Duduk di dalam mobil BMW Seri 5 yang masih berbau baru, Xander meresapi aroma jok kulit yang berpadu sempurna dengan dinginnya hembusan udara dari pendingin.
Selama hampir satu jam perjalanan menuju Gorilla’s Kafe, tempat dia bekerja, dia tetap diam, membisu. Xander duduk kaku, seolah-olah setiap gerakannya bisa mencemari kemewahan jok mobil yang mengkilap ini.
Di sebelahnya, Grace Song juga tak bersuara.
Bukannya tak ingin menyapa, tapi Grace yakin diamnya Xander karena masih merasa marah akibat perbuatan tercela Lidia, yang merendahkan dirinya dengan menyebutnya hanya seorang penjudi online rendahan.
Keheningan itu akhirnya pecah ketika mobil BMW Seri 5 yang dikendarai sopir pribadi Grace berhenti dengan halus.
Xander menghela napas lega, bergegas berkata, “Ibu Grace, terima kasih atas kebaikan Anda, mengantarkan saya ke Gorilla’s Kafe.”
Xander menunduk hormat, kemudian berjalan cepat menuju tempat kerjanya yang terlihat cukup ramai dari luar. Dia berusaha menyelinap, menyembunyikan diri di balik keramaian dan tahu-tahu sudah berada di dapur.
“Syukurlah… Dimas tidak ada,” batinnya lega.
Namun, keberuntungannya tak berlangsung lama. Suara Dimas yang menggelegar terdengar dari arah belakang, mengejutkannya.
“Xander! Sudah jam segini dan kau baru datang?”
Xander berbalik, melihat Dimas sang manajer kafe menatapnya dengan tatapan tajam, seolah-olah ingin menelannya hidup-hidup. Lemak di pipinya terguncang ketika dia berbicara dengan marah.
“Aku... aku...” Xander menjawab terbata-bata.
“Sudahlah. Langsung ke meja kerja barista. Ada banyak pelanggan siang ini. Tapi jangan senang dulu! Aku akan membuat perhitungan denganmu setelah semuanya selesai!” kata Dimas, masih dengan pipi berlemak yang berguncang. Sekarang bahkan lehernya yang gemuk ikut berguncang.
Xander buru-buru menggosok gigi, lalu mencuci wajahnya dengan sabun di kamar mandi. Ia menyisir rambutnya dengan cepat agar terlihat rapi.
"Sempurna," bisik Xander sambil menatap wajahnya di cermin, merasa puas dengan penampilannya.
Sebagai sentuhan akhir, ia menyemprotkan parfum murahan yang meniru aroma parfum desainer terkenal ke beberapa bagian tubuhnya. Meski murah, aroma parfum itu cukup menyegarkan dan membuat penampilannya pantas untuk berada di front office.
Xander memasang apron berlogo Gorilla’s Kafe dan langsung menuju area kerja. Di sana, Hannah Laksa, seorang barista perempuan, terlihat sudah mulai kewalahan menghadapi serbuan pelanggan siang ini.
"Darimana saja kau?" tanya Hannah dengan nada kesal. Tangannya sibuk meracik minuman dengan takaran dan resep yang tepat, wajahnya fokus pada gelas yang dipegang, namun jelas-jelas pertanyaan itu ditujukan pada Xander.
Xander diam dan tidak menjawab. Namun pertanyaan susulan menyusul, memberondongnya tanpa henti.
"Aku menonton video itu. Apakah benar Lucy..."
"Tolong, tidak perlu bertanya sekarang. Aku akan menceritakan padamu kejadiannya nanti. Sekarang kita fokus pada pekerjaan barista ini dulu, oke?" kata Xander singkat.
Hannah mengangguk tanda setuju. Keduanya larut dalam kesibukan meracik minuman kopi sesuai pesanan yang diberikan oleh kasir.
Namun tiba-tiba seorang pria berteriak keras. Ia membanting kopi yang dipesannya ke lantai dan memaki dengan suara lantang.
"Minuman macam apa ini? Mengapa pahit sekali?"
Dia menatap Xander dengan tajam dan menunjuknya dengan penuh kesombongan.
"Heh, kamu! Apakah kamu sengaja mempermainkanku? Mengapa kamu tidak memberi gula barang setetes pun di minuman ini? Kamu ingin aku muntah-muntah dan mempermalukanku?"
Suara pria itu semakin menggelegar, membuat semua mata di kafe tertuju pada Xander, seolah meminta penjelasan.
"Tapi itu adalah Americano. Tak ada gula di dalam minuman itu," kata Xander berusaha tetap sopan. "Jika Anda ingin minuman yang manis, Anda bisa menambahkannya sendiri di counter yang tersedia."
Xander menunjuk dengan sopan menggunakan telapak tangannya ke arah counter. Di sana terdapat sirup gula, gula pasir, dan brown sugar yang siap digunakan pelanggan.
Meski merasa malu karena sudah marah-marah, pelanggan pria itu terus-menerus mengomel tanpa henti. Ia meninggalkan Gorilla’s Kafe dengan langkah terburu-buru, diiringi sorakan para pengunjung lain yang ikut merasa kesal dengan perbuatan kasarnya tapi bodoh itu.
Beberapa di antara mereka bahkan berteriak keras ketika pria kasar itu sudah keluar dari Gorilla’s Kafe, menghinanya dengan penuh emosi.
"Orang kampungan! Tidak tahu apa itu minuman Americano tapi sok memesannya!"
"Dasar udik pedesaan!"
Di tengah-tengah keriuhan sorak-sorai itu, Xander termenung, pikirannya melayang jauh.
"Aku memiliki uang sebanyak satu kuadriliun. Mengapa tidak bersenang-senang sedikit saja? Bukankah akan menyenangkan jika aku membeli Gorilla’s Kafe ini dan memulai kerajaan bisnis sendiri?"
Xander membayangkan dirinya memulai perjalanan sebagai orang kaya, dengan memiliki Gorilla’s Kafe sebagai langkah awal yang sangat menarik.
Namun, di balik ambisinya itu, ada rasa dendam yang menyala.
Xander tidak hanya ingin sukses, dia juga ingin membalas dendam pada Lucy yang berselingkuh dan menghancurkan Kevin Ng, kekasih gelap Lucy.
"Ini akan menjadi awal yang luar biasa," pikir Xander dengan senyum kecil di bibirnya. Dia merasakan semangat baru mengalir dalam dirinya. Membangun kerajaan bisnis, sekaligus membalas dendam, adalah dua hal yang sangat menyenangkan dan memuaskan.
Bersambung.
Jam menunjukkan pukul 20.00, dan Kafe Gorilla’s harus segera ditutup. Lampu-lampu neon di luar mulai meredup, meninggalkan suasana remang-remang yang sepi. Hanya bau kopi yang tersisa di udara, bercampur dengan aroma kayu dan kue yang sudah lama dipanggang.Ketika Xander baru saja selesai membersihkan meja barista, bersiap-siap untuk pulang, Dimas, manajer kafe, memanggilnya dengan suara yang berat dan serius.“Kita perlu bicara empat mata. Seharian sibuk dirimu melayani pelanggan, aku tak bisa mengganggumu sebelumnya,” kata Dimas, sambil menurunkan kursi dari meja dan meminta Xander juga mengambil salah satu kursi yang terbalik di atas meja. Suara gesekan kursi di lantai kayu menambah kesan berat dan serius.“Xander…” kata Dimas dengan nada yang misterius, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan.Xander meremas tangannya, membayangkan kalau dia akan dipecat dari jabatannya sebagai barista di kafe itu. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia sungguh
Siapa sangka urusan dengan Grace Song bisa begitu mudah?Penawaran yang dilontarkan Xander hanyalah spekulasi belaka, namun Grace Song tanpa ragu-ragu langsung menjawab."Aku bersedia bekerja untuk Anda, Tuan Xander. Besok setelah mengajukan surat pengunduran diri, aku akan mengunjungi Anda.""Ngomong-ngomong, di mana Anda tinggal? Biarkan aku mengantar Anda mala mini ..."BAM!Kata-kata Grace Song membuat Xander tersadar seketika. "Tak mungkin aku kembali ke rumah itu!"Setelah insiden memergoki Lucy Setiawan, istrinya, berselingkuh, Xander memutuskan untuk meninggalkan rumah mertuanya, tempat mereka hidup menumpang selama ini. Kenangan pahit itu masih jelas di benaknya, menggoreskan banyak luka yang belum sembuh.Melihat jejak keraguan di wajah Xander, Grace Song segera mengambil inisiatif."Baiklah... aku akan mengantar Anda menginap di Hotel Filantrofi, sebuah hotel bintang enam di jantung kota."+++Tak lama kemudian, mobil BMW G20 itu meluncur melewati jalan-jalan kota yang sibu
Terbiasa tidur dalam gelap, nyala sirkuit di layar sistem yang mirip monitor komputer itu membuat Xander terjaga. Cahaya biru yang terpancar menerangi ruangan yang sempit, memberikan kesan dingin dan asing."Apa yang terjadi?" kata Xander dengan mata mengantuk. Ia menguap lebar, mengucek matanya yang berat, dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan.“Sebuah layar komputer? Permainan apa lagi ini?” gumamnya dengan nada bingung.Namun Xander tidak sempat menggerutu lebih lama. Sebuah suara yang akrab di telinganya, suara yang pada malam misterius memberinya uang sebanyak satu kuadriliun, terdengar keluar dari siluet layar komputer.[Mungkin kamu lupa. Tapi izinkan aku untuk mengingatkanmu sekali lagi. Sistem Kekayaan ini bukan cuma-cuma. Kamu harus menyelesaikan quest harian. Paling lambat keesokan hari sebelum pukul 7 pagi!]Xander terkejut, suara itu menusuk telinganya, membawa kembali ingatan malam itu yang penuh teka-teki."Apa maksudmu? Sesungguhnya aku
Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan
Ketika briefing bersama Robbie Pangestu, orang kantor pusat bagian auditor selesai, suasana tegang mulai mereda.Setelah semua orang bersiap kembali ke posisi pekerjaan mereka untuk mempersiapkan Kafe Gorilla's menerima pelanggan, tiba-tiba suara dingin memecah keheningan, menghentikan langkah Xander."Xander Sanajaya!" suara Robbie Pangestu terdengar bergema di ruang meeting, ibarat perintah dari seorang Kaisar Ming yang agung. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan drama yang tak terduga ini."Aku belum selesai berbicara dengan Anda. Mengapa buru-buru hendak ke front office?" lanjut Robbie dengan nada penuh otoritas.Wajah Robbie Pangestu menunjukkan ketersinggungan yang mendalam. 'Bukankah Xander ini datang terlambat? Seharusnya ia meminta maaf dengan penyesalan di depanku sebagai Pegawai Kantor Psat? Bukan langsung ngeloyor pergi seolah-olah tak punya kesalahan!' pikir Robbie Pangestu dalam hati.Tadinya dia akan memberi sedikit kelonggaran pada Xander.Namun, melihat sikap pem
Mendekati pukul 12.00, suasana di Gorilla’s Kafe semakin padat seiring dengan jam istirahat makan siang yang sudah mulai. Suara gemuruh pelanggan berbicara, bercampur dengan aroma kopi yang kuat memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan nyaman di dalam kafe tersebut.Xander sedang sibuk membuat dua gelas Americano pesanan pelanggan, ketika tiba-tiba seorang office boy menegurnya."Pak Xander... Anda diminta menghadap Pak Robbi Pangestu di ruangan meeting. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Penting katanya," ujarnya dengan nada serius.Xander mengerutkan kening, merasa terganggu."Katakan padanya, aku akan ke sana setelah menyelesaikan pesanan dua pelanggan ini," jawabnya tegas namun tetap tenang.Setelah menyelesaikan pesanan dengan cekatan, Xander menuju ruang pertemuan. Di sana, ia melihat Robbi Pangestu duduk dengan laptop dan setumpuk map serta kertas di hadapannya."Tok – tok – tok," suara ketukan pintu menggema di ruangan.Robbi tidak mendongak, juga tidak memalingkan waj
“Semua bermula dari Xander Sanjaya, pria miskin itu!” Robbie menunjuk sambil berdiri.Saat itu setelah mendengar keributan di rruang meeting, semua karyawan berkerumun disana.Robbie menyeret Xander lebih dekat dengan Grace Song. Suasana ruangan kantor yang dingin semakin terasa tegang dengan kehadiran Xander didepan Ibu Grace Song. Semua bertanya-tanya, siapa yang akan menjadi pesakitan di hadapan Ibu Grace nanti?Saat ini, Xander hanya diam saja, ia kehabisan akal. Tak sanggup menjelaskan siapa dirinya sesungguhnya sekarang. “Lagipula, siapa yang akan percaya dengan ceritalu?” pikir Xander outus asa.Dia menyerahkan semua pada Grace Song yang akan menyelesaikan masalah kecil ini. Suara detak jam dinding terdengar jelas di telinganya, menambah tekanan pada setiap detik yang berlalu di ruangan meeting.Saat itu, Robbie Pangestu masih berusaha mendapat simpati Grace Song.“Ibu Grace Song... tolonglah. Anda harus percaya denganku. Xander inilah yang memulai semua keributan kecil ini!” D
Lorong Kancil adalah sebuah gang kecil di pusat kota, tersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit dan bangunan super mewah.Lorong Kancil seakan-akan menjadi rahasia kota, terselubung bayang-bayang beton yang menjulang tinggi. Di tengah gemerlapnya kota, gang ini seolah menghilang, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tahu persis keberadaannya.Di ujung gang ini berdiri sebuah rumah kumuh, meski fungsinya lebih dari sekadar tempat tinggal. Rumah ini adalah sarang perjudian ilegal. Pemiliknya, Hui Tanasal, atau lebih dikenal sebagai Bos Hui, juga berprofesi sebagai kepala preman yang disegani di kawasan ini.Siang itu, Rika Setiawan berjalan keluar dari Lorong Kancil dengan tergesa-gesa. Wajahnya tampak muram, dan rambutnya yang menipis dan ia coba samarkan dengan pengeritingan di salon murah milik Ci Yoan tampak berantakan.Rika berjalan dengan langkah gontai, menyusuri gang sempit itu.Matahari yang terik tak mampu menghangatkan hatinya yang beku oleh kekalahan. Rambutnya yan