Dua jam yang lalu.
"Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Tidak! Katamu kau suka gaun itu. Ayolah, membeli gaun itu tidak akan menyebabkan kita miskin," seloroh Tom. "Nona, ambil ini." Tom menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam pada pramuniaga tersebut. Mata pramuniaga itu melebar. Bibirnya tersenyum penuh arti begitu ia melihat kartu yang disodorkan Tom padanya. Sambil mengangguk hormat, pramuniaga berpakaian merah biru itu meraih kartu Tom dan menggeseknya pada mesin yang ia bawa."Seribu limaratus dollar, Tuan. Terima kasih telah berbelanja di sini. Apakah gaun itu mau dikemas atau …," ujar pramuniaga itu sambil menatap canggung pada Ruby dan Tom bergantian. Tom menghela napas dan langsung bangkit dari duduknya. "Tidak, Nona. Biarkan kekasih saya langsung memakainya saja. Ia tampak sangat cantik, bukan?" Tom memandangi Ruby dengan sorot mata kagum, sementara gadis itu justru menatapnya dengan mata terbelalak lebar."Apa? Bagaimana kamu bisa membelinya, Tom? Berapa harga gaun ini tadi? Seribu lima ratus dollar? Ya ampun, Tom. Apakah kamu menguras semua tabunganmu hanya untuk gaun ini? Ini terlalu mahal, Tom." Ruby menatap Tom tak percaya, seolah ia baru saja melihat Tom berubah menjadi seekor dinosaurus. Gadis itu terlalu fokus menatap kedua mata Tom, hingga tidak menyadari Tom memiliki sebuah kartu hitam. Kartu yang dapat membeli segalanya."Apapun untukmu, sayang. Aku ingin semua orang tahu bahwa kau adalah kekasihku dan sebentar lagi akan menjadi tunanganku." "Tom …." Kalimat Ruby terhenti. Matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka Tom akan seromantis dan seloyal itu. Membelikannya gaun mahal hanya untuk acara yang akan berlangsung sebentar saja. Pertunangan mereka. Padahal seperti kesepakatan mereka sebelumnya, acara itu pun hanya akan dihadiri oleh kerabat terdekat saja. Hanya sebuah pesta kecil, sesuai kemampuan Tom yang katanya hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan penerbitan."Tapi?""Sudahlah. Jangan terlalu memikirkan uang, Ruby. Lagipula, sesekali menghabiskan uang untuk orang yang kita sayangi bukanlah hal yang buruk. Bukan begitu, Nona?" Tom menoleh. Mengalihkan pandang. Meminta persetujuan pada gadis pramuniaga yang melayani mereka."Ah, ya. Tentu saja, Pak," sahut pramuniaga itu dengan wajah berseri-seri. Mendapat konsumen yang royal adalah suatu keberuntungan baginya. Maka, buru-buru ia menawarkan produk lain yang dijual di toko itu. "Apakah ada lagi yang ingin Anda cari, Pak? Bagaimana dengan sepasang sepatu yang cocok dengan gaun itu?" tawar si pramuniaga sambil menunjuk ke deretan rak sepatu yang terletak tidak jauh dari tempat mereka berada."Sepatu?" Tom mengeryit. Dipandanginya alas kaki yang dikenakan Ruby. Kepalanya miring ke kiri dan kanan, lalu menoleh ke deretan rak sepatu yang ditunjuk pramuniaga tadi. Hmm, sepasang sepatu sneakers memang tampak kurang cocok untuk gaun mewah yang sedang dikenakan Ruby, pikir Tom.Ruby mengikuti arah pandangan Tom. Dibandingkannya sepatu sneakers yang ia pakai dengan gaun yang melekat di tubuhnya. Memang kurang cocok. Gaun ini terlalu mewah untuk sepatu yang kupakai, pikir Ruby. "Apakah kau juga akan membelikanku sepatu baru, Tom?" ujarnya sambil mengangkat wajah dan memandangi Tom dengan mata berbinar. Ya, meskipun tadi dia menolak Tom membelikan gaun dengan harga yang cukup mahal. Tapi memakai gaun mewah dengan sepatu sneakers di kakinya akan terlihat sangat aneh juga.Meskipun bagi Ruby, lebih baik berhemat dan menabung untuk masa depan mereka daripada menghamburkkan uang hanya untuk sebuah gaun dan sepasang sepatu, tetapi ia teringat perkataan Tom bahwa mereka akan bertemu dengan para kerabat. Ruby tidak ingin membuat malu Tom dan keluarganya. Meskipun, pada awalnya, ia sangat menyukai gaun yang sedang ia coba dan tak terbersit sekalipun dibenaknya untuk memilikinya. Bagi Ruby, membeli barang mahal harus sesuai dengan seberapa bermanfaat dan selama apa barang itu akan digunakan. Sedangkan membeli gaun yang mungkin hanya akan digunakan beberapa kali saja adalah bentuk dari pemborosan, tak selaras dengan prinsip hidup sederhana bagi dirinya yang besar di sebuah panti asuhan. Tetapi bagaimana bila nanti penampilannya tampak begitu norak dan keluarga serta kerabat Tom malu karenanya? Ruby bimbang. Di satu sisi ia tidak mau menerima resiko itu. Sementara di sisi lain, dia juga tidak mau Tom menghamburkan uang terlalu banyak hanya untuk acara sehari itu. Sementara itu, Tom justru memikirkan hal lainnya."Sudahlah, Ruby. Jangan terlalu mendramatisir. Seharusnya kau senang dengan tindakanku. Sebagaimana wanita lain akan senang bila dibelikan barang yang menurutmu mahal seperti ini. Bukankah semua wanita seperti itu? Senang dibelikan barang mahal?" ujar Tom ringan. Tak menyadari ucapannya itu menggores hati Ruby. "Lagipula, kita akan bertemu banyak orang. Apa yang melekat di badan kita, akan menentukan seberapa tinggi status sosial kita. Belilah sepatu baru yang cocok untuk gaun itu. Itu akan membuatmu berkelas dan elegan.""Apakah itu penting untukmu?" tanya Ruby tak suka. Nada suaranya mulai berubah ketus. "Apakah kau pikir aku sama seperti wanita lain yang sangat memuja uang dan status sosial? Bagaimana bisa kau mengatakan seolah aku perempuan materialistis? Kita sudah kenal lama, bukan? Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa aku menilai hubungan kita dengan uang?" Emosi Ruby meninggi. Perkataan Tom membuatnya tersinggung."Aku tidak bermaksud begitu. Percayalah. Aku hanya berpikir, aku ingin kamu terlihat cantik dan menawan dan kita tampak serasi ….""Jadi kalau aku kumal atau memakai baju murah, kita tidak serasi? Kalau aku hanya memakai jeans belel dan kaos murahan, kita tidak serasi?" desak Ruby. Semakin tersinggung. Gadis itu meremas kedua telapak tangan. Matanya berair. Ia tidak menyangka Tom akan menilainya serendah itu.Tom menarik napas dalam. Berusaha mendinginkan kepala yang terasa mulai panas."Ayolah, sayang. Hari ini hari pertunangan kita. Maafkan aku bila aku berkata kasar padamu. Ayo kita berangkat." Tom mendekat. Ingin memeluk Ruby yang nampak begitu gusar.Ruby mundur setapak. Satu tangannya terjulur dengan telapak tangan menghadap Tom. "Jangan sentuh aku!"Tom mengangkat kedua tangannya ke atas. "Oke. Oke. Tapi, tolong bersikap baiklah. Kita akan bertemu banyak orang. Keluargaku. Temanku. Teman kita. Jangan marah seperti ini. Jangan merusak hari ini ya. Tolonglah," ujar Tom memelas. Kedua tangannya menangkup di depan dada.Ruby menunduk lalu menarik napas panjang. "Tolong jangan rendahkan aku, Tom. Aku juga punya harga diri. Jangan samakan aku dengan wanita matre yang kau kenal," ujar Ruby lirih. Ditatapnya Tom dengan mata yang basah.Tom tidak langsung menjawab ucapan Ruby. Dia hanya mengangguk dan tersenyum kecut. Tak mau orang di sekitar mereka menyadari perselisihan antara dirinya dan Ruby. Tidak lama kemudian seorang wanita yang baru saja memasuki toko memanggil Tom."Tom Smith, bukan?" tanya wanita itu sambil tersenyum.Tom mengangguk. Membalas senyum wanita tersebut."Siapa dia? Apa kau kenal dia?" Ruby berbalik saat ia akan membuka pintu toko. Keningnya berkerut mendengar bagaimana wanita tadi memanggil nama Tom seolah dia dan Tom sudah lama kenal. Apakah dia teman kerja Tom? Pikir Ruby."Ah, tidak. Bukan siapa-siapa. Aku tidak kenal dia.""Tapi mengapa dia tahu namamu?" Kedua alis Ruby bertaut.Tom tak menjawab, hanya mengangkat kedua bahunya.Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertany
Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di
Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertany
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Dua jam yang lalu."Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Ti