Asih dan Shelly yang sedari tadi di dalam kamar, akhirnya ikut bergabung bersama kami di ruang tengah.
Kupikir Asih dan Shelly keluar dari kamar mereka karena ingin bergabung bersama kami untuk menenangkan Ina, tetapi ternyata ... dugaanku salah. Asih dan Shelly pun juga mendapat gangguan di kamar mereka!"Ehh ... ehh ... rumah ini serem banget! Saya lagi sisiran di depan cermin, tiba-tiba ada bayangan lewat. Pas saya lihat ke belakang, kok tidak ada siapa-siapa. Begitu saya lihat lagi ke cermin, orangnya ada! Nyengir, terus ngetawain saya!" Shelly menjelaskan sambil mempraktikkan apa yang baru saja dia lihat di kamar mereka tadi. Sedangkan Asih, cuma planga-plongo mendengar cerita kami."Kamu ngapain ke sini juga, Sih?" tanyaku."Saya sedang rebahan di ranjang sambil memegang ponsel menghadap tembok. Pas melihat Mbak Shelly, dia sudah tidak ada di kamar. Ya sudah, saya ikut keluar juga. Saya takut ditinggalkan sendirian di kamar." Dengan polosnya, Asih menjelaskan kejadian barusan.Ya, dari kami berlima, Asih paling polos orangnya dan penakut. Namun, sejak datang ke rumah ini, cuma Asih dan Rafli yang belum mendapat gangguan."Ini rumah, kenapa sih? Padahal masih siang, lho. Tengah hari saja belum, tapi kok banyak sekali gangguannya?" Sepertinya, Shelly juga sudah mulai merasakan ada sesuatu yang ganjil di rumah ini."Nanti malam, seusai maghrib, papa Mirna mau mampir ke sini lagi katanya," sahutku, mencoba menenangkan suasana yang tengah diliputi ketegangan karena teror beruntun tanpa jeda sejak pertama kali datang ke rumah ini."Sudah, begini saja. Saya mau bikin kopi, nih. Mending kita ngopi dulu supaya tenang sedikit. Ada yang mau dibikinin kopi sekalian, enggak?" Dengan santai, aku menawarkan mereka sambil beranjak ke dapur.Mereka berempat dengan kompak menjawab, "Boleh, deh.""Dre, buat Ina, tolong buatkan teh saja, ya," saran Rafli."Okelah kalau begitu," ucapku sambil berlalu ke dapur.Sesampainya di dapur, kulihat peralatan memasak cukup lengkap, bahkan kompor masih berfungsi dengan baik. Semua gelas dan piring disusun rapi agar mudah untuk dijangkau.Tadi dapur belum disapu, ya?Aku memutuskan akan menyapu dapur terlebih dahulu dan memanggil Asih untuk mengantarkan sapu yang tadi sempat dibawa Rafli ke ruang depan."Siiih, tolong, dong, bawa sapu satu ke sini. Saya mau menyapu dapur dulu," pintaku dari dapur.Tak lama, Asih datang dari depan dan menyerahkan sapu padaku. Namun ... tunggu!Ada yang aneh dengan Asih. Kulihat, kulitnya lebih cerah dan putih. Padahal, yang aku tahu, Asih berkulit hitam. Gadis itu memang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Timur sana. Lalu, mengapa kulitnya berbeda? Bahkan, wajahnya pucat!Setelah menyerahkan sapu, dia berlalu meninggalkanku dan kembali ke ruangan depan. Aku hanya melongo, lalu tak lama kemudian, Asih yang asli segera menghampiri dan menyerahkan sapu kedua.Aku terdiam dan tersadar ketika Asih menggerakkan tangan ke hadapan wajahku."Hei ... Mas Andre kenapa? Tadi katanya minta sapu, tapi malah melongo," ujar Asih. "Ini sapunya, Mas. Saya balik lagi ke ruangan depan, ya, mau duduk di depan bersama mereka," lanjutnya setelah menyerahkan sapu kedua padaku. Lalu, dia kembali ke ruangan depan.Seriusan ini? Benar-benar tidak beres, sumpah! gerutuku kesal. Bagaimana tidak kesal? Sedari tadi, kami belum mendapatkan waktu untuk beristirahat. Padahal, masih sangat lelah. Namun, sepertinya penghuni rumah ini masih senang mengganggu kami.Aku kembali menghampiri kompor dengan perasaan kesal, memasak air, dan menyiapkan kopi, serta teh dalam gelas masing-masing.Karena memasak air membutuhkan waktu lumayan lama, sambil menunggu, aku berniat menyapu seluruh ruangan dapur ini agar lebih nyaman."Yang di dalam gudang, depan kamar mandi, dan barusan antarkan sapu, jangan ganggu dulu, ya! Aku tidak akan mengganggu kalian, lho! Aku cuma mau membersihkan tempat ini supaya lebih bersih. Pokoknya jangan ganggu dulu, ya."Aku mengoceh sendiri di dapur, berusaha untuk berkomunikasi dengan para penghuni di bagian paling belakang rumah ini karena cuma di dapur dan gudang yang kurasakan paling besar hawa keberadaan makhluk tak kasatmata.Disusul dengan bisikan yang menyahut, "Iya."Aku pun tersenyum saat mendengar jawaban tersebut lalu mulai menyapu. Kupikir, sudah ada persetujuan dari mereka yang tak terlihat. Jadi, aku mulai menyapu sambil menunggu rebusan air mendidih.Saat telah sampai di bagian teras samping, yang terhubung langsung dengan dapur, kulihat halamannya cukup luas. Sejenak, aku merasa hati nyaman di area ini. Ada pohon mangga, mungkin itu yang tadi dimaksud oleh papa Mirna saat bercerita .Saat sedang asyik menyapu sambil menikmati suasana sejuk, kulihat di seberang sana ada dua orang ibu-ibu sedang berjalan. Kuperhatikan barang bawaan mereka, sepertinya baru selesai berbelanja untuk kebutuhan dapur. Aku mencoba menyapa mereka dengan tersenyum ramah. Namun, justru balasan dari kedua ibu itu di luar dugaan. Mereka melihatku seperti keheranan, dahi mengerut lalu saling tatap satu sama lain. Yang satu bergidik, kemudian mereka segera mempercepat langkah.Aku bingung dengan sikap kedua ibu tadi. Kenapa, ya?Padahal, barusan aku mencoba seramah mungkin agar kehadiran kami di kampung ini bisa diterima dengan baik. Namun, justru tanggapan mereka seperti sedang melihat hantu!Aku langsung memeriksa tubuh jikalau ada sesuatu yang aneh. Menengok ke kanan dan kiri, lalu ke belakang. Akan tetapi, tak satu pun keanehan yang kudapati.Di tengah kebingungan saat itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. Dari dapur. Aku langsung membalikkan badan, lalu melihat di dalam dapur ada seseorang yang terlihat asing.Dia sedang berdiri di depan meja makan, kemudian duduk di kursi dan menyapaku dengan senyuman yang ramah. Sosok itu berambut putih, wajah keriput, tetapi senyumnya sanggup menenangkan hati siapa pun yang melihatnya.Ya, sosok itu berwujud nenek-nenek!Tidak ada habis-habisnya penghuni di rumah ini. Mereka seperti berlomba-lomba menampakkan diri. Mungkin mereka ingin berkenalan dengan kami, tapi untuk yang satu ini, sepertinya paling ramah dari sebelumnya."Sini, Nak, duduk dengan Nenek. Temani Nenek di sini," pinta nenek itu.Meskipun awalnya sedikit ragu, tetapi bisa kupastikan nenek itu lebih bersahabat daripada tiga penghuni yang lain karena benar-benar usil. Dengan sedikit ragu, aku pun mengiyakan ajakannya. "I-iya, Nek."Aku mulai berjalan menghampiri beliau, lalu duduk di sampingnya. Ingin menatap wajahnya yang teduh dan bijaksana itu, tetapi mata ini seakan tak mampu untuk memandang terlalu lama. Nenek itu tersenyum melihatku, lalu mulai membuka obrolan."Kamu dari mana asalnya, Nak?""Saya lahir di Jawa Barat, Nek," jawabku sambil terus menunduk karena tak mampu menatap wajahnya."Kamu tahu, kenapa dari awal datang ke rumah ini, kalian diganggu terus-menerus?" Beliau melanjutkan pertanyaannya."Ti-tidak tahu, Nek," jawabku. Aku sedikit gugup saat menjawab pertanyaan ini. Entah apa yang tiba-tiba kurasakan.Si nenek lalu melanjutkan kembali perkataannya, "Apa kamu juga tahu rumah ini sudah dikosongkan berapa lama?""Menurut papa Mirna, rumah ini baru dikosongkan sebulan yang lalu, Nek. Jadi hanya itu yang kami tahu," jawabku.Si nenek tersenyum. "Rumah ini sudah dikosongkan sepuluh tahun, Nak. Dulu, pernah ada beberapa orang yang mencoba tinggal di rumah ini seperti kali
Kami duduk makin tak beraturan dan berdesakan, saat Asih tiba-tiba setengah melompat dari tempat duduknya semula. Dia langsung memeluk papa Mirna seperti umumnya seseorang meminta perlindungan karena takut. Gadis itu menangis di belakang papa Mirna, sedangkan aku dan Rafli memasang posisi siaga. Bersiap untuk saling menjaga satu sama lain.Ina juga terlihat memosisikan dirinya duduk mendekati Asih dan papa Mirna. Suasana di ruang depan rumah itu semakin menegangkan. Saat aku memasang mata untuk mencari siapa yang tadi mencolek Asih dari belakang, aku melihat Shelly menutup mulutnya. Ekspresinya seperti ingin tertawa, tetapi dia tahan.Aku sangat heran. Di saat situasi semakin menegangkan seperti ini, dia justru malah seperti ingin tertawa. Aku bertanya padanya. "Lah, kenapa malah ketawa, Mak?"Seketika, dia langsung tertawa lepas, membuatku makin kebingungan."Yaa habisnya, dari tadi saya lihat Asih, udah tegaaang banget! Makanya, saya isengin colek dia dari belaka
POV AsihKubawa nampan berisi lima gelas, empat kopi dan satu teh. Sesampainya di ruang depan, kuhidangkan minuman itu di tengah-tengah kami. Lalu, bergabung dengan mereka."Wiiihhh ... mantap! Baru datang langsung disuguhi kopi. Asih ini memang calon istri yang pengertian!" gombal papa Mirna.Aku cuma memanyunkan bibir, tak mau menjawab apa pun."Jadi, bagaimana tadi, Pak?""Biasa, orang-orang di sini kalau panen cengkeh dan pala, dijualnya ke mana?" Rafli terlihat sangat serius, jika sedang berbicara soal bisnis."Nah, itu yang mau saya bilang tadi. Kami semua biasa panen dari mulai Oktober sampai Desember. Biasanya, tiga bulan itu pala dengan cengkeh banyak sekali dipanen. Bahkan, anak-anak kecil saja cuma memulung cengkeh di hutan, lalu mereka bawa ke rumah untuk dijemur. Sekalinya, bisa dapat sampai lima ratus ribu!" seru papa Mirna sangat bersemangat. "Biasa itu ada penampung yang datang ke sini untuk membeli langsung. J
POV Ina"Eh, Asih kok, lama sekali ya di belakang?" Aku melontarkan pertanyaan pada Shelly."Tau, nih. Paling juga dia lagi ke toilet, kan, ada Andre juga di dapur. Sepertinya, Asih minta Andre jaga di pintu kamar mandi. Tahu sendiri, Asih kan paling penakut. Mau kencing saja masih minta ditemani," sahut Shelly cuek sembari menyeruput kopi."Atau coba kita berdua menyusul ke dapur saja, Mbak Shel. Kita bantu mereka di dapur. Dari siang kita juga belum makan apa-apa. Jadi sekalian masak saja mumpung ada Mas Andre dan Asih di dapur," ajakku.Aku pun akhirnya berdiri, disusul Shelly. Kami berjalan menuju dapur, meninggalkan Rafli dan papa Mirna yang masih asyik berbicara bisnis.Saat sampai di depan kamar, aku merasa ganjil melihat pintunya terbuka lebar. Lalu memilih berhenti sejenak dan berniat memeriksa. Sedangkan Shelly tetap cuek dan terus berjalan ke dapur.Aku terkejut saat melihat di dalam kamar, ternyata ada Asih. Dia berbaring tak sadarkan diri
Dalam keadaan masih terbaring, aku mencoba membuka mata. Melirik ke kanan dan kiri, berusaha mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi."Ternyata aku masih di kamar," gumamku dan mencoba bangkit dari tempat tidur, memosisikan tubuh dalam keadaan duduk. Menenangkan diri.Masih jelas dalam ingatan, saat kedua makhluk menyeramkan itu membuatku terdiam mematung di dapur. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, mengapa aku tak mampu melakukan perlawanan sedikit pun saat kedua makhluk itu mempermainkanku?Aku merasa diri ini masih terlalu lemah. Untuk menggerakkan tubuh saja, aku tak mampu. Di tengah kacaunya pikiran, tiba tiba terdengar suara yang tak asing lagi. Ya, aku mengenali suara ini."Jangan terlalu memaksakan diri, Nak." Suara itu terdengar tepat di sebelah kanan tempatku duduk diam di kamar itu.Aku langsung menoleh dan benar saja, itu suara Nenek. "Saya belum mengucapkan terima kasih. Nenek datang di saat yang paling tepat, kalau bukan karena Nenek yang menolong, sa
"Ayo, ikut bersama Nenek sekarang," ajak Nenek.Aku pun langsung bergegas mengikutinya. Batinku berkecamuk, kekhawatiran mulai menyeruak menguasai pikiran.Tak lama, kami sampai di tempat seperti gua tempat persembunyian, Gua itu sangat gelap dan lembap, meskipun samar-samar masih bisa kulihat karena pencahayaanya temaram."Ini tempatnya, Nak. Tapi dari batas ini, Nenek tak bisa lagi mengantarmu sampai ke ujung sana, Nenek akan menunggu di sini. Jikalau kamu sudah berhasil menyelamatkan temanmu. Gunakan kemampuan yang kamu miliki saat ini, untuk bisa menyelamatkan temanmu. Nenek yakin, dengan kemampuan saat ini, kamu pasti mudah untuk menyelamatkannya,” jelas Nenek.Aku mengangguk dan meminta izin segera masuk ke dalam gua itu. Saat menuju tempat yang ada di penghujung gua ini, banyak sekali mayat bergeletakan. Bahkan, ada beberapa mayat yang tubuhnya sudah tidak utuh. Potongan tubuh yang terpisah di sana-sini serta bau bangkai yang sangat menyengat, membuat mempercepat
Di tengah kebingungan dan ketakutan, aku benar-benar pasrah. Situasi saat ini benar-benar terjepit. Namun, saat kami mulai dikerumuni oleh sekumpulan mayat mengerikan, tiba-tiba terdengar seperti suara orang yang memanggil."Sebelah sini, cepat kemari!" seru suara tersebut.Aku berusaha untuk mencari sumber dari suara itu dan saat melihat ke depan sana, seorang laki-laki berdiri. Tak lama, disusul oleh beberapa teman yang tiba-tiba muncul entah dari mana.Kulihat, sebagian dari mereka langsung menghajar sekumpulan mayat yang sedari tadi mengerumuni kami, sedangkan sisanya membantu kami keluar dari kerumuman itu.Aku sangat bersyukur, di tengah rasa keputusasaan, akhirnya ada yang datang untuk menolong dan menyelamatkan kami.Kami pun terus berjalan menjauhi kerumunan mayat yang tengah diusir oleh beberapa orang yang menolong tadi, bahkan ada satu orang wanita dari kelompok penyelamat tersebut yang saat itu menawarkan bantuannya untuk memapah Asih berjalan.Aku menc
Pagi itu, aku terbangun lebih awal. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 waktu setempat. Setelah beres menunaikan salat Subuh, aku berencana membuat sarapan. Seketika, aku baru teringat bahwa dari kemarin belum makan.Perut yang berbunyi membuatku ingin segera kembali ke dapur sambil membuat sarapan untuk kami berlima. Saat pintu terbuka, ternyata ada Asih dan Shelly tengah sibuk memasak sarapan. Sepertinya, mereka juga lapar, karena mengingat kemarin kami berlima di teror terus-menerus tanpa jeda oleh para makhluk penghuni rumah ini. Sampai kami lupa mengisi perut dengan makanan.Aku langsung menghampiri mereka berdua. Obrolan kami sangat santai pagi itu."Rafli sama Ina masih tidur ya, Mak?" tanyaku pada Shelly."Iya, masih capek, kayaknya. Soalnya mereka yang paling akhir tidur semalam," jawab Shelly.Kulihat, kondisi Asih baik-baik saja. Jadi, kusempatkan untuk berbicara sambil berbisik agar tidak perlu menceritakan apa yang kami alami kemarin pad
Sebulan kemudian, aku mengunjungi Pulau Morotai. Sesampainya di sana, aku langsung mengikuti petunjuk berdasarkan pengetahuan yang kumiliki agar bisa sampai di tempat tujuan.Memang seminggu setelah pemakaman almarhumah Shelly, di suatu malam aku bermimpi didatangi oleh sang Nenek.Beliau yang menjagaku selama berada di pulau Bisa lalu, dan kali ini beliau datang kembali melalui mimpi."Nak, ada sesuatu yang ingin Nenek sampaikan padamu. Nenek harap kamu mau melakukannya." ujar sang Nenek"Permintaan apa itu, Nek?" tanyaku."Jika kamu hendak pulang ke kampung halaman dan berniat meninggalkan kepulauan halmahera ini, sebelumnya tolong kembalikan buah pinang pemberian dari suku moro yang pernah kau terima beberapa waktu lalu. Itu bertujuan agar suatu saat nanti, kamu tidak terikat dengan kepulauan ini. Dan juga agar kamu tidak mendapatkan gangguan saat perjalanan pulang nanti," ujar beliau menjelaskan.Aku tak pernah mau membantah
Drrtt ... drrtt ... drtt ....Ponselku bergetar cukup lama. Aku sempat mendengarnya beberapa kali berdering. Namun, tak kuhiraukan.Kuangkat tangan kanan dan melihat jam telah menunjukkan pukul 08.00 pagi. Bangkit, melihat sekilas ada telepon masuk tetapi tak kuangkat. Membiarkan ponsel tetap berdering. Aku beranjak ke kamar mandi untuk segera membersihkan diri.Saat berada di dalam kamar mandi, aku melihat ke arah cermin. Mataku sembap, karena menangis tadi malam. Setelah selesai mandi, barulah aku meraih ponsel. Namun, kali ini ponselku sudah berhenti berdering.Ada empat belas panggilan tak terjawab. Saat kubuka, ternyata panggilan dari bang pemilikspeedyang mengantar Shelly kemarin.Loh, ada apa Abang itu meneleponku sampai empat belas kali seperti ini?Karena penasaran, akhirnya kutelepon balik nomornya. Suara tersambung langsung terdengar. Berselang beberapa detik, teleponku diangkat."Halo, Bang. Ada apa ya menelepon saya? Tadi s
Masih dalam posisi mematung, aku berharap semoga perjalanan Shelly kali ini tak mendapat gangguan apapun.Aku berdoa sembari memejamkan mata, diiringi suara deburan ombak kecil yang menghantam batu karang kecil yang berada persis di bawah dermaga.Samar-samar, aku melihat bayangan si Nenek berdiri tepat di sebelah tempatku berdiri.Namun saat aku menoleh ke arah beliau, Nenek hanya menampilkan tatapan sayu lalu beliau menepuk pundakku beberapa kali dengan lembut kemudian beliau pun menghilang dari pandangan.Entah apa maksud dari beliau, tapi dari raut wajah yang ia tunjukan padaku, seolah-olah ada kesedihan yang akan menimpa diriku.Aku hanya berharap, bukan kejadian buruk yang menimpa perjalanan Shelly. Biarlah aku saja yang menerima kesedihan tersebut. *Saat telah berada di depan pelabuhan Yos Sudarso, Kota Ambon. Kukeluarkan,
Malam itu aku tak bisa berbuat banyak saat hendak mengusir makhluk yang tiba-tiba saja muncul di tengah-tengah kami yang sedang terlelap.Hingga saat Naya memegang lenganku dan mengajakku untuk segera beristirahat, aku sempat terkejut karena saking fokusnya memperhatikan makhluk mengerikan itu.Namun saat aku mencari keberadaan makhluk itu, ia sudah tak ada di tempatnya semula.Akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat sembari dalam hati tetap berharap agar kami semua selamat sampai tujuan esok hari *Saat turun dari pelabuhan, kami mulai berpisah dengan Naya. Meski terasa berat dan tak rela jika harus berpisah dengannya saat itu, aku berusaha menutupi perasaan.Sempat sebelumnya kami saling meminta nomor ponsel di di atas kapal, supaya tetap bisa saling terhubung satu sama lain meski jarak telah memisahkan.Aku bersama kelima temanku lanjut pergi menaik
Saat hari sudah mulai gelap dan senja berganti menjadi malam. Semilir angin laut yang terasa, makin menusuk tubuh.Aku mengajak Naya kembali ke dalam dek, tempat di mana kami akan beritirahat selama pelayaran ini. Karena memang saat berada di dalam kapal, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan, selain beristirahat hingga kapal yang kami tumpangi ini sampai di tujuan.Aku berjalan bergandengan tangan bersama Naya, turun menyusuri anak tangga satu demi satu. Lalu, berjalan beriringan melewati lorong di dalam dek ini sembari tetap bergandengan tangan.Sesampainya di ranjang tempat kami beristirahat, aku merasa heran. Mengapa barang bawaanku tiba-tiba dipindahkan?Sepertinya, ini memang sengaja dilakukan agar aku bisa tidur bersebelahan dengan Naya.Aku hanya menggeleng sambil tersenyum saat menghampiri ranjangku. Kulihat, keempat temanku yang lain termasuk Shelly, sudah tertidur.Entah mereka pura-pura tidur atau memang sebetulnya sudah benar-benar pulas.&n
Setelah selesai mengobrol dengan mama Mirna, kami berdua sepakat untuk berpamitan. Kami memang tak memberi tahu bahwa saat ini, kami tinggal sementara di rumah dinas Bidan Naya.Yang kami utarakan adalah salam perpisahan. Sembari mengucapkan terima kasih dan berpamitan, lalu pergi meninggalkan rumah itu.Aku dan Shelly hanya mengobrol ringan selama dalam perjalanan menuju rumah dinas Bidan Naya. Sesampainya, barulah di situ kami bisa benar-benar melepaskan lelah dan ketegangan.Rumah dinas ini lumayan asri, meskipun ukuran pada umumnya tak terlalu besar. Cukup untuk jadi tempat bernaung sementara.Sembari menunggu kapal yang akan bersandar di dermaga pelabuhan sore itu, kami sepakat untuk beristirahat karena memang tak ada lagi yang bisa kami lakukan saat ini, selain beristirahat menunggu sore datang menjelang.*"Silakan, Kak, pakai saja kamar yang ada. Bahkan jika Kakak mau, silakan tidur di kamar saya," ucap Bidan Naya ramah."Iya, terima kasih
Setelah sampai di halaman rumah, kulihat ketiga temanku masih setia menunggu di teras rumah. Rafli yang melihat kedatanganku, saat itu langsung bertanya, "Loh, Shelly di mana, Dre?""Masih di rumah papa Mirna. Tadi kami berdua datang ke sana hanya ada Mirna yang sedang bermain. Papa Mirna dan istrinya sedang tidak ada di rumah. Kan tidak mungkin juga kita titipkan kunci rumahnya pada anak kecil," jawabku panjang lebar.Ina yang saat itu sedang tidur di pangkuan Rafli, mendadak langsung menoleh ke arahku, lalu bangkit dari posisi tidurnya."Mirna usia berapa, Mas Andre?" tanya Ina singkat."Yah, sekitar usia 3 tahunan begitulah. Masih lucu-lucunya anak itu," jawabku sembari beranjak menuju pintu rumah."Jadi kita bagaimana sekarang?" Asih pun mulai bertanya padaku, memang sedari tadi dia hanya bisa diam sambil menyimak pembicaraan."Kita bawa saja dulu barang-barang ke rumahnya Bidan Naya, sekalian menunggu di sana," jawabku seraya mengangkat tas ransel
Sesampainya di depan pintu rumah, kondisi rumah sudah cukup sepi. Halaman pun sangat hening. Namun, lampu teras rumah masih menyala terang hingga cahaya dari lampu tersebut cukup untuk menerangi hampir semua bagian halaman.Saat aku melangkah di halaman rumah, aura mistis mulai terasa membuat bulu kudukku meremang.Aku segera mempercepat langkah agar bisa segera sampai di depan pintu. Saat menggenggam gagang pintu, masih sempat kulihat ada bayangan putih berseliweran dari pantulan kaca jendela depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.Kubuka pintu, setelah masuk ke rumah, buru-buru kukunci pintunya. Sesegera mungkin berjalan ke arah belakang. Tempat di mana kamarku berada.Setelah mengucap salam, kubuka pintu kamar lalu masuk dan menguncinya. Sempat kudengar pula dari kamar sebelah. Tepatnya di kamar tengah, di mana Rafli dan Ina berada. Aku masih mendengar suara Rafli seperti tengah mengobrol dengan Ina. Mungkin, mereka masih ingin mengobrol sebel
Malam itu, kami menghabiskan waktu di pinggir pantai sampai jam 21.00 waktu setempat.Setelah puas dengan malam dilalui bersama di pinggir pantai, kami memutuskan untuk pulang.Di pertigaan jalan, aku yang hendak mengambil jalur kiri, Naya segera menarikku ke kanan. Dia menggenggam telapak tanganku, lalu menariknya ke arah yang ada di jalur kanan. Arah rumah Naya."Oh ... jadi sekarang, kamu sudah melupakan kita semua dan berniat memilih Kak Naya ya, Dre?" Shelly mengucapkan hal itu sambil cengar-cengir."Kalau Mas Andre mau temani Bu Bidan, juga tidak apa-apa. Antarkan saja dulu Bu Bidan sampai rumahnya. Nanti Mas Andre tinggal menyusul kami," sahut Ina sambil tersenyum. Dia seakan mengerti dengan situasi, saat melihatku bersama Naya."Kalau begitu, kami duluan ya, Mas. Hati-hati jangan sampai bu bidannya lecet, ya," ucap Asih dengan tawa ditahan.Sedangkan Rafli, hanya mengangkat kedua alisnya padaku. Seakan memberi tanda bahwa dia setuju.Lalu,