Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.
Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga. Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri. Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan. Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku. Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Siang hari itu, di indekos berlantai dua. Terletak di Pulau Bacan, Halmahera, Maluku Utara. Aku dan empat teman, tengah sibuk mengemas seluruh barang yang akan kami bawa.Namaku Andre, berasal dari Bandung, Jawa Barat. Empat temanku yang lain di antaranya Shelly, yang juga berasal dari Jawa Barat. Hanya saja dia Cirebon. Asih, asal Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia yang paling tua di antara kami berlima sekaligus terpendek dalam tim.Ina, wanita berkulit kuning langsat kelahiran Manado. Terakhir Rafli, suami Ina. Kelahiran Poso, Sulawesi Tengah. Rafli paling muda di antara kami dan mempunyai wajah paling tampan.Kami hendak pergi ke sebuah pulau. Menurut info yang didapat, pulau tersebut sedang musim panen cengkih dan buah pala. Di sana ada banyak sumber penghasilan masyarakat yang bisa menguntungkan kami sebagai sales marketing independen.***Sampai di pelabuhan, kami langsung berbagi tugas. Dua orang mencari info rumah yang bisa kami kontrak, sedangkan sisanya menja
"Woy! Kamu ngapain, Dre?" tanya Rafli mengagetkanku.Belum sempat menjawab, Shelly juga bertanya, "Kamu lihat sesuatu di sini ya, Dre?" Ia tahu, di antara kami, hanya aku yang mampu berinteraksi dengan 'sesuatu' yang lain.Aku tak menjawab pertanyaan mereka secara langsung. Hanya memberi isyarat sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi. Kemudian, kulanjutkan penjelasan dengan bahasa tubuh. Tanganku memperagakan rambut sebahu, kepala miring ke kanan, dan tak lupa menunjukkan ekspresi senyum menyeringai.Shelly dan Rafli saling berpandangan satu sama lain setelah melihatku. Saat kami berada dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan dari gudang.BRUK!Shelly dan Rafli langsung berlari ke ruangan depan. Aku juga kaget, tetapi suara tadi justru membuatku semakin penasaran.Sebenarnya, ada apa di dalam gudang itu? Mengapa tadi Ina berkata ada yang melempar kain dari gudang?Kuberanikan diri melangkah menuju pintu gudang. Jantungku berdeba
Asih dan Shelly yang sedari tadi di dalam kamar, akhirnya ikut bergabung bersama kami di ruang tengah.Kupikir Asih dan Shelly keluar dari kamar mereka karena ingin bergabung bersama kami untuk menenangkan Ina, tetapi ternyata ... dugaanku salah. Asih dan Shelly pun juga mendapat gangguan di kamar mereka!"Ehh ... ehh ... rumah ini serem banget! Saya lagi sisiran di depan cermin, tiba-tiba ada bayangan lewat. Pas saya lihat ke belakang, kok tidak ada siapa-siapa. Begitu saya lihat lagi ke cermin, orangnya ada! Nyengir, terus ngetawain saya!" Shelly menjelaskan sambil mempraktikkan apa yang baru saja dia lihat di kamar mereka tadi. Sedangkan Asih, cuma planga-plongo mendengar cerita kami."Kamu ngapain ke sini juga, Sih?" tanyaku."Saya sedang rebahan di ranjang sambil memegang ponsel menghadap tembok. Pas melihat Mbak Shelly, dia sudah tidak ada di kamar. Ya sudah, saya ikut keluar juga. Saya takut ditinggalkan sendirian di kamar." Dengan polosnya, Asih menjelaskan kejad
Aku mulai berjalan menghampiri beliau, lalu duduk di sampingnya. Ingin menatap wajahnya yang teduh dan bijaksana itu, tetapi mata ini seakan tak mampu untuk memandang terlalu lama. Nenek itu tersenyum melihatku, lalu mulai membuka obrolan."Kamu dari mana asalnya, Nak?""Saya lahir di Jawa Barat, Nek," jawabku sambil terus menunduk karena tak mampu menatap wajahnya."Kamu tahu, kenapa dari awal datang ke rumah ini, kalian diganggu terus-menerus?" Beliau melanjutkan pertanyaannya."Ti-tidak tahu, Nek," jawabku. Aku sedikit gugup saat menjawab pertanyaan ini. Entah apa yang tiba-tiba kurasakan.Si nenek lalu melanjutkan kembali perkataannya, "Apa kamu juga tahu rumah ini sudah dikosongkan berapa lama?""Menurut papa Mirna, rumah ini baru dikosongkan sebulan yang lalu, Nek. Jadi hanya itu yang kami tahu," jawabku.Si nenek tersenyum. "Rumah ini sudah dikosongkan sepuluh tahun, Nak. Dulu, pernah ada beberapa orang yang mencoba tinggal di rumah ini seperti kali
Kami duduk makin tak beraturan dan berdesakan, saat Asih tiba-tiba setengah melompat dari tempat duduknya semula. Dia langsung memeluk papa Mirna seperti umumnya seseorang meminta perlindungan karena takut. Gadis itu menangis di belakang papa Mirna, sedangkan aku dan Rafli memasang posisi siaga. Bersiap untuk saling menjaga satu sama lain.Ina juga terlihat memosisikan dirinya duduk mendekati Asih dan papa Mirna. Suasana di ruang depan rumah itu semakin menegangkan. Saat aku memasang mata untuk mencari siapa yang tadi mencolek Asih dari belakang, aku melihat Shelly menutup mulutnya. Ekspresinya seperti ingin tertawa, tetapi dia tahan.Aku sangat heran. Di saat situasi semakin menegangkan seperti ini, dia justru malah seperti ingin tertawa. Aku bertanya padanya. "Lah, kenapa malah ketawa, Mak?"Seketika, dia langsung tertawa lepas, membuatku makin kebingungan."Yaa habisnya, dari tadi saya lihat Asih, udah tegaaang banget! Makanya, saya isengin colek dia dari belaka
POV AsihKubawa nampan berisi lima gelas, empat kopi dan satu teh. Sesampainya di ruang depan, kuhidangkan minuman itu di tengah-tengah kami. Lalu, bergabung dengan mereka."Wiiihhh ... mantap! Baru datang langsung disuguhi kopi. Asih ini memang calon istri yang pengertian!" gombal papa Mirna.Aku cuma memanyunkan bibir, tak mau menjawab apa pun."Jadi, bagaimana tadi, Pak?""Biasa, orang-orang di sini kalau panen cengkeh dan pala, dijualnya ke mana?" Rafli terlihat sangat serius, jika sedang berbicara soal bisnis."Nah, itu yang mau saya bilang tadi. Kami semua biasa panen dari mulai Oktober sampai Desember. Biasanya, tiga bulan itu pala dengan cengkeh banyak sekali dipanen. Bahkan, anak-anak kecil saja cuma memulung cengkeh di hutan, lalu mereka bawa ke rumah untuk dijemur. Sekalinya, bisa dapat sampai lima ratus ribu!" seru papa Mirna sangat bersemangat. "Biasa itu ada penampung yang datang ke sini untuk membeli langsung. J
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga.Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri.Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan.Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku.Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,
Malam itu aku tak bisa berbuat banyak saat hendak mengusir makhluk yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami yang sedang terlelap.Hingga saat Naya memegang lenganku dan mengajakku untuk segera beristirahat, aku sempat terkejut karena saking fokusnya memperhatikan makhluk mengerikan itu.Namun saat aku mencari keberadaan makhluk itu, ia sudah tak ada di tempatnya semula.Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sembari dalam hati tetap berharap agar kami semua selamat sampai tujuan esok hari *Saat turun dari pelabuhan, kami mulai berpisah dengan Naya. Meski terasa berat dan tak rela jika harus berpisah dengannya saat itu, aku berusaha menutupi perasaan.Sempat sebelumnya kami saling meminta nomor ponsel di di atas kapal, supaya tetap bisa saling terhubung satu sama lain meski jarak telah memisahkan.Aku bersama kelima temanku lanjut pergi menaik
Saat hari sudah mulai gelap dan senja berganti menjadi malam. Semilir angin laut yang terasa, makin menusuk tubuh.Aku mengajak Naya kembali ke dalam dek, tempat di mana kami akan beritirahat selama pelayaran ini. Karena memang saat berada di dalam kapal, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, selain beristirahat hingga kapal yang kami tumpangi ini sampai di tujuan.Aku berjalan bergandengan tangan bersama Naya, turun menyusuri anak tangga satu demi satu. Lalu, berjalan beriringan melewati lorong di dalam dek ini sembari tetap bergandengan tangan.Sesampainya di ranjang tempat kami beristirahat, aku merasa heran. Mengapa barang bawaanku tiba-tiba dipindahkan?Sepertinya, ini memang sengaja dilakukan agar aku bisa tidur bersebelahan dengan Naya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum saat menghampiri ranjangku. Kulihat, keempat temanku yang lain termasuk Shelly, sudah tertidur.Entah mereka pura-pura tidur atau memang sebetulnya sudah benar-benar pulas.&n
Setelah selesai mengobrol dengan mama Mirna, kami berdua sepakat untuk berpamitan. Kami memang tak memberi tahu bahwa saat ini, kami tinggal sementara di rumah dinas Bidan Naya.Yang kami utarakan adalah salam perpisahan. Sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan, lalu pergi meninggalkan rumah itu.Aku dan Shelly hanya mengobrol ringan selama dalam perjalanan menuju rumah dinas Bidan Naya. Sesampainya, barulah di situ kami bisa benar-benar melepaskan lelah dan ketegangan.Rumah dinas ini lumayan asri, meskipun ukuran pada umumnya tak terlalu besar. Cukup untuk jadi tempat bernaung sementara.Sembari menunggu kapal yang akan bersandar di dermaga pelabuhan sore itu, kami sepakat untuk beristirahat karena memang tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat ini, selain beristirahat menunggu sore datang menjelang.*"Silakan, Kak, pakai saja kamar yang ada. Bahkan jika Kakak mau, silakan tidur di kamar saya," ucap Bidan Naya ramah."Iya, terima kasih
Setelah sampai di halaman rumah, kulihat ketiga temanku masih setia menunggu di teras rumah. Rafli yang melihat kedatanganku, saat itu langsung bertanya, "Loh, Shelly di mana, Dre?""Masih di rumah papa Mirna. Tadi kami berdua datang ke sana hanya ada Mirna yang sedang bermain. Papa Mirna dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Kan tidak mungkin juga kita titipkan kunci rumahnya pada anak kecil," jawabku panjang lebar.Ina yang saat itu sedang tidur di pangkuan Rafli, mendadak langsung menoleh ke arahku, lalu bangkit dari posisi tidurnya."Mirna usia berapa, Mas Andre?" tanya Ina singkat."Yah, sekitar usia 3 tahunan begitulah. Masih lucu-lucunya anak itu," jawabku sembari beranjak menuju pintu rumah."Jadi kita bagaimana sekarang?" Asih pun mulai bertanya padaku, memang sedari tadi dia hanya bisa diam sambil menyimak pembicaraan."Kita bawa saja dulu barang-barang ke rumahnya Bidan Naya, sekalian menunggu di sana," jawabku seraya mengangkat tas ransel
Sesampainya di depan pintu rumah, kondisi rumah sudah cukup sepi. Halaman pun sangat hening. Namun, lampu teras rumah masih menyala terang hingga cahaya dari lampu tersebut cukup untuk menerangi hampir semua bagian halaman.Saat aku melangkah di halaman rumah, aura mistis mulai terasa membuat bulu kudukku meremang.Aku segera mempercepat langkah agar bisa segera sampai di depan pintu. Saat menggenggam gagang pintu, masih sempat kulihat ada bayangan putih berseliweran dari pantulan kaca jendela depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.Kubuka pintu, setelah masuk ke rumah, buru-buru kukunci pintunya. Sesegera mungkin berjalan ke arah belakang. Tempat di mana kamarku berada.Setelah mengucap salam, kubuka pintu kamar lalu masuk dan menguncinya. Sempat kudengar pula dari kamar sebelah. Tepatnya di kamar tengah, di mana Rafli dan Ina berada. Aku masih mendengar suara Rafli seperti tengah mengobrol dengan Ina. Mungkin, mereka masih ingin mengobrol sebel
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,