Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.
Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertanya dengan kepala mendongak, "kenapa kamu di sini, Rub? Bukannya hari ini hari pertunanganmu? Harusnya sekarang kau sedang ada di tempat acaramu. Aku ini baru saja mau ke sana."Ruby membelalakkan matanya. "Jangan! Kau jangan ke sana!""Kenapa? Kamu ini aneh. Atau jangan-jangan kamu terlambat datang ke sana jadi kamu malu karenanya. Iya?" tanya Alena memastikan. "Bukan itu!""Lalu apa?"Ruby menoleh ke ke sekeliling, lalu ia meraih tangan Alena."Ayo ikut aku!""Kemana?""Ke apartemenku," sahut Ruby singkat. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu menarik tangan Alena. Membawanya pergi dari tempat itu.***Sementara itu, di rumah besar milik orangtua Tom, telah terjadi keributan. Sejak tadi Tom nampak mondar-mandir dan mengecek semua ruangan yang ada di rumah itu. Setiap bertemu dengan siapa pun, dia akan bertanya."Kamu lihat Ruby?""Lihat Ruby?""Ruby kemana ya?"Namun tak ada satu orang pun yang tahu dimana Ruby berada. Mereka justru saling pandang satu sama lain begitu menyadari bahwa yang punya pesta - Ruby - justru tidak ada di tempat itu."Bukannya tadi gadis kampungan itu pamit padamu? Bukannya tadi dia bilang dia mau ke toilet?" tanya Clara acuh tak acuh. Ia bicara sambil memandangi kuku-kuku di jari kanannya."Hahh!" Dengan gusar Tom mengacak rambutnya. "Sial! Kenapa dia bisa kabur? Sia-sia sudah semua rencana dan pengorbananku selama ini.""Cih! Gadis jelek begitu mau kamu pertahankan? Untuk apa? Keberadaannya tidak akan menguntungkanmu. Biarkan sajalah dia pergi," timpal Sarah dengan tatapan sinis.Tom memandangi Clara dan Sarah bergantian. Lalu ia berjalan menghampiri dua saudara kandungnya itu. Pandangan matanya tajam, menghujam batin kedua adik perempuannya itu.Sarah dan Clara saling bertatapan. Seperti janjian, dengan serentak mereka bangkit dari sofa biru di ruang keluarga itu. Hendak menyelamatkan diri dari amukan Tom."Kalian bicara apa barusan? Biarkan saja dia pergi? Ruby itu asetku! Dengan keberadaannya, maka bisnisku akan makin besar. Bagaimana mungkin aku mengabaikannya?"Sarah menarik sebelah bibirnya ke atas. "Aset apa? Aset miskin? Dia nggak pantas berada di keluarga kita. Status sosialnya saja rendahan seperti itu. Bagaimana dia bisa menguntungkanmu? Ha?"Tom menatap marah pada kedua saudarinya itu. "Kalian saja yang terlalu bodoh!""Kamu yang bodoh!""Dasar bodoh!""Kalian yang bodoh. Tolol!" Tom menunjuk Sarah dan Clara bergantian. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di sini? Hei Tom, lihatlah keluar. Para wartawan itu mencarimu. Mereka ingin mewawancaraimu." Roger Smith, ayah Tom, datang dan melerai pertengkaran mereka bertiga."Awas kalian!" ujar Tom sambil berlalu."Hampir saja!" Sarah mengelus dada."Benar. Hampir saja," timpal Clara. "Kita harus segera menemukan gadis itu dan memastikan dia tidak akan masuk ke keluarga ini. Kau masih punya kontak teman-teman spesialmu itu, kan?" Clara melanjutkan kalimatnya.Sarah mengangguk. "Masih.Tentu saja. Kita akan pastikan perempuan jalang itu tidak akan kembali ke sini. Seperti halnya dua perempuan malang yang lalu." Sarah menahan ketawanya. Kedua tangan ia letakkan di depan mulut.Clara tersenyum licik. Gadis itu menoleh ke arah pintu masuk dimana Tom sedang berdiri dengan dikerumuni para wartawan.***"Pak, bagaimana acara pertunangan tadi?" Seorang wartawan yang berdiri tepat di depan Tom menyodorkan mic pada Tom."Lancar. Semua lancar-lancar saja," jawab Tom singkat. Matanya melirik kanan kiri, tidak memandangi mata wartawan yang bertanya padanya."Dimana tunangan Bapak sekarang, Pak? Kenapa beliau tidak ikut keluar?" Seorang wartawati yang berdiri paling belakang berteriak.Semua orang berpaling ke arah wartawati tersebut. Lalu beberapa dari mereka menganggukkan kepala, menyetujui pertanyaan yang diajukan wanita itu."Iya, Pak. Benar. Dimana Nona Ruby, Pak. Mengapa beliau tidak ikut wawancara bersama Bapak? Kami ingin memfoto Bapak dan Nona Ruby sambil menunjukkan cincin pertunangan kalian, Pak." Seorang wartawan bernama Gabriel ikut menimpali.Tom nampak gugup. Ia menyeka keringat yang membasahi kening."Ruby … dia sedang di toilet. Sepertinya sedang sakit perut. Saya rasa wawancara ini sampai di sini dulu. Silakan Anda semua pulang. Terima kasih." Tom mengakhiri tanya jawab dengan para wartawan itu. Dia mengangkat kedua tangannya dan membalikkan badan. Ingin segera pergi dari tempat itu.Akan tetapi, Gabriel nampak belum puas. Ia menyeruak maju dan menghadang jalan Tom."Pak, apakah benar rumor yang mengatakan kalau kedua mantan tunangan Bapak jadi gila karena pertunangan Bapak dengan mereka, Pak?"Tom tercengang. Wajahnya pucat setelah mendengar pertanyaan itu. Namun Tom mengangkat kedua tangannya dan hanya memberikan isyarat dengan lambaian tangan.Sementara itu, salah seorang wartawan mendekati Gabriel dan bertanya, "darimana rumor itu datang? Kenapa saya tidak mengetahui rumor tersebut?"Gabriel mengangkat bahu dan menepuk pundak Ed, wartawan yang tadi bertanya padanya. Kemudian, ia pergi meninggalkan Ed yang masih diliputi sejuta tanya.***Satu jam kemudian di apartemen Ruby."Rub, kamu berutang penjelasan padaku. Katakan, mengapa kamu tidak ada di sana? Ini tidak masuk akal. Sebab, tadi aku melihat televisi dan di situ ada kamu dan Tom yang sedang naik mobil. Bagaimana mungkin sekarang kamu justru ada di sini?"Alena duduk bersandar di sofa. Di pangkuannya ada sebuah bantal tebal berwarna biru. Gadis itu nampak sedang mencabuti benang yang keluar dari bordiran di bantal tersebut.Ruby menghempaskan bokongnya di samping Alena. Lalu ia menghembuskan napas kasar."Panjang ceritanya. Apa kamu yakin mau mendengar semua itu?" tanya Ruby sambil menatap Alena dengan intens."Jangan kamu lupakan fakta bahwa kita pernah tidak tidur semalaman hanya karena saling bercerita tentang mantan-mantan kita, okey?" timpal Alena sambil tertawa renyah.Ruby tertawa kecil lalu ia menyandarkan kepala ke belakang. Ingatannya berkelana pada kenangan yang dirajutnya bersama sahabatnya itu."Ini mungkin akan jadi cerita terpanjang dan mungkin akan belum selesai kisahnya meski aku ceritakan padamu semalaman lagi. Jadi … bagaimana kalau sekarang kamu membantuku mengemas barang-barangku saja? Aku harus segera pergi dari sini." Ruby memalingkan kepala ke arah Alena."Kamu mau pindah? Serius?" Alena menggelengkan kepalanya berkali-kali. Makin heran dengan sikap Ruby yang diluar dugaan.Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di
Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Dua jam yang lalu."Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Ti
Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertany
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Dua jam yang lalu."Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Ti