“Dek! Kamu di mana? Mbak Kesi dan Mas Badrun barusan sampe,”ucap Parman dengan nada cemas. “Iya, ya. Mas, tunggu bentar,” balas Saimah sambil mendekat ke arah ruko yang separuh bangunan telah dilahap api. Wanita ini segera bersembunyi sesaat setelah melihat beberapa warga berdatangan ke tempat kejadian. Saimah berjalan seakan-akan tak tahu soal kebakaran agak menjauh dari ruko. Kini dia telah memesan sebuah taksi. Belum juga dapat balasan dari aplikasi penyedia layanan antar jemput, sebuah taksi telah mendekat. “Silakan masuk Bu Saimah,” ucap pengemudi taksi dari balik kaca yang telah diturunkan. “Cepet bener, Pak. Baru juga selesai menelepon,” balas Saimah sembari mengamati ID Card pengemudi yang menempel pada dashboard. Emang benar dia, batin Saimah sambil melihat data pengemudi di aplikasi. Tanpa ragu, dia pun segera membuka pintu penumpang bagian belakang. “Selamat menikmati perjalanan kita menuju hidup abadi,” ucap pengemudi diiringi tawa melengking. Saimah pun kaget begit
Sarto yang tak terima pasangan calon pengantin dibawa kabur Pak Brahim. Pria berumur 35 tahun tersebut mengejar dengan berteriak. “Tua bangka tak tahu diri. Kamu selalu menghalang-halangiku untuk mendapatkan Saimah. Kau itu sudah bangkai!” Namun, Pak Brahim tak menghiraukan teriakan Sarto. Bahkan gumpalan asap berisi tubuh kedua calon pengantin yang beku dilenyapkan dari pandangan kasat mata. Saimah tampak serius mendengarkan cerita Kesi. Dia resapi setiap kata yang terucap dari kedua bibir wanita hitam manis tersebut. “Bentar, bentar, Kes!” Kesi segera berhenti bicara lalu menatap ke arah Saimah. “Kenapa?” “Mas Sarto bilang Pak Brahim bangkai?” tanya Saimah dengan kedua mata berbinar-binar. “Ya, emang. Aneh, kamu. Bangkai itu mayat. Bahagia gitu?” Kesi memandang heran ke arah Saimah yang tampak berseri-seri wajahnya. Saimah tersenyum lalu berucap,”Yang kita telan kemarin, abu biasa. Pak Brahim masih ada.” Kesi bingung seketika mendengar penjelasan sahabat karibnya tersebut. K
“Kita pesan taksi lain saja, Im. Makin kaga jelas,” ucap Kesi dengan rasa jengkel. “Tenang, Ibu-ibu! Mas Sarto sedang bersemedi di bagian belakang sendiri. Ada sebuah ruang kecil khusus untuk semedi. Sebentar, saya parkir di tempat aman dulu,” ungkap pengemudi sambil menepikan mobil tak jauh dari gerbang masuk pemakaman. “Kapan Mas ketemu Pak Brahim? Sudah tahu siapa sebenarnya Pak Brahim?” tanya Saimah sambil menstabilkan emosi. Pengemudi tak segera menjawab pertanyaan Saimah. Pria tersebut memandang lurus ke depan lalu tersenyum tipis. Kesi yang sedari tadi sudah jengkel menjadi semakin marah, begitu melihat perilaku si pengemudi yang seenaknya sendiri. “Kita turun saja, Im!” Selesai berucap, wanita berkulit hitam manis ini segera keluar dari mobil. Saimah pun mengikuti sahabatnya. Kesi tak buang-buang waktu langsung menggandeng tangan Saimah menuju pinggir jalan untuk menunggu taksi online yang dipesannya. “Yang barusan udah kamu bayar?” tanya Saimah sambil menoleh sekilas ke
“Sebentar lagi, kalian akan tahu dengan mata kepala sendiri,” kata Pak Brahim sembari mengarahkan mobil ke arah tanah lapang. Sejauh pandangan mata, hanya ada rumput setinggi pinggang orang dewasa.“Pak, mau ke mana?” tanya Saimah seketika.“Silakan ikuti saya. Setelah itu, Mbak Saimah harus masuk ke sebuah gubuk sendirian. Saya dan Mbak Kesi hanya bisa menunggu di luar. Hanya Mbak Saimah yang bisa lakukan hal tersebut,” ungkap Pak Brahim sambil mencari tempat parkir tersembunyi.Penjelasan Pak Brahim sempat membuat kedua wanita sedikit menciut nyalinya. Mereka di tempat asing dengan diantar oleh orang tak dikenal, meski raganya dirasuki ruh Pak Brahim. Kesi mencolek lengan Saimah.“Apa?” tanya Saimah sambil menoleh ke arah wanita berkulit hitam manis tersebut.Kesi pun segera berbisik,”Aku mikir, ini jebakan.”Saimah seketika tersenyum sambil mengangguk. Sementara Pak Brahim dalam wujud orang lain paham dengan sikap ragu-ragu kedua wanita. Pria ini menghentikan langkah kaki lalu ber
“Terus gimana?” tanya Kesi sambil melirik ke arah Pak Brahim. Dia masih punya rasa curiga terhadap pria berjiwa Pak Brahim tersebut.“Habis ini, aku mencari keberadaan Mas Sarto. Aku akan mengeluarkan sedikit jurus rayuan,” urai Saimah.“Sampai di sini, aku sudah tahu arahnya. Yodah, buruan lakuin. Udah jam berapa ini?” Sehabis berucap Kesi mengambil keputusan ponsel dari dalam tas. Sesaat kemudian, jemari tangannya mengetuk layar.“Ya, ampun, Im. Udah jam 10,” ucap Kesi yang mulai panik.“Emang udah larut. Gak perlu khawatir. Aku udah kirim pesan ke Mas Badrun dan Mas Parman.”“Kamu bilang apa ke mereka, Im?”“Aku bilang, ada Mas Sarto di hotel. Kita sembunyi di rumah teman dulu. Mas Parman akan cek keberadaan Mas Sarto katanya.”“Kalo gitu aku mau kasih kabar Mas Badrun,” balas Kesi yang segera mengetik sebuah pesan di ponsel.“Aku mau cariin Mas Sarto dulu,” ucap Saimah yang akan segera berlalu, tetapi dikejutkan oleh bunyi ponsel.Wanita ini mengurungkan niat akan beranjak pergi.
“Jasad terbakar itu bukan saya. Kamu itu orang baik yang salah ambil jalan. Mumpung masih punya waktu, kembalilah!”Pak Brahim menyeka bekas air mata Saimah dengan ujung jari. Kemudian, pria ini tersenyum. “Ayo, buruan tuntaskan tugas kamu! Saya tunggu di sini. Oh, ya. Ini air yang harus kamu bawa.”Saimah pun cekatan menerima sebotol air berwarna keabu-abuan. Kemudian, ia dengan setengah berlari menuju area pemakaman. Langkah kakinya lalu menuju sebuah bangunan kecil yang berada di bagian belakang makam. Wanita tersebut untuk beberapa saat mengamati seorang pria yang sedang duduk bersila dengan mata terpejam.Saimah mendatangi Sarto dengan langkah kaki berjingkat. Kini wanita berkuncir kuda tersebut telah tepat di belakang Sarto. Tampaknya Sarto sedang fokus bersemedi. Saimah berjingkat ke samping dan melihat kedua mata pria mantan partner ritualnya terpejam.Pria yang sedang bersila tersebut nyaris tak terdengar embusan napasnya. Saimah segera mempersiapkan ritual seperti arahan Pak
“Lokasi tujuan sesuai peta, Bu?” tanya sopir taksi yang mengagetkan Saimah yang sedang melamun. “Eh, iya, Pak. Benar,” jawabnya singkat. Betapa kaget hati Saimah saat dirinya melihat sosok sopir taksi dari pantulan kaca spion. Pria berbeda dengan ekspresi wajah yang sangat familiar untuknya. Kok bisa? Tanya Saimah tanpa berani terlontar langsung kepada yang bersangkutan.“Tenang, Mbak. Saya sudah jinak,” ucap si pengemudi. Hal barusan, tentu saja membuat Saimah kaget.“Maksudnya?” tanya Saimah yang tak menyangka bahwa si pengemudi tahu jalan pikiran dia.“Saya sudah tahu dalam pikiran Mbak Saimah. Sebaiknya, saya terus terang saja.”“Kalo boleh tau, kita pernah bertemu sebelumnya?”tanya Saimah hanya ingin memastikan perkiraannya. Dia punya dua sosok yang pantas dicurigai sebagai perasuk tubuh sopir.Pria di belakang kemudi langsung menatap ke kaca spion. “Mbak Saimah beneran gak mengenali saya?”Wanita yang disebut pun seketika menggelengkan kepala. Dia sengaja tak ingin melontarka
“Lebih baik kamu masuk sendiri, Dek,” balas Parman lirih. Setelah mereka menyapa seorang perawat yang baru keluar dari bilik. Pria ini berharap Kesi akan lebih terbuka jika ngobrol dengan sesama wanita. Oleh karena sebelum Kesi mengetuk pintu kamar Parman untuk minta tolong, terdengar suara ribut dari kamar sebelah. Ada suara wanita selain Kesi dan getaran yang hebat hingga bergema ke kamar Parman. Saimah seketika paham dengan melihat ekspresi wajah suaminya. Ada hal luar biasa yang terjadi terhadap pasangan calon pengantin tersebut. “Iya, deh. Tapi, Mas tunggu di sini. Gak usah ke mana-mana!” pesan Saimah yang masih merasa ada ‘sesuatu’ yang mengikutinya sedari dari halaman tempat parkir. Parman adalah pria lugu dan perhatian kepada istri. Ia pun segera tersenyum ke arah Saimah sambil merangkul bahunya. “Tumben istriku jadi manja seperti ini. Ada apa?” “Gak apa-apa. Emang gak boleh, manja sama suami sendiri?” tanya Saimah bernada menggoda. Tanggapan Saimah segera mendapat kecupa