Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan.
“Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir?
“Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat.
Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kursi furnitur kantor supaya terkesan sebuah kantor rumahan. Tidak terlalu sempit untuk kapasitas tiga atau lima orang, menurutku, jika lebih mungkin bakal sesak. Tiba-tiba sosok perempuan sedikit tambun muncul dari balik tembok pembatas ruang.
“Oh, welcome. Who are you bringing with?” Perempuan itu menghampiri kami penasaran. Tapi dia melirikku hati-hati. ‘Bringing’? Apa aku ini semacam benda? Apa yang harus kukatakan pertama kali?
“Looks like we have a guest. I just met him outside,” jawab si bule sembari menoleh padaku mengedipkan sebelah matanya. Dia mengedipkan mata, kenapa aku merasa geli. Sepintas kedua bola matanya begitu hijau dan… jernih. Orang tuanya makan apa sampai begitu sempurnanya anak mereka ini. Bule itu kemudian masuk di balik ruangan.
Perempuan tambun itu menyilakan aku duduk. Dia begitu sopan menungguku untuk duduk terlebih dulu baru dia mengikuti. “Maaf, kalau boleh tahu, mau bertemu siapa di sini?”
“Oh, saya ingin melamar menjadi asisten penulis di penerbit ini. Apa betul ini penerbit Medium Media?” tanyaku basa-basi. Jujur saja, aku meragukan tempat ini. Bahkan seingatku Medium Media terkenal dengan toko bukunya yang estetik. Tapi kenapa kantor ini-
“Betul sekali. Pasti bingung, ya, kenapa kantor ini di luar ekspetasimu dari pada toko bukunya?” Perempuan itu seperti bisa membaca pikiranku. Mungkin, dia memang bisa membaca raut wajahku. Aku membalas sedikit tertawa sambil manggut-manggut. Aku akui, perempuan ini sangat ramah dengan cara bicaranya terhadap orang asing.
“Kantor ini khusus untuk para penulis yang menerbitkan karya mereka di penerbit ini. Bukan semacam tahanan, ya, kantor ini memang dibuat untuk para penulis yang sedang jenuh di rumah mereka. Lihat saja di depan banyak hijau-hijau, kan? Ya, ternyata cukup banyak penulis tertarik di tempat ini,” terang perempuan itu.
“Ya ampun sampai lupa perkenalan diri. Namaku Bella. Anggap saja kita sudah kenal lama, jadi nggak perlu sungkan yang penting sopan.” Bella tersenyum lebar seperti hari-harinya tidak pernah ada beban.
“Nama saya Lingga. Terima kasih sudah menerima saya. Saya kira kantor pusatnya sudah pindah di sini.”
Bella menggeleng. Rambutnya yang dia kuncir nampak kemilau dan rapi seperti habis perawatan. “Kantor pusat masih di wilayah Barat. Jadi, di sini kamu bakal menjadi calon asisten seorang penulis. Kamu yakin bisa?”
“Ya, saya harap bisa diterima. Maaf, kalau boleh tahu, penulis siapa yang membutuhkan asisten?”
“Aku mau mewawancarai kamu dulu, kalau berhasil, baru kuberitahu. Jika gagal kamu tidak boleh tahu siapa sosok penulis ini. Oke?”
Aku tercenung. Kenapa penulis ini begitu merahasiakan dirinya. Namun, aku memaklumi itu, akhirnya aku mengangguk.
Beberapa pertanyaan mulai dilontarkan dengan mudah kujawab semua tanpa kendala. Aku begitu gugup meskipun hanya kita berdua di ruang tamu ini. Kalian pikir, aku pasti bakal dibawa ke dalam ruangan untuk wawancara. Bella tidak suka itu, dia orangnya tidak suka mengintimidasi. Sebisa mungkin, tidak ada rasa canggung. Aku berhasil menjawab beberapa pertanyaan, tapi ada satu yang aku sendiri tidak bisa berbohong.
“Apa kamu rajin menulis?”
“Saya rasa begitu.”
“Berapa halaman dan berapa lama waktu pengerjaan?”
Sial, kalian tahu, kan, semalam aku tidak dapat menyelesaikannya. Apalagi naskah sudah terlantar selama satu bulan lebih sedikit. Sayang sekali, ini sudah mentok dan aku tidak bisa berbohong. Sebelumnya Bella menjelaskan, wawancara ini begitu terkait dengan sang penulis. Aku harus bisa membantu pekerjaannya jika ia sudah kewalahan dalam menulis. Kalau tidak bisa mengikuti di bawah jadwal ketat sang penulis, ia tidak segan-segan memecatku.
Dari hasil wawancara bersama Bella, dia mengatakan aku tidak diterima sebagai asisten penulis misterius ini.
Bella menggeleng sedih. Dia mengatakan aku begitu cakap dalam berkomunikasi. Bahkan pikiranku mengatakan aku bisa saja berbohong sanggup mengikuti jadwal ketatnya sang penulis. Aku tidak bisa memaksa diriku ketimbang aku mengalami tekanan mental.
Alhasil, aku berpamitan dan tak lupa mengucapkan terima kasih sudah diterima baik di kantor ini. Omong-omong pria bule tadi sama sekali tidak memperlihatkan batang hidungnya lagi. Aku ingin berpamitan dengannya.
Aku melangkahkan kakiku meninggalkan kantor. Lantas sayup-sayup aku mendengar suara dari pria bule itu. Kakiku berhenti sejenak ingin menguping. Walaupun si bule bicara bahasa Inggris, aku bisa memahaminya. Tapi tak kusangka, setelah menguping sebentar bule itu ternyata lancar menggunakan bahasa lokal. Sekilas aku mendengar Bella memujiku dari wawancara barusan. Senang rasanya seseorang mengetahui potensiku selain sebagai pegawai minimarket.
Ya sudahlah, kalau memang ini bukan jalanku untuk pindah profesi. Aku berhenti menguping berpaling dari pembicaraan dua orang di dalam. Tiba-tiba, seseorang memanggilku saat aku tiba di motorku.
Pria bule itu berlari kecil menghampiriku. Lagian dia tak perlu berlari karena aku bahkan belum bersiap menaikkan kakiku ke sepeda motor.
“Lingga, do you want to be a writer's assistant?”
Aku mengedikkan bahu, “Well, at first, but I weren't accepted.”
“Can you cook?”
Seketika kedua mataku melebar. Apa-apaan? Pertanyaan macam apa itu? Dan apa hubungannya orang ini dengan ini semua. Kalau memang pegawai kantor penerbit kenapa dia tidak muncul sedari awal dan bisa saja dia turut mewawancaraiku. Tapi, aku menjawab dengan anggukan. Sudah berapa kali seharian ini aku manggut-manggut.
“Ah, bagus! Kamu kuterima sebagai asistenku. Selamat, Lingga.”
Orang ini menjulurkan tangannya mengajak bersalaman. Senyumnya melebar senang. Sepintas wajahnya bersinar dan merona merah saking (mungkin) panasnya matahari.
“Tunggu. Apakah Anda salah satu pegawai dari kantor ini? Kenapa pertanyaannya seperti itu? Bahkan Kak Bella saja tidak ada memberikan pertanyaan tentang memasak?” bantahku tak percaya.
“Aku seorang penulis dan aku mau kamu menjadi asistenku.”
Lengang sejenak.
“Dari balik ruangan kudengar kamu begitu menyukai novelis bernama Dwi Anggara. Well, salam kenal.”
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
“Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.” Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli. Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku. Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supay
Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering. “Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin. Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.” “Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa. Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan. Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku. “Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?” “W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap. Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang
Keesokan pagi, aku tersadar kalau kami berdua belum jadi menyiapkan sebuah hadiah untuk pernikahan Ardani. Bagi kaum lelaki, ini memang agak merepotkan. Pasalnya, bahkan Gavin sendiri tidak mengerti apa yang disenangi Ardani. Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab, “Kosmetik. Berikan saja hadiah kosmetik bermerek mahal. Semua wanita menyukainya. Aku tak peduli.” Aku tahu Ardani betul rupawan. Namun, sesekali aku tak pernah melihatnya mengeluarkan alat kosmetik setiap kami berjumpa. Dan bagaimana aku tahu kosmetik yang cocok untuk kebutuhan kulitnya. Semua wanita itu penuh ketelitan demi menjadi cantik. Baiklah, aku akan paksa Gavin ikut mencarikan hadiah demi mantan asistennya itu, sekaligus kenang-kenangan bagi Ardani dari kami berdua. Untung saja acara pernikahannya esok pagi. Jadi, kami masih ada waktu menentukan. Tidak ada tanda-tanda Gavin bangkit dari tidur lelapnya. Semalam dia akhirnya kembali ke ruang apartemennya sendiri. Syukurlah, aku tak perlu repot-repot tidur di sofa.
“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti
Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang
"Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud
Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu
Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a
Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs
Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me
Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny
Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s
“Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti