Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.
Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di depan jalanan tersebut - mengatakan pada petugas bahwa ia ingin menyertai Tom ke rumah sakit.Ruby yang melihat kecelakaan itu dengan jelas, berpikir bahwa nanti mungkin keterangannya akan berguna bagi Tom. Gadis itu berencana akan menemani hingga Tom mendapatkan perawatan dokter saja. Setelahnya, ia akan pulang karena hari juga sudah larut.Sesampainya di rumah sakit, ternyata rencana Ruby tidak berlangsung dengan baik. Dokter yang memeriksa Tom menyatakan lelaki yang baru saja terserempet itu mengalami patah tulang yang cukup serius, menyebabkan tulang kakinya bengkok dan harus dioperasi secepatnya.Dokter memerlukan tanda tangan keluarganya sebagai prosedur yang harus dilengkapi sebelum operasi dijalankan. Karena hanya ada Ruby di sana, maka gadis itu dengan terpaksa membubuhkan tanda tangannya agar Tom bisa segera ditangani.Operasi berjalan lancar, berbeda dengan rencana Ruby yang gagal. Gadis itu mau tidak mau tetap tinggal di rumah sakit hingga akhirnya Tom sadar dan kedua insan itu pun bertemu untuk pertama kalinya. Kebaikan dan kesederhanaan Ruby ditambah dengan parasnya yang cantik alami membuat Tom jatuh cinta. Lelaki itu merasa Ruby adalah pelabuhan terakhir dirinya. Awalnya Tom tidak sadar bahwa Ruby adalah gadis yang harus ia dekati. Saat itu Tom hanya berpikir bahwa antara Ruby yang dimaksud oleh George dengan Ruby yang berkenalan dengannya adalah dua orang yang berbeda. Hingga suatu waktu Tom menemukan bukti di apartemen Ruby bahwa Ruby-nya adalah Ruby Thompson alias Catherine Willow. Ditambah lagi, sejak George mengetahui bahwa mereka menjalin hubungan, ayah angkat Tom itu sedikit demi sedikit mengembalikan fasilitas untuk Tom yang sebelumnya ia bekukan. Hal itu membuat Tom semakin yakin akan hubungannya dengan Ruby.Hingga akhirnya kedua insan yang telah menjadi sepasang kekasih itu sepakat untuk bertunangan.***Dering suara ponsel menyadarkan Tom dari lamunan. Lelaki itu merogoh sakunya untuk menjawab panggilan tersebut.Nama Clara tertera di layar."Hallo.""Tom, dimana kamu?""Kenapa?""Cepat ke sini! Ada banyak wartawan datang mencarimu.""Dan mencari si perempuan kampungan itu." Terdengar suara lain di seberang telepon.Tom mendengus. "Hadapi saja. Bukankah kau sudah berpengalaman menghadapi wartawan?"Suara tawa Clara terdengar jelas."Ya itu benar. Tapi bukan untuk mengurusi hal remeh tentang si kampungan itu. Aku ngga ada sangkut pautnya dengan dia. Ish.""Diam kamu!""Pulang, Tom. Ayah mencarimu!"Tom menghela napas kasar. Apalagi ini? Bukannya aku disuruh mencari Ruby? Kenapa malah disuruh pulang? Aneh, pikir Tom."Pulang sekarang. Kalau tidak nanti aku akan …." Clara bicara dengan suara terdengar sinis."Oke." Tom memutus percakapan lalu mematikan ponselnya.Lelaki itu bangkit dengan malas dari posisi duduknya. Dimasukkannya cincin milik Ruby ke dalam kantung jas yang ia kenakan. Tak lama kemudian ,Tom keluar dari gedung apartemen dan pergi dengan mobilnya kembali ke rumah mewah itu tanpa menyadari ada dua pasang mata yang mengintipnya dari balik lorong di samping apartemen."Dia sudah pergi," ujar Alena. Ditepuknya bahu Ruby yang masih berdiri sambil melongok ke arah jalan raya.Ruby bergeming. Wajah gadis itu nampak pucat dengan mata yang memerah dan basah."Rub, dia sudah pergi. Ayo! Katamu kita tidak boleh terlambat," lanjut Alena lagi."Ternyata sesakit ini rasanya, Al.""Apa kau yakin dengan rencanamu? Sudah kau pikirkan lagi kah rencanamu itu? Jangan gegabah, Ruby."Ruby mengangguk. "Tak ada yang bisa diharapkan dari hubungan yang dijalin di atas kebohongan, Al. Bila seseorang benar-benar mencintai kita, harusnya dia bisa menerima kita apa adanya dan tidak malu mengakui diri kita seperti apa pun latar belakang kita."Alena mengangguk kecil untuk sebagai bentuk dukungan terhadap Ruby. Meski sebenarnya sahabat Ruby itu tidak terlalu paham juga dengan maksud Ruby itu, karena Ruby belum sempat menceritakannya.Tak lama kemudian sebuah taksi melintas. Alena dengan sigap menyetop taksi itu dan membiarkan Ruby masuk ke dalam kendaraan itu lebih dulu, baru setelahnya ia masuk setelah menyapu pandang ke sekeliling, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka."Bandara Woodstock, Pak," perintah Ruby pada supir taksi yang bernama Alex.Alex mengangguk dan melajukan kendaraan tersebut setelah memasukkan joper Ruby ke dalam bagasi.Begitu Alex duduk di kursi supir, ia memandang kedua penumpangnya itu dari kaca spion tengah. Begitu menyadari bahwa ia baru saja menonton siaran langsung tentang pertunangan Tom dan Ruby, dimana di layar televisi itu ada foto Ruby, Alex mengangguk-angguk dan nampak gelisah.Ruby yang menyadari perubahan raut wajah Alex pun bertanya pada lelaki itu karena penasaran. "Ada apa, Pak?""Ah, tidak. Tidak ada apa-apa." Alex mengusap tengkuknya untuk menghalau canggung.Alena mengangkat dagunya saat berpandangan dengan Ruby, bertanya pada melalui isyarat.Ruby mengangkat kedua bahu sebagai tanda dia tidak terlalu peduli.Alena yang penasaran bertanya pada sang supir. "Ada apa, Pak? Apa ada yang aneh?"Alex kembali menggeleng kemudian melirik spion tengah bersamaaa6brgemenatapnya melaluispion yang sama."Apa Bapak baru saja melihat saya di berita?" tanya Ruby tanpa basa-basi.Alex berjengit. Pria itu bampak salah tingkah. Ia berusaha mengabaikan pertanyaan yang diajukan padanya dengan membaca buku pelajaran yang dipinjamnya dari kantor."Kalau Bapak tahu sesuatu, bilang saja Pak. Barangkali pengetahuan Bapak itu berguna bagi kami." Alena beralasan. Gadis itu mengedipkan sebelah matanya pada Ruby. Memberi kode agar Ruby mengikuti rencananya.Alex berdehem. Lalu sambil sesekali melirik ke kaca spion tengah dan samping, supir taksi itu mulai bicara."Ah, maafkan saya sudah lancang, Nona. Saya hanya berpikir, sepertinya saya tadi melihat nona ini di layar televisi. Ah, tapi mungkin saja saya salah lihat, Nona." Alex nampak salah tingkah saat mengatakan hal itu.Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Dua jam yang lalu."Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Ti
Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertany
Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Taksi yang ditumpangi Ruby dan Alena sampai di sebuah bandara kecil di kota Hampton. Dua gadis itu bersiap turun begitu mobil kecil itu melambat.“Apakah nona-nona ini mau pergi ke luar kota?” tanya Alex. Tangannya membuka kunci pintu otomatis yang ada di sampingnya, kemudian dibukanya sabuk pengaman dan memutar tubuh, menghadap ke belakang, ke arah Ruby dan Alena.Alena mendongak, lalu menoleh ke samping. Ruby sedang mengangkat ranselnya dari lantai taksi.“Rub ….” Alena menyikut lengan Ruby.“Eh, apa?” Ruby menatap Alena dan Alex bergantian.“Apa kita mau ke luar kota?” tanya Alena. Memberikan kode dengan lirikan matanya yang mengarah ke Alex.“Eh, ya ya. Maaf saya tadi tidak dengar. Bagaimana, Pak?” ujar Ruby. Tangannya sibuk menutup retsluiting tas ranselnya.Kening Alex berkerut. Tersenyum canggung. “Ah, tidak. Lupakan saja,” jawab Alex. Ekor matanya melirik ponsel yang ada dalam genggaman Alena. Sedetik kemudian wajah pria itu berubah pias.“Kita turun di sini, Rub?” Alena kem
Alena menatap Ruby dan mengerlingkan sebelah mata. Beberapa saat kemudian, sahabat Ruby tersebut melanjutkan investigasinya."Memangnya apa yang Bapak lihat? Apakah itu film, Pak?" "Bukan, Nona. Ah, itu hanya berita gossip saja sebenarnya.""Gossip apa, Pak?" Alena semakin mengejar."Katanya ada seorang gadis. Kalau nggak salah dia bernama Ruby. Dia bertunangan dengan seorang CEO dari perusahaan bonafid. Tetapi di hari pertunangan mereka, si gadis melarikan diri." Alex menggelengkan kepalanya. "Sungguh aneh."Ruby membelalakkan matanya. "CEO?" ujarnya spontan."Ya. Katanya begitu," kata Alex. Matanya kembali mengawasi Ruby dari kaca spion tengah."Aneh apanya, Pak?" Alena menggeser duduknya agar lebih dekat dengan kursi supir. Seketika ia menjadi tertarik dengan penuturan sang supir."Ya aneh. Masa diajak tunangan sama CEO perusahaan bonafid malah kabur. Kalo perempuan normal, nggak mungkin begitu. Pasti malah senang ibarat mendadak dapat lotre." Alex menambahkan."Oh gitu. Iya sih.
Dalam kejadian yang begitu cepat, Tom terserempet mobil jeep yang melaju tak terkendali. Pria itu terhempas di aspal, tergeletak tak berdaya. Seketika jalanan yang tadinya sepi, menjadi ramai oleh orang-orang yang keluar dari bangunan di sekitar tempat kejadian.Sebuah ambulans datang setelah seseorang berinisiatif menelponnya. Nahasnya, pada saat kejadian, Tom tidak membawa tanda pengenal. Hanya ada sebuah dompet dengan uang seratus dollar di dalamnya. Uang terakhir yang ia terima dari George, sebagai modal untuk melanjutkan hidup, setelah semua fasilitas untuknya dibekukan oleh George akibat kesalahan Tom sendiri.Seorang polisi yang hadir di tempat itu mengatakan pada petugas medis bahwa tidak ada seorang pun yang mengenal Tom. Sehingga dengan terpaksa Tom harus dibawa ke rumah sakit tanpa pendampingan siapa pun.Akan tetapi saat pintu belakang ambulan ditutup dan mesin mobil itu dinyalakan, Ruby - yang saat itu baru saja keluar dari restoran seusai bekerja di restoran yang ada di
Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. Ada dua orang wanita berada di dalam sana. Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.32 E.Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom."Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?""Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah.""Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga."Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan.""Begitu ya?" timpal
Ruby mengangguk pelan. "Mau gimana lagi? Aku nggak mungkin tinggal di sini terus. Tom pasti akan datang ke sini mencariku.""Kamu tidak mau bertemu dengannya lagi? Ayolah Ruby, katakan ada apa sebenarnya! Mengapa tindakanmu sangat tidak masuk akal begini. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Alena beringsut. Kini dua gadis itu duduk berdampingan.Ruby mendesah. Sebuah tarikan napas panjang terdengar darinya. "Haruskah aku ceritakan semuanya sekarang? Aku harus segera berkemas." Mata Ruby terpaku pada jam dinding yang berdentang dua kali."Kalau kamu tidak mau menceritakan versi lengkap, ceritakan saja versi singkatnya. Setidaknya aku tahu apa yang terjadi padamu dan aku tahu apa yang harus aku lakukan untuk itu." Alena mengusap punggung Ruby. Memberinya kekuatan.Ruby terdiam. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun tak sepatah katapun meluncur. Setelahnya, Ruby berpaling. Kedua sahabat itu saling memandang."Bolehkah aku bercerita nanti saja, Al? Sungguh
Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya."Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara."Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah."Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertany
Ya Tuhan. Demi apa mereka berkata seperti itu? Sungguh menyakitkan. Belum juga mengenalku, sudah seenaknya saja mereka bicara. Apakah karena aku hanya seorang pelayan restoran, jadi mereka menganggapku begitu rendah? Memang aku tidak sekaya apalagi setenar adik Tom yang bernama Clara itu. Tapi aku juga berhak dihargai. Ruby membatin. Hati Ruby terasa pedih mendengar penghinaan Clara dan Sarah. Seketika ia merasa tidak perlu tahu yang mana adik Tom yang bernama Clara itu. Di pikirannya, pasti Clara adalah salah satu dari dua gadis yang berdiri di tangga paling atas teras rumah besar itu."Ruby!" panggil Tom.Ruby tersentak. Ia menoleh. Dilihatnya Tom sedang berlari kecil ke arahnya."Ayo kita berfoto sebentar," ajak Tom. Diraihnya tangan Ruby dan membawanya kembali turun ke anak tangga pertama."Tunggu, Tom. Nanti aku jatuh," protes Ruby. Ditariknya tangan kanannya yang diseret Tom.Tom terkesiap. Baru menyadari bahwa dirinya terlalu kasar memperlakukan Ruby. "Maaf," ujar Tom.Dua sej
Mobil Dodge sewaan yang ditumpangi Tom dan Ruby sampai di sebuah rumah besar. Tom yang duduk di samping Ruby, tersenyum ketika melihat sekumpulan orang yang ada di sana. Di dada mereka tersemat name tage yang bertuliskan nama dan nama beberapa stasiun tivi.Ruby memandang Tom sejenak begitu dia melihat pemandangan yang sama. Lalu ia mengerutkan alis saat mobil itu berhenti dan orang-orang yang dilihatnya tadi segera mengerumuni mobil yang mereka tumpangi."Tom, mengapa banyak orang di sini? Mereka seperti wartawan. Sedang menunggu siapakah mereka itu? Apakah salah satu anggota keluarga atau kerabatmu ada yang pejabat atau selebriti?" Ruby mendekatkan kepalanya ke jendela. Diamatinya seorang wanita yang berdiri tepat di depan jendela kaca di sampingnya. "Apakah kaca ini tidak tembus pandang dan mereka tidak bisa melihat siapa yang ada di sini?" tanya Ruby lagi setelah ia menyadari bahwa senyuman yang tadi ia berikan untuk wartawati yang ada di depan jendelanya, ternyata tidak bersamb
Dua jam yang lalu."Gaun yang ini sangat cocok untukmu, sayang. Lihatlah, kau tampak seperti seorang putri." Tom berkata spontan sambil menatap gadis yang sedang mematut diri di depan cermin."Masa? Kau pikir begitu?" tanya Ruby manja. Matanya melirik Tom yang duduk di belakangnya. Jemari Ruby menelusuri bordiran pada leher dan dada yang dihiasi mutiara. "Tapi gaun ini sangat mahal. Terlampau mewah. Kita tidak punya uang untuk membelinya," imbuh gadis itu.Tom tersenyum. Ia menoleh dan memanggil pramuniaga toko yang tadi melayani Ruby."Berapa harga gaun itu? Kami ingin membelinya," ujar Tom sambil menunjuk Ruby yang tampak masih mengagumi gaun yang ia pakai."Tom! Kita tidak punya uang untuk membelinya," protes Ruby. Ia berbalik dan melotot. "Nona, tolong bawakan gaun lain yang lebih sederhana," perintah Ruby pada pramuniaga yang masih berdiri di tempatnya. Lalu ia mengambil tas ransel berisi pakaian yang tadi ia kenakan sebelum menggantinya dengan gaun yang kini sedang ia pakai."Ti