Di apartemennya yang terletak di wilayah Park Avenue New York, Harshad membopong sendiri tubuh gadis yang tadi menabraknya, membawanya naik ke apartemen pribadinya. Dua orang yang berjaga di depan kamar menatap bingung kedatangan Harshad, mereka segera mendekat dan bergerak seolah ingin menggantikan posisi Harshad menggendong perempuan tersebut.
"Bukakan pintu!” ucap Harshad, dia tak mengindahkan gerak anak buahnya tadi.
"Baik, tuan,” jawab salah satu dari mereka.
Bryan, sekretaris pribadi Harshad yang sedang berbicara dengan seseorang di telpon langsung berbalik setelah menyadari ada suara derap sepatu yang beradu dengan lantai berjalan mendekat padanya.
"What’s wrong with you?” tanya Bryan setelah mematikan panggilannya. Harshad hanya menoleh sebentar dan memberikan tatapan singa miliknya. “Lo sehat kan?” tambah Bryan.
"Diem lu! Lo beresin semua rumor yang tersebar gara-gara nih cewek, cepetan!” balas Harshad sembari duduk di samping perempuan yang dia baringkan di ranjang miliknya. Bryan berusaha mengartikan sesuatu yang runyam di pikirannya, Harshad tadi keluar dari apartemen sendirian, dan tiba-tiba dia pulang bawa cewek mabuk.
“Ohhh, jadi bukan elu yang buat dia kek gini?” tebak Bryan yang langsung mendapat anggukan setuju dari Harshad. “Oke oke, gue bicarain sama pak Tanoe dulu,” sambung Bryan. Setelah Harshad mengangguk, dia baru keluar dengan hormat sebagai sekretaris pribadi Harshad, bukan sahabat kecilnya.
“Oh shit,” umpat Harshad pelan, dia memijit pelipisnya, setelah itu dia menoleh pada gadis yang tubuhnya sudah dia tutup dengan selimut. Ada apa dengan hari ini? Kenapa dia selalu bertemu dengan hal tak menyenangkan? Membuatnya pusing dan ingin segera beristirahat.
Harshad berlalu ke kamar mandi. Tak lama berselang, dua orang pelayan masuk sambil membawa piyama perempuan. Semua itu adalah perintah Harshad untuk mengganti baju perempuan asing tadi.
Malam ini terasa panjang bagi Harshad, ia baru saja mendapatkan telepon dari ibunya. Beliau mengatakan akan menikah lagi dan tidak menerima penolakan atas alasan apa pun. Bahkan ibunya rela melepaskan semua aset dan jabatannya di Akandra grup.
Harshad merasa ada yang janggal dari ibunya, tapi Bryan mengatakan kalau itu memang sifat asli ibunya, yang tak pernah tergila-gila oleh harta. Pewaris tunggal Akandra grup tersebut mengepalkan tangan dan memukul dinding kamar mandi. Begitu melelahkan.
Keluar dari kamar mandi, Harshad dikejutkan oleh kedatangan Bryan yang seolah tak ingin pergi dari ruang utama apartemen. Dia menunggu Harshad keluar dengan tatapan mematikannya.
“Gue dateng sebagai Bryan Alexis, bukan sebagai sekretaris lu,” ucap Bryan. Dia berjalan mendekati Harshad yang masih mematung di depan pintu kamar mandi.
“Ada apa sih sebenernya? Lu nggak percaya kalau gue nggak apa-apain tuh cewek?” tanya Harshad, sudah bisa ditebak apa yang ingin dikatakan Bryan.
“Heh, ini baru kali pertama elu pulang bawa cewek, bahkan para pelayan tanya sama gue, gimana gue balesnya?”
Harshad memutar bola matanya sembari mengambil minuman beralkohol, “Sejak kapan lu nggak bisa ngendaliin pertanyaan pelayan?”
“Sejak elu pulang bawa cewek, lu kira ini bukan hal yang baru buat gue? elu punya masalah sama orang tua tuh cewek? atau jangan-jangan lu hamilin dia?” Bryan menebak-nebak. Melayanglah tatapan tajam dari presdir Akandra grup.
“Jaga tuh moncong, gue bisa kapanpun tanda tangan di surat pengunduran diri lu,” kata Harshad pergi meninggalkan Bryan, dia masuk ke kamar yang lebih private lagi daripada kamarnya yang digunakan perempuan tadi.
"Eh Harshad, lu dengerin gue deh!” pekik Bryan,
***
Di rumah besar dengan cat tembok berwarna coklat sepasang orang tua sedang menyantap makan malamnya. Hidangan di depan mereka seolah tak membuat selera mereka tergugah. Tangan tuan Jane mengepal setelah mendengar kabar dari sekretarisnya tentang anak perempuannya.
“Tetap cari dia! Dia nggak boleh ninggalin Arnold seperti itu,” pekik tuan Jane. Dia berdiri pergi diikuti oleh sekretarisnya.
Nyonya Helen menghela nafas pelan, bukan pertama kalinya tuan Jane meninggalkan makan malam mereka, terlebih ketika mendengar kabar tentang putri mereka. Rumah yang hanya dihuni oleh dua orang pemilik dan beberapa pelayan tersebut selalu menjadi rumah yang layak untuk ditinggalkan ketika sang empu sudah beranjak pergi meninggalkan ruang makan.
Di sana hanya tuan Jane yang berhak memutuskan sesuatu, apapun itu. Entah di ruang makan, di dalam kamar manapun, hidup orang yang ada di dalam rumah, dan nasib para penghuni rumah.
“Tolong bereskan makanan ini!” ucap nyonya Helen yang juga akan pergi, dia tak jadi makan malam karena suaminya sudah pergi duluan.
“Nyonya, saya tidak bisa membereskan makanan ini karena anda belum makan sedikit pun,” balas pelayan paling tua di sana, nyonya Helen menoleh, itu pelayan yang paling dekat dengannya di rumah ini.
“Tidak apa-apa bi, nanti saya makan sama tuan di kamar.” nyonya Helen berlalu begitu saja, dia tidak ingin dipaksa makan. Konsekuensi meninggalkan suaminya makan malam adalah hal yang berat dan sudah dia lewati selama ini. Seharusnya dia bisa menjalankan peraturan itu.
***
Sekretaris Bryan berdiri tegak di depan kamar Harshad, dia sudah siap menjalankan tugasnya sebagai sekretaris pribadi presiden direktur Akandra grup. Beberapa penjaga juga berdiri di sekitar Bryan, ritual khusus Harshad ketika akan pergi ke kantor akan dimulai.
Harshad mengenakan jasnya, menyamakan warna jas dengan jam tangan. Dia suka keseimbangan, keanggunan dan kepercayaan. Dia menatap gadis yang masih tidur di ranjangnya dari pantulan cermin. Menatap tidur nyenyak seseorang membuatnya sedikit marah.
“Tuan muda, sekretaris Bryan sudah menunggu anda di luar,” ucap seorang pelayan, dia membungkukkan badan memberi salam. Harshad hanya mengangguk.
“Katakan pada Bryan, tunggu saja aku di bawah. Aku akan segera turun,” balas Harshad.
"Baik, tuan.” pelayan tersebut berlalu pergi meninggalkan Harshad sendirian di kamar. Sebelum dia keluar dari kamar, dia mendekati ranjang. Menatap intens gadis di depannya.
Bulu mata lentik milik gadis itu mengganggu pandangan Harshad, kenapa gadis ini punya bulu mata lentik? Dia selalu ingin menjadikan gadis berbulu mata lentik sebagai pendampingnya, entah karena apa, tapi itu keinginan Harshad sejak dia kuliah.
"Hah? Siapa lu?” teriak gadis yang ditatap Harshad. Spontan dia terkejut, dia sedang terfokus pada pikirannya. Harshad langsung duduk bingung, alisnya bertaut.
“Lo orang Indonesia?” tanya Harshad. Gadis yang menutupi dirinya dengan selimut itu mengangguk pelan. “Siapa nama lo?”
"Mau apa lo? Lo penjahat kan? Ngaku lo! Gue laporin polisi lo!” omel perempuan itu, dan mendapat kekehan kecil dari Harshad. Dia mendekati gadis tersebut, membisikkan sesuatu di telinga kanannya.
“Kalo lu bisa jaga kedua ginjel lu dengan aman, dengan senang hati gue akan ambil tuh ginjel sebelum anak buah gue yang ambil, paham lo!” bisik Harshad. Dia tersenyum licik sembari berjalan keluar kamar.
“Heh, lo siapa? Jawab gue?”
“Lo gak perlu tau siapa gue, yang perlu lu tau adalah gimana caranya elu bisa bayar kerugian yang udah gue tanggung gara-gara lu! Pikirin itu!” Harshad membenarkan dasi di depan cermin.
PRANKKKK,
Suara benda kaca pecah membuat sekretaris Bryan dan para penjaga yang dari tadi diam menunggu di depan pintu masuk paksa. Perempuan itu juga terukejut, begitu banyak orang yang langsung masuk, dan sigap menodongkan pistol.
“Tuan muda, anda baik-baik saja?” tanya Bryan yang otomatis langsung mendekati Harshad, Harshad yang terkejut hanya diam mematung. Berani-beraninya perempuan itu melempar guci kesayangannya, tangan Harshad terkepal, menahan emosi.
“Ayo keluar, jangan biarkan gadis itu pergi dari sini!” ucap Harshad menatap tajam gadis di atas ranjangnya. Beberapa orang yang masuk tadi mendapat isyarat dari Bryan, mereka segera membagi tugas.
Perempuan yang memakai piyama hitam itu hanya melongo sambil membulatkan mata. "Apa sih yang dipikirkan laki-laki tadi? Kalo emang mereka semua psikopat kenapa nggak langsung bunuh dia aja? Eh ya jangan dong, kalo mereka pelan gini kan pasti ada celah buat kabur, iya kan?" Itu yang dipikirkan olehnya.
***
Harshad mengetukkan pelan jarinya pada paha, memikirkan pertanyaan Bryan yang dari kemarin mengganggu pikirannya. Bryan terfokus menatap jalanan di depannya, sesekali Harshad memandang Bryan dengan tatapan bingung. Bagaimana Bryan bisa tau?“Bryan?” panggil Harshad. Alisnya masih bertaut menunggu jawaban dari Bryan.“Iya, tuan,” jawab Bryan. Dia tak menoleh pada tuan mudanya, jalanan di depannya lebih penting dari pada panggilan Harshad, begitu mungkin pikirnya.“Lu tau siapa perempuan itu?” itu pertanyaan yang sejak tadi malam mengganggu otak bersihnya."Iya, tuan. Tadi malam dia sedang dalam pencarian anak buah tuan Arnold,” kata Bryan sembari memutar setir ke kanan."Arnold?” tanya Harshad. Ada jeda sampai mereka berdua bisa berpikir dan menemukan sesuatu. “Berarti dia bukan gadis sembarangan, pantesan dia bisa bahasa Indonesia,” lanjut Harshad menyandarkan punggungnya.“Sa
“Mampus gue, lari Anya! Lari cepetan!” gumam Anya merasa ada yang tidak beres dengan dua orang laki-laki yang memanggilnya. Sudah cukup orang-orang sekelilingnya menatap heran baju handuknya, jangan tambah lagi adegan kejar-kejaran ini.Anya berlari meninggalkan mesin kopi yang dia jadikan tempat berpikir tadi. Melewati beberapa orang yang berjalan tak beraturan membuat lari Anya sedikit terganggu. Dia menabrak seseorang hingga hampir terjatuh.“Oh, i’m sorry, i’m sorry,” ucap Anya sembari mengatupkan kedua tangannya. Orang yang dia tabrak tak mengatakan banyak hal, hanya sedikit sinis menatapnya.Tak membuang waktu, Anya kembali berlari. Bodoamat lah urusan perempuan yang dia tabrak tadi, toh dia juga sudah meminta maaf. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan diri dari dua orang yang sedang gencar-gencarnya mengejar dia.Dia tidak tau ada urusan apa sebenarnya laki-laki yang dipanggil tuan itu dengan diri
Sedari mereka keluar dari area taman, alis Harshad terus menyatu. Dia diam sembari fokus pada kemudinya. Anya tidak merasa bersalah, karena dia tidak melakukan apapun, normalnya seseorang yang tinggal di rumah orang yang tidak dia kenal, ya harus pergi setelah sadar."Mau ngapain kesini?” tanya Anya, Harshad diam saja dan masih fokus mencari tempat parkir untuk mobil kesayangannya ini. “Heh, gue tanya mau ngapain kita kesini?”“Ya coba lo pikir sendiri, masa iya gue kesini mau main badminton,” jawab Harshad sedikit ketus. Dia keluar dari mobil mengabaikan Anya yang juga ikut bersungut-sungut.“Astaga, gue mimpi apaan ya?” dengus Anya. Anya melingkarkan tangannya di depan dada. Ingin tau apa yang dilakukan Harshad kalau dia tidak turun.Laki-laki bermarga Akandra tersebut menoleh karena tak ada suara langkah ataupun suara bising ocehan Anya. Bibir Harshad terangkat sebelah, dia geram tapi ingin tertawa.&ldq
Terdengar umpatan berkali-kali dari mobil hitam yang berjalan kencang keluar dari kota. Dua orang yang tadi dan kemarin hampir menemukan Anya. Sebenarnya mereka juga tidak tau, kenapa bosnya meminta perempuan seperti Anya untuk dijadikan wanita bayaran.Dari apa yang mereka lihat, Anya bukanlah tipe perempuan yang menjual tubuhnya hanya demi uang. Bahkan Anya menolak untuk disentuh oleh mereka.Pasti ada hal lain di diri Anya sampai bosnya meminta pada mereka untuk tetap mencari Anya apapun yang terjadi, sangat rumit, apalagi Anya selalu lari dan terus-terusan kabur dari mereka.Menyusahkan!***Sampai di rumah Harshad, Anya langsung ke kamar mandi. Sedangkan Harshad mendaratkan bokongnya pada sofa melingkar di ruang tamu. Dua orang pelayan menghampirinya dan melepaskan satu persatu sepatu Harshad.Anya muntah-muntah di kamar mandi, kecepatan gila. Iya, Harshad mengendarai mobil dengan kecepatan di luar batas kebiasaan orang-orang kelas atas
DooorrrHarshad menurunkan pistolnya, matanya membulat, dia langsung membuang pistolnya setelah menyadari apa yang baru saja dia perbuat. “Anya?” panggil Harshad.Perempuan yang mengenakan hiasan rambut berbentuk hati tersebut tersenyum. Tangan kanannya berada di perutnya dan satu lagi seolah ingin meraih Harshad untuk dia jadikan tumpuan, tapi gagal.Anya terjerembab, duduk sambil masih tersenyum. Harshad mendekat, menyangga kepala Anya dengan pahanya, dia tak bisa berkata apa-apa.“Bryan! Danu!” teriak Harshad, memanggil orang-orang yang pasti saat ini ada di rumahnya. Dia panik, khawatir juga. “Anya, kamu baik-baik saja? Maafkan aku?” ucap Harshad.“Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa,” jawab Anya. Dia tersenyum sekali lagi dan kemudian menutup matanya.“Anya!” teriak Harshad menggoyangkan lengan Anya.“Nona Anya,” panggil seorang pelayan menyadarkan Anya dar
Harshad sampai di depan kamarnya, pintu itu tertutup. Anya mengunci pintu dari dalam, beruntung pintu tersebut tidak hanya menggunakan kunci manual, tetapi juga sensor suara.Hanya suara Harshad dan Bryan yang bisa membuka kamar itu, Bryan segera kembali ke ruang kerja tuan mudanya untuk melihat kerja Danu. Sedangkan Harshad, dia punya perasaan was-was, karena ada hal yang membuatnya trauma jika ada orang lain yang menodongkan pistol.“Anya,” panggil Harshad. Dapat dia lihat Anya terlelap di atas ranjang, selimut sudah menutupi sebagian tubuh Anya. Lampu utama juga sudah mati, hanya lampu tidur di samping Anya yang menyala.Harshad tersenyum, satu sama. Dia juga memiliki kesempatan memandang wajah Anya saat tidur. Harshad mendekat, menyalakan lampu tidur di seberang Anya. Melihat Anya tidur, mengingatkan Harshad pada seseorang yang sangat dia rindukan.Dia tidak bisa lama-lama berada di kamar itu, tujuannya kesini hanya mengambil pistol yang d
Pintu balkon tertutup beserta dengan gordennya. Sama sekali tak dapat dilihat dari dalam rumah. Anya sedikit kesusahan membuka pintu kaca itu, sangat berat, ditambah lagi dia membawa nampan berisi makanan.PraaangggggAnya terkejut, dia cepat-cepat mendekati Harshad yang memeluk diri sambil berteriak-teriak. Walaupun Harshad menahan teriakannya, Anya bisa tau karena berada di tempat yang sama.Tapi masih ada kemungkinan tuan Danu tidak bisa mendengarnya karena di dalam ruangan memang kedap suara. Anya meletakkan nampan di atas meja.“Harshad,” panggil Anya sedikit ragu. Dia memungut pecahan-pecahan gelas di bawah Harshad. Karena Harshad tak memakai alas kaki apapun, takutnya nanti dia tiba-tiba berdiri dan menginjak pecahan tersebut.“Aaaaaakhhhhh, pergi!” Harshad menahan suaranya. Dia menutup telinga dan matanya. Membuat yang melihatnya ikut sedih. Anya mempercepat kerjanya.“Harshad kamu kenapa?” tanya A
Anya beranjak naik ranjang, di atasnya sudah ada Harshad yang terlelap dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya. Dia menyeka badan Harshad, pasti tidak nyaman karena belum mengganti bajunya.Pelayan datang membawa ultrasonik aromatherapi kesukaan Harshad, Anya yang terkejut membau aroma lavender ini, bunga kesukaannya juga.“Mbak, tolong airnya diganti ya, udah dingin soalnya,” kata Anya pada pelayan yang ditugaskan menemani dirinya.“Baik, nona.” Anya mengangguk, kembali menempelkan handuk kecil di kening Harshad, air hangat di handuk sedikit demi sedikit dingin.Anya menyadari kalau tubuh Harshad menggigil, dia mencari remote AC, sepertinya dia harus mematikan AC tersebut. Kenapa dia merasa seperti menjadi ibu Harshad?Ah, tapi ya sudahlah. Dia diberi kepercayaan ini oleh sekretaris Bryan dan kepala keamanan itu, dia harus bertanggung jawab. Anya melepaskan jas Harshad, masih ada ponsel di saku kanannya.Dia l
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.