1 lagi meluncur 🫠🫠 siap2 William di roasting sama anaknya sendiri wkwwkwk
Lilia tercenung untuk beberapa lama, ia tak menjawab William selain hanya matanya yang bergoyang gugup dan jantungnya yang berdegup. Pernyataan itu seperti sebuah angin sejuk yang membuat Lilia merasakan darah di dadanya berdesir. “Keano bilang kamu diam-diam sering menangis setelah Gretha datang ke sini malam itu,” kata William yang membuat mata Lilia membola. “K-Keano bilang begitu?” Lilia terkejut. ‘Apa keputusan William untuk menolak tuntutan keluarganya menikahi Gretha karena aduan Keano juga?’ batinnya menerka-nerka. “Iya,” jawabnya. “Jika itu karena kamu mengkhawatirkan soal aku dan Gretha, biar aku perjelas, tidak akan ada pernikahan antara aku dengan dia,” ulang William sekali lagi, tegas dan menekan. “K-kenapa Anda sangat yakin dengan keputusan itu?” “Tidak ada bukti,” jawab William singkat. “Aku mengajaknya untuk pergi visum tapi dia tidak bersedia.” “Visum?” ulang Lilia. “Iya. Dengan visum semua akan terlihat jelas. Jika benar aku melakukan sesuatu padanya malam i
Tadinya Lilia ingin membiarkan William dan mengabaikannya. Tetapi tidak bisa! Kedatangannya membuat ruang geraknya menjadi terbatas. Ia membuka mata, Lilia yang semula tidur miring membelakangi William lalu menoleh ke belakang. Menghadapkan tubuhnya pada pria itu yang terkejut, kedua alis lebatnya terangkat saat bertemu pandang dengan manik Lilia yang masih segar di bawah minimnya pencahayaan di sekitar mereka. “Kamu belum tidur?” tanya William. “Kenapa Anda ikut tidur di sini?” tanya Lilia balik, bergerak tidak nyaman. “Tempatnya sempit, tidurlah di tempat yang lain.” “Di mana maksudmu?” tanyanya. “Di sebelah kiri Keano? Tangannya telentang seperti itu, aku takut dia bangun kalau memindahkannya.” Dagu William mengedik melewati bahu Lilia. Seolah itu isyarat agar ia membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa apa yang ia katakan itu benar. Lilia mendesah keberatan dan itu dengan cepat mendapat reaksi dari William. “Kamu keberatan?” tanya pria itu. “Ini rumahku, Lilia. Semua
Detik jam yang ada di dalam ruangan itu seolah bergerak melambat, Lilia berpikir itu karena ia sedang memproses kalimat ‘aku tidak mau kehilanganmu’ yang disebutkan oleh William. Atau mungkin yang benar … karena Lilia menyadari di balik sikap dinginnya yang tampak tangguh dan angkuh itu William juga menyimpan luka hatinya tersendiri? Bayangan masa lalu membelenggu pria itu, memberinya sebuah perasaan takut kehilangan. Ia takut ditinggalkan, terutama oleh orang terdekatnya seandainya mereka dekat dengan Nicholas. “Tapi—” ucap Lilia. “Apa Anda pernah sekali saja membicarakan itu dengan Tuan Nicholas?” tanyanya. “Mungkin saja ada hal yang dia sembunyikan?” “Apa yang dia sembunyikan?” sangsinya. “Aku tidak yakin soal itu.” Mata mereka bertaut pandang untuk beberapa lama. Dan kadang … saat pria itu bersikap tenang, Lilia suka dengan kelamnya iris William. Seolah kegelapan di kedua netranya itu menyimpan banyak rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu apa isi di dalamnya. “Tapi—“ Will
Debar jantung Lilia menggila. Ia menatap William yang berada sangat dekat dengannya. Hidung mereka hampir bersentuhan saat manik keduanya mengunci di bawah cahaya remang-remang. Lilia berusaha melepaskan diri dari William dengan bangun dari atasnya tetapi yang terjadi justru William melingkarkan kedua tangannya pada pinggang kecil Lilia dan memindahnya ke samping. Membuatnya tak bisa memproses rasa terkejut atas apa yang terjadi saat tubuhnya terhempas di atas tempat tidur. “Akh!” Lilia menahan William agar pria itu tidak semakin dekat dengannya pada posisi mereka yang tak lagi memiliki jarak ini. “A-apa yang Anda lakukan?” tanya Lilia, gugup mendapati sorot William yang terlihat tajam meski matanya tak terbuka seutuhnya. “Bukankah aku yang seharusnya bertanya, apa yang kamu lakukan, Lilia?” tanya William balik, irisnya memindai setiap sudut wajah Lilia yang berubah pias. “T-Tuan William demam,” jawabnya. “Jadi saya datang untuk melihat keadaan Anda yang tidak makan atau turun s
Jemari tangan William mengusap lembut bibir bagian bawahnya, membuat Lilia menahan napas untuk beberapa saat. Menatap kelam irisnya itu, seolah ia tengah terhipnotis, terserap masuk dan terlena. Jantungnya berdegup semakin kencang saat William menunduk semakin dekat. Sebelah tangannya yang lain dirasa Lilia tengah melingkar di pinggangnya, semakin lama semakin erat. Lilia berusaha menghindarinya tetapi rasanya tidak bisa. Seakan ia takluk dalam sentuhannya yang sangat berbeda dengan apa yang kerap ia dapatkan dari William dengan kejam dan tanpa kasih. ‘Bolehkah kami seperti ini?’ tanya Lilia dalam hati. Bolehkah jika akhirnya ia menjadi bagian dari William begitu juga sebaliknya? Bagaimana perasaan William padanya? Kenapa ia meminta pada Lilia agar tidak takut dan mengatakan ia tak akan menyakitinya? ‘Apa sikapnya ini hanya karena dia merasa bersalah telah bersikap kasar padaku selama ini?’ batin Lilia kembali. ‘Apa dia menganggap aku istrinya atau ….’ Lilia meremas ujung jarin
Lilia meremas selimut yang menutupi tubuhnya hingga ke dada. Ia tak salah dengar, ‘kan? William baru saja mengatakan bahwa ia tak pernah berciuman dengan Gretha. Lalu ... apa yang ia lihat hari itu di teras? Bukankah saat itu William menunduk dan mensejajarkan wajahnya dengan Gretha? Lilia melihatnya saat William tampak menyentuh telinga Gretha dan— “Benar kamu melihatku di teras?” tanya William yang membuat Lilia terjaga dari pemikiran sesaatnya. “I-iya,” aku Lilia. “Saya keluar karena Keano yang meminta. Tidak berapa lama Anda keluar dan disusul oleh Nona Gretha.” William mengangguk, “Aku tahu,” katanya. “Giff memberitahuku kalau kamu ada di teras bersama dengan Keano. Tapi, sekalipun benar aku bersama dengan Gretha, aku tidak berciuman dengannya.” “J-jadi apa yang saat itu Anda lakukan?” Biar saja Lilia dianggap lancang, ia ingin tahu apa yang terjadi di antara mereka kala itu. Tidak mungkin ia ditipu oleh pandangannya sendiri, bukan? “Dia bilang telinganya sakit karena
"Semua bunga ini milikmu," ucap William. "Kenapa? Kamu tidak suka?" tanyanya saat Lilia hanya bergeming. Lilia pun juga masih bergeming setelah tanya itu. Ia hanya ... tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya. Bukan bermaksud ingin membandingkan, hanya saja ... dulu sepanjang William menjalani pernikahan dengan Ivana, pria itu tidak pernah bersikap seperti ini. Lilia tak pernah melihat ada taman bunga yang dipindah ke dalam rumahnya seperti ini. "Kamu tidak suka," kata William, tapi kali ini bukan sebuah tanya, melainkan seperti kalimat yang bersemburat rasa kecewa. Matanya yang mengedip pelan dan anggukan samar itu seperti sedang memahami situasi yang terjadi di sekitarnya. "B-bukan begitu," jawab Lilia dengan cepat, sebelum pria itu benar-benar berpikir Lilia tak suka semua ini. "Saya suka, suka sekali," katanya. "Hanya saja ... apakah ini tidak sedikit berlebihan?" William menggeleng dengan tanpa beban, "Tidak," jawabnya. "Jika kamu suka, tidak ada yang berlebihan bagiku, L
“Sepertinya itu sesuatu yang penting,” lanjut Tuan Alaric teriring kedua bahunya jatuh penuh dengan rasa kecewa. Melihat beliau seperti itu, rasanya ada hal yang mengganjal di dalam hatinya. Barangkali, alasan beliau sering menjenguk ibunya di sini juga karena memang ada hal yang belum tuntas yang ingin beliau ketahui. “Aku harap ibumu cepat bangun,” ucap Tuan Alaric. Beliau menoleh pada Lilia dengan sepasang mata tuanya yang sendu. “Terima kasih, Tuan Alaric.” Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya, sekali lagi senyumnya terlihat, hela napasnya tampak berat sebelum ia mengayunkan kakinya untuk pergi. “A-Anda akan pulang sekarang?” tanya Lilia sembari mengikuti langkahnya. “Iya. Mau ikut pulang denganku?” “Saya harus menjemput Keano dulu, Tuan,” jawabnya, menolak dengan sopan. “Kamu sangat menyayangi Keano,” tanggap beliau. “Ivana memilih orang yang tepat untuk menjadi istrinya William dan ibu untuk anaknya. Tapi mungkin sekarang kamu terganggu dengan apa yang terjadi pada
Alaric tidak akan pernah melupakan hari di mana ia menemukan kenyataan bahwa Lilia adalah anak gadisnya yang menghilang lebih dari dua dekade lamanya.*** Kembali pada delapan puluh dua hari yang lalu. ***Alaric tengah duduk di bangku memanjang yang ada di taman rumah sakit, di depannya—sedikit ke kanan—Zain berdiri menatapnya dengan cemas.Di tangan Alaric ada sebuah amplop berwarna putih, hasil tes DNA yang beberapa hari lalu diajukannya telah memiliki hasilnya.Ia menghela dalam napasnya saat mengambil lembaran dari dalam sana dan membacanya dengan saksama.[Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa dan dianalisis dari terduga ayah (Alaric Roseanne) cocok dengan sampel terduga anak (Lilia Zamora). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Alaric Roseanne sebagai ayah biologis dari Lilia Zamora adalah 99,99%.]“Bagaimana, Tuan?” tanya Zain yang turut tegang di hadapannya.Tapi sebelum Alaric menjawab, kelegaan dorongan napas tuannya itu telah m
Dada William buncah tak terkendali, ia selangkah maju untuk mengulang apa yang gadis—yang mengakui dirinya adalah Lilia Zamora—itu katakan. “Belum pernah bertemu?” ulangnya. “Apa maksudmu, Lilia? Dan kenapa kamu tidak mengenaliku? Kamu hanya berpura-pura, ‘kan?” Lilia menggeleng, maniknya yang cantik tampak kebingungan, selaras dengan kalimatnya sebagai bantahan. “Tidak,” jawabnya. “Berpura-pura bagaimana maksud Anda? Kenapa saya harus mengenal orang yang baru saja saya lihat hari ini?” William hendak meraih tangan Lilia agar membuat mereka lebih dekat karena ia melihat punggung Lilia yang basah terkena tempias hujan. Tapi gadis itu menolak sehingga William hanya bergeming. “Tuan William,” panggil Giff dari sebelah kirinya, menjemput William dengan menggunakan payung dengan warna yang sama dengan milik Lilia. Gadis itu memandang mereka bergantian sebelum menunduk di hadapan William dan mengayunkan kakinya pergi dari sana dengan gegas. William hendak mencegahnya tetapi m
Dari dalam sedan berlambang flying lady di mana Giff sedang berada di dalamnya, sepasang matanya terbuka lebar saat menjumpai bahwa apa yang dikatakan oleh William adalah sebuah kebenaran. Gadis yang berlari dari arah barat dan berhenti di hadapan William kala tuannya itu memandang preschool kecil itu dengan harapan yang pupus benar adalah Lilia—atau setidaknya mereka memiliki wajah yang sama persis. Gadis itu hanya berdiri setinggi dada William, pembawaannya yang anggun dan hangat adalah hal yang senantiasa disaksikan oleh Giff setiap kali Nonanya itu berada di depan William. Ia hidup! Lilia benar-benar hidup. ‘Tapi sepertinya … ada sesuatu yang salah di sini.’ Batin Giff tak tenang saat melihat percakapan di seberang sana yang sepertinya tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, di depan gerbang rendah yang basah akibat derasnya hujan, William tengah meraba apa yang direncanakan oleh semesta dengan mempertemukannya dengan Lilia saat ia berusaha melepasnya dengan lapang d
Tanpa sadar, sebulir air matanya jatuh melewati bibir saat William menggumamkan namanya di dalam hati. Ia hampir selangkah maju untuk memastikan bahwa gadis di halaman preschool itu adalah Lilia sebelum Zain menahan lengannya sebab baru saja ada kendaraan yang melintas. “Tuan William?” panggil Zain pada William yang hanya bergeming. Matanya hanya tertuju pada satu titik, tempat di mana Lilia berdiri, satu-satunya dunia yang berwarna sementara di sekitarnya hanya berisikan abu-abu. Lilia terlihat sangat bahagia saat mengajak anak-anak kecil itu bernyanyi, membuat mereka berputar mengelilinginya sehingga senyumnya merekah sehangat matahari pagi ini. “Ada apa, Tuan William?” sebut Zain sekali lagi. William tersadar dan memandang pemuda itu seraya mengembalikan tanya, “Pak Zain tidak melihatnya?” “Apa?” “Lilia,” jawabnya. “Dia berdiri di sana bersama dengan—“ William berhenti bicara saat menunjuk pada halaman preschool itu. Tapi saat hal itu ia lakukan, tak ada yang berdiri di sa
William tahu betul bahwa ‘projek’ yang baru saja disebutkan oleh Giff itu adalah yang dulu pernah ia dan Gretha kerjakan—pembangunan sekolah yang tempatnya cukup jauh dari kota. “Bukankah aku sudah pernah berpesan padamu agar mengatakan pada Papa Alaric untuk tidak mengikutsertakan wanita itu?” William sangat tidak suka jika ia harus menyebutkan namanya sekali lagi. Kedua bahu Giff jatuh mendengar itu. “Coba tenang sebentar,” pintanya. “Memang itu adalah projek yang pernah Anda kerjakan bersamanya, tapi kali ini tidak. Kita saja, tanpa ada ikut campur Gretha.” Mendengar itu membuat William berdeham, merasa bersalah sudah meninggikan suaranya pada Giff. “Ah, benarkah?” tanyanya. “Kalau begitu jangan setengah-setengah saat bicara, katakan dengan jelas, Giff!” “Saya memang belum selesai bicara, Tuan William Quist!” “Lalu Papa bilang apa lagi?” “Tuan Alaric meminta agar pembangunannya dipercepat, jadi kita sesekali harus mengeceknya, itu saja,” jawab pemuda itu seraya sel
Di rumah milik William pagi ini, Giff yang baru saja keluar dari kamar yang ia tinggali selama ‘menumpang hidup’ di rumah William sedikit terkejut saat melihat tuannya yang sudah dalam keadaan rapi. Sudah cukup lama Giff tak melihatnya dalam kemeja lengan panjang dan vest serta dasi yang tersemat di kerahnya seperti itu. “Selamat pagi,” sapa Giff lebih dulu dengan kepala yang tertunduk sopan. “Pagi.” “Apa Anda akan pergi ke suatu tempat?” tanya Giff yang dijawab lebih dulu dengan sebuah anggukan oleh William “Iya, Giff. Ke Velox Corp.” Salah satu alis Giff terangkat mendengarnya, “Sungguh? Jadi Anda akan comeback?” “Ya,” jawabnya. “Melihatmu yang pontang-panting sendirian mengurus banyak hal dan mengambil alih pekerjaan membuatku tidak tega. Kembali bekerja bukan pilihan yang buruk, ‘kan? Aku hanya takut kamu tiba-tiba menguasai Velox Cop.” Giff tertawa mendengar itu, “Tidak,” jawabnya. “Saya masih sayang dengan nyawa saya, Tuan. Tapi terima kasih untuk sudah kembali. Minggu in
“Apa ada yang salah dengan itu?” tanya William balik. “Apa aku tidak boleh memanggilmu seperti itu? Ya sudah kalau tidak boleh, pergi saja sana!” usir William seraya memalingkan wajahnya dan itu membuat Nicholas tertawa. Senyum getir yang tadi senantiasa terukir di kedua sudut bibirnya telah sirna. Tawa itu lepas seakan beban yang mendesak dadanya itu terangkat pelan-pelan. “Boleh,” jawab Nicholas akhirnya. “Panggil saja sesukamu, Willie.” “Akan aku pikirkan kalau begitu.” Nicholas mengangguk, “Pulanglah! Sudah hampir gelap.” Ia mengayunkan kakinya lebih dulu untuk pergi dari sana. Menuruti William yang memintanya agar kembali lagi besok. William melihatnya pergi, memandang punggung bidangnya dan mengingat ucapan Giff beberapa waktu yang lalu. Pada hari di mana Giff menghampirinya yang berhenti di emperan pertokoan. ‘Ada hal yang ingin saya sampaikan pada Anda’ yang hari itu dikatakannya adalah tentang kecelakaan yang melibatkan Nicholas dan juga Madeline. ‘Seorang saksi yang
Giff yang berjalan keluar dari pintu utama panti asuhan menghentikan langkahnya dan urung mengajak William untuk pulang saat ia menjumpai Quist bersaudara itu saling menatap dalam jarak sekian meter yang memisahkan. Ia lebih memilih untuk membiarkan mereka bicara dan tidak mengganggu keduanya. Memang sudah seharusnya mereka berdamai dan meluruskan semua kesalahpahaman yang memeluk mereka itu, bukan? Di seberang sana, Nicholas sepertinya juga tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan William di sini. Ia terdiam tanpa melakukan apapun hingga salah satu anak panti asuhan yang ada di sekitarnya berteriak, “Paman, tolong tendang bolanya ke sini!” William yang berdiri di tengah halaman melihat Nicholas yang menendang bola itu, mengembalikannya pada anak-anak yang tengah menunggunya dan mendekat pada William. “Kamu di sini ternyata, Willie?” sapanya lebih dulu. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya William balik. Kakak lelakinya itu sekilas mengangkat kedua bahunya sebelum menjaw
“Tuan William,” panggil Giff yang membuat William menggosok matanya sebelum ia mengangkat wajah. Menjumpai wajah pemuda itu yang berjalan menghampirinya dan berdiri berseberangan meja dengannya. “Ya?” balas William singkat. “Reynold, mantan pacarnya Gretha yang kemarin lusa pernah saya katakan pada Anda kalau kami bertemu di proyek kecil miliknya itu saya hubungi tadi sore.” “Untuk apa kamu menghubunginya?” tanya William hampir enggan. “Untuk membicarakan kemungkinan proyek yang bisa kita kerjakan dengannya,” jawab Giff dengan senyum yang tak bisa diartikan. “Kenapa aku harus bekerja sama dengannya, Giff?” “Kenapa lagi? Tentu karena kita harus menggali lebih jauh soal Henry dan keterlibatannya dengan semua peristiwa di sekitar kita, ‘kan?” tanyanya balik. “Sekalian untuk mencari kejelasan apakah benar Reynold yang menghamili Gretha.” William menggeleng samar. “Atur saja,” ucapnya. “Tapi jangan sampai kamu mempertemukan aku dengannya sekarang ini. Aku tidak ingin melihat wajah s