“Aku juga berhubungan dengan Gunung Kemukus sejak kasus Pak Sobir. Kenapa gak kena?” tanya Parman sambil memandang terenyuh ke arah Saimah dan kedua calon pengantin. Sementara itu, baik Kesi maupun Badrun hanya menunduk tanpa sepatah kata pun. Pasangan calon pengantin tersebut berangkulan dengan ekspresi sedih. “Mas tak pernah melakukan ritual di sendang. Itu yang membuat posisi Mas aman, meski tak bisa terjamin 100%.” “Apa maksudmu, Dek?” Parman memandang ke arah Saimah dengan rasa panik. “Maksudnya, siapa pun yang masuk sendang sudah pasti 100% jadi incaran Penguasa Gunung Kemukus, tapi meski tak masuk sendang karena Mas telah masuk area punden juga bisa jadi target,” jelas Saimah yang membuat Parman langsung bergidik. “Kok bisa begitu? Emang bisa ambil target tanpa perjanjian?” Parman tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapi. Dia pun tak tahu bahwa sesungguhnya, begitu Saimah disahkan jadi pendamping ritual, risikonya sama dengan pelaku. Saimah hanya tersenyum miris mel
“Im, siapa tadi?” tanya Kesi setengah berteriak. Tampak sekali dia syok dengan kedatangan wanita tua tersebut. Badrun segera memeluk tubuh Kesi yang gemetar. Baik Parman dan Saimah yang juga tak kalah syok melihat ke sekeliling. “Ke mana dia?” tanya Saimah dengan wajah pucat pasi. “Cepat sekali,” sahut Parman kemudian. Namun, pasangan suami istri tersebut tak mendapatkan keberadaan si nenek maupun keanehan lain. Seketika Saimah teringat dengan benda pemberian wanita tua barusan. Wanita berkulit bersih ini menutup hidung lalu mengulurkannya ke arah Parman. Si pria berbadan kekar sama halnya dengan istrinya sambil menutup hidung lalu membuka bungkusan kain berwarna kumal dengan kedua tangan. “Tulang belulang dengan rambut uban!” Saimah berseru dengan membelalakkan mata. “Ini milik manusia,” ungkap Parman sambil mengorak-arik benda-benda tersebut dengan potongan kayu yang dia ambil dari tanah. “Buruan bungkus, Mas. Baunya,” sahut Saimah dengan menahan napas lalu cekatan mengikat k
‘Bruumm ...!’ Tiba-tiba dari kap depan, api berkobar lalu secepat kilat membakar habis seluruh bodi mobil. “Auch ...!” jerit Sarto lalu menghilang ditelan oleh keramaian orang yang berbondong-bondong menghampiri tempat kejadian perkara. Musibah yang terjadi tak jauh dari ruko memicu rasa penasaran Saimah dan yang lain. Keempat orang tersebut segera berlari ke arah kerumunan warga. Namun, saat mereka sampai di sana, para warga sedang bengong mengamati bekas mobil yang terbakar. Dalam kendaraan tak ditemukan jasad si pengemudi. “Kita balik ke ruko saja. Bentar lagi polisi datang,” ujar Saimah mengajak yang lain untuk segera menghindari masalah. “Sebaiknya kita langsung ke hotel yang dipesan kamu, Dek,” saran dari Parman yang dirasa lebih efisien. Kesi dan Badrun yang mendengar ide dari pasutri tersebut segera saling berbisik. Kemudian saat langkah kaki mereka berhenti di depan ruko, barulah Kesi bersuara. “Kami mau ambil barang-barang di kamar dulu, Mas Parman, Im.” “Oh, ya, ya.
Pesan yang dikirim oleh Saimah telah dibaca Pak Brahim. Terbukti tanda centang dua telah berwarna biru. Terdengar tawa lepas dari bangku pengemudi. Keempat penumpang kaget dan langsung berpandangan. Mereka pun serentak menatap spion, kecuali Parman yang langsung bisa menatap ke samping. “Sudah sampe tujuan. Silakan periksa barang bawaan agar tak ada yang tertinggal.” Pengemudi dengan suara lantang memberi peringatan kepada para penumpang. Saimah segera mengambil bungkusan plastik dari dalam tas dan langsung menaruh di pojok bangku. Keempat penumpang turun tepat di depan lobby hotel. Satu per satu dari mereka bersalaman dengan Pak Brahim. “Jaga diri kalian. Waktu saya sudah habis,” ucap Pak Brahim kepada mereka. Sesaat Pak Brahim akan masuk mobil, Saimah berjalan menghampiri. “Bagaimana membalas kebaikan Bapak?” tanya Saimah dengan pandangan sendu. “Hancurkan ruko itu! Hentikan korban tumbal,” jawab Pak Brahim dan seketika lenyap dari pandangan. Saimah terpaku tanpa bisa berkata-
“Terima kasih, Mbah,” balas Saimah langsung memeluk lelaki tua tersebut. “Aku sudah puluhan tahun tak melakukannya,” sahut kuncen yang merasa bahagia karena petualangan mereka barusan. Benar saja apa yang dikatakan oleh kuncen Gunung Kemukus. Sebulan setelah ritual khusus, Saimah telah berdiri di depan rumah mewah milik bapak dan istri simpanannya. Dalam waktu sebulan bisnis bapaknya hancur karena musibah kebakaran yang menewaskan semua karyawan yang sedang bekerja di dalamnya. Hari ini Saimah datang untuk melihat istri simpanan bapaknya yang terserang penyakit aneh yang membuat sekujur tubuh bernanah. Tampak sebuah ambulans sedang bersiap membawa wanita dengan bau busuk yang sangat menyengat tersebut ke rumah sakit. Sementara tak ada seorang pun tenaga medis yang mau mendampingi selama perjalanan, kecuali sopir. Di saat bersamaan bapak Saimah sedang digelandang oleh polisi karena kasus kebakaran yang diduga karena human error. Saimah berjalan mendekat ke arah mobil polisi yang ak
“Dek! Kamu di mana? Mbak Kesi dan Mas Badrun barusan sampe,”ucap Parman dengan nada cemas. “Iya, ya. Mas, tunggu bentar,” balas Saimah sambil mendekat ke arah ruko yang separuh bangunan telah dilahap api. Wanita ini segera bersembunyi sesaat setelah melihat beberapa warga berdatangan ke tempat kejadian. Saimah berjalan seakan-akan tak tahu soal kebakaran agak menjauh dari ruko. Kini dia telah memesan sebuah taksi. Belum juga dapat balasan dari aplikasi penyedia layanan antar jemput, sebuah taksi telah mendekat. “Silakan masuk Bu Saimah,” ucap pengemudi taksi dari balik kaca yang telah diturunkan. “Cepet bener, Pak. Baru juga selesai menelepon,” balas Saimah sembari mengamati ID Card pengemudi yang menempel pada dashboard. Emang benar dia, batin Saimah sambil melihat data pengemudi di aplikasi. Tanpa ragu, dia pun segera membuka pintu penumpang bagian belakang. “Selamat menikmati perjalanan kita menuju hidup abadi,” ucap pengemudi diiringi tawa melengking. Saimah pun kaget begit
Sarto yang tak terima pasangan calon pengantin dibawa kabur Pak Brahim. Pria berumur 35 tahun tersebut mengejar dengan berteriak. “Tua bangka tak tahu diri. Kamu selalu menghalang-halangiku untuk mendapatkan Saimah. Kau itu sudah bangkai!” Namun, Pak Brahim tak menghiraukan teriakan Sarto. Bahkan gumpalan asap berisi tubuh kedua calon pengantin yang beku dilenyapkan dari pandangan kasat mata. Saimah tampak serius mendengarkan cerita Kesi. Dia resapi setiap kata yang terucap dari kedua bibir wanita hitam manis tersebut. “Bentar, bentar, Kes!” Kesi segera berhenti bicara lalu menatap ke arah Saimah. “Kenapa?” “Mas Sarto bilang Pak Brahim bangkai?” tanya Saimah dengan kedua mata berbinar-binar. “Ya, emang. Aneh, kamu. Bangkai itu mayat. Bahagia gitu?” Kesi memandang heran ke arah Saimah yang tampak berseri-seri wajahnya. Saimah tersenyum lalu berucap,”Yang kita telan kemarin, abu biasa. Pak Brahim masih ada.” Kesi bingung seketika mendengar penjelasan sahabat karibnya tersebut. K
“Kita pesan taksi lain saja, Im. Makin kaga jelas,” ucap Kesi dengan rasa jengkel. “Tenang, Ibu-ibu! Mas Sarto sedang bersemedi di bagian belakang sendiri. Ada sebuah ruang kecil khusus untuk semedi. Sebentar, saya parkir di tempat aman dulu,” ungkap pengemudi sambil menepikan mobil tak jauh dari gerbang masuk pemakaman. “Kapan Mas ketemu Pak Brahim? Sudah tahu siapa sebenarnya Pak Brahim?” tanya Saimah sambil menstabilkan emosi. Pengemudi tak segera menjawab pertanyaan Saimah. Pria tersebut memandang lurus ke depan lalu tersenyum tipis. Kesi yang sedari tadi sudah jengkel menjadi semakin marah, begitu melihat perilaku si pengemudi yang seenaknya sendiri. “Kita turun saja, Im!” Selesai berucap, wanita berkulit hitam manis ini segera keluar dari mobil. Saimah pun mengikuti sahabatnya. Kesi tak buang-buang waktu langsung menggandeng tangan Saimah menuju pinggir jalan untuk menunggu taksi online yang dipesannya. “Yang barusan udah kamu bayar?” tanya Saimah sambil menoleh sekilas ke