Harshad mengetukkan pelan jarinya pada paha, memikirkan pertanyaan Bryan yang dari kemarin mengganggu pikirannya. Bryan terfokus menatap jalanan di depannya, sesekali Harshad memandang Bryan dengan tatapan bingung. Bagaimana Bryan bisa tau?
“Bryan?” panggil Harshad. Alisnya masih bertaut menunggu jawaban dari Bryan.
“Iya, tuan,” jawab Bryan. Dia tak menoleh pada tuan mudanya, jalanan di depannya lebih penting dari pada panggilan Harshad, begitu mungkin pikirnya.
“Lu tau siapa perempuan itu?” itu pertanyaan yang sejak tadi malam mengganggu otak bersihnya.
"Iya, tuan. Tadi malam dia sedang dalam pencarian anak buah tuan Arnold,” kata Bryan sembari memutar setir ke kanan.
"Arnold?” tanya Harshad. Ada jeda sampai mereka berdua bisa berpikir dan menemukan sesuatu. “Berarti dia bukan gadis sembarangan, pantesan dia bisa bahasa Indonesia,” lanjut Harshad menyandarkan punggungnya.
“Saya memutuskan untuk tidak mencari lebih lanjut karena dari data yang saya dapat memang tuan Arnold sangat sering berganti-ganti pasangan, lagipula perempuan tersebut juga tidak berbuat hal yang aneh,” papar Bryan.
“Tapi kenapa sampai Arnold mencarinya? Apa dia membuat kesalahan?”
“Nah, itu yang masih menjadi pertanyaan kami, tuan. Kenapa sampai tuan Arnold mengerahkan anak buahnya hanya untuk mencari perempuan mabok dan tak sengaja menabrak anda itu,” jawab Bryan, dia juga berpikir tentang itu. Pertanyaan Harshad akan selalu menjadi tugasnya.
"Cari tau apa yang terjadi sebenarnya pada mereka!” Harshad mengeluarkan perintahnya. Bryan mengangguk dari tempat duduknya.
"Baik, tuan.”
***
“Sebenarnya siapa sih orang ini?” gerutu perempuan yang tadi mengaku bernama Anya pada pelayan. Dia menatap berbagai perlengkapan mandi yang ada di sana. Ini semua sama dengan apa yang dia punya di rumah. Dan Anya tau kalau ini bukan barang murah yang bisa dibeli di supermarket biasa.
“Kalo gue pake ini gapapa kali ya? Salah siapa nggak lepasin gue,” gumam Anya sembari menuangkan sabun wajah yang seharusnya untuk laki-laki.
"Maaf, nona.” Anya berjingkat.
“Ah shit,” umpatan kecil keluar dari mulut cantiknya. “Sejak kapan kalian di sini? Apa memang tuan muda kalian selalu minta ditemani ketika mandi? Hah?” omel Anya.
“Nona tidak diizinkan menggunakan kamar mandi tuan muda, dan kamar mandi anda bukan di sini,” ucap pelayan tadi.
“Silahkan ikut kami, akan kami tunjukkan kamar mandi anda,” lanjut dua pelayan di depan Anya. Dia hanya mengangguk sembari menurut.
“Apa ada kamar mandi lain di sini?” tanya Anya sembari sedikit bahagia. Setidaknya laki-laki tadi tidak memperlakukannya dengan buruk.
“Iya nona, dan tuan muda bilang, kamar mandi ini khusus untuk anda,” balas sang pelayan. Senyum Anya semakin lebar.
Tak berselang lama dari berjalan keluar kamar mandi milik tuan muda tersebut, Anya dan dua pelayan tadi sudah sampai di ruangan yang paling kecil dari semua ruangan yang ada di sana. Mata Anya terbelalak, dalam pikirannya Harshad akan memberikan kamar mandi khusus untuknya seperti di film-film romantis yang sering dia tonton.
Tapi ini apa? Kenapa malah dia diperlakukan seperti pelayan dan staf di sini? Pasti ada yang salah. Di pintu kamar mandi itu ada tulisannya kamar mandi khusus pelayan dan penjaga, jadi yang dia maksud kamar mandi khusus itu ini?
Sebenarnya kamar mandi ini malah lebih mirip seperti kamar mandi di mall atau pusat perbelanjaan. Ada beberapa ruang dan dibatasi kecil-kecil. Yah, seperti itulah.
Anya menggeleng kecil menatap bingung, “Ini kamar mandi yang kalian maksud khusus untukku?” tanya Anya lagi.
“Iya, nona,” balas mereka, Anya semakin geram ketika melihat dua pelayan tadi menahan tawanya.
“Cihh, dasar laki-laki gila!” teriak Anya, dia tak peduli lagi dengan tatapan mematikan anak buah Harshad. Dia tak mengira kalau dia akan bertemu laki-laki super pelit seperti Harshad.
“Maaf, nona. Anda tidak bisa mengumpat tuan muda di sini,” seorang penjaga menghampiri. Anya hanya melemparkan tatapan tak peduli dan berjalan masuk kamar mandi sambil berdendang kecil dengan kalimat umpatan untuk Harshad.
Sehilangnya Anya dari depan anak buah Harshad, mereka saling tatap, sebenarnya mereka ingin tau siapa perempuan ini, tapi tidak ada yang berani bertanya. Tatapan sekretaris Bryan berhasil membunuh nyali mereka.
***
Arose, perempuan yang dinobatkan oleh alam menjadi ibu dari Harshad. Dia hanya menghabiskan waktunya dengan beberapa dokumen yang ada di atas meja kerja di kamarnya. Bukan gila kerja, tapi memang bekerja adalah healing terbaik menurutnya.
Sepeninggal suaminya, Arose seolah tak bisa mengendalikan jiwa liarnya yang sudah lama tidak pernah dibebaskan oleh suaminya. Baru sekarang ini dia merasa kalau keberadaan suaminya sangat berarti dalam hidupnya.
Setiap malam dia merenung, memikirkan lagi keputusannya untuk menikah lagi, ada rasa takut yang menghantui pikirannya. Terlebih lagi ketika dia mendengar kemarahan putranya yang tidak menyetujui permintaan tersebut.
Sebenarnya dia juga bingung, apa benar dia menyukai laki-laki yang melamarnya kemarin? Dia memang nyaman ketika bersama laki-laki tersebut, tapi ketika sendirian seperti ini, tetap mendiang suaminya yang menduduki singgasana di hatinya.
“Selamat malam, nyonya,” ucap seorang yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Arose.
“Iya, Frans. Ada apa?” Orang kepercayaan Arose masuk dan membuyarkan lamunan panjangnya.
“Tuan muda telepon dan mengatakan kalau ingin berbicara dengan anda,” jawab Frans dengan sedikit menunduk, pembicaraan menyangkut tuan muda selalu membuat nyonya Arose sedikit emosi.
“Kenapa dia tidak langsung menghubungi aku?” tanya Arose, ini bukan kebiasaan Harshad.
“Tuan muda sudah berusaha menghubungi anda, tetapi anda tidak menjawab panggilannya,” balas Frans, sepertinya perempuan di depannya ini tidak sedang emosi. Arose langsung melihat ponselnya, dan ternyata benar, ada beberapa panggilan tak terjawab dari putranya.
"Bilang apa lagi dia?”
“Tidak ada, nyonya. Tuan muda hanya meminta saya melihat kondisi anda dan berpesan tuan muda ingin berbicara jika anda baik-baik saja.” Frans menjelaskan, Arose sedikit terkejut, itu tadi sebuah bentuk kekhawatiran Harshad untuknya.
“Baiklah, kamu boleh keluar,” ujar Arose, Frans menunduk memberi hormat dan berlalu keluar.
Arose kembali menyatukan tangannya sedikit tersenyum, ternyata Harshad masih punya perasaan padanya, beberapa hari kemarin tak ada kabar sama sekali dari laki-laki yang postur tubuhnya mirip dengan almarhum suaminya.
Suasana tenang di malam hari masih menjadi kesukaannya sampai sekarang. Hanya saja, untuk sekarang putranya tidak bisa menemani ketika dia merenung di malam hari. Harshad memilih untuk tinggal di New York dan mengurus perusahaan dari sana.
***
Tidak tau dengan cara apa dan bagaimana dia bisa lari dari apartemen Harshad yang sangat ketat penjagaannya. Bahkan cara dia keluar tadi juga sudah dia lupakan, agar tidak melakukan cara yang serupa lagi untuk kabur di lain waktu.
Anya hanya mengenakan baju handuk saat kabur, tidak memakai alas kaki, dan di tangannya masih ada sikat gigi yang tadi dia bawa dari kamar mandi staf apartemen Harshad. Setidaknya dia udah tau nama dan tempat tinggal laki-laki itu.
“Wait, tapi gue kenapa bisa ada di sana sih?” gumamnya. Dia berhenti di depan mesin kopi sambil berusaha berpikir apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.
"Oh sh*t, gue hampir diperkosa sama anak buah si bajingan itu,” ucapnya lirih sambil menutup mata dan mulutnya, “Hah, gimana ini, pasti mereka masih cari gue,” lanjutnya.
Perlahan dia berusaha mengingat lagi kejadian tadi malam, tadi pagi kepalanya pusing saat bangun tidur, pasti itu gara-gara minuman beralkohol yang tadi malam diberikan oleh mereka, tambah satu lagi, obat tidur.
“Aaaaah, gue kenapa sih?” rutuknya. Langkahnya semakin limbung, dia mulai merasa tidak nyaman berjalan di pusat kota hanya dengan menggunakan baju handuk.
Anya mengacak-acak rambutnya agar tidak terlihat seperti dirinya, dia khawatir kalau masih ada anak buah Arnold yang berkeliaran mencarinya. Karena seingatnya, dia tadi malam lari dan berjalan kesini.
“Dan kenapa gue jadi malu sendiri kalo inget sebenernya gue yang ngerepotin Harshad?” batinnya berbicara. Wajahnya mengerucut menyatu. “Ah kagak, pokoknya gue ga tau apa yang sebenernya terjadi tadi malam,” ucapnya agar dia tidak menunjukkan rasa bersalah pada Harshad.
“Tapi gue juga udah mecahin gucinya tadi. Ahhh, sial banget deh gue.” Anya masih terus menggerutu.
Awalnya Anya mengira kalau Harshad yang melakukan hal gila padanya, termasuk yang mengganti pakaiannya dengan piyama. Tapi karena dia melihat pelayan perempuan di apartemen itu dia tidak jadi overthinking pada Harshad.
“Eh wait, tapi bisa jadikan? Tadi gue pikir laki-laki itu kek orang di film-film yang gue tonton, nyatanya malah kaga ada atinya sama sekali,” gumamnya. “Jangan-jangan emang dia yang gantiin baju gue? Astaga,” lanjutnya.
“Anya!” teriak seseorang membuyarkan lamunan Anya yang tak beraturan. Gadis dengan baju handuk berwarna putih itu menoleh.
“Mampus gue, lari Anya, lari cepetan!”
***
“Mampus gue, lari Anya! Lari cepetan!” gumam Anya merasa ada yang tidak beres dengan dua orang laki-laki yang memanggilnya. Sudah cukup orang-orang sekelilingnya menatap heran baju handuknya, jangan tambah lagi adegan kejar-kejaran ini.Anya berlari meninggalkan mesin kopi yang dia jadikan tempat berpikir tadi. Melewati beberapa orang yang berjalan tak beraturan membuat lari Anya sedikit terganggu. Dia menabrak seseorang hingga hampir terjatuh.“Oh, i’m sorry, i’m sorry,” ucap Anya sembari mengatupkan kedua tangannya. Orang yang dia tabrak tak mengatakan banyak hal, hanya sedikit sinis menatapnya.Tak membuang waktu, Anya kembali berlari. Bodoamat lah urusan perempuan yang dia tabrak tadi, toh dia juga sudah meminta maaf. Yang harus dia lakukan sekarang adalah menyelamatkan diri dari dua orang yang sedang gencar-gencarnya mengejar dia.Dia tidak tau ada urusan apa sebenarnya laki-laki yang dipanggil tuan itu dengan diri
Sedari mereka keluar dari area taman, alis Harshad terus menyatu. Dia diam sembari fokus pada kemudinya. Anya tidak merasa bersalah, karena dia tidak melakukan apapun, normalnya seseorang yang tinggal di rumah orang yang tidak dia kenal, ya harus pergi setelah sadar."Mau ngapain kesini?” tanya Anya, Harshad diam saja dan masih fokus mencari tempat parkir untuk mobil kesayangannya ini. “Heh, gue tanya mau ngapain kita kesini?”“Ya coba lo pikir sendiri, masa iya gue kesini mau main badminton,” jawab Harshad sedikit ketus. Dia keluar dari mobil mengabaikan Anya yang juga ikut bersungut-sungut.“Astaga, gue mimpi apaan ya?” dengus Anya. Anya melingkarkan tangannya di depan dada. Ingin tau apa yang dilakukan Harshad kalau dia tidak turun.Laki-laki bermarga Akandra tersebut menoleh karena tak ada suara langkah ataupun suara bising ocehan Anya. Bibir Harshad terangkat sebelah, dia geram tapi ingin tertawa.&ldq
Terdengar umpatan berkali-kali dari mobil hitam yang berjalan kencang keluar dari kota. Dua orang yang tadi dan kemarin hampir menemukan Anya. Sebenarnya mereka juga tidak tau, kenapa bosnya meminta perempuan seperti Anya untuk dijadikan wanita bayaran.Dari apa yang mereka lihat, Anya bukanlah tipe perempuan yang menjual tubuhnya hanya demi uang. Bahkan Anya menolak untuk disentuh oleh mereka.Pasti ada hal lain di diri Anya sampai bosnya meminta pada mereka untuk tetap mencari Anya apapun yang terjadi, sangat rumit, apalagi Anya selalu lari dan terus-terusan kabur dari mereka.Menyusahkan!***Sampai di rumah Harshad, Anya langsung ke kamar mandi. Sedangkan Harshad mendaratkan bokongnya pada sofa melingkar di ruang tamu. Dua orang pelayan menghampirinya dan melepaskan satu persatu sepatu Harshad.Anya muntah-muntah di kamar mandi, kecepatan gila. Iya, Harshad mengendarai mobil dengan kecepatan di luar batas kebiasaan orang-orang kelas atas
DooorrrHarshad menurunkan pistolnya, matanya membulat, dia langsung membuang pistolnya setelah menyadari apa yang baru saja dia perbuat. “Anya?” panggil Harshad.Perempuan yang mengenakan hiasan rambut berbentuk hati tersebut tersenyum. Tangan kanannya berada di perutnya dan satu lagi seolah ingin meraih Harshad untuk dia jadikan tumpuan, tapi gagal.Anya terjerembab, duduk sambil masih tersenyum. Harshad mendekat, menyangga kepala Anya dengan pahanya, dia tak bisa berkata apa-apa.“Bryan! Danu!” teriak Harshad, memanggil orang-orang yang pasti saat ini ada di rumahnya. Dia panik, khawatir juga. “Anya, kamu baik-baik saja? Maafkan aku?” ucap Harshad.“Aku baik-baik saja, aku tidak apa-apa,” jawab Anya. Dia tersenyum sekali lagi dan kemudian menutup matanya.“Anya!” teriak Harshad menggoyangkan lengan Anya.“Nona Anya,” panggil seorang pelayan menyadarkan Anya dar
Harshad sampai di depan kamarnya, pintu itu tertutup. Anya mengunci pintu dari dalam, beruntung pintu tersebut tidak hanya menggunakan kunci manual, tetapi juga sensor suara.Hanya suara Harshad dan Bryan yang bisa membuka kamar itu, Bryan segera kembali ke ruang kerja tuan mudanya untuk melihat kerja Danu. Sedangkan Harshad, dia punya perasaan was-was, karena ada hal yang membuatnya trauma jika ada orang lain yang menodongkan pistol.“Anya,” panggil Harshad. Dapat dia lihat Anya terlelap di atas ranjang, selimut sudah menutupi sebagian tubuh Anya. Lampu utama juga sudah mati, hanya lampu tidur di samping Anya yang menyala.Harshad tersenyum, satu sama. Dia juga memiliki kesempatan memandang wajah Anya saat tidur. Harshad mendekat, menyalakan lampu tidur di seberang Anya. Melihat Anya tidur, mengingatkan Harshad pada seseorang yang sangat dia rindukan.Dia tidak bisa lama-lama berada di kamar itu, tujuannya kesini hanya mengambil pistol yang d
Pintu balkon tertutup beserta dengan gordennya. Sama sekali tak dapat dilihat dari dalam rumah. Anya sedikit kesusahan membuka pintu kaca itu, sangat berat, ditambah lagi dia membawa nampan berisi makanan.PraaangggggAnya terkejut, dia cepat-cepat mendekati Harshad yang memeluk diri sambil berteriak-teriak. Walaupun Harshad menahan teriakannya, Anya bisa tau karena berada di tempat yang sama.Tapi masih ada kemungkinan tuan Danu tidak bisa mendengarnya karena di dalam ruangan memang kedap suara. Anya meletakkan nampan di atas meja.“Harshad,” panggil Anya sedikit ragu. Dia memungut pecahan-pecahan gelas di bawah Harshad. Karena Harshad tak memakai alas kaki apapun, takutnya nanti dia tiba-tiba berdiri dan menginjak pecahan tersebut.“Aaaaaakhhhhh, pergi!” Harshad menahan suaranya. Dia menutup telinga dan matanya. Membuat yang melihatnya ikut sedih. Anya mempercepat kerjanya.“Harshad kamu kenapa?” tanya A
Anya beranjak naik ranjang, di atasnya sudah ada Harshad yang terlelap dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya. Dia menyeka badan Harshad, pasti tidak nyaman karena belum mengganti bajunya.Pelayan datang membawa ultrasonik aromatherapi kesukaan Harshad, Anya yang terkejut membau aroma lavender ini, bunga kesukaannya juga.“Mbak, tolong airnya diganti ya, udah dingin soalnya,” kata Anya pada pelayan yang ditugaskan menemani dirinya.“Baik, nona.” Anya mengangguk, kembali menempelkan handuk kecil di kening Harshad, air hangat di handuk sedikit demi sedikit dingin.Anya menyadari kalau tubuh Harshad menggigil, dia mencari remote AC, sepertinya dia harus mematikan AC tersebut. Kenapa dia merasa seperti menjadi ibu Harshad?Ah, tapi ya sudahlah. Dia diberi kepercayaan ini oleh sekretaris Bryan dan kepala keamanan itu, dia harus bertanggung jawab. Anya melepaskan jas Harshad, masih ada ponsel di saku kanannya.Dia l
Matahari menyapa mata Anya yang masih terpejam. Sekuat tenaga dia berusaha membukanya. Tak berselang lama dari bangunnya, alarm di kamar itu berbunyi. Ini hari ketiga Harshad sakit. Dia melirik bagian bawah tubuhnya karena merasa ada yang membebani perutnya. Dia selalu menemani tuan muda tersebut, sampai tidur dengan Harshad juga. Posisi Harshad tak berpindah sama sekali. Masih dengan posisi dia memeluk Anya tadi malam, hanya saja selimut yang mereka gunakan sudah menutupi tubuh Harshad sampai lehernya. “Jam lima,” gumam Anya. Dia bangkit dari berbaring setelah berusaha memindahkan tangan Harshad pelan-pelan. Anya bangun, dia menyentuh kening Harshad. Hangat, jadi panasnya sedikit menurun. Tidak masalah yang penting tidak sepanas kemarin. Dia takut kalau Harshad seperti kemarin lagi. Dia beranjak turun dari ranjang. Dia menutup kembali gorden yang terbuka meloloskan cahaya surya. Agar Harshad tidak terganggu tidurnya. Pintu kamar utama
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.