Kami duduk makin tak beraturan dan berdesakan, saat Asih tiba-tiba setengah melompat dari tempat duduknya semula. Dia langsung memeluk papa Mirna seperti umumnya seseorang meminta perlindungan karena takut. Gadis itu menangis di belakang papa Mirna, sedangkan aku dan Rafli memasang posisi siaga. Bersiap untuk saling menjaga satu sama lain.
Ina juga terlihat memosisikan dirinya duduk mendekati Asih dan papa Mirna. Suasana di ruang depan rumah itu semakin menegangkan. Saat aku memasang mata untuk mencari siapa yang tadi mencolek Asih dari belakang, aku melihat Shelly menutup mulutnya. Ekspresinya seperti ingin tertawa, tetapi dia tahan. Aku sangat heran. Di saat situasi semakin menegangkan seperti ini, dia justru malah seperti ingin tertawa. Aku bertanya padanya. "Lah, kenapa malah ketawa, Mak?"Seketika, dia langsung tertawa lepas, membuatku makin kebingungan."Yaa habisnya, dari tadi saya lihat Asih, udah tegaaang banget! Makanya, saya isengin colek dia dari belakang. Eh, dia malah langsung loncat! Haha!" Ekspresinya benar-benar di luar dugaan."Huuu! Ternyata kamu biang keroknya, Shel!" seru Rafli dengan nada kesal."Iiihhh! Mbak Shelly ini bikin saya jantungan saja! Huuu!" Terlihat Asih pun jengkel dengan sikap Shelly."Ish, Mbak Shelly ini tidak bisa serius sedikit? Orang lagi bicara serius, malah dibuat bercanda!" Ina pun juga menyahut dengan raut kesal."Ya ampuuun, Mak,Mak. Seriusan. Bikin jantungan saja!" Aku pun juga ikut kesal dengan sikapnya, meskipun dalam hati senang juga. Karena dengan adanya Shelly di antara kami, suasana selalu lebih berwarna. Dia orangnya paling rame, lebay, heboh, dan semua candaan yang dilontarkan sanggup membuat siapa pun jadi tertawa.Sejenak, suasana malam itu mencair. Akhirnya, kami bisa tertawa lepas setelah seharian ini lelah dan belum bisa beristirahat dikarenakan teror dari makhluk penghuni rumah ini yang selalu menampakkan diri dan berusaha membuat kami jadi tidak pernah tenang selama berada di rumah itu.Aku pun berinisiatif untuk beranjak ke dapur, bermaksud untuk membuat kopi, teh, dan tak lupa singkong rebus yang dipesan oleh Nenek tadi siang. Aku pun meminta Asih untuk menemani dan membantu di dapur. Sekalian membuat kopi dan teh karena ada papa Mirna yang hadir di tengah-tengah kami malam ini. "Yuk, Sih, kita bikin kopi untuk papa Mirna, sekalian buat teh juga untuk Ina," pintaku pada Asih.Asih mengangguk, lalu beranjak dari tempat duduk dan mengikuti berjalan ke arah dapur. Aku menyiapkan delapan gelas, dan dua buah piring. Sedangkan Asih menyiapkan air untuk direbus.Saat aku mengisi gelas yang ada, Asih ikut menghitung gelas. "Kita kan berenam, kenapa Mas Andre malah bikin jadi delapan gelas? Terus, itu yang dua gelas lagi untuk siapa, Mas?" tanyanya padaku. Aku menjawabnya dengan tersenyum."Yang sisa dua gelas ini untuk sayalah. Malam ini saya mau habiskan dua gelas kopi dan satu gelas teh. Supaya tidak ribet juga kalau bolak-balik panaskan air. Jadi, saya buat kopi dan tehnya tiga gelas," jawabku dengan sedikit tertawa. Berusaha menutupi kebenaran. Karena jika saja kuberitahukan hal yang sebenarnya, sudah dipastikan Asih akan ketakutan dan melompat seperti yang dia lakukan tadi di ruang depan.Setelah semua minuman selesai dibuat, aku meminta Asih untuk mengantarkan minuman lima gelas ke ruang depan sedangkan aku meminta supaya tiga gelas lagi ditinggalkan di dapur. Aku meminta supaya Asih ke ruangan depan terlebih dahulu."Sih, ini, kamu bawa lima saja ke depan, tiga gelas lagi biar disimpan di sini aja, ya. Saya masih mau minum kopi dan membuat singkong rebus dulu. Kamu duluan saja, nanti saya menyusul ke depan," pintaku padanya, Asih hanya mengangguk kemudian langsung pergi membawa minuman itu ke ruangan depan. Aku mulai menyiapkan singkong, merebusnya, dan menunggu sendirian di dapur sampai singkong matang.Sambil menunggu, kupisahkan dua gelas berisi kopi pahit dan teh tawar di sebuah nampan yang berbeda. Lalu, tak lupa menyiapkan piring kosong untuk wadah singkong rebus saat sudah matang nanti.Aku menyeruput kopi, menatap kompor yang menyala, lalu bergumam dalam hati. Ya Allah, mudah-mudahan rezeki kami di sini sangat bagus, supaya barang dagangan cepat habis, lalu bisa segera kembali ke Bacan. Tinggal di rumah ini benar benar membuatku sakit kepala.***Singkong rebus telah matang, segera kusimpan dalam piring kosong, berdampingan dengan gelas kopi dan teh. Kususun sedemikian rupa agar singkong yang sudah matang itu rapi.Baru saja selesai menata semua syarat itu di atas meja, ujung mataku seperti menangkap sesuatu yang aneh di samping nampan. Tetesan air yang mengucur dengan teratur seperti mengikuti alur detik demi detik. Kuperhatikan tetesan air itu, lama-kelamaan seperti air liur. Seketika, bulu kuduk meremang. Saat melihat ke atas, barulah aku tau dari mana asalnya air liur itu menetes.Hampir lemas tubuhku saat melihat pemandangan di atas sana. Sosok tubuh kerdil bermata besar dan tubuh dipenuhi bulu hitam lebat, sedang menjulurkan lidah.Sosok itu tidak menghiraukan keberadaanku, dia justru lebih tertarik pada makanan yang telah tersaji sedari tadi di atas meja makan.Aku tak mampu berkata-kata lagi. Bahkan, untuk menggerakkan jemari saja, tak mampu. Aku hanya bisa pasrah, mematung di depan meja makan.Ingin rasanya berteriak memanggil teman-teman di ruang depan bersama papa Mirna. Namun, apa daya? Tubuhku benar-benar tak mampu bergerak.Tak lama, sosok perempuan berambut pendek yang mengganggu Rafli tadi sore pun ikut hadir. Dia langsung berjalan menghampiri meja makan dan duduk menghadapku, menunjukkan ekspresi wajah yang menyeramkan. Aku melihatnya dengan jelas.Wanita itu mencoba memosisikan kepala karena seperti patah. Dia berusaha memegangnya agar tak miring. Namun, saat dia menarik kepala, justru malah terputar ke belakang. Aku makin gemetar.Ingin rasanya memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Mencoba membaca doa yang selama ini diandalkan saat bertemu makhluk seperti mereka namun rasanya usahaku saat itu sia-sia saja!Aku masih berdiri mematung, melihat tingkah kedua makhluk yang ada di hadapanku, tanpa bisa berbuat apa-apa lagi. Ya, aku hanya bisa menyaksikan mereka dan yang lebih mengerikan lagi, wanita itu terlihat kesal. Mungkin karena kepalanya malah terputar ke belakang.Sepertinya, dia ingin memosisikan kepala seperti semula. Namun, saat dia mencoba memutarnya, justru membuat terputus. Kepalanya lepas dari genggaman, jatuh menggelinding bak bola, ke atas meja. Lalu terhenti saat wajahnya menghadapku.Dia tertawa, menampilkan seluruh gigi depan. Matanya melotot. Lalu, dari potongan leher, darah segar mengalir deras. Begitu pun dengan tubuhnya yang sedari tadi duduk di depan meja, tanpa kepala. Darah segar membanjiri baju kemeja bermotif bunga yang dia kenakan.Aku hampir menangis.Bau anyir dari darah segar dan ekspresi dari kepala yang putus itu benar-benar membuatku mual dan hampir muntah.Di tengah suasana menjijikan ini, tanganku seakan ada yang menarik ke belakang. Dia menggenggam, seakan-akan mengajakku menjauh dari pemandangan itu. Tubuhku bisa kembali digerakkan.Aku mengikuti ke mana arah tangan yang menarik dan saat sadar, ternyata yang menarik tanganku adalah Nenek!Aku terus mengikuti, tangannya tetap menggenggamku, beliau mengajak untuk masuk ke kamar. Setelah aku dan beliau berada dalam kamar, pintu langsung tertutup dengan sendirinya. Ingin aku mengucapkan terima kasih pada beliau karena telah menyelamatkanku dari pemandangan yang menyeramkan dan menjijikan di dapur.Namun, tiba-tiba pandangan menjadi gelap dan aku jatuh, tak sadarkan diri.POV AsihKubawa nampan berisi lima gelas, empat kopi dan satu teh. Sesampainya di ruang depan, kuhidangkan minuman itu di tengah-tengah kami. Lalu, bergabung dengan mereka."Wiiihhh ... mantap! Baru datang langsung disuguhi kopi. Asih ini memang calon istri yang pengertian!" gombal papa Mirna.Aku cuma memanyunkan bibir, tak mau menjawab apa pun."Jadi, bagaimana tadi, Pak?""Biasa, orang-orang di sini kalau panen cengkeh dan pala, dijualnya ke mana?" Rafli terlihat sangat serius, jika sedang berbicara soal bisnis."Nah, itu yang mau saya bilang tadi. Kami semua biasa panen dari mulai Oktober sampai Desember. Biasanya, tiga bulan itu pala dengan cengkeh banyak sekali dipanen. Bahkan, anak-anak kecil saja cuma memulung cengkeh di hutan, lalu mereka bawa ke rumah untuk dijemur. Sekalinya, bisa dapat sampai lima ratus ribu!" seru papa Mirna sangat bersemangat. "Biasa itu ada penampung yang datang ke sini untuk membeli langsung. J
POV Ina"Eh, Asih kok, lama sekali ya di belakang?" Aku melontarkan pertanyaan pada Shelly."Tau, nih. Paling juga dia lagi ke toilet, kan, ada Andre juga di dapur. Sepertinya, Asih minta Andre jaga di pintu kamar mandi. Tahu sendiri, Asih kan paling penakut. Mau kencing saja masih minta ditemani," sahut Shelly cuek sembari menyeruput kopi."Atau coba kita berdua menyusul ke dapur saja, Mbak Shel. Kita bantu mereka di dapur. Dari siang kita juga belum makan apa-apa. Jadi sekalian masak saja mumpung ada Mas Andre dan Asih di dapur," ajakku.Aku pun akhirnya berdiri, disusul Shelly. Kami berjalan menuju dapur, meninggalkan Rafli dan papa Mirna yang masih asyik berbicara bisnis.Saat sampai di depan kamar, aku merasa ganjil melihat pintunya terbuka lebar. Lalu memilih berhenti sejenak dan berniat memeriksa. Sedangkan Shelly tetap cuek dan terus berjalan ke dapur.Aku terkejut saat melihat di dalam kamar, ternyata ada Asih. Dia berbaring tak sadarkan diri
Dalam keadaan masih terbaring, aku mencoba membuka mata. Melirik ke kanan dan kiri, berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi."Ternyata aku masih di kamar," gumamku dan mencoba bangkit dari tempat tidur, memosisikan tubuh dalam keadaan duduk. Menenangkan diri.Masih jelas dalam ingatan, saat kedua makhluk menyeramkan itu membuatku terdiam mematung di dapur. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, mengapa aku tak mampu melakukan perlawanan sedikit pun saat kedua makhluk itu mempermainkanku?Aku merasa diri ini masih terlalu lemah. Untuk menggerakkan tubuh saja, aku tak mampu. Di tengah kacaunya pikiran, tiba tiba terdengar suara yang tak asing lagi. Ya, aku mengenali suara ini."Jangan terlalu memaksakan diri, Nak." Suara itu terdengar tepat di sebelah kanan tempatku duduk diam di kamar itu.Aku langsung menoleh dan benar saja, itu suara Nenek. "Saya belum mengucapkan terima kasih. Nenek datang di saat yang paling tepat, kalau bukan karena Nenek yang menolong, sa
"Ayo, ikut bersama Nenek sekarang," ajak Nenek.Aku pun langsung bergegas mengikutinya. Batinku berkecamuk, kekhawatiran mulai menyeruak menguasai pikiran.Tak lama, kami sampai di tempat seperti gua tempat persembunyian, Gua itu sangat gelap dan lembap, meskipun samar-samar masih bisa kulihat karena pencahayaanya temaram."Ini tempatnya, Nak. Tapi dari batas ini, Nenek tak bisa lagi mengantarmu sampai ke ujung sana, Nenek akan menunggu di sini. Jikalau kamu sudah berhasil menyelamatkan temanmu. Gunakan kemampuan yang kamu miliki saat ini, untuk bisa menyelamatkan temanmu. Nenek yakin, dengan kemampuan saat ini, kamu pasti mudah untuk menyelamatkannya,” jelas Nenek.Aku mengangguk dan meminta izin segera masuk ke dalam gua itu. Saat menuju tempat yang ada di penghujung gua ini, banyak sekali mayat bergeletakan. Bahkan, ada beberapa mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh. Potongan tubuh yang terpisah di sana-sini serta bau bangkai yang sangat menyengat, membuat mempercepat
Di tengah kebingungan dan ketakutan, aku benar-benar pasrah. Situasi saat ini benar-benar terjepit. Namun, saat kami mulai dikerumuni oleh sekumpulan mayat mengerikan, tiba-tiba terdengar seperti suara orang yang memanggil."Sebelah sini, cepat kemari!" seru suara tersebut.Aku berusaha untuk mencari sumber dari suara itu dan saat melihat ke depan sana, seorang laki-laki berdiri. Tak lama, disusul oleh beberapa teman yang tiba-tiba muncul entah dari mana.Kulihat, sebagian dari mereka langsung menghajar sekumpulan mayat yang sedari tadi mengerumuni kami, sedangkan sisanya membantu kami keluar dari kerumuman itu.Aku sangat bersyukur, di tengah rasa keputusasaan, akhirnya ada yang datang untuk menolong dan menyelamatkan kami.Kami pun terus berjalan menjauhi kerumunan mayat yang tengah diusir oleh beberapa orang yang menolong tadi, bahkan ada satu orang wanita dari kelompok penyelamat tersebut yang saat itu menawarkan bantuannya untuk memapah Asih berjalan.Aku menc
Pagi itu, aku terbangun lebih awal. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 waktu setempat. Setelah beres menunaikan salat Subuh, aku berencana membuat sarapan. Seketika, aku baru teringat bahwa dari kemarin belum makan.Perut yang berbunyi membuatku ingin segera kembali ke dapur sambil membuat sarapan untuk kami berlima. Saat pintu terbuka, ternyata ada Asih dan Shelly tengah sibuk memasak sarapan. Sepertinya, mereka juga lapar, karena mengingat kemarin kami berlima di teror terus-menerus tanpa jeda oleh para makhluk penghuni rumah ini. Sampai kami lupa mengisi perut dengan makanan.Aku langsung menghampiri mereka berdua. Obrolan kami sangat santai pagi itu."Rafli sama Ina masih tidur ya, Mak?" tanyaku pada Shelly."Iya, masih capek, kayaknya. Soalnya mereka yang paling akhir tidur semalam," jawab Shelly.Kulihat, kondisi Asih baik-baik saja. Jadi, kusempatkan untuk berbicara sambil berbisik agar tidak perlu menceritakan apa yang kami alami kemarin pad
Aktivitas kami jalankan seperti biasa, berjualan dari rumah ke rumah. Masyarakat di sini sangat ramah dan mau menerima kedatangan kami. Hari kedua kami berada di pulau ini, bisa sukses menjual banyak barang dagangan .Meskipun tahu pasti barang dagangan kami masih sangat banyak, setidaknya penjualan hari ini betul-betul membuat kami bisa melupakan rasa takut selama menginap di rumah saudaranya papa Mirna.Sampai pada saat jam makan siang, kami berkumpul di salah satu warung dekat pelabuhan. Warung itu menyediakan makanan yang cukup lengkap, bahkan khas Maluku Utara, seperti popeda (bagi masyarakat Sulawesi, makanan ini biasa disebut kapurung) pun disajikan di etalase warung itu.Kami memesan makanan, lalu duduk di meja yang sama. Masing-masing dari kami memesan makanan berbeda kala itu, dan ketika sang empu warung menyuguhkan makanan, beliau bertanya karena tidak mengenali wajah kami."Kalian dari mana? Sepertinya, kalian pendatang ya, di sini?" tanya Ibu warung de
Setelah selesai makan siang bersama, kami bertekad untuk menghabiskan semua barang dagangan. Bila perlu, kami tetap berjualan hingga sore hari, untuk mengetahui hasil akhir dari total penjualan hari itu.Hingga hari sudah sore dan merasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sebenarnya sudah tak ingin kembali lagi ke sana.Setidaknya, hasil akhir dari penjualan hari ini sangat lumayan, hingga menghabiskan setengah dari total barang dagangan yang kami bawa ke pulau ini.Di tengah perjalanan, tiba-tiba Shelly berkata, "Eh, gimana kalau malam ini, kita menginap di rumah kepala desa saja? Untuk sementara, sampai barang jualan kita habis. Kan, kita udah punya uang, nih. Jadi, bisalah patungan buat bayar ke kepala desa," usulnya."Waaah ... boleh tuh, Mak. Tidak apa-apalah uang yang kemarin sudah dibayarkan sama papa Mirna, anggap saja sedekah untuk memancing rezeki kita hari ini. Buktinya nih, alhamdulillah kita dapet rezeki banyak!" sahutku ber
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga.Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri.Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan.Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku.Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,
Malam itu aku tak bisa berbuat banyak saat hendak mengusir makhluk yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami yang sedang terlelap.Hingga saat Naya memegang lenganku dan mengajakku untuk segera beristirahat, aku sempat terkejut karena saking fokusnya memperhatikan makhluk mengerikan itu.Namun saat aku mencari keberadaan makhluk itu, ia sudah tak ada di tempatnya semula.Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sembari dalam hati tetap berharap agar kami semua selamat sampai tujuan esok hari *Saat turun dari pelabuhan, kami mulai berpisah dengan Naya. Meski terasa berat dan tak rela jika harus berpisah dengannya saat itu, aku berusaha menutupi perasaan.Sempat sebelumnya kami saling meminta nomor ponsel di di atas kapal, supaya tetap bisa saling terhubung satu sama lain meski jarak telah memisahkan.Aku bersama kelima temanku lanjut pergi menaik
Saat hari sudah mulai gelap dan senja berganti menjadi malam. Semilir angin laut yang terasa, makin menusuk tubuh.Aku mengajak Naya kembali ke dalam dek, tempat di mana kami akan beritirahat selama pelayaran ini. Karena memang saat berada di dalam kapal, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, selain beristirahat hingga kapal yang kami tumpangi ini sampai di tujuan.Aku berjalan bergandengan tangan bersama Naya, turun menyusuri anak tangga satu demi satu. Lalu, berjalan beriringan melewati lorong di dalam dek ini sembari tetap bergandengan tangan.Sesampainya di ranjang tempat kami beristirahat, aku merasa heran. Mengapa barang bawaanku tiba-tiba dipindahkan?Sepertinya, ini memang sengaja dilakukan agar aku bisa tidur bersebelahan dengan Naya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum saat menghampiri ranjangku. Kulihat, keempat temanku yang lain termasuk Shelly, sudah tertidur.Entah mereka pura-pura tidur atau memang sebetulnya sudah benar-benar pulas.&n
Setelah selesai mengobrol dengan mama Mirna, kami berdua sepakat untuk berpamitan. Kami memang tak memberi tahu bahwa saat ini, kami tinggal sementara di rumah dinas Bidan Naya.Yang kami utarakan adalah salam perpisahan. Sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan, lalu pergi meninggalkan rumah itu.Aku dan Shelly hanya mengobrol ringan selama dalam perjalanan menuju rumah dinas Bidan Naya. Sesampainya, barulah di situ kami bisa benar-benar melepaskan lelah dan ketegangan.Rumah dinas ini lumayan asri, meskipun ukuran pada umumnya tak terlalu besar. Cukup untuk jadi tempat bernaung sementara.Sembari menunggu kapal yang akan bersandar di dermaga pelabuhan sore itu, kami sepakat untuk beristirahat karena memang tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat ini, selain beristirahat menunggu sore datang menjelang.*"Silakan, Kak, pakai saja kamar yang ada. Bahkan jika Kakak mau, silakan tidur di kamar saya," ucap Bidan Naya ramah."Iya, terima kasih
Setelah sampai di halaman rumah, kulihat ketiga temanku masih setia menunggu di teras rumah. Rafli yang melihat kedatanganku, saat itu langsung bertanya, "Loh, Shelly di mana, Dre?""Masih di rumah papa Mirna. Tadi kami berdua datang ke sana hanya ada Mirna yang sedang bermain. Papa Mirna dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Kan tidak mungkin juga kita titipkan kunci rumahnya pada anak kecil," jawabku panjang lebar.Ina yang saat itu sedang tidur di pangkuan Rafli, mendadak langsung menoleh ke arahku, lalu bangkit dari posisi tidurnya."Mirna usia berapa, Mas Andre?" tanya Ina singkat."Yah, sekitar usia 3 tahunan begitulah. Masih lucu-lucunya anak itu," jawabku sembari beranjak menuju pintu rumah."Jadi kita bagaimana sekarang?" Asih pun mulai bertanya padaku, memang sedari tadi dia hanya bisa diam sambil menyimak pembicaraan."Kita bawa saja dulu barang-barang ke rumahnya Bidan Naya, sekalian menunggu di sana," jawabku seraya mengangkat tas ransel
Sesampainya di depan pintu rumah, kondisi rumah sudah cukup sepi. Halaman pun sangat hening. Namun, lampu teras rumah masih menyala terang hingga cahaya dari lampu tersebut cukup untuk menerangi hampir semua bagian halaman.Saat aku melangkah di halaman rumah, aura mistis mulai terasa membuat bulu kudukku meremang.Aku segera mempercepat langkah agar bisa segera sampai di depan pintu. Saat menggenggam gagang pintu, masih sempat kulihat ada bayangan putih berseliweran dari pantulan kaca jendela depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.Kubuka pintu, setelah masuk ke rumah, buru-buru kukunci pintunya. Sesegera mungkin berjalan ke arah belakang. Tempat di mana kamarku berada.Setelah mengucap salam, kubuka pintu kamar lalu masuk dan menguncinya. Sempat kudengar pula dari kamar sebelah. Tepatnya di kamar tengah, di mana Rafli dan Ina berada. Aku masih mendengar suara Rafli seperti tengah mengobrol dengan Ina. Mungkin, mereka masih ingin mengobrol sebel
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,