“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari.
Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin.
Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita.
“Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.”
Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
“Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.”
Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura tidak mengerti apa yang terjadi antara mereka berdua.
“Tak apa, ponselku kebetulan mati. Memang apa yang dikatakannya?”
“Dia bilang mencintaiku.” Ardani menghela napas panjang. “Tapi dia bilang itu sebagai ungkapan terima kasih. Itu membuatku kepikiran sebenarnya.”
Ah, sial. Aku jadi terlibat hubungan dua orang ini. Bagaimana aku harus menghadapinya. Saranku ternyata malah jadi semakin rumit.
“Maaf, Ardani, aku tidak bisa ikut campur hubungan kalian berdua. Gavin kurang terbuka untuk masalah semacam ini,” kilahku berusaha menjaga nada bicara.
“Iya, benar. Dia selalu menutup diri. Terlebih orangtuanya saja tidak paham dipikiran anak mereka.”
“Apa kamu mencintai Gavin?” selaku.
Ardani mengusap bawah hidungnya. “Aku tidak mungkin mau menikahi orang lain kalau mencintai Gavin.”
“Lantas apa yang membuatmu kepikiran kalau kamu tidak mencintainya?”
“Aku hanya mengkhawatirkannya. Apakah dia tidak rela aku meninggalkan apa yang sudah membuatnya menjadi sekarang ini?” Sejenak dia terdiam. “Kenapa harus mengatakan kalau dia mencintaiku sebagai tanda terima kasih.”
“Apakah Gavin sama sekali tidak pernah membuka diri padamu saat masih menjadi asistennya?”
“Seperti yang kubilang, dia suka menutup diri. Padahal, awalnya dia begitu terbuka bahkan memerintahku layaknya budak. Belakangan ini saja dia sering mengalihkan pandangan sesekali aku kontak mata dengannya,” jelas Ardani.
Aku mengangguk paham.
“Semoga dia tidak kecewa dengan keputusanku. Kumohon jangan ceritakan ini padanya. Takutnya bakal terjadi kesalahpahaman.”
Kuanggukan kepalaku kedua kali. Saat ini aku ibarat brankas. Sebagai penyimpan ‘barang’ berharga. Melindungi rahasia setiap perasaan dua pasangan yang agak runyam. Selama jadi asisten Gavin aku jarang bicara banyak, seringkali hanya cerewet padanya demi menjaga kesehatannya. Ardani dan aku kembali berbincang santai tak lagi membicarakan Gavin. Tiba-tiba aku teringat pada gumaman Ardani.
Saat kutanyakan padanya, dia hanya menggeleng. “Tidak apa-apa, Lingga. Mungkin aku agak kelelahan demi mempersiapkan acara besok.”
“Oh, maaf kalau begitu. Mau kuantar pulang? Aku naik mobilnya Gavin.”
“Tak perlu repot-repot. Aku takut ketahuan orangtuaku kalau pulang bersama pria lain.”
“Bisa kuantar kamu sampai depan pos penjaga. Tidak kelihatan dari lantai apartemenmu, ‘kan?” desakku, “Kamu sudah membelikan susu stroberi dan tidak pernah mengecewakan.” Aku menyeringai.
“Ya, sudah, terserah.” Ardani tersenyum malu sambil bangkit dari kursinya. Betapa bahagianya diriku semobil dengan wanita cantik nan anggun ini. Adakah wanita lain semacam Ardani? Langka sekali sepertinya.
***
Kembali ke apartemen seraya membawakan makan malam Sang Tuan Besar, lantas aku menuju ruang apartemennya. Sekaligus melaporkan apa saja yang sudah kubeli sesuai anggaran. Pada akhirnya, aku membelikan satu set perlengkapan dapur. Jujur saja, aku tidak paham selera Ardani selain buku.
Aku menekan bel. Beberapa menit tak kunjung terbuka pintunya, sesaat aku khawatir pada Gavin. Dia tak mungkin pergi begitu saja tanpa mengabariku. Ponsel aku keluarkan dengan segera menghubungi nomornya. Namun, tak terjawab.
“Astaga. Orang ini ke mana?” Kekhawatiran mulai melandaku. Sebab, dua bulan lalu Gavin pernah ambruk akibat asam lambungnya naik. Lekas diriku membawanya ke rumah sakit dan dia harus dirawat selama seminggu. Semoga tidak terulang lagi mengingat di kulkasnya masih tersimpan dua botol bir. Sembrononya aku kelupaan membuang minuman busuk itu.
Sementara aku menunggu balasan dari Gavin, sesosok pria datang tepat di sebelahku berdiri sambil membawa sekantong plastik. Aku menoleh terkejut. Ingin rasanya aku meneteskan air mata saking paniknya.
“Kau dari mana?” hardikku.
“Beli camilan. Di bawah ‘kan, ada minimarket. Kau lama tinggal di sini, sudah lupa?”
Kukepalkan tanganku bersiap ingin meninju perutnya supaya asam lambungnya kambuh. Tapi, mengingat aku pergi cukup lama, dia membeli cemilan itu demi mengganjal perutnya. Kusodorkan makan malamnya meskipun ini masih pukul lima sore.
“Ayo, masuk dulu. Kita makan bersama,” ajak Gavin membuka pintu.
Kemudian aku segera ke dapurnya, membuka kulkas. Namun, tidak mendapati dua botol bir. Menyadari apa yang kulakukan dari ruang makan Gavin berseru sudah membuangnya. Maka dari itu, kemarin dia menanyakanku apakah menyediakan bir.
“Syukurlah kalau kau ingat kesehatanmu.”
Dia menyeringai. “Kau seperti ibuku, cerewet. Tapi aku menyayanginya.”
Aku membalas mendengus. Kami lalu melanjutkan makan malam sembari membicarakan barang yang sudah kubelikan sebagai hadiah untuk Ardani.
“Terima kasih sudah repot membelikan hadiah spesial untuknya. Alasan aku ingin kau sekalian membelikan makan malam supaya aku tidak terlalu lama menunggumu pulang. Perutku ini tidak boleh sampai kosong.”
“Iya, maaf, Tuan Besar,” balasku.
“Besok pagi kenakan pakaian terbaik. Jangan sampai mengecewakan Dani. Aku sudah merelakannya bersama pria lain yang lebih kaya dariku.”
“Sombong sekali. Kau sarkasme atau bagaimana?”
“Setelah tahu profil perusahaan calon suaminya, rupanya profitnya lebih besar dariku.” Gavin mengedikkan bahu, mencibir. “Setidaknya tahun lalu perusahaan ayahku berhasil masuk Forbes. Sedangkan perusahaan calon suami Dani pernah tersandung kasus-”
Tanganku memukul meja menghentikan kesombongannya. “Diamlah, ganti topik lain. Bicara bisnis tidak ada gunanya padaku. Kau hanya ingin sombong, bukan? Kalau kau bicara begini di depan Ardani, bisa didepak!” kataku gusar.
Gavin tercenung dengan ucapanku barusan. Tentu saja, Ardani tidak mungkin mendepak Gavin. Tapi, itu bakal menyakiti hatinya, sudah pasti. Dia bilang, perusahaan calon suami Ardani pernah tersandung kasus? Ah, entahlah aku tak ingin membahasnya. Selesai makan malam aku segera kembali ke apartemenku bersiap istirahat dan menyiapkan untuk acara besok.
Esok paginya, kami segera menuju sebuah hotel mewah tempat melangsungkan acara pernikahan Ardani. Kali ini Gavin yang menyetir. Dia kelihatan sumringah sedari tadi. Pakaiannya begitu rapi mengenakan jas formal berwarna biru navy dipadukan kemeja serta dasi warna hitam serasi. Semerbak wangi parfumnya kembali menyeruak hidungku. Aku meyakini dia bakal memikat para wanita setelah acara ini berakhir.
Sampai di ruang aula hotel yang begitu indah dekorasinya, aku dan Gavin segera duduk pada meja khusus VIP. Seperti biasa, semua diatur oleh Ardani sendiri, sangat totalitas. Tak lama, acara pun dimulai dengan sang calon pengantin pria sudah menunggu di altar. Selesai membacakan semacam pembekalan pada calon pengantin pria, kami semua tamu undangan menatap tertuju pintu masuk. Menunggu calon pengantin wanita yang anehnya tak segera muncul.
Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s
Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny
Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s
“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti