Beberapa saat sebelum kejadian Hannah dijegal para preman, Xander tanpa sengaja bertemu dengan Dimas saat ia lewat di depan Gorilla’s Café. Malam itu, lampu kota berpendar di atas jalan yang basah oleh hujan ringan, memantulkan bayangan mobil mewah Xander yang berhenti perlahan.“Dimas? Sudah jam segini, dan Anda belum pulang? Apakah lembur?” tanya Xander sambil keluar dari mobilnya. Jas kasualnya tetap terlihat mahal meskipun tidak mencolok, seolah hanya kebetulan melekat pada pemiliknya.Dimas, yang sedang menutup pintu kafe, tampak sedikit terkejut. Namun, senyumnya segera merekah saat mengenali siapa yang menyapa. “Ah, sobat. Rupanya kamu,” katanya sambil menepuk ringan pintu kaca kafe. “Sesungguhnya tidak ada lembur. Namun, ini terkesan terlambat pulang karena harus menunggu Hannah Laksa menyelesaikan beberapa hal. Aku tak tega mengusirnya pergi. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban berat.”Bayangan wajah Hannah Laksa yang ceria, dengan tawa ringan yang dulu sering menolo
Sayangnya... meski tekad Hannah Laksa sekuat baja, dan batu bata di tangannya menambah percaya diri, itu semua tak banyak membantu.Dalam sekejap, ia kehilangan kendali ketika salah satu pria bertubuh tinggi dan gempal menangkapnya dalam pelukan erat, membuat napasnya terenggut seolah ditelan udara malam yang dingin."Lepaskan aku! Kalian akan menyesal kalau berbuat sesuatu yang menjijikkan!" seru Hannah lantang, suaranya bergetar di antara keberanian dan rasa takut yang menggelegak.Namun, ejekan segera menyambar."Jangan mengada-ada," jawab pria itu, Ale, pemimpin kelompok berandal yang terkenal kejam di daerah itu. Senyum miringnya memamerkan gigi kuning yang tak terawat. "Kamu ini gadis yatim piatu, tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu?""Dengar, bos Ale!" seru salah satu anak buahnya, memanas-manasi suasana. "Telanjangi saja dia. Nikmati sepuasnya. Sisanya, kami yang urus!"Hannah gemetar. Ketakutan merayap, menekan keberaniannya yang tersisa. Namun, ia tak akan men
Hannah Laksa baru saja menyelesaikan rutinitasnya di Gorilla’s Café. Dengan telaten, ia membersihkan meja barista, menyusun kembali semua peralatan mesin pembuat kopi setelah menyelesaikan perawatan rutin.Setiap sudut mesin ia lap cermat, memastikan semuanya mengilap—siap melayani para pelanggan esok hari.Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 22.00. Di jantung kota, seperti kawasan tempat kafe ini berdiri, waktu itu masih terbilang awal malam. Lampu-lampu kota berkelip bagaikan bintang buatan, sementara lalu lintas masih dipenuhi kendaraan yang sibuk berlalu-lalang.Namun, suasana berbeda di pelosok kota, tempat di mana Hannah tinggal. Di sana, jam segini sudah dianggap larut malam, dengan jalanan sepi dan sunyi. Bagi seorang gadis yang pulang sendirian, suasana itu terasa rawan.“Hannah, sudah malam. Kamu belum pulang?” tegur suara familiar. Dimas, manajer kafe tersebut, berdiri di dekat pintu masuk, menatapnya dengan alis sedikit terangkat.Hannah mengangkat wajahnya dari
Ternyata, proyek satu miliar yang diberikan oleh Tijian Global Corporation adalah pembangunan sebuah mall yang sangat modern. Mall ini dirancang untuk berdiri di tengah pemukiman kelas menengah ke atas, menjadi landmark baru yang mengundang perhatian.Semua orang di kediaman Setiawan menatap dengan rasa iri saat Nyonya Ouyang menyebutkan nama yang akan dipilih sebagai direktur pelaksana.“Sandy Setiawan, kurasa dia layak untuk memimpin proyek besar ini. Selain berpengalaman, dia juga cukup akrab dengan Nona Felicia Tijiang, pelaksana langsung proyek dari grup itu!” pungkas Nyonya Ouyang dengan senyum puas, seolah mengunci keputusan yang telah diambilnya.Namun, tak lama setelah itu, Jonah mencoba untuk merusak nuansa gembira tersebut.“Tapi, Nyonya... bukankah Sandy gagal pada pertemuan sebelumnya? Apakah Anda ingin kekacauan terjadi lagi?” tanyanya dengan nada menantang, sambil menyembunyikan rasa cemburu yang mencuat dari wajahnya yang tampak penuh kalkulasi.“Benar itu, Nyonya tua.
Setelah kegagalan Setiawan Corporation dalam mendapatkan pinjaman dari Bank Central Halilintar, Nyonya Ouyang tidak tinggal diam. Ia segera mencari jalan lain untuk menyelamatkan perusahaannya yang mulai terancam, mengajukan permohonan pinjaman ke berbagai lembaga keuangan lain.Namun, seperti kata pepatah, "Jika satu pintu tertutup, pasti ada pintu lain yang terbuka." Sayangnya, pepatah itu tidak berlaku di dunia perbankan, terutama jika nasabah yang datang adalah Setiawan Corporation, yang reputasinya sudah ternoda.Begitu utusan Setiawan Corporation datang ke bank-bank untuk mempresentasikan rencana bisnis masa depan mereka, pintu-pintu bank tersebut langsung tertutup rapat.“Maaf, kami tidak berurusan dengan orang-orang kasar yang gemar berkelahi!” kata seorang pejabat bank dengan nada yang tak peduli.“Kalian sudah ditolak di Bank Central Halilintar dan malah datang ke sini? Kalian kira kami tidak tahu tentang kekacauan manajerial di perusahaan kalian?” tanya direktur bank lain s
“Halo, Tuan Simon Koh. Ada hal penting yang harus aku urus?” Suara penuh kekhawatiran itu terdengar dari seberang telepon. Pria paruh baya itu, dengan tangan gemetar, segera membuat panggilan.Luka di pipinya berdenyut, tetapi amarah yang membara di hatinya lebih menyakitkan daripada rasa sakit fisik itu.“Kamu datang ke sini sekarang! Ada seseorang yang berani menganiaya aku! Aku tunggu dalam lima menit!” Nada dingin suara Simon Koh tidak bisa menyembunyikan amarah yang meluap.Ia menyalakan speaker, memastikan semua orang di pelataran parkir Bank Central Halilintar mendengar percakapannya. Dalam pikirannya, dunia harus tahu bahwa ia, Simon Koh, bukan seseorang yang bisa dipermainkan begitu saja.“Kurang ajar! Siapa bajingan yang berani mengganggu Anda? Katakan lokasi Anda, dan saya akan segera meluncur bersama anak buah!” Suara di seberang membalas, keras dan penuh ketegangan.“Di pelataran parkir Bank Central Halilintar! Cepat datang!” Simon Koh berteriak lagi, nadanya meninggi, me