Sinar matahari berasa menyengat hangat lalu semakin memanas. Saimah dan Parman seketika kegerahan. Di sisi lain, tubuh membeku yang terbujur mulai meleleh.Air seketika menggenang di bangku dan lantai bagian penumpang. Saimah terkejut melihatnya. Parman yang menatap lurus ke depan baru menyadari tak ada jalan yang mereka lewati. Hanya tampak warna angkasa yang biru dengan gumpalan-gumpalan awan.“Ya, ampun! Dek, lihat ke luar jendela!” suruh Parman.Saimah yang sedang menunduk memperhatikan genangan air dengan perasaan cemas, seketika mendongak dan langsung dibuat kaget. Wanita tersebut melihat tak ada ruas jalan, tak ada pepohonan dan bangunan apa pun. Taksi yang mereka tumpangi sedang terbang.“Pak, ini bukan dunia kami!” seru Saimah ke arah pengemudi.Parman menoleh ke samping dan melihat si pengemudi geming, tak menghiraukan teriakan Saimah. Pria tersebut fokus menatap depan. Tiba-tiba baik Saimah maupun Parman tak merasakan apa pun.“Mas Parman!”Sarto memanggil pria yang tergele
“Aku juga berhubungan dengan Gunung Kemukus sejak kasus Pak Sobir. Kenapa gak kena?” tanya Parman sambil memandang terenyuh ke arah Saimah dan kedua calon pengantin. Sementara itu, baik Kesi maupun Badrun hanya menunduk tanpa sepatah kata pun. Pasangan calon pengantin tersebut berangkulan dengan ekspresi sedih. “Mas tak pernah melakukan ritual di sendang. Itu yang membuat posisi Mas aman, meski tak bisa terjamin 100%.” “Apa maksudmu, Dek?” Parman memandang ke arah Saimah dengan rasa panik. “Maksudnya, siapa pun yang masuk sendang sudah pasti 100% jadi incaran Penguasa Gunung Kemukus, tapi meski tak masuk sendang karena Mas telah masuk area punden juga bisa jadi target,” jelas Saimah yang membuat Parman langsung bergidik. “Kok bisa begitu? Emang bisa ambil target tanpa perjanjian?” Parman tak terima dengan kenyataan yang harus dihadapi. Dia pun tak tahu bahwa sesungguhnya, begitu Saimah disahkan jadi pendamping ritual, risikonya sama dengan pelaku. Saimah hanya tersenyum miris mel
“Im, siapa tadi?” tanya Kesi setengah berteriak. Tampak sekali dia syok dengan kedatangan wanita tua tersebut. Badrun segera memeluk tubuh Kesi yang gemetar. Baik Parman dan Saimah yang juga tak kalah syok melihat ke sekeliling. “Ke mana dia?” tanya Saimah dengan wajah pucat pasi. “Cepat sekali,” sahut Parman kemudian. Namun, pasangan suami istri tersebut tak mendapatkan keberadaan si nenek maupun keanehan lain. Seketika Saimah teringat dengan benda pemberian wanita tua barusan. Wanita berkulit bersih ini menutup hidung lalu mengulurkannya ke arah Parman. Si pria berbadan kekar sama halnya dengan istrinya sambil menutup hidung lalu membuka bungkusan kain berwarna kumal dengan kedua tangan. “Tulang belulang dengan rambut uban!” Saimah berseru dengan membelalakkan mata. “Ini milik manusia,” ungkap Parman sambil mengorak-arik benda-benda tersebut dengan potongan kayu yang dia ambil dari tanah. “Buruan bungkus, Mas. Baunya,” sahut Saimah dengan menahan napas lalu cekatan mengikat k
‘Bruumm ...!’ Tiba-tiba dari kap depan, api berkobar lalu secepat kilat membakar habis seluruh bodi mobil. “Auch ...!” jerit Sarto lalu menghilang ditelan oleh keramaian orang yang berbondong-bondong menghampiri tempat kejadian perkara. Musibah yang terjadi tak jauh dari ruko memicu rasa penasaran Saimah dan yang lain. Keempat orang tersebut segera berlari ke arah kerumunan warga. Namun, saat mereka sampai di sana, para warga sedang bengong mengamati bekas mobil yang terbakar. Dalam kendaraan tak ditemukan jasad si pengemudi. “Kita balik ke ruko saja. Bentar lagi polisi datang,” ujar Saimah mengajak yang lain untuk segera menghindari masalah. “Sebaiknya kita langsung ke hotel yang dipesan kamu, Dek,” saran dari Parman yang dirasa lebih efisien. Kesi dan Badrun yang mendengar ide dari pasutri tersebut segera saling berbisik. Kemudian saat langkah kaki mereka berhenti di depan ruko, barulah Kesi bersuara. “Kami mau ambil barang-barang di kamar dulu, Mas Parman, Im.” “Oh, ya, ya.
Pesan yang dikirim oleh Saimah telah dibaca Pak Brahim. Terbukti tanda centang dua telah berwarna biru. Terdengar tawa lepas dari bangku pengemudi. Keempat penumpang kaget dan langsung berpandangan. Mereka pun serentak menatap spion, kecuali Parman yang langsung bisa menatap ke samping. “Sudah sampe tujuan. Silakan periksa barang bawaan agar tak ada yang tertinggal.” Pengemudi dengan suara lantang memberi peringatan kepada para penumpang. Saimah segera mengambil bungkusan plastik dari dalam tas dan langsung menaruh di pojok bangku. Keempat penumpang turun tepat di depan lobby hotel. Satu per satu dari mereka bersalaman dengan Pak Brahim. “Jaga diri kalian. Waktu saya sudah habis,” ucap Pak Brahim kepada mereka. Sesaat Pak Brahim akan masuk mobil, Saimah berjalan menghampiri. “Bagaimana membalas kebaikan Bapak?” tanya Saimah dengan pandangan sendu. “Hancurkan ruko itu! Hentikan korban tumbal,” jawab Pak Brahim dan seketika lenyap dari pandangan. Saimah terpaku tanpa bisa berkata-
“Terima kasih, Mbah,” balas Saimah langsung memeluk lelaki tua tersebut. “Aku sudah puluhan tahun tak melakukannya,” sahut kuncen yang merasa bahagia karena petualangan mereka barusan. Benar saja apa yang dikatakan oleh kuncen Gunung Kemukus. Sebulan setelah ritual khusus, Saimah telah berdiri di depan rumah mewah milik bapak dan istri simpanannya. Dalam waktu sebulan bisnis bapaknya hancur karena musibah kebakaran yang menewaskan semua karyawan yang sedang bekerja di dalamnya. Hari ini Saimah datang untuk melihat istri simpanan bapaknya yang terserang penyakit aneh yang membuat sekujur tubuh bernanah. Tampak sebuah ambulans sedang bersiap membawa wanita dengan bau busuk yang sangat menyengat tersebut ke rumah sakit. Sementara tak ada seorang pun tenaga medis yang mau mendampingi selama perjalanan, kecuali sopir. Di saat bersamaan bapak Saimah sedang digelandang oleh polisi karena kasus kebakaran yang diduga karena human error. Saimah berjalan mendekat ke arah mobil polisi yang ak
“Dek! Kamu di mana? Mbak Kesi dan Mas Badrun barusan sampe,”ucap Parman dengan nada cemas. “Iya, ya. Mas, tunggu bentar,” balas Saimah sambil mendekat ke arah ruko yang separuh bangunan telah dilahap api. Wanita ini segera bersembunyi sesaat setelah melihat beberapa warga berdatangan ke tempat kejadian. Saimah berjalan seakan-akan tak tahu soal kebakaran agak menjauh dari ruko. Kini dia telah memesan sebuah taksi. Belum juga dapat balasan dari aplikasi penyedia layanan antar jemput, sebuah taksi telah mendekat. “Silakan masuk Bu Saimah,” ucap pengemudi taksi dari balik kaca yang telah diturunkan. “Cepet bener, Pak. Baru juga selesai menelepon,” balas Saimah sembari mengamati ID Card pengemudi yang menempel pada dashboard. Emang benar dia, batin Saimah sambil melihat data pengemudi di aplikasi. Tanpa ragu, dia pun segera membuka pintu penumpang bagian belakang. “Selamat menikmati perjalanan kita menuju hidup abadi,” ucap pengemudi diiringi tawa melengking. Saimah pun kaget begit
Sarto yang tak terima pasangan calon pengantin dibawa kabur Pak Brahim. Pria berumur 35 tahun tersebut mengejar dengan berteriak. “Tua bangka tak tahu diri. Kamu selalu menghalang-halangiku untuk mendapatkan Saimah. Kau itu sudah bangkai!” Namun, Pak Brahim tak menghiraukan teriakan Sarto. Bahkan gumpalan asap berisi tubuh kedua calon pengantin yang beku dilenyapkan dari pandangan kasat mata. Saimah tampak serius mendengarkan cerita Kesi. Dia resapi setiap kata yang terucap dari kedua bibir wanita hitam manis tersebut. “Bentar, bentar, Kes!” Kesi segera berhenti bicara lalu menatap ke arah Saimah. “Kenapa?” “Mas Sarto bilang Pak Brahim bangkai?” tanya Saimah dengan kedua mata berbinar-binar. “Ya, emang. Aneh, kamu. Bangkai itu mayat. Bahagia gitu?” Kesi memandang heran ke arah Saimah yang tampak berseri-seri wajahnya. Saimah tersenyum lalu berucap,”Yang kita telan kemarin, abu biasa. Pak Brahim masih ada.” Kesi bingung seketika mendengar penjelasan sahabat karibnya tersebut. K
"Dapat foto dari mana?"tanya Kesi yang mengambil alih ponsel. Kini kedua matanya menatap foto dalam ponsel lalu mengangguk-anggukkan kepala. Ia yakin akan yang dipikirkannya."Mas Parman dapat cincin dari mayat di belakang toko Pak Trenggono.""Serius, Im?"tanya Kesi dengan mata membulat."Serius. Aku dan Mas Parman sempat liat Pak Trenggono datang bareng Kuncen,"ungkap Saimah yang semakin membuat kedua mata Kesi semakin terbelalak."Pak Trenggono pelaku ritual juga?"tanya Kesi dengan bola mata menatap lekat foto cincin di ponsel yang dipegangnya.Wanita berkulit hitam manis ini tampak mengerutkan dahi. Beberapa saat kemudian, Kesi meneteskan air mata. Ia ingat sesuatu. Saimah yang melihat hal tersebut langsung bertanya,"Punya siapa?"Kesi mendongak lalu mengusap buliran bening dengan ujung jari. Wanita hitam manis ini menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan-pelan. Tampak sekali, ada beban berat yang sedang ingin ia lepaskan. Kesi menatap Saimah dengan kedua bola mata masih berk
"Bisa terbuka, Dek!"seru Parman dengan raut wajah lega."Syukurlah, Mas. Kita bisa keluar lagi," balas Saimah dengan kedua mata berbinar-binar.Parman kembali mundur lalu memukul permukaan pohon dengan keras. Seketika terdengar.'Braaakk!'Pasangan suami istri tersebut saling berpandangan dengan raut wajah senang. Keduanya segera balik badan lalu beranjak semakin masuk. Mereka berada dalam sebuah lorong panjang dengan cahaya terang di ujung. Mereka melangkah hati-hati sembari mata awas mengamati sekeliling. Mereka khawatir bahwa lorong yang dilewati terpasang jebakan.Setelah mereka melewati lorong sepanjang dua puluh meter, akhirnya sampai di ujung lorong. Saat pasangan suami istri ini menginjakkan kaki di tanah selepas lorong, betapa terkejut keduanya. Ternyata, mereka berada di area halaman belakang toko Pak Trenggono. Dari kejauhan mereka bisa melihat gundukan tanah yang diduga sebagai kuburan.Ujung bawah gamis Saimah tersangkut sesuatu. Wanita ini langsung menghentikan langkah l
"Mobilnya ada di mana?"tanya polisi lagi."Sudah pergi, Pak," ucap Kesi.Badrun yang tahu kondisi labil yang sedang dialami oleh Kesi dengan segera memeluk istrinya. Dengan nada lirih, pria tersebut mengungkap,"Maaf, Pak. Istri saya melihat penampakan seperti bayangan.""Begitu rupanya,"balas polisi yang lalu menutup wadah berisi kedua benda. "Sebaiknya Bapak dan Ibu membuat laporan ke kantor polisi. Ini bisa sebagai barang bukti.""Baik, Pak," ucap Kesi yang langsung direspons anggukan kepala oleh Badrun.Tak berapa lama empat orang polisi datang dari arah tempat pemulasaran jenazah dengan membawa kontainer box berisi barang-barang bukti. Akhirnya para polisi tersebut berpamitan kepada Kiai Ahmad untuk kembali ke kantor. Saimah dan Kesi bersama pasangan mereka ikut serta berpamitan. Keempatnya akan membuat laporan ke polisi.Empat orang tersebut menumpangi taksi menuju ke kantor polisi. Saat di tengah perjalanan, tiba-tiba Saimah meminta berhenti. Ia dan Parman ada suatu keperluan. A
"Lisa, kamu harus bisa bertahan. Bulek akan mengeluarkan kamu!" teriak Kesi histeris.Teriakan wanita berkulit hitam manis tersebut tak urung menarik perhatian semua orang yang ada di dalam toko. Badrun yang pertama kali menghampiri Kesi lalu memeluknya."Dek, sabar. Pak Trenggono sedang menelepon karyawannya," ucap Badrun yang berusaha menenangkan istrinya.Sesaat kemudian, Saimah dan Parman menyusul keluar. Kedua orang tersebut mendekat dengan ekspresi heran. Pak Trenggono pun ikut keluar masih dengan keadaan menelepon. Pria pemilik toko seketika kaget melihat perilaku Kesi yang sedang mengintip dalam mobil. Ia segera mengakhiri hubungan telepon lalu mendekat ke arah mobil."Ada apa ini?"tanya Pak Trenggono sambil memandang ke arah Kesi dengan tatapan tak wajar."Maaf, Pak. Barusan istri saya liat keponakannya ada dalam mobil," jawab Badrun sambil merangkul Kesi untuk menjauh dari kaca."Keponakan? Siapa?"tanya Pak Trenggono sambil mengusap sisi kaca yang barusan diintip oleh Kesi.
"Kes, ada apa?"tanya Saimah saat sudah berdiri dekat Kesi."Aku lihat bayangan Lisa menghilang di sini, Im. Kamu dengar, dia berteriak kesakitan. Di bawah sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk gundukan tanah tersebut.Saimah ikut berjongkok lalu mengamati tanah basah yang dipenuhi taburan berbagai macam bunga yang telah layu. Wanita ini tak mendengar suara apa pun. Namun, dirinya tak menyangkal bahwa bagi mereka yang terbiasa berhubungan dengan hal-hal gaib akan bisa merasakan sebuah kejanggalan dengan kasus ini.Ia yakin Lisa telah meninggal dunia dan jasadnya masih tersembunyi. Saimah menoleh ke arah Kesi lalu bertanya,"Kes, kamu dengar apa?""Lisa kesakitan, Im. Dia ada di sini," jawab Kesi sambil menepuk-nepuk tanah di depannya. Ia menangis terisak-isak lalu mengais tanah tersebut.Saimah yang melihat hal tersebut segera memegang kedua tangan Kesi. "Kes, ini tanah orang. Kita harus minta izin ke pemiliknya dulu," ucap Saimah sambil membersihkan kedua tangan Kesi yang belepotan d
"Ke mana Lisa? Baru saja aku suruh duduk situ. Bantu aku mencarinya, Im. Kasian dia!"Saimah yang mendengar ucapan Kesi, tak bisa menahan rasa haru. Ia memeluk erat tubuh Kesi. "Kamu yang tabah! Ada aku, Mas Parman, suamimu dan para penghuni pondok yang sayang kamu.""Aneh, kamu, Im! Yang perlu disemangati itu Lisa. Bukan aku. Tolong, bantu cari Lisa!" pinta Kesi dengan nada jengkel.Tampak Badrun berlari menghampiri kedua wanita. Pria tersebut segera memeluk tubuh Kesi erat lalu mengecup kening istrinya."Dek, ayo buruan ke pemulasaran jenazah. Ditunggu ustazah dan santriwati," ucap Badrun.Kesi yang tak mengerti masalahnya, semakin bingung dengan perilaku suaminya. Ia memandang wajah Badrun dan ada raut kesedihan di kedua mata."Tadi Saimah. Sekarang Mas. Pada kenapa kalian? Ada kejadian apa?" tanya Kesi sambil memandang kedua orang bergantian."Mas, temani Kesi ke sana. Aku mau bersiap dengan yang lain," ucap Saimah seraya menepuk bahu Kesi pelan."Ya, Mbak. Kami segera menyusul," b
"Ya, Allah! Saya kenapa di sini?"tanya Badrun dengan ekspresi bingung."Assalammu'alaikum," ucap salam oleh santri yang langsung dibalas Badrun dengan buliran bening menyembul dari dua sudut mata."Alhamdulillah! Sampeyan masih dilindungi oleh Allah, Mas," ucap santri sambil tersenyum.Parman langsung memeluk tubuh Badrun yang berguncang hebat karena terharu sekaligus rasa syukur. Ketiga pria berjalan menuju masjid. Santri tersebut membantu membersihkan tubuh Badrun dari gangguan setan dengan rukiah.Sementara itu tubuh pasangan mesum yang berada di atas brankar segera dibawa ke tempat tertutup di belakang aula. Para santri dengan dipimpin oleh Ustaz Hamid membacakan doa untuk memulihkan keadaan pasangan tersebut. Di saat yang sama, Kiai Ahmad mengikat tubuh Kuncen dengan doa khusus lalu membawanya ke arah asrama putra."Aku senang Mas Badrun cepat tertolong. Kita ini adalah target dari Ratu,"ucap Kesi sambil fokus memandang satu arah.Ia melihat beberapa para santri yang berjalan dar
"Maaf, Kiai dan Ustaz. Kami barusan melihat ...."Akhirnya meluncur cerita Parman tentang aktivitas Aldi dan Lisa dalam ruang persemayaman jenazah."Astaghfirullahaladzim!" seru kedua pria bersamaan."Bagaimana mungkin mereka bisa di sana?" tanya Kiai Ahmad sambil memilin biji-biji tasbih."Saya pikir Lisa terkena hipnotis, Kiai. Jika dalam keadaan sadar, tak mungkin dia mau melakukan hal tersebut. Apalagi Aldi adalah pelaku ritual pesugihan. Ini salah satu ritual penutup baginya. Kenapa Lisa yang jadi target? Kasian dia," urai Saimah dengan ekspresi yang tampak kesal. Dia harus segera kasih tahu hal ini kepada Kesi."Maaf, saya harus ke Kesi dulu. Assalammu'alaikum," ucap Saimah yang segera berlalu tanpa mendengarkan jawab salam ketiga pria.Saimah berlari sekencang mungkin. Insiden yang terjadi terhadap Lisa adalah benar-benar darurat. Pada saat wanita berparas ayu khas Jawa ini sampai, terlihat Kesi sedang bersiap akan keluar ruangan. "Kebetulan kamu datang, Im. Ayo, ikut aku!"aja
"Assalammu'alaikum!""Wa'alaikumussalam!" jawab kedua wanita dengan suara kencang.Saimah yang mendengarkan suara familer tersebut bergegas bangkit lalu berjalan ke arah pintu. Ia segera membuka gerendel pintu. Begitu terbuka, Parman tersenyum ke arah istrinya.Saimah buru-buru bertanya, "Gimana, berhasil?""Alhamdulillah. Berhasil bawa pergi Dokter Anita dan ponakan Mbak Kesi," balas Parman sambil mengulurkan sebuah botol kecil berisi cairan hitam ke Saimah."Dapat dari mana, Mas?"tanya Saimah dengan ekspresi terkejut. Ia segera menyimpan botol dalam saku."Dapat dari santri depan aula. Katanya dari Kiai buat penjagaan diri," balas Parman dengan wajah datar."Cuma Mas yang dikasi, kan?""Enggak. Mas Badrun juga dapat. Bilangnya, diusapkan ubun-ubun dan telapak kaki."Saimah segera menoleh ke arah Kesi lalu berucap,"Kesi, kamu sendirian, gak apa?""Mau ke mana, Im?""Mas Parman dan suamimu dapat cairan setan lagi. Aku mau lapor ke Kiai.""Tolong, buruan kasih tahu Mas Badrun, Im!"Sai