Home / Urban / Rahasia Hilangnya Sang Pengantin / Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

Share

Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

Author: AIr Tuya
last update Last Updated: 2022-01-08 13:30:00

Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau.

Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk.

“Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku.

Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya.

“Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku.

Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya memerah tidak berani menatapku sembari mengembalikan botol yang telah terisi air penuh.

“Terima kasih, Cintya. Tenang saja, aku nggak sakit hati kok.” Aku berusaha menenangkannya.

Gadis berponi rapi ini berdiri canggung tidak tahu harus membalas bagaimana. Lantas dia menampilkan senyum malu-malu dan entah kenapa tiba-tiba jantungku berdebar saat memperhatikan rona wajahnya. Tampangnya seperti anak remaja, padahal jarak umur kami hanya dua tahun. Atau karena dia memiliki badan mungil, aku tak tahu. Aku tidak berani bertanya jika berkaitan bentuk tubuh terhadap perempuan kebanyakan.

Jadwal sif hari ini telah usai. Selesai berganti pakaian dari seragam toko yang berwarna tidak nyaman dipandang, aku bersiap untuk pulang. Setelah dari ruang ganti, aku menuju pintu keluar mendapati Cintya masih melayani proses pembayaran beberapa konsumen di meja kasir.  Aku pamit lalu memberikannya semangat sambil mengepalkan tanganku. Ia membalas tersenyum. Pulang di sore hari yang masih cukup cerah tidak membuatku semakin bergairah. Hari ini rasanya lelah sekali.

Pada pukul tujuh aku baru niat membersihkan seluruh tubuhku di malam hari. Sejenak mencuci rambutku terpikirkan kembali naskah cerita detektifku yang terbengkalai satu bulan. Sepertinya aku harus segera menyelesaikannya supaya pembaca bisa membaca khayalanku melalui tulisan. Alih-alih mengetik naskah, aku malah membuka salah satu media sosial dan menggulir-gulir layar ponsel. Jempolku tak diduga berhenti bergerak di salah satu akun penerbit membawa rasa penasaranku.

“Membutuhkan seorang asisten untuk penulis, diutamakan laki-laki.” Aku mengerutkan dahi. Apakah pekerjaan asisten begitu beratnya harus diutamakan laki-laki, “Maksimal berumur 30 tahun.” Baiklah, sepertinya aku bisa mencoba berganti profesi menjadi asisten mereka kalau memang jodoh. Lagi pula sudah seharusnya aku keluar dari zona nyaman demi mendapatkan pengalaman lebih banyak. “Diharapkan untuk datang ke kantor penerbit.” Kantor itu mencantumkan alamatnya kuputuskan besok pagi untuk pergi ke tempat itu. Aku masuk siang jadi kurasa tak masalah.

Setelah mengetahui ada lowongan asisten penulis, aku kembali bersemangat ke layar laptop untuk melanjutkan naskahku. Sebelum mulai, aku celingukan mencari sebungkus rokokku. Sebenarnya aku bukan perokok berat. Cuma semata-mata untuk mengalihkan rasa penatku hari ini. Semoga saja jika bisa menyelesaikan naskah ini, aku mendapatkan mimpi menjadi seorang detektif kembali. Memang kekanakan, tapi itulah impianku dari dulu. Tapi kenyataan tidak mendukungku untuk mendapatkannya.

Rokok baru habis setengah. Lantaran lidahku terasa pahit tandanya aku disuruh untuk berhenti. Tapi rasa lelah masih melandaku. Demi kesehatan mental aku lebih memilih tidur. Dan untuk naskahku, yah, hanya bertambah lima puluh kata. Aku kembali mengambil buku novel Dwi Anggara, melanjutkan halaman dari kejadian makan siang. Sayangnya, anggota tubuhku tidak membiarkanku melanjutkan kegiatan. Aku menarik napas dalam-dalam agar lebih tenang. Pada akhirnya, mataku terlelap dan diselimuti malam yang cukup gerah.

Pagi harinya aku bangun lebih awal dari bunyi lengking alarm ponsel murahanku. Kali ini tidak bermimpi apapun, lantaran aku tidur seperti orang mati. Aku memulai hariku dengan semangat. Keinginanku untuk ganti profesi kurasa ini adalah jawaban terbaik dari Sang Maha Pencipta langit dan seisinya. Aku harap ini memang jalanku. Tapi, hei, tidak ada salahnya, bukan, untuk mencoba sesuatu yang baru.

Kuseduh kopi hitamku. Memang pahit, namun tidak lagi terasa di lidahku. Berhubung hari ini aku mencoba melamar pekerjaan baru adalah hal paling membangkitkan gairahku. Sekarang pukul enam lebih dan cahaya matahari pagi mulai memamerkan binarnya. Bulan ini sudah memasuki musim penghujan seharusnya. Anehnya, beberapa hari hujan belum ingin menjatuhkan dirinya. Apapun itu patut disyukuri masih diberi kehidupan yang tenang, meskipun tidak memiliki banyak uang. Aku menertawai diriku yang sok bijak.

Selesai mempersiapkan segala yang kubutuhkan untuk wawancara di kantor penerbit, aku menyampirkan handuk kumal lalu menuju kamar mandi. Sesaat aku kembali meraih ponselku memastikan apa saja persayaratan lowongan asisten penulis.

“Sepertinya persyaratannya nggak aneh-aneh. Tapi setidaknya aku sudah mempersiapkan dokumen kalau dibutuhkan.”

Lalu aku menaikkan sebelah alis. “Kok aneh, ya, kantor penerbit malah meminta kita datang ke kantor. Biasanya kita diminta mengirimkan surel untuk pengiriman dokumen yang dibutuhkan.” Aku menggulir-gulir layar sambil mengedikkan bahu tak ambil pusing. “Pasti ini permintaan dari si penulis,” pikirku kembali.

Selesai bersiap mengenakan pakaian terbaik, aku menatap diriku ke cermin persegi tergantung di belakang pintu. Umurku yang dua tahun lagi menuju kepala tiga tidak terlalu buruk untuk wajahku. Kurapikan rambutku yang sedikit ikal ke belakang agar tidak berantakan. Aku mendengus puas bersiap mengharapkan hal baik. Aku keluar dari kos sempitku menuju sepeda motor yang sudah menunggu pemiliknya.

Perjalananku ternyata menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit. Mengingat kota metropolitan ini mulai ramai pada pukul delapan bersamaan keberangkatan para pekerja. Beruntung aku mengendarai sepeda motor. Sejujurnya, aku lebih memilih kendaraan beroda dua ini dikarenakan lebih praktis di kota besar yang terlalu padat transportasi. Kekurangannya, tentu saja penampilanku jadi berantakan. Tidak terlalu, tapi rasanya parfum murahku hilang seketika tertinggal di jalan raya dan sudah tercampur asap angkutan umum.

Begitu sampai di lokasi, aku memakirkan motorku pada halaman parkir yang sudah disediakan. Saat menuju kantornya, aku keheranan dengan kantor penerbit yang berwujud rumah ini. Tidak jauh di belakangku, tiba-tiba tampak seseorang mengendarai kendaraan roda dua yang lebih mahal dari milikku. Terlihat motor sport itu yang jika kuamati merek dagangnya dari rakitan Jepang, terutama performa suaranya. Aku memperhatikan orang itu yang tengah melepaskan perabotannya seperti layaknya pembalap setelah memakirkan.

Sontak jantungku berdegup cepat saat mata kita bertemu. Aku seperti melihat patung bernyawa. Patung itu, maksudku, manusia itu turun dari motor besarnya dan berjalan menghampiri kemudian dia menyapa.

 “Hello, do you want to come in?”

Mulutku terbuka saking terkesimanya. Orang ini tampan sekali.

Related chapters

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 8 Who's that handsome guy?

    Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs

    Last Updated : 2022-01-12
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 9 Pseudonym

    Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a

    Last Updated : 2022-01-19
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

    Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu

    Last Updated : 2022-01-26
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 11 Masa Percobaan

    "Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud

    Last Updated : 2022-10-10
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 12 Wanita Cantik Itu Datang

    Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang

    Last Updated : 2022-10-10
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 1 Terbang Menuju Ibu Kota

    “Masih ada waktu sekitar 2 jam 10 menit untuk sampai di bandara ibu kota dari Balikpapan. Setidaknya saat ini aku bisa menlanjutkan istirahat.” Begitulah yang terlihat pada layar sandaran kursi pesawat di hadapanku saat ini. Aku bekerja sebagai asisten dari seorang novelis yang sedang tertidur pulas memiringkan kepalanya di sebelahku. Pria ini adalah seorang penulis novel detektif-misteri terkenal karena karyanya yang mengagumkan. Sayangnya, sosok orang ini tidak pernah diliput media lantaran memang keinginannya menutup jati dirinya. Bahkan, namanya saja tidak asli. Sementara tidak ada yang harus kulakukan, akhirnya hanya menatap jendela pesawat yang gelap menampilkan awan-awan hitam ­̶ sebenarnya tidak hitam, hanya langitnya saja yang gelap karena kami berangkat sudah petang. Seorang pramugari mendatangi kursi kami memintaku untuk melepas sabuk pengaman penumpang yang tertidur di sebelahku. Aku pun berusaha membangunkan orang ini. Kusentuh kepalanya yang bersandar di pundakku supay

    Last Updated : 2021-12-01
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 2 Tak Disangka Ia Menelepon

    Pada akhirnya, kami berdua telah sampai di apartemen Gavin tepat pukul 9 malam. Ketika aku beranjak mendahului ingin segera masuk ke elevator karena saking lelahnya, terdengar ponsel Gavin berdering. “Wait, ponselku bunyi,” ungkap Gavin. Aku berbalik badan. “Ya sudah, segera diterima. Aku duluan ke atas.” “Tidak, tunggu aku!” pinta Gavin memaksa. Beberapa menit setelah mendarat, bahkan masih di dalam pesawat belum sempat menuju garbarata, dia sudah terburu-buru menyalakan ponselnya. Sepertinya dia masih mengharapkan kabar dari mantan asistennya itu. Lusa adalah hari bahagia Ardani yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Sayangnya, Gavin belum bisa menerima kenyataan. Sementara Gavin menatap ponselnya yang berdering, aku berencana ingin menghindari percakapan privasinya. Namun, tiba-tiba dia memanggilku. “Ardani yang menelepon. Apa yang harus kukatakan?” “W-wah! Dengarkan saja apa tujuannya meneleponmu,” jawabku tergagap. Aku kembali melangkah mendekatinya penasaran apa yang

    Last Updated : 2021-12-04
  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 3 Hadiah Pernikahan

    Keesokan pagi, aku tersadar kalau kami berdua belum jadi menyiapkan sebuah hadiah untuk pernikahan Ardani. Bagi kaum lelaki, ini memang agak merepotkan. Pasalnya, bahkan Gavin sendiri tidak mengerti apa yang disenangi Ardani. Setiap aku bertanya, dia hanya menjawab, “Kosmetik. Berikan saja hadiah kosmetik bermerek mahal. Semua wanita menyukainya. Aku tak peduli.” Aku tahu Ardani betul rupawan. Namun, sesekali aku tak pernah melihatnya mengeluarkan alat kosmetik setiap kami berjumpa. Dan bagaimana aku tahu kosmetik yang cocok untuk kebutuhan kulitnya. Semua wanita itu penuh ketelitan demi menjadi cantik. Baiklah, aku akan paksa Gavin ikut mencarikan hadiah demi mantan asistennya itu, sekaligus kenang-kenangan bagi Ardani dari kami berdua. Untung saja acara pernikahannya esok pagi. Jadi, kami masih ada waktu menentukan. Tidak ada tanda-tanda Gavin bangkit dari tidur lelapnya. Semalam dia akhirnya kembali ke ruang apartemennya sendiri. Syukurlah, aku tak perlu repot-repot tidur di sofa.

    Last Updated : 2021-12-07

Latest chapter

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 12 Wanita Cantik Itu Datang

    Bodohnya aku batal mampir untuk beli minum. Seharian tidak meneguk air apapun itu mau yang berasa atau bukan, rasanya tenggorokan seperti menelan duri. Kalian tahu seperti apa rasanya, bukan? Apalagi cuaca yang panas dari bulatan cahaya api itu sungguh membuatku seperti tak berdaya. Masih bersyukur aku hidup di negara yang di mana aku masih bisa menjangkau minimarket terdekat. Terutama air yang masih tersebar di mana-mana.Sayangnya, tidak ada yang gratis di dunia ini. Tapi, bagiku untuk minum dari air keran saja bagiku sudah cukup bersyukur. Karena aku masih menyimpan uang, tidak ada salahnya, dong, aku lebih memilih air kemasan. Akhirnya aku mampir sebentar ke ATM. Kuhentikan motorku di area parkir sebuah bank milik siapapun ini.Mengantre adalah hal yang paling aku…tidak terlalu kubenci tapi juga tidak aku sukai. Satu, dua orang saja, aku masih bisa memaklumi. Namun, terkadang satu orang di dalam ATM bisa bermenit-menit lamanya. Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tetapi, orang

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 11 Masa Percobaan

    "Besok sore?!” aku berseru kaget. Dwi tersentak bersamaan reaksi yang kuberikan tiba-tiba. Dia hanya balas mengangguk.“Kenapa kau terkejut begitu?” Dwi kembali menyilangkan kedua tangannya. Memperlihatkan air mukanya yang bingung. Justru seharusnya aku yang memperlihatkan muka bingung.“Y-Ya, tapi, ini dadakan, Dwi, anu, Gavin,” aku tergagap.Tentu saja ini tidak masuk akal, mengapa dia membuat acaranya yang dadakan tanpa persiapan bahkan aku tidak diberitahu sedari awal. Aku benar-benar sudah mulai membenci orang ini.“Begitulah kalau kau mau bekerja denganku. Banyak jadwal dadakan yang harus kau patuhi dan penuhi.”“Tapi, ini baru pertama kalinya aku bekerja denganmu. Jadi, setidaknya berikan arahan terlebih dulu supaya aku terbiasa.”“Tidak. Aku tidak memiliki prosedur semacam itu,” kata Dwi. “Tapi, untuk pertama kali perkenalan antara aku dan kau kemudian mengenalkan suasana tempatmu bekerja, aku sudah memenuhi prosedur pengenalan pekerjaan yang mainstream itu. Seperti itu maksud

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 10 Segalanya Serba Mendadak

    Dwi memerintahku untuk masuk elevator. Dari bahasa tubuhnya, dia mulai geregetan lantaran aku tidak menuruti apa yang dia perintahkan. Aku tidak bisa diperdaya seperti itu. Setidaknya, jelaskan dulu mengapa dia tiba-tiba memberiku sebuah kartu, yang menurutku adalah kunci apartemen mewah ini. Aku mengangkat tanganku menunjukkan benda itu, “Kartu apa ini?” Laki-laki bule itu memandangku tak percaya, “Kamu benar-benar tidak tahu benda itu?” Aku menggeleng kesal. Aku pura-pura berlagak bodoh supaya dia mau berbicara. “Itu kunci kamar apartemen. Mulai sekarang kamu harus tinggal di sini. Tentu saja kamu punya kamar sendiri,” Dwi menjelaskan. Tak lama, pintu elevator kembali menutup otomatis. Mataku membelalak, “Yang benar saja?” seruku. Salah seorang dari balik meja penyambut tamu menatapku kaget. Seberapa kaya orang ini sampai-sampai bisa menyewa dua kamar apartemen mewah. Tapi, kalau dipikir kembali, novel-novelnya memang sudah sampai diproduksi ke layar lebar. Maka dari itu, karya bu

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 9 Pseudonym

    Aku menggeleng mencoba memahami. “Maaf, Anda, Dwi Anggara? Dwi S Anggara penulis novel detektif yang terkenal itu?” tanyaku memaksa. “Tunggu, saya tidak mengerti. Kalau begitu mengapa Anda tidak memperkenalkan diri saat kita bertemu di depan?” Pria bule bernama Dwi ini menggaruk kepalanya entah gatal atau malu. “Ya, aku memang suka menutup diri. Toh, kalau misal kamu tidak diterima jadi asisten, aku tidak perlu repot mengenalkan diriku,” Dwi meringis. Aku masih tidak percaya pria bule ini adalah novelis favoritku. Persis di depan mataku. “Bagaimana? Atau perlukah aku berlutut supaya kamu mau menjadi asistenku?” Aku melotot kaget. Sontak penulis dengan nama pasaran di negeriku ini tiba-tiba bersiap untuk berlutut. Buru-buru aku langsung menghentikan perbuatannya. “Baik. Saya mau.” Kata-kata itu otomatis keluar dari mulutku. “Salam kenal, Lingga. Panggil saja aku Dwi. Mohon kerjasamanya.” Aku mengangguk menghela napas pasrah. “Ayo kita ke apartemenku.” “Hah?” “Kamu sudah jadi a

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 8 Who's that handsome guy?

    Aku memang laki-laki tulen. Memuji seorang pria tampan bukankah itu normal? Semua orang pasti setuju denganku setelah melihat laki-laki Kaukasia ini memang tampan. Melihat sesuatu yang indah sampai terkesima sudah bagian respon otak untuk bekerja memahami keindahan itu sendiri. Sial, aku malah jadi minder. Aku tidak tampan, tapi ibuku dulu bilang aku ini anak paling tampan. “Y-yes, Sir!” Ah, kenapa aku malah jadi gugup. Kenapa ada bule di tempat seperti ini? Dan kenapa aku memanggilnya, Sir? “Then, come in,” orang itu tersenyum ramah. Terlintas aku memikirkan, apa pekerjaan bule ini di penerbitan sampai-sampai bisa mendapatkan kendaraan sport keren seperti itu. Dia mendahuluiku dan parfumnya seketika meninggalkan jejaknya. Ternyata orang tampan memiliki bau parfum yang berbeda, pasti merek parfum mahal. Ataukah itu feromonnya? Oh, gawat. Kami berdua masuk ke ruang tamu. Aku terangkan, kantor penerbit ini jelas lebih seperti rumah. Perabotannya hampir sama, bedanya ada meja dan kurs

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 7 Menertawakan Diri Sendiri

    Cintya begitu panik. “Maaf, Lingga. Aku cuma bercanda. Bukan maksudku kamu benar-benar menyandang nama ‘istri’. Tapi-” Dia berhenti bicara takut keadaanku bakal semakin kacau. Aku masih tersedak tapi anehnya malah sambil tertawa. Wajah Cintya menatapku cemas akibat kesalahannya yang asal celetuk. “Iya, aku tahu kamu cuma bercanda. Memang laki-laki nggak boleh, ya, masak masakan yang enak?” balasku. Cintya menawarkan tisu kering untuk membersihkan kekacauan makan siangku. Cintya menggeleng. Sejenak ragu dari jawaban bahasa tubuhnya. “Boleh, dong! Justru itu nilai tambah sebagai kriteria seorang laki-laki,” timpal Cintya. Dia memang gadis yang menarik. Termasuk dia yang paling bisa mengimbangiku dengan khayalan anehku. Aku cuma mengangguk setuju. Masih melanjutkan membereskan makan siangku yang berantakan. Lalu aku beringsut untuk mengisi ulang botol minumku. Akan tetapi, Cintya malah merebut botolku dan berlari menuju galon air minum, mungkin sebagai rasa penyesalannya. Wajahnya me

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 6 Lingga, Sang Pria yang Hidup Sederhana

    Tiga hari lalu aku bermimpi menjadi seorang detektif. Lantaran aku ketiduran setelah membaca novel detektif karangan Dwi Anggara. Sebuah novel yang menceritakan seorang tokoh detektif swasta lokal menuntaskan kasus kejahatan berunsur supranatural. Dan di dalam mimpi ini, aku sebagai tokoh utama, bisa melihat seakan korban yang dibunuh oleh ‘makhluk’ itu tepat di depan mataku. Belum sempat ingin melawan ‘makhluk’ itu, aku terbangun gara-gara alarm ponselku berdering nyaring. Aku hampir mengumpat kepada perakit alarm ponsel buruk ini. Tapi, tanpa ponsel hidupku juga bakal lebih merana, sisi baikku juga berterima kasih pada pembuat ponsel murahanku ini. Mimpi indahku menjadi seorang detektif, bubar. Kenapa aku menceritakan mimpiku tiga hari lalu? Ya, karena aku tidak lagi mendapatkan mimpi indahku itu lagi. Aku sudah berusaha membaca novel sebelum tidur dan tidak ada lagi mimpi menjadi seorang detektif. Mimpi memang aneh, sesekali muncul yang bagus tidak pernah muncul kembali. Sebenarny

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 5 Sang Mempelai Wanita

    Tidak hanya aku dan Gavin yang gelisah karena sang pengantin wanita tidak lekas nampak kehadirannya. Para tamu undangan saling berbisik bertanya-tanya pada situasi ini. Waktu sudah menunjukkan belasan menit berlalu saat aku melirik arlojiku. “Ke mana Dani?” tanya Gavin sama seperti yang aku pikirkan. Tak ada yang tahu calon pengantin wanita itu mengapa tak memperlihatkan diri. Ketika masih dilanda kegelisahan, aku teringat oleh gumaman Ardani yang terdengar seperti dia ingin melarikan diri. Apakah ini yang dia maksud? Namun, aku tak ingin membicarakan pertemuan kami kemarin pada Gavin. Malahan akan membuat Gavin semakin panik jika aku membahasnya. Sementara aku memikirkan keadaan, tanganku disentuh Gavin. Dia menatapku seakan memohon sesuatu. “Temani aku ke ruang rias pengantin,” ajaknya sambil memelankan suara. Mataku memerhatikan sekitar memandang para tamu. “Ada apa? Aku tak tahu di mana ruangannya, Gavin,” balasku. “Akan kutanyakan pada Bella. Kulihat dia turun dari elevator s

  • Rahasia Hilangnya Sang Pengantin   Chapter 4 Perbincangan yang Janggal

    “Hei, aku masih di sini. Kenapa malah melamun sambil bicara sendiri?” sahutku menjetikkan jari. Ardani tersenyum hampa seraya menggeleng. “Kepalaku tiba-tiba saja memerintahku untuk mengucapkannya. Aku sendiri tidak tahu mengapa.” Benar-benar wanita satu ini tidak bisa ditebak lagi jalan pikirannya, aku membatin. Sementara dia kembali ke kenyataan, aku menyeruput susu stroberi. Ardani benar, buah stroberi yang ditaruh di bibir gelas ini sangat manis. Umurku hampir kepala tiga, tapi caraku memakan buah stroberi seperti anak kecil. Airnya menetes di atas mejaku. Memalukan sekali caraku makan di depan wanita. “Lingga… aku tidak ingin berpisah dari Gavin.” Mataku terbelalak. “A-apa? Kenapa kok mendadak bicara begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” “Jujur saja, aku kepikiran apa yang dikatakannya semalam. Aku menelepon demi memeriksa keadaannya apakah dia sudah sampai dengan selamat. Maaf, aku tidak kepikiran meneleponmu.” Sebenarnya aku sudah tahu. Tapi, aku mencoba pura-pura ti

DMCA.com Protection Status