Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini.
Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar.
Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarnya, kalau kita bermimpi saat tidur artinya otak kita menandakan masih bekerja dengan baik. Kecuali di saat letih. Kau seakan layaknya orang mati.
“Oi, Ngga, tolong, rak bagian susu ditambah lagi!” Perintah Doni. Si kasir yang tidak mau menggantikan aku seharian ini mondar-mandir dari gudang makanan.
“Oke,” jawabku tanpa mengeluh. Kuseret kakiku berjalan lagi masuk gudang mencari satu kotak kardus penuh berisi susu kotak.
Bekerja sebagai pegawai minimarket kenyataannya ada sedikit suka tapi lebih banyak duka. Yang kusukai bekerja di minimarket ini, dapat banyak teman. Bisa berbincang dengan bermacam konsumen yang cerewet ̶ tidak semua, hanya kebanyakan yang kutemui seringnya lebih cerewet. Hikmahnya, aku sebagai laki-laki jadi terbiasa sabar. Dukanya, yah, aku jadi kurang mencari pengalaman dunia luar.
Terus terang, aku sendiri mulai bosan bekerja sebagai pegawai. Kalau dihitung-hitung memasuki bulan ini sudah tiga tahun aku bekerja. Karena aku tidak tahu harus ke mana lagi demi memenuhi kehidupan sebagai anak rantau di ibu kota metropolitan. Aku memutuskan pergi dari rumah lantaran aku tidak punya orang tua. Bisa saja aku mencari pekerjaan di kota asalku, tapi sebagai laki-laki pada umumnya aku lebih suka mencari nafkah dan pengalaman banyak dari manapun.
Aku melirik arloji lawasku pemberian dari almarhum bapak. ‘Penuh kenangan’, kata beliau. Arloji ini diberikan ketika aku masuk kuliah semester pertama. Suatu hari, aku pulang bersama tukang ojek di daerahku. Di saat itu juga aku melihat kecelakaan. Korbannya adalah bapakku. Seketika beliau meninggal di tempat kejadian.
Betul, arloji ini banyak kenangan. Kenangan yang tidak perlu kuingat semestinya.
“Don, aku mau istirahat sebentar lagi,” pintaku setelah menata susu-susu kotak.
Lelaki di balik meja kasir itu mendongak. Tangannya tak lepas dari uang yang sedang bergerak menghitung. Mulutnya komat-kamit hanya menjawab menggunakan kepalanya seraya mengangguk. Doni ini seorang lulusan sekolah akuntasi, kalau sambil memejamkan mata otaknya sudah spontan menghitung uang seperti mesin.
Di kepalaku terbersit ingin mengganggunya. Selagi toko sedang tidak ada orang pada jam mendekati makan siang. Aku menghampirinya melongokkan kepalaku penasaran dengan kegiatan kawan kasirku ini. Pelan-pelan tangan kiriku bergerak meraih sikut tangan yang sibuk menghitung lembaran uang. SRAK!
Uang berhamburan. Aku berlari secepat kilat, sayangnya, sedikit terpeleset saking cerobohnya.
“LINGGA! Kau ini lupa umur, hah?” Teriak Doni mendengus kesal.
Dia marah tentu saja. Mengulang hitungan uang merupakan hal yang menyebalkan. Tapi, aku tidak peduli. Beginilah aku akibat saking bosannya. Pegawai lain sudah biasa meladeni keusilanku. Terkadang tak hanya jail. Aku pernah mengkhayalkan hal-hal aneh. Misalnya, minimarket ini mendadak diserang para berandal kriminal lalu menembaki kaca-kaca toko menggunakan senjata.
Atau bahkan di kala aku bergantian sif malam membayangkan tiba-tiba ada wanita bermulut sobek membeli pembalut. Yah, menurutku itu lucu. Setelah aku bercerita pada kawan-kawan sesama pegawai mereka hanya melirikku tak percaya. Malahan kepalaku ditimpuk kardus bekas.
Akhirnya, bisa istirahat di ruang belakang merupakan suatu kebebasan. Aku mengambil botol minumku dari tas punggung. Meneguknya hingga hampir setengah masih menahan tawa akibat ulahku sendiri. Setelah minum pun rasanya napasku masih tersengal-sengal. Sebuah kursi kosong menggodaku untuk segera duduk supaya diriku tenang.
Sudah waktunya makan siang. Bekal di dalam tas kuambil bersamaan dengan sebuah novel detektif terbitan terbaru. Novel karangan orang Indonesia yang misterius. Dwi S Anggara tertera di punggung buku dan sampul depannya. Selain novel luar negeri atau pengarang detektif lainnya, Dwi S Anggara adalah yang paling aku nikmati.
Aku suka baca semua novel detektif atau pembunuhan semacamnya. Ingin kucoba membaca berbagai genre namun entah mengapa aku malah belum menyukainya. Sebab, dari segi cerita rata-rata lebih seperti teka-teki untuk novel detektif. Penulis meminta kita berpikir dan menebak jalan ceritanya. Dan aku menyukainya. Untuk novel karangan Dwi Anggara ini hampir mirip cerita Sherlock Holmes dipadukan supranatural dengan mengambil lokasi latar belakang di Indonesia.
Itulah kenapa aku suka berkhayal yang tidak bisa diterima banyak orang. Doni juga sempat menyuruhku lebih baik khayalanku ini diceritakan kepada khalayak umum. Bagi mereka yang menyukai cerita-cerita di luar nalar pasti bakal membacanya. Menurutku ide Doni menarik dan aku sudah mencobanya. Sayangnya, baru dapat setengah halaman aku menyerah. Begitu mengusir kebosanan, kuambil segera novel karangan Dwi Anggara. Biarkan otakku saja yang bereksplorasi.
Novel-novel Dwi Anggara sudah aku kumpulkan dari awal pertama kali terbit dua tahun lalu hingga yang terbaru di tahun ini. Dia begitu dikagumi hingga media-media banyak membicarakan pengarang misterius ini. Tidak ada yang tahu di mana dia tinggal, media sosial bahkan tidak ada. Kecuali para penggemarnya yang seakan mereka pemilik akun Dwi Anggara. Bagaikan dikendalikan oleh seseorang, dia harus disembunyikan lalu penerbit itu menggunakan uangnya.
Seseorang mendadak menepuk pundakku. Aku mendongak menatap mata seorang gadis. “Sudah selesai makan, Ngga?” tanya Cintya. Dia harus menggantikan Doni untuk sif kasir.
Aku masih termenung mengumpulkan kesadaran. Bayangan cerita dari novel Dwi Anggara belum bisa mengembalikanku kembali pada realita.
“Eh, belum. Baru saja mau makan siang,” jawabku.
“Kau ini, saking seriusnya baca sampai kelupaan makan.”
Wajahku memerah karena malu. Ibarat bocah yang ketahuan makan tidak dihabiskan.
Cintya mengamati bekal makan siangku seperti tergoda, “Lauk apa hari ini? Bekalmu selalu menarik setiap hari.”
“Mau minta?”
Cintya menggeleng.
“Aku sudah makan tadi.”
Buku novel kutaruh di samping bekal lalu aku melanjutkan makan. Masih menatapku selagi makan siang, tiba-tiba Cintya berceletuk, “Kau bisa jadi istri yang berbakat.”
Sontak aku tersedak keras. Cintya ikut terkejut dengan reaksiku. Dia segera mengambil botol air minumku dan habis sudah air minumku.
Tak kusangka dia lebih parah.
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
“Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.” Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli. Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku. Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supay
Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering. “Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin. Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.” “Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa. Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan. Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku. “Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?” “W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap. Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny
Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s
“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti