Aktivitas kami jalankan seperti biasa, berjualan dari rumah ke rumah. Masyarakat di sini sangat ramah dan mau menerima kedatangan kami. Hari kedua kami berada di pulau ini, bisa sukses menjual banyak barang dagangan .
Meskipun tahu pasti barang dagangan kami masih sangat banyak, setidaknya penjualan hari ini betul-betul membuat kami bisa melupakan rasa takut selama menginap di rumah saudaranya papa Mirna.Sampai pada saat jam makan siang, kami berkumpul di salah satu warung dekat pelabuhan. Warung itu menyediakan makanan yang cukup lengkap, bahkan khas Maluku Utara, seperti popeda (bagi masyarakat Sulawesi, makanan ini biasa disebut kapurung) pun disajikan di etalase warung itu.Kami memesan makanan, lalu duduk di meja yang sama. Masing-masing dari kami memesan makanan berbeda kala itu, dan ketika sang empu warung menyuguhkan makanan, beliau bertanya karena tidak mengenali wajah kami."Kalian dari mana? Sepertinya, kalian pendatang ya, di sini?" tanya Ibu warung deSetelah selesai makan siang bersama, kami bertekad untuk menghabiskan semua barang dagangan. Bila perlu, kami tetap berjualan hingga sore hari, untuk mengetahui hasil akhir dari total penjualan hari itu.Hingga hari sudah sore dan merasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sebenarnya sudah tak ingin kembali lagi ke sana.Setidaknya, hasil akhir dari penjualan hari ini sangat lumayan, hingga menghabiskan setengah dari total barang dagangan yang kami bawa ke pulau ini.Di tengah perjalanan, tiba-tiba Shelly berkata, "Eh, gimana kalau malam ini, kita menginap di rumah kepala desa saja? Untuk sementara, sampai barang jualan kita habis. Kan, kita udah punya uang, nih. Jadi, bisalah patungan buat bayar ke kepala desa," usulnya."Waaah ... boleh tuh, Mak. Tidak apa-apalah uang yang kemarin sudah dibayarkan sama papa Mirna, anggap saja sedekah untuk memancing rezeki kita hari ini. Buktinya nih, alhamdulillah kita dapet rezeki banyak!" sahutku ber
Sesampainya di rumah, Rafli tengah menunggu di depan, sementara Shelly dan Asih menjaga Ina di kamar.Kami masuk dan bidan muda itu dengan sigap memeriksa Ina. Rafli dan Asih masih tetap mendampingi Ina di kamar, sedangkan aku kembali ke teras depan, duduk di sana sembari mengatur napas dan tak lupa pula mengatur sikapku agar jangan sampai nanti teman-temanku tahu bahwa aku sedang grogi karena bidan muda itu.Namun, tak lama Shelly pun ikut bergabung dan duduk berdua denganku. Sepertinya, Shelly sangat tahu saat melihat kondisiku kala itu."Pantesan lama di jalan, ternyata bidannya cantik," celetuk Shelly mencoba mengejekku."Apaan sih, Mak?" jawabku sedikit kesal."Ciee, cieee, cieee ... Andre lagi jatuh cinta sama bidan cantik, cieee ...." Kali ini, Shelly benar-benar mengejekku dengan ekspresinya yang sangat menjengkelkan."Sssttt ... udah sih, Mak, jangan ribut. Tidak enak kalau ketahuan sama Bu Bidan!" sanggahku."Halaaah! Kamu tuh, Dre. Kita berdua sudah b
Aku memandang kedua makhluk itu dengan tajam. Ingin rasanya mengusir dari ruangan ini secepatnya, agar tak perlu lagi menampakkan diri dan mengganggu selama kami tinggal di sini.Kulihat, wanita yang sedang mengayunkan kaki di atas atap mulai terbang perlahan menghampiriku. Rambutnya yang sedari tadi menutupi wajah, kini terbuka. Dia menampakkan wajah, sangat menyeramkan dan mampu membuat nyali siapa pun makin menciut!Wajah yang putih pucat, dengan bibir yang sobek di kedua sisinya, hingga nyaris menyentuh sudut telinga. Mulutnya menganga sangat lebar dan kuku yang runcing, seakan hendak mencoba mencekik.Kali ini, aku tetap berada di tempat, tanpa beranjak mundur sedikit pun. Wanita itu terbang makin mendekat, sampai saat dia tepat di hadapan, aku bisa melihat dengan jelas dia melayang sambil tetap mencoba menakut-nakuti.Kemudian, aku mencoba berbicara dengan sosok yang kini berada tepat di hadapan.Aku tak akan mundur kali ini. Jika kau menginginkan sesuatu,
Aku mulai membuka kedua mata, meski masih sangat berat. Kulihat Nenek sudah duduk di samping tempatku terbaring. Kemudian, aku bangkit dan memosisikan cara duduk agar terlihat lebih sopan. Bukankah sebagai yang muda, harus lebih bisa menghormati orang yang lebih tua?Meskipun aku tahu beliau sudah berbeda alam."Iya Nek, ada apa?" tanyaku sembari mengucek mata yang masih berat untuk terbuka.Nenek selalu tersenyum saat ada di hadapanku. Senyum beliau mampu membuat siapa pun merasa tenang."Nanti malam, Nenek mau kamu buatkan syarat seperti kemarin lagi ya, Nak. Simpan di meja makan, lalu usahakan kamu menyucikan tubuh. Ada sesuatu yang ingin Nenek tunjukkan padamu," ucap Nenek lembut padaku."Baik, Nek. Saya siapkan dulu syarat itu sekarang, setelah semuanya selesai, saya simpan. Lalu, saya mau bersihkan badan," jawabku dengan ramah.Setelah kujawab, Nenek menghilang. Aku pun mulai bersiap-siap untuk mengerjakan apa yang sudah dipesan oleh Nenek b
Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan pakaian terbaik. Kemudian, setelah semua siap, aku duduk di ranjang sambil menunggu tanda-tanda kehadiran Nenek.Di tengah-tengah penantian menunggu Nenek, aku mendengar kembali suara kidung tadi. Aku mulai celingukan, mencari dari mana sumber suara itu, dan saat ku lihat di atap sana, sosok wanita berdaster putih lusuh itu tengah duduk di antara kayu-kayu penopang atap rumah ini. Dia mengayunkan kaki sambil sesekali menggoyangkan kepala perlahan. Suaranya sangat lembut hingga aku terbuai.Selang beberapa menit, Nenek muncul tanpa kusadari. Mungkin aku terlalu menikmati kidung wanita itu hingga tak menyadari kehadiran Nenek."Ayo, Nak. Kita ke dapur," pinta Nenek."I-i-iya, Nek," jawabku sembari beranjak turun dari ranjang.Nenek berjalan lebih dulu, sedangkan aku masih memperhatikan sosok wanita yang masih tetap bernyanyi di atap sana. Kulihat, dia melambaikan tangan. Aku pun tersenyum pada sosok
Setelah beberapa menit kami berjalan meninggalkan pantai, akhirnya sampai di depan gua yang besar. Sekilas, kuperhatikan gua tersebut berbentuk dari batu karang, juga dihiasi oleh lumut dan rumput liar di kedua sisinya. "Mulai dari sini, perjalanan kita akan semakin sulit, Nak. Karena di dalam sana, ada banyak sekali hal yang belum pernah kau lihat dan ingatlah, suatu hari nanti, kamu akan kembali ke gua ini. Untuk bertemu dengan sang ratu penguasa lautan. Hanya saja, yang membedakan adalah saat kau datang kembali ke gua ini, itu sudah bukan di alam ini, melainkan di alammu sendiri," ucap beliau panjang lebar.Aku hanya mengangguk, tanda mengerti saat mendengar ucapan Nenek. Kami berdua pun akhirnya berjalan memasuki gua ini, tetapi baru saja beberapa langkah memasuki gua tersebut, aku merasakan embusan angin yang sangat kuat. Saking kuatnya, angin yang menerpa mampu membuatku terhempas keluar dari gua.Tubuhku yang saat itu terlempar, kembali keluar dari mulut gua,
Sosok tersebut muncul dari balik air terjun, tubuhnya yang tinggi dan besar, serta dipenuhi bulu di sekujur tubuh. Ekornya yang panjang, melilit di lingkaran perut. Namun, kali ini sosok itu terlihat sedikit berbeda. Aku melihat gigi taringnya sangat panjang hingga melampaui dagu. Juga lidahnya yang selalu menjulur keluar dan berair liur yang tak henti-hentinya menetes.Aku mengenal sosok itu. Dia yang pertama kali kulihat di kamar tengah, saat awal sampai di rumah kontrakan. Sosok itu juga yang membuat Ina ketakutan hingga menangis histeris kala itu.Meskipun dalam jarak sekitar dua ratus meter dari air terjun, aku masih bisa melihat dengan jelas sosoknya dari kejauhan.Kemudian, sosok itu membuka mulut. Lubang mulut itu menganga sangat lebar, aku sempat begidik ngeri saat melihatnya menganga itu, mungkin bisa saja melahap gadis yang tengah terikat berikut dengan altarnya. Sangat besar!Tubuhku secara otomatis ingin segera beranjak maju untuk menolong gadi
Setelah melihat gambaran yang ditunjukan oleh Nenek, perlahanbayangan tersebut memudar. Begitu juga dengan kesadaranku yang tiba-tiba mulai hilang, meski sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap sadar karena kulihat Nenek sedang berucap sesuatu padaku."Nak, perjalanan kita akan Nenek cukupkan hingga batas ini. Terima kasih sudah hadir di rumah Nenek. Nenek tahu akan kedatangan seorang pemuda yang nantinya akan datang. Dari pertama mendengar kabar tersebut, Nenek tak sabar untuk menunggu kehadiranmu. Dan, kamu sudah berada di sini bersama Nenek. Nenek sangat bahagia bisa bertemu denganmu," ucap beliau dibarengi senyuman. "Jangan lupakan janjimu ya, Nak, temui Bunda Kandita saat kamu kembali nanti dan sampaikan salam Nenek pada beliau begitu kamu bertemu dengannya," tutupnya.Setelah Nenek selesai berkata demikian, tubuhku seakan tertiup angin yang kencang. Angin yang sama saat pertama kali memasuki gua. Tubuhku terhempas jauh. Masih sempat aku melihat air sun
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga.Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri.Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan.Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku.Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,
Malam itu aku tak bisa berbuat banyak saat hendak mengusir makhluk yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami yang sedang terlelap.Hingga saat Naya memegang lenganku dan mengajakku untuk segera beristirahat, aku sempat terkejut karena saking fokusnya memperhatikan makhluk mengerikan itu.Namun saat aku mencari keberadaan makhluk itu, ia sudah tak ada di tempatnya semula.Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sembari dalam hati tetap berharap agar kami semua selamat sampai tujuan esok hari *Saat turun dari pelabuhan, kami mulai berpisah dengan Naya. Meski terasa berat dan tak rela jika harus berpisah dengannya saat itu, aku berusaha menutupi perasaan.Sempat sebelumnya kami saling meminta nomor ponsel di di atas kapal, supaya tetap bisa saling terhubung satu sama lain meski jarak telah memisahkan.Aku bersama kelima temanku lanjut pergi menaik
Saat hari sudah mulai gelap dan senja berganti menjadi malam. Semilir angin laut yang terasa, makin menusuk tubuh.Aku mengajak Naya kembali ke dalam dek, tempat di mana kami akan beritirahat selama pelayaran ini. Karena memang saat berada di dalam kapal, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, selain beristirahat hingga kapal yang kami tumpangi ini sampai di tujuan.Aku berjalan bergandengan tangan bersama Naya, turun menyusuri anak tangga satu demi satu. Lalu, berjalan beriringan melewati lorong di dalam dek ini sembari tetap bergandengan tangan.Sesampainya di ranjang tempat kami beristirahat, aku merasa heran. Mengapa barang bawaanku tiba-tiba dipindahkan?Sepertinya, ini memang sengaja dilakukan agar aku bisa tidur bersebelahan dengan Naya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum saat menghampiri ranjangku. Kulihat, keempat temanku yang lain termasuk Shelly, sudah tertidur.Entah mereka pura-pura tidur atau memang sebetulnya sudah benar-benar pulas.&n
Setelah selesai mengobrol dengan mama Mirna, kami berdua sepakat untuk berpamitan. Kami memang tak memberi tahu bahwa saat ini, kami tinggal sementara di rumah dinas Bidan Naya.Yang kami utarakan adalah salam perpisahan. Sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan, lalu pergi meninggalkan rumah itu.Aku dan Shelly hanya mengobrol ringan selama dalam perjalanan menuju rumah dinas Bidan Naya. Sesampainya, barulah di situ kami bisa benar-benar melepaskan lelah dan ketegangan.Rumah dinas ini lumayan asri, meskipun ukuran pada umumnya tak terlalu besar. Cukup untuk jadi tempat bernaung sementara.Sembari menunggu kapal yang akan bersandar di dermaga pelabuhan sore itu, kami sepakat untuk beristirahat karena memang tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat ini, selain beristirahat menunggu sore datang menjelang.*"Silakan, Kak, pakai saja kamar yang ada. Bahkan jika Kakak mau, silakan tidur di kamar saya," ucap Bidan Naya ramah."Iya, terima kasih
Setelah sampai di halaman rumah, kulihat ketiga temanku masih setia menunggu di teras rumah. Rafli yang melihat kedatanganku, saat itu langsung bertanya, "Loh, Shelly di mana, Dre?""Masih di rumah papa Mirna. Tadi kami berdua datang ke sana hanya ada Mirna yang sedang bermain. Papa Mirna dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Kan tidak mungkin juga kita titipkan kunci rumahnya pada anak kecil," jawabku panjang lebar.Ina yang saat itu sedang tidur di pangkuan Rafli, mendadak langsung menoleh ke arahku, lalu bangkit dari posisi tidurnya."Mirna usia berapa, Mas Andre?" tanya Ina singkat."Yah, sekitar usia 3 tahunan begitulah. Masih lucu-lucunya anak itu," jawabku sembari beranjak menuju pintu rumah."Jadi kita bagaimana sekarang?" Asih pun mulai bertanya padaku, memang sedari tadi dia hanya bisa diam sambil menyimak pembicaraan."Kita bawa saja dulu barang-barang ke rumahnya Bidan Naya, sekalian menunggu di sana," jawabku seraya mengangkat tas ransel
Sesampainya di depan pintu rumah, kondisi rumah sudah cukup sepi. Halaman pun sangat hening. Namun, lampu teras rumah masih menyala terang hingga cahaya dari lampu tersebut cukup untuk menerangi hampir semua bagian halaman.Saat aku melangkah di halaman rumah, aura mistis mulai terasa membuat bulu kudukku meremang.Aku segera mempercepat langkah agar bisa segera sampai di depan pintu. Saat menggenggam gagang pintu, masih sempat kulihat ada bayangan putih berseliweran dari pantulan kaca jendela depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.Kubuka pintu, setelah masuk ke rumah, buru-buru kukunci pintunya. Sesegera mungkin berjalan ke arah belakang. Tempat di mana kamarku berada.Setelah mengucap salam, kubuka pintu kamar lalu masuk dan menguncinya. Sempat kudengar pula dari kamar sebelah. Tepatnya di kamar tengah, di mana Rafli dan Ina berada. Aku masih mendengar suara Rafli seperti tengah mengobrol dengan Ina. Mungkin, mereka masih ingin mengobrol sebel
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,