Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.
Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”
Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.
Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.
“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”
“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah apa sebenarnya dipanggil dan bicara empat mata dengan Branch Manager Bank Central Halilintar?” Xander berbicara dengan suara bergetar. Ekspresi wajahnya terlihat muram.
“Aku bukan seorang pemain judi online. Aku seorang barista di kafe kecil bernama Gorillas Kafe. Ini nomor telepon yang dapat Anda konfirmasi tentang diri saya yang sebenarnya...”
Xander berbicara terburu-buru. Napasnya memburu. Ia sangat ketakutan. Sangkanya, keberadaannya di ruang Branch Manager bank adalah sehubungan dengan tuduhan Lidia, sang Customer Service, bahwa dia terlibat judi online.
“Kehidupanku sederhana, punya uang secukupnya. Mana mungkin punya uang berlebihan untuk bermain judi online? Tolonglah jangan persulit saya,” meskipun berusaha bicara tenang, suara Xander tetap terdengar gemetar. Bagaimana tidak? Jika ia dijebloskan ke dalam penjara, karirnya akan hancur. Dunia seakan-akan tamat baginya. Sudah hidup pas-pasan, ia juga diselingkuhi isteri yang tak pernah disentuh sejak menikah.
Melihat Xander yang bicara dengan suara gemetar dan ketakutan, wajah Grace Song berubah.
“Penjudi online? Akan menahan Anda? Siapa yang bilang?” kata Grace Song dengan raut wajah keheranan.
“Customer service Anda - Nona Lidia. Dia bilang, karena tidak bisa mencetak buku tabunganku karena ada kode tertentu di layar komputer, rekeningku sudah diblokir oleh pihak bank. Sebentar lagi akan melapor kepada pihak berwajib, dan aku harus membuat klarifikasi tentang ini.” Suara Xander semakin lama semakin lancar. Dia menceritakan dengan detail setiap perbuatan Lidia yang mengintimidasi dan membuatnya ketakutan.
“Tolong jangan laporkan aku kepada yang berwajib, Ibu Grace... aku berani bersumpah, aku seorang pria biasa yang sederhana.”
Melihat ada kesalahpahaman, dengan cepat Grace Song langsung mengamankan situasi.
“Justru aku sibuk mencari-cari Anda, Tuan Xander.” Grace menghela napas dalam-dalam.
“Rekening Anda baru saja di up grade. Anda Ada kesalahan di sistem kami, yang tak dapatmengenali siapa orangkaya sesungguhnya.” Grace Song berbicara cepat, “ Dan maafkan aku yang bodoh ini, tidak menyadari kalau anda sesungguhnya nasabah utama yang pantas di sebut VVIP.”
NGING
Xander merasa telinganya berdenging. Ia seolah-olah melihat Grace Song berbicara, namun tidak mendengarnya.
“Saldo rekening Anda sekarang adalah satu kuadriliun. Dan rekening Anda sudah bukan lagi Tabungan Ekonomi, melainkan kami pindahkan ke tabungan khusus pelanggan kelas atas, dan Anda memegang Black Card, kartu tertinggi di bank kami. Hanya ada tiga orang saat ini yang memegang kartu Black Card. Anda salah satunya...”
Xander memegang Black Card itu dengan tatapan nanar. Ia tak mengerti apa itu Black Card. Namun, dengan sabar Grace Song menjelaskan padanya hingga ia memahami fungsi dan manfaat kartu di tangannya.
“Jadi, Anda bisa membeli apa pun di dunia ini dengan Black Card itu!” Grace Song menegaskan sekali lagi, berharap Xander memahami semua yang baru saja ia jelaskan.
Kemudian, sambil mengangkat telepon di meja kayu jati itu, Grace Song berkata sekali lagi. Namun, nada suaranya kali ini terdengar dingin ketika memutar nomor tertentu di telepon di mejanya.
“Sekarang, mari kita jernihkan masalah Anda, Tuan Xander. Aku tak ingin seorang pelanggan super VVIP dari Bank Central Halilintar kami diperlakukan kasar oleh customer service.”
Xander menatap dengan bingung. Dia tak mengerti apa maksud Grace Song. Namun, dari nada suara yang dingin itu, ia mendengar Grace Song berkata dengan nada tegas...
“Customer service magang, Lidia? Naik ke ruangan saya. Ada yang harus kita jernihkan masalahnya...”
Bersambung
Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.“Perfect!”Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia y
Duduk di dalam mobil BMW Seri 5 yang masih berbau baru, Xander meresapi aroma jok kulit yang berpadu sempurna dengan dinginnya hembusan udara dari pendingin.Selama hampir satu jam perjalanan menuju Gorilla’s Kafe, tempat dia bekerja, dia tetap diam, membisu. Xander duduk kaku, seolah-olah setiap gerakannya bisa mencemari kemewahan jok mobil yang mengkilap ini.Di sebelahnya, Grace Song juga tak bersuara.Bukannya tak ingin menyapa, tapi Grace yakin diamnya Xander karena masih merasa marah akibat perbuatan tercela Lidia, yang merendahkan dirinya dengan menyebutnya hanya seorang penjudi online rendahan.Keheningan itu akhirnya pecah ketika mobil BMW Seri 5 yang dikendarai sopir pribadi Grace berhenti dengan halus.Xander menghela napas lega, bergegas berkata, “Ibu Grace, terima kasih atas kebaikan Anda, mengantarkan saya ke Gorilla’s Kafe.”Xander menunduk hormat, kemudian berjalan cepat menuju tempat kerjanya yang terlihat cukup ramai dari luar. Dia berusaha menyelinap, menyembunyikan
Jam menunjukkan pukul 20.00, dan Kafe Gorilla’s harus segera ditutup. Lampu-lampu neon di luar mulai meredup, meninggalkan suasana remang-remang yang sepi. Hanya bau kopi yang tersisa di udara, bercampur dengan aroma kayu dan kue yang sudah lama dipanggang.Ketika Xander baru saja selesai membersihkan meja barista, bersiap-siap untuk pulang, Dimas, manajer kafe, memanggilnya dengan suara yang berat dan serius.“Kita perlu bicara empat mata. Seharian sibuk dirimu melayani pelanggan, aku tak bisa mengganggumu sebelumnya,” kata Dimas, sambil menurunkan kursi dari meja dan meminta Xander juga mengambil salah satu kursi yang terbalik di atas meja. Suara gesekan kursi di lantai kayu menambah kesan berat dan serius.“Xander…” kata Dimas dengan nada yang misterius, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan.Xander meremas tangannya, membayangkan kalau dia akan dipecat dari jabatannya sebagai barista di kafe itu. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia sungguh
Siapa sangka urusan dengan Grace Song bisa begitu mudah?Penawaran yang dilontarkan Xander hanyalah spekulasi belaka, namun Grace Song tanpa ragu-ragu langsung menjawab."Aku bersedia bekerja untuk Anda, Tuan Xander. Besok setelah mengajukan surat pengunduran diri, aku akan mengunjungi Anda.""Ngomong-ngomong, di mana Anda tinggal? Biarkan aku mengantar Anda mala mini ..."BAM!Kata-kata Grace Song membuat Xander tersadar seketika. "Tak mungkin aku kembali ke rumah itu!"Setelah insiden memergoki Lucy Setiawan, istrinya, berselingkuh, Xander memutuskan untuk meninggalkan rumah mertuanya, tempat mereka hidup menumpang selama ini. Kenangan pahit itu masih jelas di benaknya, menggoreskan banyak luka yang belum sembuh.Melihat jejak keraguan di wajah Xander, Grace Song segera mengambil inisiatif."Baiklah... aku akan mengantar Anda menginap di Hotel Filantrofi, sebuah hotel bintang enam di jantung kota."+++Tak lama kemudian, mobil BMW G20 itu meluncur melewati jalan-jalan kota yang sibu
Terbiasa tidur dalam gelap, nyala sirkuit di layar sistem yang mirip monitor komputer itu membuat Xander terjaga. Cahaya biru yang terpancar menerangi ruangan yang sempit, memberikan kesan dingin dan asing."Apa yang terjadi?" kata Xander dengan mata mengantuk. Ia menguap lebar, mengucek matanya yang berat, dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan.“Sebuah layar komputer? Permainan apa lagi ini?” gumamnya dengan nada bingung.Namun Xander tidak sempat menggerutu lebih lama. Sebuah suara yang akrab di telinganya, suara yang pada malam misterius memberinya uang sebanyak satu kuadriliun, terdengar keluar dari siluet layar komputer.[Mungkin kamu lupa. Tapi izinkan aku untuk mengingatkanmu sekali lagi. Sistem Kekayaan ini bukan cuma-cuma. Kamu harus menyelesaikan quest harian. Paling lambat keesokan hari sebelum pukul 7 pagi!]Xander terkejut, suara itu menusuk telinganya, membawa kembali ingatan malam itu yang penuh teka-teki."Apa maksudmu? Sesungguhnya aku
Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan
Ketika briefing bersama Robbie Pangestu, orang kantor pusat bagian auditor selesai, suasana tegang mulai mereda.Setelah semua orang bersiap kembali ke posisi pekerjaan mereka untuk mempersiapkan Kafe Gorilla's menerima pelanggan, tiba-tiba suara dingin memecah keheningan, menghentikan langkah Xander."Xander Sanajaya!" suara Robbie Pangestu terdengar bergema di ruang meeting, ibarat perintah dari seorang Kaisar Ming yang agung. Semua mata tertuju padanya, memperhatikan drama yang tak terduga ini."Aku belum selesai berbicara dengan Anda. Mengapa buru-buru hendak ke front office?" lanjut Robbie dengan nada penuh otoritas.Wajah Robbie Pangestu menunjukkan ketersinggungan yang mendalam. 'Bukankah Xander ini datang terlambat? Seharusnya ia meminta maaf dengan penyesalan di depanku sebagai Pegawai Kantor Psat? Bukan langsung ngeloyor pergi seolah-olah tak punya kesalahan!' pikir Robbie Pangestu dalam hati.Tadinya dia akan memberi sedikit kelonggaran pada Xander.Namun, melihat sikap pem
Mendekati pukul 12.00, suasana di Gorilla’s Kafe semakin padat seiring dengan jam istirahat makan siang yang sudah mulai. Suara gemuruh pelanggan berbicara, bercampur dengan aroma kopi yang kuat memenuhi udara, menciptakan suasana hangat dan nyaman di dalam kafe tersebut.Xander sedang sibuk membuat dua gelas Americano pesanan pelanggan, ketika tiba-tiba seorang office boy menegurnya."Pak Xander... Anda diminta menghadap Pak Robbi Pangestu di ruangan meeting. Ada sesuatu yang akan dia sampaikan. Penting katanya," ujarnya dengan nada serius.Xander mengerutkan kening, merasa terganggu."Katakan padanya, aku akan ke sana setelah menyelesaikan pesanan dua pelanggan ini," jawabnya tegas namun tetap tenang.Setelah menyelesaikan pesanan dengan cekatan, Xander menuju ruang pertemuan. Di sana, ia melihat Robbi Pangestu duduk dengan laptop dan setumpuk map serta kertas di hadapannya."Tok – tok – tok," suara ketukan pintu menggema di ruangan.Robbi tidak mendongak, juga tidak memalingkan waj