Hari berikutnya, Kiana hanya bisa terdiam di dalam kamar yang telah disediakan Rafael. Dia cukup syok akan kejadian semalam. Kepalanya masih memikirkan tentang wanita itu. Mili. Kiana tidak pernah bisa membayangkan bagaimana perasaan sakit hati yang dirasakan Mili, mungkin sama seperti apa yang dirasakannya pada Arkan dulu.
Satu hal lagi, dia baru pertama kali melihat sisi Rafael yang seperti ini. Padahal sewaktu di rumah sakit, laki-laki itu sedikit berbeda. Namun ternyata, kata-kata atau bahkan perilakunya begitu buruk. Apa selama ini, laki-laki itu selalu menyembunyikan kepribadian buruknya? Benar-benar manusia sampah. Ya, mungkin memang seperti itu. Siapa yang mau namanya menjadi buruk? Setiap orang pasti menjaga citranya agar terlihat baik di depan publik, begitu juga dengan Rafael. Kiana menghembuskan napasnya kasar. Dia melirik ke arah pintu keluar. Beberapa hari di sini saja, sudah cukup membosankan. KianDalam tidurnya, Kiana merasakan benda dingin menyentuh dadanya. Memeriksa denyut jantungnya sampai telinganya mendengar percakapan dua orang laki-laki. Kiana tidak terlalu jelas mendengarnya. Namun entah mengapa, dia juga tidak bisa membuka mata padahal saat ini dia tengah sadar. Kiana hanya merasa, tubuhnya seolah lemas tak bertenaga. Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya tadi dia berhasil memancing kegaduhan dan pelayan pun datang? Kenapa kini dirinya masih terbaring lemah tak berdaya? Kiana hanya bisa mendengar suasana di sekitarnya lewat sebuah suara. Langkah kaki yang seperti menjauh sampai sebuah tangan yang menyentuh lengannya. Kekar dan kuat. "Kau memang memiliki nyali yang besar untuk melarikan diri, tapi sayangnya, tidak semudah itu bisa lepas dariku." Remasan kuat yang diterimanya di bagian lengan membuat dahi Kiana berkerut. Bibirnya refleks meringis hingga beberapa saat, cengkeraman
Rafael menatap mamanya yang sedang dibawa berkeliling oleh salah satu perawat dari jauh. Mamanya sudah ada sedikit perubahan, walaupun masih tetap tidak mau bicara. Hanya mendengarkan namun tidak bereaksi saat ditanya. Apakah kematian dan pengkhianat papanya memang bisa menimbulkan efek sebesar ini? Apakah cinta memang bisa membuat orang-orang menjadi bodoh lalu berakhir gila? Rasanya, Rafael ingin sekali memarahi mamanya dan berkata kalau wanita itu masih bisa hidup! Dia tidak akan melarang jika mamanya ingin menikah lagi, asal jangan seperti ini. Jangan membuat Rafael menjadi sakit. Membuatnya menjadi benar-benar membenci ayah berengseknya. Cinta? Dia rasa, hal konyol semacam itu hanya bisa menjadi pengganggu dan membuat mamanya menjadi gila. Semua yang tadinya terlihat seperti sebuah kebahagiaan, ternyata malah berakhir dengan kesengsaraan. Rafael sungguh jijik dengan hal itu. Dia bersumpah untuk membuang jauh-jauh perasaan menjijik
Kiana tidak bisa tenang berada di dalam kamarnya. Dia sangat gelisah bukan main. Syarat untuk keluar adalah memohon pada Rafael, namun dia sangat enggan. Harga dirinya terluka jika Kiana melakukan itu. Alhasil, sampai saat ini dia terus terkurung di kamarnya. Tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai karena gelisah bukan main, Kiana perlahan mendekati pintu dan mengetuknya beberapa kali. Berharap sang pelayan masih ada di sana dan mendengarnya. "Kalau kau ada di sana, kumohon bebaskan aku atau tolong panggilkan Rafael. Aku ingin bicara dengannya." Suara Kiana terdengar cukup nyaring, namun sang pelayan yang memang ada di balik pintu sama sekali tidak bergeming. Membuat usaha Kiana sia-sia. "Hei! Kau tuli, ya? Buka pintu dan panggilkan Rafael! Aku ingin bicara sesuatu dengannya." Tetap tidak ada jawaban. Kiana yang kesal, ingin sekali membanting pintu itu. Sampai kemudian, dia ha
"Bangun! Cepat bangun!" Suara pekikan diiringi dengan tarikan selimut itu, membuat Kiana yang asyik terlelap mulai membuka matanya dalam sekejap. Dia mendapati dua orang pelayan membangunkannya sambil berkacak pinggang. Kiana hanya mengernyit heran. Sungguh, kepalanya sakit karena dibangunkan secara mendadak seperti ini. "Ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak?" Ada nada kesal terdengar dari suara Kiana. Pelayan kurang ajar itu mengganggu tidurnya. Padahal Kiana haru bisa tidur nyenyak setelah mengalami mimpi buruk semalam. "Siapkan sarapan untuk Tuan! Cepat!" "Kenapa harus aku? Kau saja sendiri yang buat," balas Kiana dengan kesal saat salah satu pelayan dengan seenaknya menyuruh dia menyiapkan makanan untuk Rafael. "Jangan angkuh! Kau itu pelayannya sekarang! Cepat siapkan makanan dan temui Tuan Rafael." Kali ini, kesadaran Kiana telah pulih sepenuhnya. Dia mengingat apa yang terjad
Entah kesialan macam apa yang menimpanya. Rafael sampai harus menahan marah dari semenjak pagi hingga dia pulang ke rumah sang kakek. Masalahnya dengan Mili baru saja selesai dan dia harus mengurus masalah baru lagi. Keinginan sang kakek yang tidak bisa diganggu gugat. Dari tempat duduknya, Rafael bisa merasakan tatapan penuh kemarahan di wajah pamannya, Mario. Pamannya yang serakah itu tampak sangat kesal karena keputusan ayahnya yang masih bersikukuh menjadikan Rafael sebagai orang yang diberi tanggung jawab mengurus perusahaan. Sementara Marcel hanya diberi tugas untuk menjadi pimpinan kepala cabang, bukan pimpinan utama. Meski Marcel akan menjadi tunangan Mili, namun sepupunya itu tetap tidak diberi izin untuk mendapatkan hak penuh atas perusahaan utama. Kakeknya masih ragu apakah Marcel bisa dipercaya atau tidak. Semua itu harusnya tidak ada hubungannya dengan Rafael. Akan tetapi, sialnya dia sudah berkata tidak menginginkan semua
Kiana harus menanggalkan seluruh pakaiannya dan mandi malam-malam karena insiden yang terjadi barusan. Kuah mie yang tak sengaja jatuh dan menyiramnya cukup panas sekaligus membuat pakaiannya kotor. Belum lagi kemarahan yang mungkin akan diterimanya nanti dari Rafael. Dia tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi padanya. Apakah dia akan diberi hukuman atau tidak? Cuaca yang memang sedang dingin tentu membuat air juga ikut dingin. Terasa menusuk saat menyentuh kulit. Namun itu tidak menyurutkannya untuk membersihkan diri. Sampai akhirnya dia selesai. Kiana lantas masuk kembali ke dalam kamar. Kali ini, dia mencari piyama tidur yang cukup tertutup. Menggantinya dengan cepat sebelum Rafael datang ke kamarnya. Akan tetapi, sepertinya laki-laki itu tidak akan datang. Rafael tidak kunjung menemuinya. Apakah itu artinya dia tidak akan dihukum atau dimarahi? Senyum simpul terbit di bibirnya, akhirnya Kiana bisa bernapas lega. Dia bisa tidur
Rafael berjalan pelan menuju ruangan milik ibunya, Firanda. Dia mematung di tempat saat melihat ibunya yang sedari tadi diam itu, mulai menoleh menatapnya. Jantung Rafael seperti akan berhenti berdetak. Matanya tampak bergetar sampai langkah kakinya dengan tegap berjalan mendekati sang ibu tercinta. Rasa tak percaya itu muncul saat melihat ibunya seperti menyadari kedatangannya. Membuatnya langsung bersimpuh di bawah lantai. "Ma ...." Seulas senyum kecil terlibat di bibir Firanda saat Rafael menyebut 'mama' padanya. Namun itu tidak berlangsung lama saat kemudian kata-kata yang meluncur setelahnya, membuat Rafael terhenyak. "Kamu siapa?" Bagai belati berkarat ditikam tepat di jantungnya. Hati Rafael mencelos. Dia sama sekali tidak mengharapkan pertanyaan itu akan keluar dari mulut ibunya. Tidak. Jangan bercanda. "Ini Rafael, Ma." "Rafael?" Terlihat kedua alis tuan
Setelah pulang kerja, Rafael memilih mengurung dirinya di dalam ruang kerja. Duduk di meja ditemani dengan beberapa botol whiskey. Laki-laki itu tampak murung sekaligus terpukul setelah mengetahui kondisi mamanya. Bahkan saat sedang bekerja pun, Rafael tidak bisa fokus. Hanya ada perasaan takut dalam hatinya kala mamanya tidak akan mengenalinya. Hilang ingatan? Entahlah, Rafael rasa tidak. Akan tetapi, bagaimana mungkin mamanya bisa berkata kalau dia sudah mati? Bukankah itu cukup keterlaluan? Walau bagaimanapun, Rafael sudah berharap tidak ada masalah lagi dengan mamanya. Dia akan benar-benar merasa bersalah karena hal ini. Semua ini gara-gara papanya yang berengsek! Rafael bahkan tidak akan lupa saat-saat menjijikan ketika papanya di atas ranjang bersama wanita lain. Dia tidak akan lupa dan ingat dengan jelas kalau saat itu, bukanlah mamanya. Mungkin ini terjadi sekitar sebelas tahun yang lalu. Ketik