BONUS (2) udah Thor tambahin 2 lagi ya babnya ajak semua hehehe ☺️ selamat membacaaaa, jangan lupa vote dan tinggalkan komentar, Udah ya tegang dan pergeludannya 🤌🏻
Lilia bisa merasakan punggung William yang naik turun tak beraturan. Gerakan agresif yang dipicu oleh adrenalin yang terguncang di dalam tubuhnya. Samar Lilia mendengar detak jantung pria itu yang bertalu-talu, seolah tengah memprovokasi dan memintanya untuk menghancurkan apapun yang ada di hadapannya. Lilia sempat terseret sejauh beberapa langkah, ia menahan pria ini sekuat tenaganya dan sekali lagi memohon, “Tolong hentikan,” pintanya. “Tidak ada yang diuntungkan dari pertengkaran kalian ini selain kalian yang hanya saling menyakiti!” Tidak ada yang bicara setelah kalimat Lilia terdengar di sela-sela tirai hujan yang belum reda. Hanya ada napas yang naik turun, seolah tengah berusaha menguraikan sesak. Lilia perlahan melepaskan tangannya dari William, kemudian pria itu berbalik untuk memandangnya. Iris kelamnya menatap Lilia, jauh berbeda dengan dirinya yang tadi terlihat kejam dan angkuh pada Nicholas. Lilia mencuri pandang pada Nicholas juga, pria itu tengah berusaha
Lilia tercenung untuk beberapa lama, ia tak menjawab William selain hanya matanya yang bergoyang gugup dan jantungnya yang berdegup. Pernyataan itu seperti sebuah angin sejuk yang membuat Lilia merasakan darah di dadanya berdesir. “Keano bilang kamu diam-diam sering menangis setelah Gretha datang ke sini malam itu,” kata William yang membuat mata Lilia membola. “K-Keano bilang begitu?” Lilia terkejut. ‘Apa keputusan William untuk menolak tuntutan keluarganya menikahi Gretha karena aduan Keano juga?’ batinnya menerka-nerka. “Iya,” jawabnya. “Jika itu karena kamu mengkhawatirkan soal aku dan Gretha, biar aku perjelas, tidak akan ada pernikahan antara aku dengan dia,” ulang William sekali lagi, tegas dan menekan. “K-kenapa Anda sangat yakin dengan keputusan itu?” “Tidak ada bukti,” jawab William singkat. “Aku mengajaknya untuk pergi visum tapi dia tidak bersedia.” “Visum?” ulang Lilia. “Iya. Dengan visum semua akan terlihat jelas. Jika benar aku melakukan sesuatu padanya malam i
Tadinya Lilia ingin membiarkan William dan mengabaikannya. Tetapi tidak bisa! Kedatangannya membuat ruang geraknya menjadi terbatas. Ia membuka mata, Lilia yang semula tidur miring membelakangi William lalu menoleh ke belakang. Menghadapkan tubuhnya pada pria itu yang terkejut, kedua alis lebatnya terangkat saat bertemu pandang dengan manik Lilia yang masih segar di bawah minimnya pencahayaan di sekitar mereka. “Kamu belum tidur?” tanya William. “Kenapa Anda ikut tidur di sini?” tanya Lilia balik, bergerak tidak nyaman. “Tempatnya sempit, tidurlah di tempat yang lain.” “Di mana maksudmu?” tanyanya. “Di sebelah kiri Keano? Tangannya telentang seperti itu, aku takut dia bangun kalau memindahkannya.” Dagu William mengedik melewati bahu Lilia. Seolah itu isyarat agar ia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa apa yang ia katakan itu benar. Lilia mendesah keberatan dan itu dengan cepat mendapat reaksi dari William. “Kamu keberatan?” tanya pria itu. “Ini rumahku, Lilia. Semua
Detik jam yang ada di dalam ruangan itu seolah bergerak melambat, Lilia berpikir itu karena ia sedang memproses kalimat ‘aku tidak mau kehilanganmu’ yang disebutkan oleh William. Atau mungkin yang benar … karena Lilia menyadari di balik sikap dinginnya yang tampak tangguh dan angkuh itu William juga menyimpan luka hatinya tersendiri? Bayangan masa lalu membelenggu pria itu, memberinya sebuah perasaan takut kehilangan. Ia takut ditinggalkan, terutama oleh orang terdekatnya seandainya mereka dekat dengan Nicholas. “Tapi—” ucap Lilia. “Apa Anda pernah sekali saja membicarakan itu dengan Tuan Nicholas?” tanyanya. “Mungkin saja ada hal yang dia sembunyikan?” “Apa yang dia sembunyikan?” sangsinya. “Aku tidak yakin soal itu.” Mata mereka bertaut pandang untuk beberapa lama. Dan kadang … saat pria itu bersikap tenang, Lilia suka dengan kelamnya iris William. Seolah kegelapan di kedua netranya itu menyimpan banyak rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu apa isi di dalamnya. “Tapi—“ Will
Debar jantung Lilia menggila. Ia menatap William yang berada sangat dekat dengannya. Hidung mereka hampir bersentuhan saat manik keduanya mengunci di bawah cahaya remang-remang. Lilia berusaha melepaskan diri dari William dengan bangun dari atasnya tetapi yang terjadi justru William melingkarkan kedua tangannya pada pinggang kecil Lilia dan memindahnya ke samping. Membuatnya tak bisa memproses rasa terkejut atas apa yang terjadi saat tubuhnya terhempas di atas tempat tidur. “Akh!” Lilia menahan William agar pria itu tidak semakin dekat dengannya pada posisi mereka yang tak lagi memiliki jarak ini. “A-apa yang Anda lakukan?” tanya Lilia, gugup mendapati sorot William yang terlihat tajam meski matanya tak terbuka seutuhnya. “Bukankah aku yang seharusnya bertanya, apa yang kamu lakukan, Lilia?” tanya William balik, irisnya memindai setiap sudut wajah Lilia yang berubah pias. “T-Tuan William demam,” jawabnya. “Jadi saya datang untuk melihat keadaan Anda yang tidak makan atau turun s
Jemari tangan William mengusap lembut bibir bagian bawahnya, membuat Lilia menahan napas untuk beberapa saat. Menatap kelam irisnya itu, seolah ia tengah terhipnotis, terserap masuk dan terlena. Jantungnya berdegup semakin kencang saat William menunduk semakin dekat. Sebelah tangannya yang lain dirasa Lilia tengah melingkar di pinggangnya, semakin lama semakin erat. Lilia berusaha menghindarinya tetapi rasanya tidak bisa. Seakan ia takluk dalam sentuhannya yang sangat berbeda dengan apa yang kerap ia dapatkan dari William dengan kejam dan tanpa kasih. ‘Bolehkah kami seperti ini?’ tanya Lilia dalam hati. Bolehkah jika akhirnya ia menjadi bagian dari William begitu juga sebaliknya? Bagaimana perasaan William padanya? Kenapa ia meminta pada Lilia agar tidak takut dan mengatakan ia tak akan menyakitinya? ‘Apa sikapnya ini hanya karena dia merasa bersalah telah bersikap kasar padaku selama ini?’ batin Lilia kembali. ‘Apa dia menganggap aku istrinya atau ….’ Lilia meremas ujung jarin
Lilia meremas selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke dada. Ia tak salah dengar, ‘kan? William baru saja mengatakan bahwa ia tak pernah berciuman dengan Gretha. Lalu ... apa yang ia lihat hari itu di teras? Bukankah saat itu William menunduk dan mensejajarkan wajahnya dengan Gretha? Lilia melihatnya saat William tampak menyentuh telinga Gretha dan— “Benar kamu melihatku di teras?” tanya William yang membuat Lilia terjaga dari pemikiran sesaatnya. “I-iya,” aku Lilia. “Saya keluar karena Keano yang meminta. Tidak berapa lama Anda keluar dan disusul oleh Nona Gretha.” William mengangguk, “Aku tahu,” katanya. “Giff memberitahuku kalau kamu ada di teras bersama dengan Keano. Tapi, sekalipun benar aku bersama dengan Gretha, aku tidak berciuman dengannya.” “J-jadi apa yang saat itu Anda lakukan?” Biar saja Lilia dianggap lancang, ia ingin tahu apa yang terjadi di antara mereka kala itu. Tidak mungkin ia ditipu oleh pandangannya sendiri, bukan? “Dia bilang telinganya sakit karena
"Semua bunga ini milikmu," ucap William. "Kenapa? Kamu tidak suka?" tanyanya saat Lilia hanya bergeming. Lilia pun juga masih bergeming setelah tanya itu. Ia hanya ... tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Bukan bermaksud ingin membandingkan, hanya saja ... dulu sepanjang William menjalani pernikahan dengan Ivana, pria itu tidak pernah bersikap seperti ini. Lilia tak pernah melihat ada taman bunga yang dipindah ke dalam rumahnya seperti ini. "Kamu tidak suka," kata William, tapi kali ini bukan sebuah tanya, melainkan seperti kalimat yang bersemburat rasa kecewa. Matanya yang mengedip pelan dan anggukan samar itu seperti sedang memahami situasi yang terjadi di sekitarnya. "B-bukan begitu," jawab Lilia dengan cepat, sebelum pria itu benar-benar berpikir Lilia tak suka semua ini. "Saya suka, suka sekali," katanya. "Hanya saja ... apakah ini tidak sedikit berlebihan?" William menggeleng dengan tanpa beban, "Tidak," jawabnya. "Jika kamu suka, tidak ada yang berlebihan bagiku, L
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si