Harshad sampai di depan kamarnya, pintu itu tertutup. Anya mengunci pintu dari dalam, beruntung pintu tersebut tidak hanya menggunakan kunci manual, tetapi juga sensor suara.
Hanya suara Harshad dan Bryan yang bisa membuka kamar itu, Bryan segera kembali ke ruang kerja tuan mudanya untuk melihat kerja Danu. Sedangkan Harshad, dia punya perasaan was-was, karena ada hal yang membuatnya trauma jika ada orang lain yang menodongkan pistol.
“Anya,” panggil Harshad. Dapat dia lihat Anya terlelap di atas ranjang, selimut sudah menutupi sebagian tubuh Anya. Lampu utama juga sudah mati, hanya lampu tidur di samping Anya yang menyala.
Harshad tersenyum, satu sama. Dia juga memiliki kesempatan memandang wajah Anya saat tidur. Harshad mendekat, menyalakan lampu tidur di seberang Anya. Melihat Anya tidur, mengingatkan Harshad pada seseorang yang sangat dia rindukan.
Dia tidak bisa lama-lama berada di kamar itu, tujuannya kesini hanya mengambil pistol yang disimpan Bryan di bawah bantal. Tangan Harshad menyela satu persatu bantal di ranjang tersebut, aroma ruangan sudah berganti menjadi aroma Anya.
Tuan muda Akandra tersebut berusaha menyedikitkan gerak, Anya juga ikut bergerak karena berada di ranjang yang sama. Tidak dia temukan pistol tersebut, dan hanya satu bantal yang belum dia periksa. Bantal yang dipakai Anya.
Harshad bergerak perlahan, menyangga kepala Anya dengan lengannya. Memindahkan bantal Anya dan baru terlihat pistol tersebut, beruntung Anya tak seperti dirinya, yang sangat mudah terganggu saat tidur.
Dia cepat berdiri setelah berhasil mengambil pistol tersebut. Harshad menggeleng pelan setelah mengetahui kalau pistol tersebut masih berisi peluru yang penuh dan siap tembak, sangat mengkhawatirkan. Semoga saja Anya tak mengetahui keberadaan benda tersebut.
***
Cahaya matahari pagi menerobos masuk celah jendela yang gordennya hanya ditutup sebagian. Tepat mengenai wajah Anya. Perlahan Anya menggeliat, membuka matanya walaupun masih memircing karena silau.
Anya teringat kejadian tadi malam, wajahnya memucat perlahan. Sebenarnya dia takut, tapi diam-diam dia mengembalikan pistol di bawah bantalnya. Dia menyingkap bantal, dan pistol itu hilang.
Dia kembali bingung. Belum habis kebingungan Anya, seseorang membuka pintu, menambah keterkejutan dan takut yang dirasakan Anya. Harshad masuk, mata mereka bertemu, dan membuat senyum Harshad lahir.
“Kau sudah bangun? Sudah lama?” tanya Harshad sembari berjalan mendekat ke Anya.
“Mau ngapain?” balas Anya bertanya, Harshad tersenyum simpul.
“Mandi dan cepat keluar,” kata Harshad, memang itu sebenarnya tujuan Harshad mendatangi Anya. Anya hanya diam melihat Harshad berjalan lagi keluar kamar.
“Mau ngapain?” tanya Anya berteriak. Laki-laki yang sudah mengenakan pakaian resmi tersebut menoleh. Mendecak sebal.
“Sarapan,” jawab Harshad, ada jeda dan dia masih menatap Anya yang diam menutup dirinya dengan selimut. “Ada lagi pertanyaannya?”
Anya tak menjawab, dia hanya menggeleng pelan. Setelah Harshad pergi, Anya kembali berangkat tidur. Dia tidak mau melakukan apapun hari ini. Awalnya berniat kabur, tapi sepertinya akan gagal. Tugasnya sekarang hanyalah, jangan sampai membuat Harshad marah biar nggak dibunuh, udah itu doang kok. Beres.
Waktu berlalu lama, Harshad masih berada di ruang makan padahal sudah waktunya dia meeting dengan para pemegang saham. Sampai Bryan jenuh dan berkali-kali ke kamar mandi karena terus meminum air putih.
“Tuan muda, sudah habis waktu menunggu kita,” ucap Bryan mengingatkan Harshad yang kesembilan kalinya. Harshad menoleh setelah meneguk air putih.
“Baiklah, ayo berangkat,” kata Harshad akhirnya, Bryan mengambil nafas lega sepanjang-panjangnya. Senyum juga menghiasi wajah Bryan.
“Terima kasih, tuan muda.” Itu kalimat yang dari tadi Bryan harapkan. Harshad berlalu menghampiri pelayan yang bertugas menangani makanan.
“Bawakan makanan untuk Anya,” pesan Harshad pada pelayan tersebut sebelum dia keluar rumah. Bryan terlihat bingung, tapi dia mengangguk kepada pelayan yang menatapnya meminta persetujuan.
***
"Tuan muda, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bryan di sela mengemudinya.
"Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kenapa anda sangat perhatian pada nona tidak diundang itu?”
"Huft, apa aku harus menceritakan ini kepadamu?” kerutan di kening Bryan semakin kentara.
“Kenapa kita dari tadi hanya saling bertanya?” ucap Bryan melihat Harshad dari kaca tengah.
"Ah entahlah, aku sedang tidak ingin membahas Anya,” kata Harshad akhirnya, dia membuka ponselnya.
Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, tapi bukan tentang ibu. Dia hanya takut kalau Anya ternyata adalah bagian dari musuh lamanya. Semoga saja tidak, ada permintaan dari dirinya untuk melindungi Anya walaupun dia tidak tau apa alasannya.
Harshad menghela nafas panjang, mengundang Bryan menoleh. “Tuan muda, anda punya jadwal bertemu klien di Indonesia, apa anda berkenan?”
Harshad diam, masih memandang jalanan dari jendela mobil. “Kamu tau jawabannya, Bryan,” balas Harshad.
“Baik, tuan muda.”
***
Tanpa dia sadari, dia tertidur lagi sampai siang. Dia terbangun karena suara alarm yang terletak di atas nakas sampingnya. Anya menoleh mencari seseorang untuk dia tanyai. Tidak ada siapapun di kamar ini, hanya ada beberapa makanan di atas meja.
"Apa gue ya, yang kurang bersyukur udah dibolehin tinggal di sini tapi masih aja kurang terima,” gumam Anya mendekati makanan di atas meja. “Mana semua pelayan di sini pada baik-baik lagi,” tambahnya.
Anya mengambil sumpit dan memulai sarapannya, sejak dia kabur dari ayahnya, dia belum mengabari siapapun. Hanya kemarin, saat dia benar-benar ditemukan oleh orang-orang suruhan calon suaminya, kata ayahnya tapi. Dia tidak mau.
Di rumah orang lain tanpa sungkan. Terkadang dia memikirkan itu juga tapi ya sudahlah, toh Harshad tidak mengusirnya. Semoga saja benar, Harshad dan orang-orang di sini bukan psikopat.
***
Sepulang kerja, Harshad langsung masuk kamar untuk mandi. Dia meminta Bryan untuk pulang, laki-laki tersebut sedang tidak ingin membahas pekerjaan. Malam ini adalah hari di mana dia kehilangan seseorang yang paling berharga di hidupnya.
Seharusnya dia pulang ke Indonesia untuk mengenang hari ini dengan sang ibu. Namun sebenarnya dia juga tidak bisa menghapus kenangan buruk pada tanggal ini dua tahun lalu.
Harshad tidak pergi kemana-mana. Seusai mandi dia meminta pelayan membawakan banyak sekali wine ke balkon lantai dua. Pelayan sudah paham dengan apa yang diminta oleh Tuan Muda mereka.
Mungkin mereka juga ada yang menandai hari ini selain kepala pelayan dan Bryan. Harshad sudah duduk manis menunggu minuman pesanannya, duduk tenang menatap langit yang gelap di atasnya.
“Selamat malam, tuan. Sekretaris Bryan berpesan pada saya unuk tidak meninggalkan anda sendirian,” ucap Danu.
“Aku tidak ingin diganggu,” jawab Harshad tanpa menoleh. Danu mengangguk, tapi dia tidak benar-benar pergi. Mempersilahkan pelayan meletakkan beberapa botol wine di atas meja lalu keluar dari area balkon.
Sedangkan di kamar lain, Anya bernyanyi ria sembari mengubah bentuk rambutnya. Membuat gelombang pada rambut yang berwarna agak kecoklatan tersebut.
“I overdosed should’ve known your love was a game,” gumam Anya menyanyikan salah satu lagu milik Charlie Puth.
Rambut Anya lurus sebenarnya, tapi dia lebih suka rambut bergelombang seperti punya ibunya. Makanya Anya membentuk rambutnya seperti itu terkadang.
Setelah dia rasa selesai, dia melihat jam dan tau kalau sekarang adalah waktunya makan malam. Harshad akan ada di ruang makan, dia ingin melihatnya kali ini, entah karena apa.
“Tuan muda kemana ya?” tanya Anya pada seorang pelayan yang membawa nampan kosong turun dari lantai dua.
"Tuan muda ada di atas Nona, tapi dia sedang tidak ingin diganggu,” jawab pelayan tersebut. Anya menatap lantai dua, rasa ingin tahunya mengomando untuk naik.
"Sedang apa dia di sana?”
“Maaf, nona, tuan muda butuh privasi.” Anya mengangguk pelan, dia mengerti.
“Apa dia sudah makan malam?”
"Belum, nona. Kalau anda ingin makan malam, makan malamnya sudah kami siapkan di ruang makan,” ucap pelayan tersebut. Anya hanya mengangguk dan mempersilahkan pelayan itu pergi.
"Kenapa ya dia?” khawatir, iya. Anya khawatir, sesebal apapun dia pada Harshad, tetap saja Harshad lah orang yang menolongnya.
Anya beranjak ke ruang makan, mengambil nampan dan beberapa porsi makanan untuk dia makan bersama Harshad di atas. Anya bergerak cepat agar tidak diketahui oleh para pelayan.
"Nah, beres,” ucapnya. Dia berjalan pelan agar tidak menimbulkan suara.
Rumah ini terlalu luas untuk bersembunyi dan mengendap seperti itu. Terlebih lagi, banyak anak buah Harshad yang berjaga di sudut ruangan. Tapi beruntung, malam ini tidak terlalu banyak penjaga, hanya dua orang di depan pintu utama.
Dan ini, di pintu balkon. Kepala keamanan ada di sini. Jadi bisa dipastikan Harshad ada di balkon. Tuan Danu berdiri tegak sembari tetap melihat sekitarnya.
"Gimana gue bisa kesono kalo ada itu satpam?” gumam Anya. Berusaha mencari cara, tiba-tiba senyumnya terkembang. Dia menemukan gelas kecil.
Pyaaaarrrrr
Anya lempar berlawanan jalan dengan jalan ke balkon. Dan benar saja, penjaga andalan Harshad tersebut menoleh, melangkah pergi dari tempatnya berdiri untuk melihat suara apa tadi.
“Mantap,” kata Anya. Dia bergegas mendekati balkon.
***
Pintu balkon tertutup beserta dengan gordennya. Sama sekali tak dapat dilihat dari dalam rumah. Anya sedikit kesusahan membuka pintu kaca itu, sangat berat, ditambah lagi dia membawa nampan berisi makanan.PraaangggggAnya terkejut, dia cepat-cepat mendekati Harshad yang memeluk diri sambil berteriak-teriak. Walaupun Harshad menahan teriakannya, Anya bisa tau karena berada di tempat yang sama.Tapi masih ada kemungkinan tuan Danu tidak bisa mendengarnya karena di dalam ruangan memang kedap suara. Anya meletakkan nampan di atas meja.“Harshad,” panggil Anya sedikit ragu. Dia memungut pecahan-pecahan gelas di bawah Harshad. Karena Harshad tak memakai alas kaki apapun, takutnya nanti dia tiba-tiba berdiri dan menginjak pecahan tersebut.“Aaaaaakhhhhh, pergi!” Harshad menahan suaranya. Dia menutup telinga dan matanya. Membuat yang melihatnya ikut sedih. Anya mempercepat kerjanya.“Harshad kamu kenapa?” tanya A
Anya beranjak naik ranjang, di atasnya sudah ada Harshad yang terlelap dengan selimut menutup hampir seluruh tubuhnya. Dia menyeka badan Harshad, pasti tidak nyaman karena belum mengganti bajunya.Pelayan datang membawa ultrasonik aromatherapi kesukaan Harshad, Anya yang terkejut membau aroma lavender ini, bunga kesukaannya juga.“Mbak, tolong airnya diganti ya, udah dingin soalnya,” kata Anya pada pelayan yang ditugaskan menemani dirinya.“Baik, nona.” Anya mengangguk, kembali menempelkan handuk kecil di kening Harshad, air hangat di handuk sedikit demi sedikit dingin.Anya menyadari kalau tubuh Harshad menggigil, dia mencari remote AC, sepertinya dia harus mematikan AC tersebut. Kenapa dia merasa seperti menjadi ibu Harshad?Ah, tapi ya sudahlah. Dia diberi kepercayaan ini oleh sekretaris Bryan dan kepala keamanan itu, dia harus bertanggung jawab. Anya melepaskan jas Harshad, masih ada ponsel di saku kanannya.Dia l
Matahari menyapa mata Anya yang masih terpejam. Sekuat tenaga dia berusaha membukanya. Tak berselang lama dari bangunnya, alarm di kamar itu berbunyi. Ini hari ketiga Harshad sakit. Dia melirik bagian bawah tubuhnya karena merasa ada yang membebani perutnya. Dia selalu menemani tuan muda tersebut, sampai tidur dengan Harshad juga. Posisi Harshad tak berpindah sama sekali. Masih dengan posisi dia memeluk Anya tadi malam, hanya saja selimut yang mereka gunakan sudah menutupi tubuh Harshad sampai lehernya. “Jam lima,” gumam Anya. Dia bangkit dari berbaring setelah berusaha memindahkan tangan Harshad pelan-pelan. Anya bangun, dia menyentuh kening Harshad. Hangat, jadi panasnya sedikit menurun. Tidak masalah yang penting tidak sepanas kemarin. Dia takut kalau Harshad seperti kemarin lagi. Dia beranjak turun dari ranjang. Dia menutup kembali gorden yang terbuka meloloskan cahaya surya. Agar Harshad tidak terganggu tidurnya. Pintu kamar utama
Malam selalu punya rahasia tersendiri, dengan menampilkan keelokan sang kartika dan juga bermacam-macam bentuk bintang. Dunia bukan hanya tentang kebaikan, ada kejahatan dan kelicikan juga di dalamnya. Bryan duduk sembari membuka satu-persatu map di depannya. Berkali-kali alisnya bertaut karena menemukan sesuatu yang tidak beres dalam dokumen tersebut. Ruangan di depan Bryan kosong, dia ingat kalau Tuan Mudanya belum datang bekerja. “Selamat malam, tuan,” sapa Danu yang baru tiba. Bryan hanya mengangguk, memberi isyarat pada Danu untuk duduk di depannya. “Aku minta data perusahaan Bantara, Dan,” ucap Bryan. Danu sedikit bingung tapi tetap beranjak mengambil apa yang diminta Sekretaris Bryan tersebut. “Waaaah, ada yang nggak beres,” gumam Bryan. “Ini, tuan,” ucap Danu menyodorkan dokumen. “Coba kamu cek lagi, ada yang janggal nggak?” pinta Bryan. Dia meraih ponselnya sambil berdiri dari kursi kebesarannya. “Aku ke tuan muda dulu,” pamit Bryan.
Anya membereskan barang yang memang miliknya, dia diam-diam mengambil satu parfum yang biasanya dipakai Harshad kalau di rumah. Sepertinya untuk pakaian yang dibelikan Harshad tidak akan dia bawa keluar rumah ini.“Gue gak punya apa-apa deh keknya, cuma ini doang,” gumam Anya, tangannya meraih jaket yang dia pakai saat kabur dari orang suruhan ayahnya. Kemudian memasukkan parfum Harshad tadi ke dalam sakunya.“Ngapain pake baju itu?” tanya Harshad tiba-tiba. Anya menoleh terkejut, Harshad sudah berdiri di belakangnya dengan setelan jas kerjanya.“Astaga, kebiasaan banget dehh. Kalo jantung gue loncat dari tempatnya lu mau tanggung jawab?” tanya Anya.“Gue tanya, mau kemana lu? Jangan ngubah topik,” balas Harshad. Dia menangkap maksud Anya, mengajaknya bertempur seperti biasa agar mengalihkan perhatiannya.“Ehm, gue mau pulang, Shad. Kaga mungkinlah gue di sini terus-terusan.” Anya mendekat
Anya sudah menjalani aktivitas seperti biasa, dia membuka jendela kamarnya agar bisa menghirup udara pagi yang memenangkan. Dia selalu berhasil bangun pagi kalau di rumahnya sendiri. Karena tidak ada siapapun yang akan membangunkannya kalau kesiangan. Lima hari berlalu tanpa ada beban apapun, Anya berangkat ke restoran tempat kerjanya setelah menghabiskan sarapan. Seperti biasa, dia menguncir rambutnya agak tinggi agar tidak menghalangi penglihatannya. Perjalanan dari rumahnya menuju restoran sedikit melelahkan. Namun setelah di sana nanti semua akan terbayarkan karena melihat tamu-tamu restoran yang terus bertambah setiap harinya. “Mampus, gue bakalan telat nih, kena marah dah,” gerutunya. Dia baru naik taksi dan jalanan di depannya sudah macet tak karuan. Akhirnya Anya memilih turun dari taksi dan lari ke tempat kerjanya. Beruntung dia tidak perlu jauh larinya. Walaupun sampai di pintu belakang restoran dia harus mengambil nafas sepanjang panjangnya
Dua perempuan bernama Clara dan Ara itu sedikit panik, mereka tidak tahu apa-apa dan menurut saja pada laki-laki bernama Danu yang mengajak mereka ke ruangan ini.Awalnya mereka menolak, tapi setelah Danu meyakinkan kalau dia bukan salah satu dari anak buah sekretaris Bryan, Clara dan Ara setuju. Apalagi Danu mengatakan kalau ini hanya makan siang. Tidak lebih dan tidak kurang.Seperti itulah Danu. Dia selalu berhasil menjadi anak emas untuk Harshad dan Bryan. Tidak pernah muncul di publik membuat nama Danu tidak terekspos, tapi sebenarnya memang itu rencana Harshad menyembunyikan Danu di balik punggungnya.Bryan tidak langsung masuk, dia melihat Danu berbicara dengan dua orang itu dari luar private room. Karena tiba-tiba Bryan mengingat pesan Harshad untuk tidak masuk dulu, dua perempuan itu pasti sudah mengenal Bryan. Tapi mereka tidak mengenal Danu.“Tuan muda,” panggil Bryan saat menyadari kedatangan Harshad. Dia mengangguk pada pemilik re
Perempuan yang berada di dalam ruangan private itu saling tatap. Mereka sudah memantapkan diri untuk bercerita masalah yang sebenarnya pada Harshad. Mereka tau siapa orang yang ada di depan mereka sekarang.Iya, tuan muda Harshad Alan Akandra. Seorang presiden direktur dari perusahaan raksasa bernama Akandra grup. Sebenarnya bukan karena Clara dan Ara tidak tahu siapa orang di depannya ini. Tapi karena kekejaman seseorang memaksa mereka untuk diam. Walaupun sebenarnya mereka tersiksa.Harshad memainkan sumpit yang ada di tangannya, dia memutar-mutar sumpit itu seperti sedang bermain pen spinning. Sesekali dia menusuk daging sapi di depannya sebelum dia potong menggunakan pisau.Danu pun juga begitu, dia diam mendengarkan perempuan bernama Clara tersebut bercerita. Hanya Harshad yang makan, mereka semua masih fokus. Ara dan Clara sesekali mengusap air matanya.“Ibu saya disandera, tuan. Dia tidak bisa melakukan apapun pada ibu saya kalau saya tidak m
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.