Begitu melihat kedatangan Parman, si siluman berubah wujud menjadi wanita cantik. Bertubuh tinggi ramping dan berkulit kuning langsat. Berdada besar membusuk indah berlapis kemban warna hijau keemasan. Bagian bawah berbalut kain batik motif sidomukti. Rambut hitam lebat tergerai hingga pinggul menyebarkan aroma melati. Wanita cantik perwujudan dari penguasa Gunung Kemukus tersenyum manis dengan bibir merah merona alami. Parman yang terkejut dengan kemunculan wanita cantik bertubuh seksi tersebut seketika menghentikan laju motor. Dada pria ini berdebar-debar. Kedua mata terkesiap tertuju pada wanita cantik dengan senyum menggoda. “Mas, ayo, kita pergi dari sini.” Suara wanita cantik tersebut mirip dengan Saimah di telinga Parman. Pria tegap ini terkesima melihat penampilan menawan wanita berjarak sekitar lima meter di depan. Ia terlena dengar suara istrinya. Si wanita telah meraih tangan Parman hingga menariknya menjauh dari mobil. “Mas Parman, jangan ikut dia!” teriak Saimah yang
Sementara di luar ruangan berdiri dua orang pria di samping kanan dan kiri pintu. Mereka diminta oleh Kiai untuk menunggu Parman dan mengantarkannya ke aula, jika sudah keluar dari ruangan. Keadaan sunyi membuat kedua orang pria dalam keadaan syahdu.Hal berlawanan terjadi di luar maupun dalam aula. Semakin banyak orang yang mendatangi aula. Ada beberapa orang yang berniat mendekat ke arah ruangan berpenghuni Parman langsung dihadang oleh tim keamanan pondok pesantren. Terdengar gema takbir dan selawat dari orang-orang yang memenuhi area aula.Parman berjalan pelan-pelan menuju pintu. Tangannya gemetar memegang kenop pintu. Kedua matanya awas menatap luar dari kaca jendela. Dia merasa grogi dengan banyaknya orang yang memenuhi di hampir semua area. Dua pria yang sedang berjaga di depan pintu melihat gesture Parman yang ragu-ragu langsung membuka dari luar.“Mari kami antar, Mas.” Salah seorang menawarkan diri.Parman masih melihat ke sekeliling. Hatinya jadi bimbang untuk keluar dari
Ucapan dari kedua bibir pria sepuh tersebut terdengar jelas di telinga Parman. Entah kenapa, lafaz yang terdengar seketika merayap di hati Parman dan membuat tubuh pria tersebut menjadi gemetar.“Maaf, Kiai. Ada yang salahkah dengan ucapan saya?”“Insyaallah, enggak, Mas. Mohon kuatkan hati. Saya harus kasih tahu yang sebenarnya. Agar Mas Parman tak kaget akan kejadian yang telah menimpa kalian. Karena ada keterkaitan dan perlu kebesaran hati Mas Parman untuk menghadapinya,” urai Kiai dengan beberapa kalimat terjeda.“Insyaallah, saya siap dengan apa pun penjelasan Kiai. Asalkan saya tahu keadaan istri dan kedua teman itu.”“Baiklah. Istri Mas Parman dan calon pengantin wanita adalah ikut pesugihan Gunung Kemukus ...,” Kiai menghentikan penjelasan karena melihat Parman yang berubah dratis ekspresi wajahnya.“Astaghfirullahaladzim! Ya Allah,” ucap Parman lirih tertunduk dengan buliran bening menetes dari kedua pelupuk mata.Pria berbadan kekar tersebut mengusap lelehan air mata dengan
“Kamu tega berbuat jahat pada Mas, Dek,” ucapnya lirih. Ucapan Parman ini tanpa disadari oleh pria tersebut terdengar oleh Saimah. Ruh wanita ini telah berada di samping Parman sesaat membuka pintu. Aroma melati bercampur bau hangus seketika terisap lubang penciuman Parman. Pria ini celingukan mencari sumber aroma tersebut. Namun, dirinya tak menemukan. “Mas, ampuni aku!” pinta Saimah lirih di telinga Parman. Pria ini seketika menghentikan langkah kaki. Ia termangu memandangi sekitar. Tak ada siapa pun. Hanya terdengar riuh rendah orang di bagian depan. “Bismillahirahmanirrahim,” ucap Parman lirih lalu beranjak menuju tempat wudu. Perasaan Parman tak nyaman. Seakan-akan ada yang mengikutinya. Pria berbadan tegap ini memantapkan hati untuk menghadap Allah. Saat ia mulai akan mengambil air wudu, dirasakan ada angin dingin melewatinya. Aroma melati bercampur sangit berpindah ke samping pintu masuk ruang salat. “Bismillah ....” Parman mulai membaca niat lalu melakukan tahapan berwudu
Kiai tertawa terkekeh-kekeh lalu meminta para santri untuk segera kembali ke aula. Pria sepuh ini berniat memberi tausiah kepada para santri. Akhirnya, keempat santri berpamitan kepada Kiai dan Parman. Mereka berjalan keluar ruangan dengan berbicara lirih. Parman masih bisa sedikit mendengar arah pembicaraan mereka yaitu ada sebuah gedebok pisang hangus di dapur. Mereka berbicara sambil sesekali beristigfar. “Astaghfirullahaladzim!” “Masyaallah!” “Allahu Akbar!” Parman tak berniat membahasnya dengan Kiai. Ia masih ingin menenangkan diri dulu karena belum sanggup mendapat kejutan lagi. Kiai menghampiri Parman lalu menepuk bahunya. “Mas Parman makan dulu lalu beristirahat. Biar pikiran dan hati lebih fresh. Saya tinggal dulu ke aula. Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” tutur Kiai lalu tersenyum bijak. “Terima kasih. Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” balas Parman lalu ikut mengiringi langkah pria sepuh tersebut dan membantu membukakan pintu. Tampak di sekel
“Sini, Sayang! Gak ada yang tahu. Mari kita bebaskan diri dari ikatan Gunung Kemukus. Pengorbanan sekali, tapi buat hidup lebih tenang selamanya. Apakah kamu ingin istrimu jadi budak Ratu? Kita berempat akan jadi budak. Ini akan menyenangkan.” Parman seperti terlena dengan kata-kata Kesi. Wanita berkulit hitam manis ini berdiri menantang di depan Parman. Aroma tubuhnya tercium oleh hidung Parman. Pria dengan mata terpejam ini bisa merasakan embusan napas hangat Kesi menerpa pipi dan leher. Ia merasakan dua tangan membelai pipi dan dada. Tiba-tiba Parman mendengar jerit tangis Saimah. “Mas, jangan! Kau orang baik!” Seketika kesadaran Parman terkumpul. Pria ini sekuat tenaga mendorong tubuh Kesi. “Audzubillahiminasyaitonirrojim!” Parman melafazkan dengan suara sekencang-kencangnya. Ia yakin dengan doa permohonan tersebut, Allah akan menolongnya dari godaan setan yang terkutuk. “Allahu Akbar!” Pria ini sadar betul hanya Allah Yang Maha Besar satu-satunya pemberi pelindung. Kedua ma
“Tidak apa-apa, Mas. Sekarang, silakan memegang pojok beton lalu ucapkan salam sebanyak tiga kali. Jika ada yang tampak, segera ucapkan Subhanallah.” “Baik, Kiai,” balas Parman. Pria berbadan tegap tersebut berjalan semakin mendekat ke beton berlapis keramik. Bibirnya mengucapkan yang disarankan oleh Kiai. Tangan kanan memegang pojok beton. Tiba-tiba tengkuk dan kedua pundak Parman terasa berat seperti memanggul barang. Tanpa terduga, tangan Parman seperti lengket pada beton keramik. Kemudian, hawa sedingin es menyelimuti tubuhnya. Pria ini seketika menggigil hebat. Saat bersamaan di depan mata Parman muncul penampakan gedebok pisang berwarna gosong di sebagian sisi luar. Sementara bagian dalam seperti daging yang tak henti meneteskan darah hitam berbau busuk menyengat. “Subhanallah!” seru Parman yang kaget. Kiai beranjak menghampiri Parman lalu tangan kanannya dijulurkan di atas gedebog. Pria sepuh tersebut menggerakkan tangan seperti mengusap dari atas ke bawah. “Laa haula wa l
“Kami tadi berunding di dalam. Bagaimana jika sementara waktu berdiam di asrama putri? Tampak keadaannya belum stabil. Agar kami dapat memberi pendampingan sampai benar-benar kembali di kehidupan normal. Keadaannya sangat memprihatinkan, Kiai,” jelas ustazah tersebut dengan kedua mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, jika sudah paham soal itu. Silakan dipersiapkan segala sesuatunya segera mungkin. Jika ada perlu perlengkapan tambahan, bisa ambil stok di gudang pondok. Buat laporan barang-barang yang diperlukan lalu serahkan bagian perlengkapan,” balas Kiai sambil tersenyum bijak. Ustazah menganggukkan kepala. Wanita setengah umur tersebut tampak lega. Hal itu dapat dilihat dari sebuah senyuman terukir dari kedua sudut pipi. Parman yang ikut mendengarkan penjelasan wanita separuh baya dan juga tanggapan dari Kiai semakin dibuat penasaran. Namun, dirinya yakin bahwa pembicaraan keduanya berhubungan dengan kejadian yang sedang dialaminya. Ustazah pamit kepada kedua pria untuk kembali ke