Meskipun pagi itu udara mulai panas karena matahari yang bersinar cerah, sosok Xander terdiam. Ia tak bisa mempercayai angka yang tertera di layar ponselnya yang sudah usang.
"Angka yang sangat besar. Ada lima belas nol di sana!" batin Xander. Ia berulang kali memastikan bahwa matanya tidak salah membaca angka yang tertera di layar ponselnya. "Aku harus segera pergi ke Bank Central Halilintar sekarang juga, untuk memastikan kebenaran informasi saldo ini!"
Dengan detak jantung yang berdegup kencang, masih tak percaya dengan pesan singkat itu, ekspresi kebimbangan terlukis di wajah Xander. "Bisa saja ini hanya spam atau scam, bukan?" batinnya, mencoba untuk tidak merasa gembira berlebihan.
Dengan tangan gemetar, Xander segera membuka aplikasi dan memesan kendaraan online melalui ponselnya.
Bank Central Halilintar adalah salah satu bank papan atas di negeri ini, berada di peringkat lima besar di antara bank-bank lainnya. Mengapa Xander memilih untuk menabung di sana? Jawabannya sederhana. Karena biaya administrasi dan saldo minimum yang mengendap di Bank Central Halilintar sangat ramah bagi kaum marjinal seperti Xander.
Lima ribu rupiah adalah saldo minimum yang harus mengendap, dan biaya administrasi hanya dua ribu lima ratus rupiah per bulan. Ini adalah daya tarik terbesar mengapa banyak orang berduyun-duyun menabung di bank ini.
Gedung Bank Central Halilintar tempat Xander menabung tampak menjulang dengan delapan lantai yang megah.
Tanpa ragu, Xander melangkah melewati anak tangga yang berjumlah sepuluh undakan, dan tiba-tiba sudah berada di depan pintu kaca bank yang terbuka otomatis.
Suara sapaan terdengar menyambutnya.
“Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya satpam di depan pintu bank saat Xander hendak melewati pintu kaca otomatis. Xander melirik gaya satpam itu yang meletakkan tangan di dada, tampak sangat ramah.
Dulu, ia pernah berpikir untuk melamar sebagai satpam bank, tetapi sayangnya Xander pernah terkena penyakit paru-paru basah sewaktu kecil. Ketika tes kesehatan dilakukan, petugas HRD langsung menyingkirkannya dari antrian kandidat setelah melihat hasil tes kesehatannya.
Sekilas, Xander melirik penuh rasa cemburu pada satpam yang tampak gagah itu.
“Aku ingin mengecek saldo di rekeningku. Apakah benar, baru-baru ini ada dana masuk sebesar...” Xander belum selesai mengungkapkan bahwa ia menerima transfer uang sejumlah satu kuadriliun, namun dengan sedikit jejak penghinaan di matanya, satpam itu menunjukkan sebuah papan elektronik dan meminta Xander memencet dan mengambil nomor antrian.
“Untuk tabungan jenis Ekonomi, antriannya di sebelah sini,” suara satpam itu berusaha terdengar hangat, namun tak dapat menyembunyikan ekspresi cemooh ketika melihat buku tabungan Xander yang berjenis Tabungan Ekonomi, dengan saldo minimum sebesar Rp 5.000.
Dengar-dengar, biaya maintain Tabungan Ekonomi ini cukup banyak menyita laba Bank Central Halilintar, hingga pihak manajemen ingin menghentikan produk termurah itu.
Namun, sebagai bank yang memiliki pelanggan terbanyak dari kaum marjinal—rakyat jelata, sebagian besar penduduk negeri ini—Bank Central Halilintar menghadapi banyak protes. Xander adalah salah satu yang melakukan demonstrasi meminta tabungan ini tidak ditutup.
Dengan kerendahan hati, Xander duduk di jejeran kursi di sudut paling ujung dari banking hall yang besar dan mewah itu. Sudut yang agak muram namun luas ini penuh dengan antrian nasabah yang ingin melakukan transaksi dengan customer service.
Xander melihat sekelilingnya... "Ada tidak kurang dari dua puluh nasabah yang sudah antri duduk dengan wajah cemberut di sana!" batinnya terkejut. "Mungkin mereka bahkan menginap di halaman bank, demi memperoleh kesempatan pertama dilayani oleh tiga customer service."
Waktu bergerak cepat, tahu-tahu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, dan wajah tiga customer service yang awalnya bercahaya penuh senyuman itu kini berubah muram.
Meski banking hall memiliki mesin pendingin udara, ketika tiga gadis berwajah manis itu harus melayani pelanggan dari kaum marjinal—kebanyakan orang tua yang banyak maunya dan banyak bicara—senyuman persahabatan cepat pudar dari wajah mereka.
Tibalah giliran Xander untuk dilayani. Ia berdiri, mendekati gadis customer service yang mengenakan riasan tebal itu.
“Selamat pagi,” sapa customer service itu pada Xander. Ia tersenyum seadanya, matanya sesekali melirik ke cermin kecil yang ia sembunyikan di balik kalender digital.
“Selamat pagi, aku butuh bantuan untuk...” kata Xander terdengar gugup. Baru kali ini dia berdekatan dengan seorang gadis karyawan bank yang cantik, wangi, dan yang penting mengenakan make-up tebal.
“Sebentar, biarkan aku menyemprot parfum dulu, baru melayani Anda...” suara gadis customer service itu terdengar ketus. Dia bahkan tidak mengangkat wajahnya sedikit pun untuk menatap Xander.
Sejak kedatangan Xander dan duduk di kursi di depannya, gadis itu sudah melirik sekilas penampilan Xander. Mulutnya mengerucut.
Gadis customer service itu langsung memindai sepatu Vans KW seharga dua ratus ribu rupiah, dan baju seragam barista dari kain katun murah menghiasi penampilan Xander, seketika ia memasang wajah jijik. Namun, tugasnya di bidang pelayanan mengharuskannya melayani Xander dengan etika terbaik yang bisa ia lakukan.
Ketika Xander hampir kehilangan kesabaran, merasa tak sanggup lagi dipandang rendah oleh gadis customer service yang sombong itu, tiba-tiba gadis tersebut menatap wajahnya. Ekspresinya mengerut, lalu terbelalak seolah-olah mengenali Xander.
Dengan nada dramatis, seolah tanpa sadar, dia bersuara keras.
“Tunggu sebentar. Bukankah Anda Xander Sanjaya, suami Lucy Setiawan? Anda pria konyol yang mengantar Kopi Gula Aren untuk seorang pria yang berkencan dengan istri Anda, bukan? Hahah… aku punya videonya!”
Wajah Xander berkerut. Ia tak menyangka kejadian ketika mengantar minuman pada Kevin, apalagi ketika ia dipukuli Kevin, semua direkam dan disebar melalui media sosial.
“Keparat! Tunggu kau Kevin…” desis Xander dalam hati.
Di sisi lain, dengan gerakan dramatis, gadis customer service itu menutup mulutnya dengan anggun, seolah-olah dia sudah membuat keributan, melanggar SOP sebagai petugas bank.
Sebenarnya, suara teriakan gadis itu dan kata-katanya yang provokatif sudah memancing rasa ingin tahu puluhan orang yang sedang antri di area itu. Bahkan, dua gadis customer service lainnya seketika menghentikan kegiatan mereka, lalu menatap Xander dengan mata jijik, dan berdiri.
Mereka mendekati Lidia, sang customer service, dan ikut menonton video yang diputar di tangan Lidia. Mereka lalu berbisik-bisik, sambil tertawa cekikikan, menatap Xander dengan lirikan penuh penghinaan.
Wajah Xander berubah seperti warna jambu air.
Semua orang berbisik dengan nada kasihan, seolah-olah dia orang paling malang. Namun, sebenarnya ada cibiran di dalam kata-kata pengasihan yang palsu itu.
“Sungguh kasihan! Wajahnya boleh tampan. Sayangnya dia terlalu miskin. Mungkin karena itu istrinya berkhianat dan memilih orang lain yang lebih kaya!” bisik seorang perempuan setengah tua berwajah muram kepada kawannya di sampingnya.
“Kulihat dia mengenakan sepatu murahan produk palsu yang banyak dijual di pinggir jalan. Pantas saja istrinya tak tahan dengan dia!” tambah kawan perempuan itu sambil melirik sepatu Vans KW motif catur milik Xander. Ia sengaja berbicara keras untuk menjatuhkan Xander.
Wajah Xander memerah, telinganya berdenging. Ingin rasanya ia lari meninggalkan area customer service, serta Lidia yang menatapnya dengan tatapan cemooh, dan berkata.
“Kemarikan kartu Tabungan Ekonomi Anda. Paling-paling saldo yang Anda tunggu-tunggu itu hanya sejumlah lima ratus ribu saja!”
Wajah Xander memucat, namun penuh harap. Ia ingin tahu, apa reaksi Lidia jika ia tahu saldo di rekening Xander sebanyak satu kuadriliun?
Bersambung
Ketika gadis customer service itu menerima Kartu Tabungan Ekonomi dari tangan Xander, ia memegangnya dengan telunjuk dan jempol, seolah-olah sedang menjinjing sampah yang menjijikkan.Bahkan, jika Lidia, sang customer service, tidak terikat oleh SOP – Standar Operasional Prosedur Bank Central Halilintar, ia mungkin sudah membuang Kartu Tabungan Ekonomi Xander yang tampak lusuh dan terlipat-lipat itu."Sepertinya pemuda miskin ini selalu mengantongi buku tabungan ini ke mana pun ia pergi. Ia menganggap ini adalah harta karun yang tak boleh ditinggalkan. Aku jadi penasaran, seberapa banyak saldo di rekening ini, sampai-sampai ia membawanya ke mana-mana dan terlihat lusuh!" Lidia berpikir dengan jijik melihat buku yang acak-acakan itu.Namun, mau tidak mau Lidia harus melakukan tugasnya, mencetak saldo di buku tabungan itu.Ketika Lidia membuka lembar kedua, sekilas ia melirik dengan rasa ingin tahu yang mendalam pada isi rekening Xander. Namun, ia hampir pingsan, tak tega melihat bahwa
Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah ap
Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.“Perfect!”Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia y
Duduk di dalam mobil BMW Seri 5 yang masih berbau baru, Xander meresapi aroma jok kulit yang berpadu sempurna dengan dinginnya hembusan udara dari pendingin.Selama hampir satu jam perjalanan menuju Gorilla’s Kafe, tempat dia bekerja, dia tetap diam, membisu. Xander duduk kaku, seolah-olah setiap gerakannya bisa mencemari kemewahan jok mobil yang mengkilap ini.Di sebelahnya, Grace Song juga tak bersuara.Bukannya tak ingin menyapa, tapi Grace yakin diamnya Xander karena masih merasa marah akibat perbuatan tercela Lidia, yang merendahkan dirinya dengan menyebutnya hanya seorang penjudi online rendahan.Keheningan itu akhirnya pecah ketika mobil BMW Seri 5 yang dikendarai sopir pribadi Grace berhenti dengan halus.Xander menghela napas lega, bergegas berkata, “Ibu Grace, terima kasih atas kebaikan Anda, mengantarkan saya ke Gorilla’s Kafe.”Xander menunduk hormat, kemudian berjalan cepat menuju tempat kerjanya yang terlihat cukup ramai dari luar. Dia berusaha menyelinap, menyembunyikan
Jam menunjukkan pukul 20.00, dan Kafe Gorilla’s harus segera ditutup. Lampu-lampu neon di luar mulai meredup, meninggalkan suasana remang-remang yang sepi. Hanya bau kopi yang tersisa di udara, bercampur dengan aroma kayu dan kue yang sudah lama dipanggang.Ketika Xander baru saja selesai membersihkan meja barista, bersiap-siap untuk pulang, Dimas, manajer kafe, memanggilnya dengan suara yang berat dan serius.“Kita perlu bicara empat mata. Seharian sibuk dirimu melayani pelanggan, aku tak bisa mengganggumu sebelumnya,” kata Dimas, sambil menurunkan kursi dari meja dan meminta Xander juga mengambil salah satu kursi yang terbalik di atas meja. Suara gesekan kursi di lantai kayu menambah kesan berat dan serius.“Xander…” kata Dimas dengan nada yang misterius, wajahnya setengah tertutup oleh bayangan.Xander meremas tangannya, membayangkan kalau dia akan dipecat dari jabatannya sebagai barista di kafe itu. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia sungguh
Siapa sangka urusan dengan Grace Song bisa begitu mudah?Penawaran yang dilontarkan Xander hanyalah spekulasi belaka, namun Grace Song tanpa ragu-ragu langsung menjawab."Aku bersedia bekerja untuk Anda, Tuan Xander. Besok setelah mengajukan surat pengunduran diri, aku akan mengunjungi Anda.""Ngomong-ngomong, di mana Anda tinggal? Biarkan aku mengantar Anda mala mini ..."BAM!Kata-kata Grace Song membuat Xander tersadar seketika. "Tak mungkin aku kembali ke rumah itu!"Setelah insiden memergoki Lucy Setiawan, istrinya, berselingkuh, Xander memutuskan untuk meninggalkan rumah mertuanya, tempat mereka hidup menumpang selama ini. Kenangan pahit itu masih jelas di benaknya, menggoreskan banyak luka yang belum sembuh.Melihat jejak keraguan di wajah Xander, Grace Song segera mengambil inisiatif."Baiklah... aku akan mengantar Anda menginap di Hotel Filantrofi, sebuah hotel bintang enam di jantung kota."+++Tak lama kemudian, mobil BMW G20 itu meluncur melewati jalan-jalan kota yang sibu
Terbiasa tidur dalam gelap, nyala sirkuit di layar sistem yang mirip monitor komputer itu membuat Xander terjaga. Cahaya biru yang terpancar menerangi ruangan yang sempit, memberikan kesan dingin dan asing."Apa yang terjadi?" kata Xander dengan mata mengantuk. Ia menguap lebar, mengucek matanya yang berat, dan mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang tiba-tiba menyilaukan.“Sebuah layar komputer? Permainan apa lagi ini?” gumamnya dengan nada bingung.Namun Xander tidak sempat menggerutu lebih lama. Sebuah suara yang akrab di telinganya, suara yang pada malam misterius memberinya uang sebanyak satu kuadriliun, terdengar keluar dari siluet layar komputer.[Mungkin kamu lupa. Tapi izinkan aku untuk mengingatkanmu sekali lagi. Sistem Kekayaan ini bukan cuma-cuma. Kamu harus menyelesaikan quest harian. Paling lambat keesokan hari sebelum pukul 7 pagi!]Xander terkejut, suara itu menusuk telinganya, membawa kembali ingatan malam itu yang penuh teka-teki."Apa maksudmu? Sesungguhnya aku
Sebelum pergi bekerja sebagai Barista di Kafe Gorilla’s, Xander menyempatkan diri untuk memeriksa sistem yang baru ia miliki, di dalam kamarnya.(Dalam hal ini, Xander masih tak percaya kalau dia kaya raya.)Dia duduk di kursi kamar suite Hotel Filantrofi, lalu memerintah dengan suara tenang, namun tegas.“Sistem, nyala!”Mendadak, sirkuit berwarna biru menyala, dan layar terpampang di depan mata. Cahaya biru itu memancarkan kesan futuristik yang membuat ruangan terasa seperti pusat komando rahasia.Sambil menyipitkan mata, ia meneliti satu demi satu informasi yang muncul di layar.“Misi?” batin Xander, merasa penasaran.Dia melihat papan tulisan misi dengan keterangan: "Wajib diambil dua kali dalam sebulan, atau penalti adalah kematian!"Tepat di samping pengumuman misi, ada roda keberuntungan yang berputar pelan.Namun karena Roda keberuntungan itu belum ia klik untuk mendapatkan misi, otomatis tidak terdapat petunjuk di sana, selain gambar roda yang bercahaya, terlihat menggoda dan