Rasa pusing di kepalanya membuat Kiana terusik. Dia melenguh seraya memegangi kepalanya, hingga perlahan matanya mulai terbuka. Manik matanya melihat sekeliling ruangan. Langit-langit kamar yang berbeda dan ranjang besar yang hanya ada dirinya saja. Matahari pun tampak sudah memancar dari luar jendela, namun karena ruangan itu masih tertutup gorden, sinarnya sama sekali tidak bisa menembus masuk.
Untuk sesaat, Kiana terdiam dan memikirkan apa yang terjadi padanya saat ini. Kenapa dia bisa ada di kamar asing dan di mana keberadaan Andrew? Semua pertanyaan itu berkelebat dalam benaknya sampai sebuah ingatan tiba-tiba muncul dan membuat Kiana terdiam. Matanya melotot dengan wajah memutih. Rasa kantuknya mendadak hilang. Kiana mengingat kejadian semalam saat seseorang menarik dan membiusnya. Orang yang dia ketahui adalah orang yang sama saat dulu memasuki apartemennya. Setelahnya, Kiana tidak mengingat apa pun lagi. Dia lupa segalanyJika ada orang yang paling berengsek di dunia ini, mungkin Rafael 'lah orangnya. Usai menahan Kiana, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak memedulikannya lagi. Kiana harus terkurung, bahkan tanpa menyentuh makanannya sedikit pun. Dia takut kalau Rafael kembali meracuni atau mencampurkan sesuatu ke dalam makanannya. Laki-laki itu gila. Kiana bahkan tidak memiliki salah apa pun padanya, tapi harus mendapat perlakuan tak mengenakkan seperti ini. Walaupun demikian, Kiana sedikit bersyukur saat Rafael tidak membawanya ke rumah sakit jiwa. Sayangnya, dia belum tahu apa yang sedang Rafael rencanakan untuknya saat ini. Kiana harus menemukan cara untuk bisa bebas sebelum dirinya menjadi sasaran kebencian Rafael. Kenapa hidupnya hanya terus terkurung? Kiana seperti burung yang hanya berpindah sangkar saja. Dia tidak pernah bisa untuk terbang bebas dan menikmati kehidupannya sendiri. Dia seolah telah kehilangan hak untuk menentukan kehidupannya.
Rafael berendam di air hangat. Dia memejamkan matanya sembari berusaha memuaskan dirinya yang tadi sempat dibuat tegang oleh Kiana. Kacau. Semuanya benar-benar kacau. Rafael begitu lupa tentang tujuannya menemui Kiana. Sungguh sial karena dia tergoda dengan tubuh wanita itu. Bagaimana mungkin? Rafael tidak boleh terlibat atau berhubungan badan dengan Kiana. Dia tidak boleh tergoda dan melewati batas hingga melupakan tujuan utamanya. Kiana adalah mangsanya. Orang yang harus dia buat menderita. Namun betapa bodohnya dia malah berpikir untuk membawa wanita itu naik ke ranjangnya. Mungkin memang benar, semua ini efek dari godaan yang dilakukan oleh Mili. Wanita itu masih mengincar dan mengejar-ngejarnya kemarin, padahal pertunangannya dengan Marcel sudah diputuskan. Namun dengan tidak tahu dirinya, Mili terus memintanya kembali atau memang, sebenarnya Kiana terlalu menggoda? Apa pun itu, Rafael tidak menampik kalau tubuh Kiana berkali-kali
Hari berikutnya, Kiana hanya bisa terdiam di dalam kamar yang telah disediakan Rafael. Dia cukup syok akan kejadian semalam. Kepalanya masih memikirkan tentang wanita itu. Mili. Kiana tidak pernah bisa membayangkan bagaimana perasaan sakit hati yang dirasakan Mili, mungkin sama seperti apa yang dirasakannya pada Arkan dulu. Satu hal lagi, dia baru pertama kali melihat sisi Rafael yang seperti ini. Padahal sewaktu di rumah sakit, laki-laki itu sedikit berbeda. Namun ternyata, kata-kata atau bahkan perilakunya begitu buruk. Apa selama ini, laki-laki itu selalu menyembunyikan kepribadian buruknya? Benar-benar manusia sampah. Ya, mungkin memang seperti itu. Siapa yang mau namanya menjadi buruk? Setiap orang pasti menjaga citranya agar terlihat baik di depan publik, begitu juga dengan Rafael. Kiana menghembuskan napasnya kasar. Dia melirik ke arah pintu keluar. Beberapa hari di sini saja, sudah cukup membosankan. Kian
Dalam tidurnya, Kiana merasakan benda dingin menyentuh dadanya. Memeriksa denyut jantungnya sampai telinganya mendengar percakapan dua orang laki-laki. Kiana tidak terlalu jelas mendengarnya. Namun entah mengapa, dia juga tidak bisa membuka mata padahal saat ini dia tengah sadar. Kiana hanya merasa, tubuhnya seolah lemas tak bertenaga. Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya tadi dia berhasil memancing kegaduhan dan pelayan pun datang? Kenapa kini dirinya masih terbaring lemah tak berdaya? Kiana hanya bisa mendengar suasana di sekitarnya lewat sebuah suara. Langkah kaki yang seperti menjauh sampai sebuah tangan yang menyentuh lengannya. Kekar dan kuat. "Kau memang memiliki nyali yang besar untuk melarikan diri, tapi sayangnya, tidak semudah itu bisa lepas dariku." Remasan kuat yang diterimanya di bagian lengan membuat dahi Kiana berkerut. Bibirnya refleks meringis hingga beberapa saat, cengkeraman
Rafael menatap mamanya yang sedang dibawa berkeliling oleh salah satu perawat dari jauh. Mamanya sudah ada sedikit perubahan, walaupun masih tetap tidak mau bicara. Hanya mendengarkan namun tidak bereaksi saat ditanya. Apakah kematian dan pengkhianat papanya memang bisa menimbulkan efek sebesar ini? Apakah cinta memang bisa membuat orang-orang menjadi bodoh lalu berakhir gila? Rasanya, Rafael ingin sekali memarahi mamanya dan berkata kalau wanita itu masih bisa hidup! Dia tidak akan melarang jika mamanya ingin menikah lagi, asal jangan seperti ini. Jangan membuat Rafael menjadi sakit. Membuatnya menjadi benar-benar membenci ayah berengseknya. Cinta? Dia rasa, hal konyol semacam itu hanya bisa menjadi pengganggu dan membuat mamanya menjadi gila. Semua yang tadinya terlihat seperti sebuah kebahagiaan, ternyata malah berakhir dengan kesengsaraan. Rafael sungguh jijik dengan hal itu. Dia bersumpah untuk membuang jauh-jauh perasaan menjijik
Kiana tidak bisa tenang berada di dalam kamarnya. Dia sangat gelisah bukan main. Syarat untuk keluar adalah memohon pada Rafael, namun dia sangat enggan. Harga dirinya terluka jika Kiana melakukan itu. Alhasil, sampai saat ini dia terus terkurung di kamarnya. Tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai karena gelisah bukan main, Kiana perlahan mendekati pintu dan mengetuknya beberapa kali. Berharap sang pelayan masih ada di sana dan mendengarnya. "Kalau kau ada di sana, kumohon bebaskan aku atau tolong panggilkan Rafael. Aku ingin bicara dengannya." Suara Kiana terdengar cukup nyaring, namun sang pelayan yang memang ada di balik pintu sama sekali tidak bergeming. Membuat usaha Kiana sia-sia. "Hei! Kau tuli, ya? Buka pintu dan panggilkan Rafael! Aku ingin bicara sesuatu dengannya." Tetap tidak ada jawaban. Kiana yang kesal, ingin sekali membanting pintu itu. Sampai kemudian, dia ha
"Bangun! Cepat bangun!" Suara pekikan diiringi dengan tarikan selimut itu, membuat Kiana yang asyik terlelap mulai membuka matanya dalam sekejap. Dia mendapati dua orang pelayan membangunkannya sambil berkacak pinggang. Kiana hanya mengernyit heran. Sungguh, kepalanya sakit karena dibangunkan secara mendadak seperti ini. "Ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak?" Ada nada kesal terdengar dari suara Kiana. Pelayan kurang ajar itu mengganggu tidurnya. Padahal Kiana haru bisa tidur nyenyak setelah mengalami mimpi buruk semalam. "Siapkan sarapan untuk Tuan! Cepat!" "Kenapa harus aku? Kau saja sendiri yang buat," balas Kiana dengan kesal saat salah satu pelayan dengan seenaknya menyuruh dia menyiapkan makanan untuk Rafael. "Jangan angkuh! Kau itu pelayannya sekarang! Cepat siapkan makanan dan temui Tuan Rafael." Kali ini, kesadaran Kiana telah pulih sepenuhnya. Dia mengingat apa yang terjad
Entah kesialan macam apa yang menimpanya. Rafael sampai harus menahan marah dari semenjak pagi hingga dia pulang ke rumah sang kakek. Masalahnya dengan Mili baru saja selesai dan dia harus mengurus masalah baru lagi. Keinginan sang kakek yang tidak bisa diganggu gugat. Dari tempat duduknya, Rafael bisa merasakan tatapan penuh kemarahan di wajah pamannya, Mario. Pamannya yang serakah itu tampak sangat kesal karena keputusan ayahnya yang masih bersikukuh menjadikan Rafael sebagai orang yang diberi tanggung jawab mengurus perusahaan. Sementara Marcel hanya diberi tugas untuk menjadi pimpinan kepala cabang, bukan pimpinan utama. Meski Marcel akan menjadi tunangan Mili, namun sepupunya itu tetap tidak diberi izin untuk mendapatkan hak penuh atas perusahaan utama. Kakeknya masih ragu apakah Marcel bisa dipercaya atau tidak. Semua itu harusnya tidak ada hubungannya dengan Rafael. Akan tetapi, sialnya dia sudah berkata tidak menginginkan semua