Beranda / Urban / Rahasia Hilangnya Sang Pengantin / Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

Share

Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

Penulis: AIr Tuya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?”

Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara.

“Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis.

Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya buatan Dwi Anggara ini tidak main-main. Dwi menekan tombol elevator kembali, tapi pintunya tak segera terbuka karena masih berjalan.

“Kita bicarakan nanti kalau sudah di atas.” Dwi celingukan seperti tidak ingin identitasnya diketahui siapapun. Aku masih tak percaya dengannya, tapi aku berusaha meredakan keragu-raguanku. Pada akhirnya, aku mematuhi perintahnya.

Pintu elevator terbuka mengeluarkan suara berdenting. Kami berdua masuk ke dalam dan menyebalkannya, hanya kami berdua di sini. Apartemen ini begitu mewah, namun aku bertanya-tanya mengapa demikian lengang. Kami berdua masih terdiam.

Tiba-tiba, hidungku mencium bau semerbak. Bukan, ini bukan bau pengharum ruangan. Bau ini muncul dari tubuh Dwi yang berdiri di hadapanku. Astaga, feromon itu lagi. Aku malah jadi mual. Kututup indra penciumanku mengurangi semua yang bercampur aduk. Antara ketegangan dan kecanggungan membuatku semakin gusar. Elevator masih berjalan menampilkan angka-angka digital yang telah melewati banyak lantai.

Aku memandang kartu–aku belum terbiasa menyebutnya kunci ̶ menampilkan desain tipografi nama apartemen ini. Sangat elegan, bahkan tidak sampai terpikirkan aku bisa memegang benda ini. Terlebih aku harus tinggal di sini demi mengurus hidup sang penulis pujaan. Yah, setidaknya aku bisa dapat pengalaman dan ilmu darinya, tidak lupa aku akan melanjutkan naskahku yang terbengkalai.

“Why are you sudden smiling?” Dwi memecah lamunanku. Aku mengumpat pada diriku yang tak sadar tersenyum akibat pikiranku.  

“Nothing.” Timpalku sambil menggeleng. Orang ini bisa melihatku mendadak tersenyum ternyata tak kusadari tanganku terlepas dari hidung demi menghindari bau feromonnya. Aku pura-pura berdeham menahan malu.

Dwi memecah keheningan di antara kami berdua, “Kamu mau aku bicara pakai Bahasa Ibuku atau Ayahku?”

Aku bingung. Mana aku tahu kalau Dwi blasteran. Rambutnya yang agak gelap dipadukan matanya hijau berkilat lebih mirip orang Kaukasia dari pada blasteran yang seperti kukira. Aku sangka, dia bisa berlogat lokal karena memang sudah lama tinggal di Tanah Air tercintaku ini. “Anda orang blasteran?” tanyaku.

“Apa itu?”

“Uh, memiliki darah campuran.”

“Oh, mixed-race, maksudmu?”

Aku mengangguk. Ya, itulah pokoknya.

“Iya. Ibuku asli orang Indonesia, sedangkan Ayahku Scottish. Maaf, ya, mungkin masih ada kata-kata yang tidak begitu kupahami. Seperti ‘blasteran’ tadi,” papar Dwi. Kepalaku mengangguk paham.

“Senyaman Anda. Boleh bahasa lokal atau Inggris, tidak masalah. Saya bisa mengerti,” balasku. Seorang asisten perlu bersikap profesional. Sudah selayaknya menguasai beberapa bahasa merupakan nilai tambah. Meskipun, aku berasal dari keluarga biasa saja, bahasa asing itu penting untuk dikuasai. Kalian tahu, globalisasi modern. Mau tak mau kita harus mengikuti jaman yang semakin cepat maju dan berkembang.

“Itu yang kusuka darimu. Aku juga mendengar dari wawancaramu, kamu terdengar paling cakap dari para calon lainnya. Entahlah, mereka kurang sesuai. You know what I mean?” Dwi mengedikkan bahunya. Aku berkedip dan sekali lagi manggut-manggut.

“Terima kasih. Semoga saya tidak mengecewakan Anda.” Aku mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Dwi meraihnya. Genggamannya sangat kuat. Dibandingkan tanganku, warna kulitnya pun begitu pucat. Atau mungkin karena kulitku yang terlalu sawo matang. Baru kusadari, sejak pertama kita bertemu sama sekali belum bersalaman.

Bunyi elevator berdenting kembali menandakan lantai yang kami tuju telah sampai. Lantai terdiri lima puluh lantai setelah aku sekilas memperhatikan tombol-tombol di elevator. Sedangkan tempat tinggal Dwi berada di lantai tiga puluh. Dwi keluar, kemudian aku menyusul langkahnya yang panjang. Jujur saja, aku tak berani menengok jendela di sudut lorong apartemen. Baru membayangkan, mendadak kepalaku pusing.

Kami berdua telah sampai di depan salah satu pintu. Benar-benar aku tidak mengerti rasanya tinggal di tempat setinggi ini. Aku sangat terpukau lantaran aku bukan orang asli yang tinggal di area semacam ini. Bahkan kosanku yang sempit bukan apa-apa. Aku lebih memikirkan perutku dari pada tempat tinggal mewah. Dwi menoleh menatapku sambil menunjukkan jarinya ke lorong yang berlawanan.

“Kamu kamarnya di seberang sana. Tadinya, aku ingin kamu tinggal di sebelahku.” Dia diam sejenak, lalu berbisik, “Tapi sudah kedahuluan bapak-bapak tua.” Dwi tersenyum simpul menunjukkan tidak enak hati telah menawarkan sebuah kamar apartemen yang tidak berdekatan dengannya. Justru aku bersyukur bisa lebih jauh darinya.

“Oh, oke. Tidak masalah.” Aku mengembalikan langkahku menuju lorong yang dimaksud. Dwi tiba-tiba memanggil menyuruhku untuk menunggunya. Dia membuka pintu seketika melemparkan tasnya ke dalam. Aku menebak tas itu berisi laptop mahal dan barang berat lainnya. Menimbulkan suara berdebum.

“Ayo, kuberi arahan. Kamu belum pernah tinggal di tempat semacam ini, kan?” Dwi menyambar kunci yang kupegang. Kuikuti langkahnya dan kami kembali menyeberangi lorong jalan dari elevator tadi. Tidak jauh, Dwi berhenti di depan pintu nomor 3004. Dia mengajariku cara membuka pintu dengan menempelkan kartu pada semacam alat pemindai di gagangnya.

“Wow.” Aku berdecak kagum. Dwi menyeringai mengejekku. Wajahnya jadi menyebalkan.

Dwi menyilakanku masuk sambil menahan pintu dengan penahan magnet di bawahnya. Aku terpana sambil menengokkan kepalaku ke sana kemari.

“Kamu sudah jadi resign dari pekerjaanmu sebelumnya, kan?” Dwi menyilangkan tangannya bersandar di dinding pintu. Aku menoleh cepat.

“Iya. Saya sudah siap mulai bekerja.”

Dwi menepuk tangannya sekali. “Bagus! Setelah ini bawa barang-barang keperluanmu dan pindahlah kemari. Kamu tidak perlu bayar sewa apartemen ini.”

“Baik. Kalau begitu permisi, saya mau kembali ke kosan dulu. Terima kasih banyak atas perhatiannya, Dwi.”

“Hei, panggil saja aku Gavin mulai sekarang.”

“Eh? Ma-maaf? Bukankah nama Anda, Dwi Anggara?” celetukku.

“Dwi Anggara nama samaranku. Nama asliku Gavin. Di bukuku tercantum Dwi S Anggara, S-nya adalah Sano. Aku mencuil dari nama asliku Gavin Wells Tasano.”

Aku bingung.

“Besok sore kita berangkat ke luar kota untuk riset novel terbaruku. Jadi, bersiaplah.”

Bab terkait

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 11 Masa Percobaan

    "Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 12 Wanita Cantik Itu Datang

    Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 1 Terbang Menuju Ibu Kota

    “Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.” Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli. Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ­̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku. Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supay

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 2 Tak Disangka Ia Menelepon

    Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering. “Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin. Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.” “Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa. Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan. Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku. “Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?” “W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap. Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 3 Hadiah Pernikahan

    Keesokan pagi, aku tersadar kalau kami berdua belum jadi menyiapkan sebuah hadiah untuk pernikahan Ardani. Bagi kaum lelaki, ini memang agak merepotkan. Pasalnya, bahkan Gavin sendiri tidak mengerti apa yang disenangi Ardani. Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab, “Kosmetik. Berikan saja hadiah kosmetik bermerek mahal. Semua wanita menyukainya. Aku tak peduli.” Aku tahu Ardani betul rupawan. Namun, sesekali aku tak pernah melihatnya mengeluarkan alat kosmetik setiap kami berjumpa. Dan bagaimana aku tahu kosmetik yang cocok untuk kebutuhan kulitnya. Semua wanita itu penuh ketelitan demi menjadi cantik. Baiklah, aku akan paksa Gavin ikut mencarikan hadiah demi mantan asistennya itu, sekaligus kenang-kenangan bagi Ardani dari kami berdua. Untung saja acara pernikahannya esok pagi. Jadi, kami masih ada waktu menentukan. Tidak ada tanda-tanda Gavin bangkit dari tidur lelapnya. Semalam dia akhirnya kembali ke ruang apartemennya sendiri. Syukurlah, aku tak perlu repot-repot tidur di sofa.

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

    “Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

    Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

    Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny

Bab terbaru

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 12 Wanita Cantik Itu Datang

    Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 11 Masa Percobaan

    "Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

    Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 9 Pseudonym

    Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 8 Who's that handsome guy?

    Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

    Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

    Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

    Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

    “Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti

DMCA.com Protection Status