Beranda / Urban / Rahasia Hilangnya Sang Pengantin / Chapter 2 Tak Disangka Ia Menelepon

Share

Chapter 2 Tak Disangka Ia Menelepon

Penulis: AIr Tuya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering.

Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin.

Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.”

“Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa.

Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan.

Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku.

“Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?”

“W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap.  

Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang akan mereka bicarakan. Ketika Gavin mengangkat ponsel ke telinganya, tangan yang lain menghentikanku supaya diam di tempat. Gavin melengos dariku. Bagaimana aku bisa mendengar percakapannya jika aku berdiri jauh darinya.

Gavin berkata jika dia dihubungi siapapun, tidak masalah aku menguping dan mengungkitnya jika memang dia mengalami kesulitan. Agar aku bisa membantu menyelesaikan urusannya tanpa repot harus Gavin ulangi setelah percakapannya bersama orang lain. Bukankan itu privasi? Ya, tentu saja. Gavin menganggapku tidak hanya sebagai asisten, tapi layaknya sebagai adik ̶ orang bijak mana yang mengatakan seorang adik malah merawat kakaknya. Bahkan Ardani pernah berpesan, dengarkan saja semua keluhan Gavin sampai aku muak. Kemudian mulailah bicara jika dia sudah selesai mengeluh. Bicara baik-baik, turuti permintaannya. Aku sempat ingin mengundurkan diri, tapi aku teringat sedang butuh uang.

Aku tak mau hanya berdiri di sini. Lebih baik aku menyusulnya. Bila dia menjauh begitu, itu artinya dia bisa menanganinya sendiri tanpa bantuanku. Di balik perbincangan jarak jauh dengan Ardani, lamat-lamat terdengar suara Gavin menjadi kalem. Sungguh berbeda sekali ketika bicara dengan orang lain, padaku atau bahkan orang tuanya. Dia menuju kursi lobi tamu apartemen menandakan obrolan ini bakal memakan waktu lama. Aku tidak peduli, aku suka menguping pembicaraan Gavin.

Sambil menggendong tas punggungku yang berat, kusandarkan segera di bawah kakiku kemudian kuletakkan pantatku di atas bantalan empuk kursi lobi apartemen ini. Aku menghela napas lega seraya kepalaku menengadah menatap lampu-lampu minimalis gemerlapan. Gavin yang menyadari, tidak menghiraukan diriku duduk di seberangnya. Dan baru kusadari ponselku masih dalam keadaan mati. Sudahlah, lagi pula aku malas membuka ponsel. Apalagi kedua mataku sudah tak ingin bekerja setelah seharian ini.

Sayup-sayup aku mendengar pembicaraan mereka berdua begitu serius sehingga aku harus konsentrasi mendengarkan. Aku tatap Gavin sambil mengangkat alis mengartikan apa yang sebenarnya kalian bicarakan. Gavin yang merasakan tatapanku, dia hanya menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. “She is just asking me”. Aku pun membalas mendengus karena tidak mendapatkan jawaban pasti. Terserah lah, seluruh tubuhku rasanya benar-benar letih.

Kepalaku kembali menengadah pada sandaran kursi. Kupejamkan kedua mataku sebentar demi menghilangkan rasa pedih. Tiba-tiba aku mendengar Gavin mengucapkan, “Aku mencintaimu”. Sontak kepalaku terangkat akibat reaksi otakku mendengar kalimat itu dari mulut Gavin.

“Aku mencintaimu sebagai rasa terima kasih. Kamu sudah membantu, menemaniku menulis hingga menghasilkan karya-karya terbaik dari pertama kali sampai berhasil, Dani.” Gavin tersenyum tipis. Kedua bola matanya yang kehijauan berkilap sayu menahan kesedihan.

Astaga? Dia benar-benar mengungkapkan isi hatinya seperti saranku. Meskipun memakai alasan lain demi  menutupi kebenaran agar tidak menyinggung perasaan Ardani. Aku tidak bisa membaca pikiran, tapi dari gerak-gerik Gavin semakin dia kepikiran dengan ucapannya. Gavin duduk membungkuk meremas rambutnya. Dari suaranya dia masih kukuh tidak terdengar sedang karut-marut.

“Harapanku semoga kamu bahagia, Dani. Ini semua bukan perpisahan selamanya. Kita masih berkomunikasi, meskipun, entahlah, suamimu akan membolehkannya atau tidak.” Kalimat terakhir itu terdengar dari suara Gavin mulai berguncang. Aku menggeleng turut bersedih.

Keadaan semakin tak nyaman, kuputuskan untuk meninggalkannya. Ketika aku bangkit dari kursi, pergelangan tanganku dicengkeram tiba-tiba. Aku menatapnya dan tak tahu harus bagaimana. Yah, bisa dibilang ini kesalahanku telah memberinya saran dengan menyatakan isi hati Gavin. Dia melirik tajam padaku seakan-akan menuduh. Kalau aku perempuan, mungkin lirikannya ini bakal membuatku luluh saking tampannya. Sayang sekali, sebagai laki-laki ingin rasanya aku tonjok.

“Selamat malam, Dani. Sampai bertemu lagi di hari bahagiamu. Kuusahakan di prosesi pernikahanmu akan datang tepat waktu.”

Gavin menutup teleponnya. Kemudian dia melepas tanganku dan berlalu meninggalkanku. Aku biarkan dia naik ke kamar terlebih dulu, lagi pula ruangan apartemen kami berjauhan.    

***

Selesai membersihkan seluruh tubuhku serta berbenah barang, aku melempar diri ke atas kasur. Beberapa menit ingin memejamkan mata, seseorang membunyikan bel interkom. Tak perlu bertanya siapa sosok di balik layar interkom. Aku membuka pintu mendapati Gavin masih belum berganti pakaiannya sedari pagi tadi. Kemeja abu-abunya terlihat kusut seperti tampangnya sekarang.

“Sebelum tidur, tolong, mengobrol denganku dulu, Lingga. Kalau tidak mau, kupotong gajimu dua bulan,” sergah Gavin. Padahal aku belum sempat bertanya apa yang terjadi padanya. Mungkin wajahku sudah memerlihatkan ekspresi menyebalkan tidak ingin menerima siapapun di jam segini.

Pintu kubuka lebar-lebar menyilakannya masuk tanpa berkata-kata. Sekilas bau tubuhnya tidak berubah semenjak kita berpergian dari pagi di kota lain. Merek parfum mahal memang berbeda. Dia berhenti mengamati sekeliling ruangan apartemenku. Apa lagi yang dia inginkan. Gavin lantas bertanya apakah aku punya bir.

“Tidak. Aku tidak berencana untuk merusak ginjalku, Gavin,” jawabku sambil lalu. “Kalau mau air panas atau coklat panas, kusiapkan.”

Gavin mendengus. “Kalau begitu biarkan aku minum kopi.” Seketika aku menoleh padanya.

“Tentu aku sedia kopi. Sayang sekali, aku tidak akan membuatkannya untukmu. Kau sengaja tidak ingat dengan penyakitmu?” Aku mencerca mulai gregetan dengan permintaannya.

“I don’t care anymore. Let me drink coffee!” Gavin kehilangan kesabaran bila berhubungan dengan penyakitnya. Tapi aku bersikeras tidak akan mematuhi manakala kesehatannya menurun, itu bakal memperburuk segala kondisinya.

“Tidurlah, Gavin. Otak dan perasaanmu sudah tidak sinkron.”

“Tidur bersamaku, Lingga.”

Aku melotot. Gavin memang sudah terlampau kalut. Saat masih bersama Ardani pun juga mengajaknya begitu. Ardani menyiasati, pertama dia harus menemaninya, sekitar 15 menit, bangun dan pindah ke sofa. Kalau aku tidak masalah tidur dengan Gavin, hanya saja tidak suka dengan bau parfumnya yang terkadang tidur saja masih menyengat.

“Oke, terserah. Minumlah coklat panas yang kubuatkan, dan ceritakan apa yang kalian bicarakan tadi di telepon,” pintaku.

Secangkir coklat panas kuletakkan di atas bar dapur. Gavin tidak bereaksi. Dia hanya menunduk. Sedangkan aku menunggu dirinya segera bercerita.

“Apa tanggapan Ardani bahwa kau mencintainya?” tanyaku.

“Biasa saja. Dia menganggapnya sebagai ucapan terima kasih saja.”

Sudah pasti, batinku.

“Aku hanya tidak bisa merusak hari bahagianya. Dia bakal memikirkan hal yang tidak-tidak jika mengungkapkan hatiku sebenarnya.”

Aku mengangguk. “Well, setidaknya itu pesan yang membahagiakan bagi Ardani, pastinya.”

Gavin mulai menyeruput coklatnya. “I still can't let go of that woman,” suaranya melemah. Sepintas kulihat tangannya sedikit gemetaran ketika dia mengangkat cangkir.

Bab terkait

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 3 Hadiah Pernikahan

    Keesokan pagi, aku tersadar kalau kami berdua belum jadi menyiapkan sebuah hadiah untuk pernikahan Ardani. Bagi kaum lelaki, ini memang agak merepotkan. Pasalnya, bahkan Gavin sendiri tidak mengerti apa yang disenangi Ardani. Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab, “Kosmetik. Berikan saja hadiah kosmetik bermerek mahal. Semua wanita menyukainya. Aku tak peduli.” Aku tahu Ardani betul rupawan. Namun, sesekali aku tak pernah melihatnya mengeluarkan alat kosmetik setiap kami berjumpa. Dan bagaimana aku tahu kosmetik yang cocok untuk kebutuhan kulitnya. Semua wanita itu penuh ketelitan demi menjadi cantik. Baiklah, aku akan paksa Gavin ikut mencarikan hadiah demi mantan asistennya itu, sekaligus kenang-kenangan bagi Ardani dari kami berdua. Untung saja acara pernikahannya esok pagi. Jadi, kami masih ada waktu menentukan. Tidak ada tanda-tanda Gavin bangkit dari tidur lelapnya. Semalam dia akhirnya kembali ke ruang apartemennya sendiri. Syukurlah, aku tak perlu repot-repot tidur di sofa.

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

    “Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

    Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

    Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

    Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 8 Who's that handsome guy?

    Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 9 Pseudonym

    Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

    Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu

Bab terbaru

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 12 Wanita Cantik Itu Datang

    Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 11 Masa Percobaan

    "Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

    Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 9 Pseudonym

    Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 8 Who's that handsome guy?

    Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

    Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

    Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

    Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

    “Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti

DMCA.com Protection Status