Sementara di luar ruangan berdiri dua orang pria di samping kanan dan kiri pintu. Mereka diminta oleh Kiai untuk menunggu Parman dan mengantarkannya ke aula, jika sudah keluar dari ruangan. Keadaan sunyi membuat kedua orang pria dalam keadaan syahdu.Hal berlawanan terjadi di luar maupun dalam aula. Semakin banyak orang yang mendatangi aula. Ada beberapa orang yang berniat mendekat ke arah ruangan berpenghuni Parman langsung dihadang oleh tim keamanan pondok pesantren. Terdengar gema takbir dan selawat dari orang-orang yang memenuhi area aula.Parman berjalan pelan-pelan menuju pintu. Tangannya gemetar memegang kenop pintu. Kedua matanya awas menatap luar dari kaca jendela. Dia merasa grogi dengan banyaknya orang yang memenuhi di hampir semua area. Dua pria yang sedang berjaga di depan pintu melihat gesture Parman yang ragu-ragu langsung membuka dari luar.“Mari kami antar, Mas.” Salah seorang menawarkan diri.Parman masih melihat ke sekeliling. Hatinya jadi bimbang untuk keluar dari
Ucapan dari kedua bibir pria sepuh tersebut terdengar jelas di telinga Parman. Entah kenapa, lafaz yang terdengar seketika merayap di hati Parman dan membuat tubuh pria tersebut menjadi gemetar.“Maaf, Kiai. Ada yang salahkah dengan ucapan saya?”“Insyaallah, enggak, Mas. Mohon kuatkan hati. Saya harus kasih tahu yang sebenarnya. Agar Mas Parman tak kaget akan kejadian yang telah menimpa kalian. Karena ada keterkaitan dan perlu kebesaran hati Mas Parman untuk menghadapinya,” urai Kiai dengan beberapa kalimat terjeda.“Insyaallah, saya siap dengan apa pun penjelasan Kiai. Asalkan saya tahu keadaan istri dan kedua teman itu.”“Baiklah. Istri Mas Parman dan calon pengantin wanita adalah ikut pesugihan Gunung Kemukus ...,” Kiai menghentikan penjelasan karena melihat Parman yang berubah dratis ekspresi wajahnya.“Astaghfirullahaladzim! Ya Allah,” ucap Parman lirih tertunduk dengan buliran bening menetes dari kedua pelupuk mata.Pria berbadan kekar tersebut mengusap lelehan air mata dengan
“Kamu tega berbuat jahat pada Mas, Dek,” ucapnya lirih. Ucapan Parman ini tanpa disadari oleh pria tersebut terdengar oleh Saimah. Ruh wanita ini telah berada di samping Parman sesaat membuka pintu. Aroma melati bercampur bau hangus seketika terisap lubang penciuman Parman. Pria ini celingukan mencari sumber aroma tersebut. Namun, dirinya tak menemukan. “Mas, ampuni aku!” pinta Saimah lirih di telinga Parman. Pria ini seketika menghentikan langkah kaki. Ia termangu memandangi sekitar. Tak ada siapa pun. Hanya terdengar riuh rendah orang di bagian depan. “Bismillahirahmanirrahim,” ucap Parman lirih lalu beranjak menuju tempat wudu. Perasaan Parman tak nyaman. Seakan-akan ada yang mengikutinya. Pria berbadan tegap ini memantapkan hati untuk menghadap Allah. Saat ia mulai akan mengambil air wudu, dirasakan ada angin dingin melewatinya. Aroma melati bercampur sangit berpindah ke samping pintu masuk ruang salat. “Bismillah ....” Parman mulai membaca niat lalu melakukan tahapan berwudu
Kiai tertawa terkekeh-kekeh lalu meminta para santri untuk segera kembali ke aula. Pria sepuh ini berniat memberi tausiah kepada para santri. Akhirnya, keempat santri berpamitan kepada Kiai dan Parman. Mereka berjalan keluar ruangan dengan berbicara lirih. Parman masih bisa sedikit mendengar arah pembicaraan mereka yaitu ada sebuah gedebok pisang hangus di dapur. Mereka berbicara sambil sesekali beristigfar. “Astaghfirullahaladzim!” “Masyaallah!” “Allahu Akbar!” Parman tak berniat membahasnya dengan Kiai. Ia masih ingin menenangkan diri dulu karena belum sanggup mendapat kejutan lagi. Kiai menghampiri Parman lalu menepuk bahunya. “Mas Parman makan dulu lalu beristirahat. Biar pikiran dan hati lebih fresh. Saya tinggal dulu ke aula. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” tutur Kiai lalu tersenyum bijak. “Terima kasih. Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas Parman lalu ikut mengiringi langkah pria sepuh tersebut dan membantu membukakan pintu. Tampak di sekel
“Sini, Sayang! Gak ada yang tahu. Mari kita bebaskan diri dari ikatan Gunung Kemukus. Pengorbanan sekali, tapi buat hidup lebih tenang selamanya. Apakah kamu ingin istrimu jadi budak Ratu? Kita berempat akan jadi budak. Ini akan menyenangkan.” Parman seperti terlena dengan kata-kata Kesi. Wanita berkulit hitam manis ini berdiri menantang di depan Parman. Aroma tubuhnya tercium oleh hidung Parman. Pria dengan mata terpejam ini bisa merasakan embusan napas hangat Kesi menerpa pipi dan leher. Ia merasakan dua tangan membelai pipi dan dada. Tiba-tiba Parman mendengar jerit tangis Saimah. “Mas, jangan! Kau orang baik!” Seketika kesadaran Parman terkumpul. Pria ini sekuat tenaga mendorong tubuh Kesi. “Audzubillahiminasyaitonirrojim!” Parman melafazkan dengan suara sekencang-kencangnya. Ia yakin dengan doa permohonan tersebut, Allah akan menolongnya dari godaan setan yang terkutuk. “Allahu Akbar!” Pria ini sadar betul hanya Allah Yang Maha Besar satu-satunya pemberi pelindung. Kedua ma
“Tidak apa-apa, Mas. Sekarang, silakan memegang pojok beton lalu ucapkan salam sebanyak tiga kali. Jika ada yang tampak, segera ucapkan Subhanallah.” “Baik, Kiai,” balas Parman. Pria berbadan tegap tersebut berjalan semakin mendekat ke beton berlapis keramik. Bibirnya mengucapkan yang disarankan oleh Kiai. Tangan kanan memegang pojok beton. Tiba-tiba tengkuk dan kedua pundak Parman terasa berat seperti memanggul barang. Tanpa terduga, tangan Parman seperti lengket pada beton keramik. Kemudian, hawa sedingin es menyelimuti tubuhnya. Pria ini seketika menggigil hebat. Saat bersamaan di depan mata Parman muncul penampakan gedebok pisang berwarna gosong di sebagian sisi luar. Sementara bagian dalam seperti daging yang tak henti meneteskan darah hitam berbau busuk menyengat. “Subhanallah!” seru Parman yang kaget. Kiai beranjak menghampiri Parman lalu tangan kanannya dijulurkan di atas gedebog. Pria sepuh tersebut menggerakkan tangan seperti mengusap dari atas ke bawah. “Laa haula wa l
“Kami tadi berunding di dalam. Bagaimana jika sementara waktu berdiam di asrama putri? Tampak keadaannya belum stabil. Agar kami dapat memberi pendampingan sampai benar-benar kembali di kehidupan normal. Keadaannya sangat memprihatinkan, Kiai,” jelas ustazah tersebut dengan kedua mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, jika sudah paham soal itu. Silakan dipersiapkan segala sesuatunya segera mungkin. Jika ada perlu perlengkapan tambahan, bisa ambil stok di gudang pondok. Buat laporan barang-barang yang diperlukan lalu serahkan bagian perlengkapan,” balas Kiai sambil tersenyum bijak. Ustazah menganggukkan kepala. Wanita setengah umur tersebut tampak lega. Hal itu dapat dilihat dari sebuah senyuman terukir dari kedua sudut pipi. Parman yang ikut mendengarkan penjelasan wanita separuh baya dan juga tanggapan dari Kiai semakin dibuat penasaran. Namun, dirinya yakin bahwa pembicaraan keduanya berhubungan dengan kejadian yang sedang dialaminya. Ustazah pamit kepada kedua pria untuk kembali ke
Tiba-tiba bulu kuduk kedua ustazah meremang. Mereka merasa ada ‘sesuatu’ hadir di antara mereka. Tanpa diketahui dari mana berasal, tiba-tiba sebuah embusan angin kencang menghantam salah satu pilar masjid hingga patah. “Astaghfirullahaladzim!” teriak kedua ustazah karena kaget. Bunyi pilar yang patah sangat keras terdengar sampai aula dan dalam asrama. Tak pelak, beberapa santri berlari mencari sumber suara. Langkah lari mereka berakhir di depan teras masjid. Mereka menyaksikan pilar yang patah dengan mata terbelalak. Mereka heran karena tak ada hujan angin dan juga suatu benda yang bisa membuat pilar patah. Situasi sekitar masjid tampak tenang. Tak ada hal-hal yang mencurigakan. Tak lama kemudian, Kiai dengan didampingi pengurus asrama putra datang menghampiri mereka. “Rupanya kita punya tamu tak diundang,” tutur Kiai setelah mengamati sekeliling. Dua ustaz yang mendampingi Kiai segera paham yang dimaksud pria sepuh tersebut. “Kiai, kami pamit ke belakang untuk menemani Mas Par
"Dapat foto dari mana?"tanya Kesi yang mengambil alih ponsel. Kini kedua matanya menatap foto dalam ponsel lalu mengangguk-anggukkan kepala. Ia yakin akan yang dipikirkannya."Mas Parman dapat cincin dari mayat di belakang toko Pak Trenggono.""Serius, Im?"tanya Kesi dengan mata membulat."Serius. Aku dan Mas Parman sempat liat Pak Trenggono datang bareng Kuncen,"ungkap Saimah yang semakin membuat kedua mata Kesi semakin terbelalak."Pak Trenggono pelaku ritual juga?"tanya Kesi dengan bola mata menatap lekat foto cincin di ponsel yang dipegangnya.Wanita berkulit hitam manis ini tampak mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian, Kesi meneteskan air mata. Ia ingat sesuatu. Saimah yang melihat hal tersebut langsung bertanya,"Punya siapa?"Kesi mendongak lalu mengusap buliran bening dengan ujung jari. Wanita hitam manis ini menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan-pelan. Tampak sekali, ada beban berat yang sedang ingin ia lepaskan. Kesi menatap Saimah dengan kedua bola mata masih berk
"Bisa terbuka, Dek!"seru Parman dengan raut wajah lega."Syukurlah, Mas. Kita bisa keluar lagi," balas Saimah dengan kedua mata berbinar-binar.Parman kembali mundur lalu memukul permukaan pohon dengan keras. Seketika terdengar.'Braaakk!'Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan dengan raut wajah senang. Keduanya segera balik badan lalu beranjak semakin masuk. Mereka berada dalam sebuah lorong panjang dengan cahaya terang di ujung. Mereka melangkah hati-hati sembari mata awas mengamati sekeliling. Mereka khawatir bahwa lorong yang dilewati terpasang jebakan.Setelah mereka melewati lorong sepanjang dua puluh meter, akhirnya sampai di ujung lorong. Saat pasangan suami istri ini menginjakkan kaki di tanah selepas lorong, betapa terkejut keduanya. Ternyata, mereka berada di area halaman belakang toko Pak Trenggono. Dari kejauhan mereka bisa melihat gundukan tanah yang diduga sebagai kuburan.Ujung bawah gamis Saimah tersangkut sesuatu. Wanita ini langsung menghentikan langkah l
"Mobilnya ada di mana?"tanya polisi lagi."Sudah pergi, Pak," ucap Kesi.Badrun yang tahu kondisi labil yang sedang dialami oleh Kesi dengan segera memeluk istrinya. Dengan nada lirih, pria tersebut mengungkap,"Maaf, Pak. Istri saya melihat penampakan seperti bayangan.""Begitu rupanya,"balas polisi yang lalu menutup wadah berisi kedua benda. "Sebaiknya Bapak dan Ibu membuat laporan ke kantor polisi. Ini bisa sebagai barang bukti.""Baik, Pak," ucap Kesi yang langsung direspons anggukan kepala oleh Badrun.Tak berapa lama empat orang polisi datang dari arah tempat pemulasaran jenazah dengan membawa kontainer box berisi barang-barang bukti. Akhirnya para polisi tersebut berpamitan kepada Kiai Ahmad untuk kembali ke kantor. Saimah dan Kesi bersama pasangan mereka ikut serta berpamitan. Keempatnya akan membuat laporan ke polisi.Empat orang tersebut menumpangi taksi menuju ke kantor polisi. Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba Saimah meminta berhenti. Ia dan Parman ada suatu keperluan. A
"Lisa, kamu harus bisa bertahan. Bulek akan mengeluarkan kamu!" teriak Kesi histeris.Teriakan wanita berkulit hitam manis tersebut tak urung menarik perhatian semua orang yang ada di dalam toko. Badrun yang pertama kali menghampiri Kesi lalu memeluknya."Dek, sabar. Pak Trenggono sedang menelepon karyawannya," ucap Badrun yang berusaha menenangkan istrinya.Sesaat kemudian, Saimah dan Parman menyusul keluar. Kedua orang tersebut mendekat dengan ekspresi heran. Pak Trenggono pun ikut keluar masih dengan keadaan menelepon. Pria pemilik toko seketika kaget melihat perilaku Kesi yang sedang mengintip dalam mobil. Ia segera mengakhiri hubungan telepon lalu mendekat ke arah mobil."Ada apa ini?"tanya Pak Trenggono sambil memandang ke arah Kesi dengan tatapan tak wajar."Maaf, Pak. Barusan istri saya liat keponakannya ada dalam mobil," jawab Badrun sambil merangkul Kesi untuk menjauh dari kaca."Keponakan? Siapa?"tanya Pak Trenggono sambil mengusap sisi kaca yang barusan diintip oleh Kesi.
"Kes, ada apa?"tanya Saimah saat sudah berdiri dekat Kesi."Aku lihat bayangan Lisa menghilang di sini, Im. Kamu dengar, dia berteriak kesakitan. Di bawah sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk gundukan tanah tersebut.Saimah ikut berjongkok lalu mengamati tanah basah yang dipenuhi taburan berbagai macam bunga yang telah layu. Wanita ini tak mendengar suara apa pun. Namun, dirinya tak menyangkal bahwa bagi mereka yang terbiasa berhubungan dengan hal-hal gaib akan bisa merasakan sebuah kejanggalan dengan kasus ini.Ia yakin Lisa telah meninggal dunia dan jasadnya masih tersembunyi. Saimah menoleh ke arah Kesi lalu bertanya,"Kes, kamu dengar apa?""Lisa kesakitan, Im. Dia ada di sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk tanah di depannya. Ia menangis terisak-isak lalu mengais tanah tersebut.Saimah yang melihat hal tersebut segera memegang kedua tangan Kesi. "Kes, ini tanah orang. Kita harus minta izin ke pemiliknya dulu," ucap Saimah sambil membersihkan kedua tangan Kesi yang belepotan d
"Ke mana Lisa? Baru saja aku suruh duduk situ. Bantu aku mencarinya, Im. Kasian dia!"Saimah yang mendengar ucapan Kesi, tak bisa menahan rasa haru. Ia memeluk erat tubuh Kesi. "Kamu yang tabah! Ada aku, Mas Parman, suamimu dan para penghuni pondok yang sayang kamu.""Aneh, kamu, Im! Yang perlu disemangati itu Lisa. Bukan aku. Tolong, bantu cari Lisa!" pinta Kesi dengan nada jengkel.Tampak Badrun berlari menghampiri kedua wanita. Pria tersebut segera memeluk tubuh Kesi erat lalu mengecup kening istrinya."Dek, ayo buruan ke pemulasaran jenazah. Ditunggu ustazah dan santriwati," ucap Badrun.Kesi yang tak mengerti masalahnya, semakin bingung dengan perilaku suaminya. Ia memandang wajah Badrun dan ada raut kesedihan di kedua mata."Tadi Saimah. Sekarang Mas. Pada kenapa kalian? Ada kejadian apa?" tanya Kesi sambil memandang kedua orang bergantian."Mas, temani Kesi ke sana. Aku mau bersiap dengan yang lain," ucap Saimah seraya menepuk bahu Kesi pelan."Ya, Mbak. Kami segera menyusul," b
"Ya, Allah! Saya kenapa di sini?"tanya Badrun dengan ekspresi bingung."Assalammu'alaikum," ucap salam oleh santri yang langsung dibalas Badrun dengan buliran bening menyembul dari dua sudut mata."Alhamdulillah! Sampeyan masih dilindungi oleh Allah, Mas," ucap santri sambil tersenyum.Parman langsung memeluk tubuh Badrun yang berguncang hebat karena terharu sekaligus rasa syukur. Ketiga pria berjalan menuju masjid. Santri tersebut membantu membersihkan tubuh Badrun dari gangguan setan dengan rukiah.Sementara itu tubuh pasangan mesum yang berada di atas brankar segera dibawa ke tempat tertutup di belakang aula. Para santri dengan dipimpin oleh Ustaz Hamid membacakan doa untuk memulihkan keadaan pasangan tersebut. Di saat yang sama, Kiai Ahmad mengikat tubuh Kuncen dengan doa khusus lalu membawanya ke arah asrama putra."Aku senang Mas Badrun cepat tertolong. Kita ini adalah target dari Ratu,"ucap Kesi sambil fokus memandang satu arah.Ia melihat beberapa para santri yang berjalan dar
"Maaf, Kiai dan Ustaz. Kami barusan melihat ...."Akhirnya meluncur cerita Parman tentang aktivitas Aldi dan Lisa dalam ruang persemayaman jenazah."Astaghfirullahaladzim!" seru kedua pria bersamaan."Bagaimana mungkin mereka bisa di sana?" tanya Kiai Ahmad sambil memilin biji-biji tasbih."Saya pikir Lisa terkena hipnotis, Kiai. Jika dalam keadaan sadar, tak mungkin dia mau melakukan hal tersebut. Apalagi Aldi adalah pelaku ritual pesugihan. Ini salah satu ritual penutup baginya. Kenapa Lisa yang jadi target? Kasian dia," urai Saimah dengan ekspresi yang tampak kesal. Dia harus segera kasih tahu hal ini kepada Kesi."Maaf, saya harus ke Kesi dulu. Assalammu'alaikum," ucap Saimah yang segera berlalu tanpa mendengarkan jawab salam ketiga pria.Saimah berlari sekencang mungkin. Insiden yang terjadi terhadap Lisa adalah benar-benar darurat. Pada saat wanita berparas ayu khas Jawa ini sampai, terlihat Kesi sedang bersiap akan keluar ruangan. "Kebetulan kamu datang, Im. Ayo, ikut aku!"aja
"Assalammu'alaikum!""Wa'alaikumussalam!" jawab kedua wanita dengan suara kencang.Saimah yang mendengarkan suara familer tersebut bergegas bangkit lalu berjalan ke arah pintu. Ia segera membuka gerendel pintu. Begitu terbuka, Parman tersenyum ke arah istrinya.Saimah buru-buru bertanya, "Gimana, berhasil?""Alhamdulillah. Berhasil bawa pergi Dokter Anita dan ponakan Mbak Kesi," balas Parman sambil mengulurkan sebuah botol kecil berisi cairan hitam ke Saimah."Dapat dari mana, Mas?"tanya Saimah dengan ekspresi terkejut. Ia segera menyimpan botol dalam saku."Dapat dari santri depan aula. Katanya dari Kiai buat penjagaan diri," balas Parman dengan wajah datar."Cuma Mas yang dikasi, kan?""Enggak. Mas Badrun juga dapat. Bilangnya, diusapkan ubun-ubun dan telapak kaki."Saimah segera menoleh ke arah Kesi lalu berucap,"Kesi, kamu sendirian, gak apa?""Mau ke mana, Im?""Mas Parman dan suamimu dapat cairan setan lagi. Aku mau lapor ke Kiai.""Tolong, buruan kasih tahu Mas Badrun, Im!"Sai