Malam harinya, Kiana terbangun karena merasa haus. Tenggorokannya benar-benar kering. Di sebelahnya ada Andrew yang tertidur pulas setelah mereka melakukan kegiatan menguras tenaga. Tubuhnya yang telanjang dengan beberapa tanda kemerahan terlihat jelas. Hingga Kiana akhirnya beranjak menuju lemari untuk mengambil piyama tidurnya, membiarkan pakaian miliknya yang masih berserakan di lantai.
Sebelum pergi keluar pintu, Kiana menyempatkan diri menatap Andrew yang tidak terusik. Setelah kemarin melamarnya, Andrew menjanjikan kalau beberapa minggu lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Mendadak? Mungkin, karena Andrew hanya mengatakan kalau pernikahan itu akan terjadi secara sederhana. Tidak menarik perhatian dan tertutup. Andrew juga bilang kalau dia tidak akan mengundang orang tuanya. Kiana hanya mengiyakan karena Andrew terus memaksa dan menyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja. Entahlah, Kiana sedikit ragu tentang perkataaRasa pusing di kepalanya membuat Kiana terusik. Dia melenguh seraya memegangi kepalanya, hingga perlahan matanya mulai terbuka. Manik matanya melihat sekeliling ruangan. Langit-langit kamar yang berbeda dan ranjang besar yang hanya ada dirinya saja. Matahari pun tampak sudah memancar dari luar jendela, namun karena ruangan itu masih tertutup gorden, sinarnya sama sekali tidak bisa menembus masuk. Untuk sesaat, Kiana terdiam dan memikirkan apa yang terjadi padanya saat ini. Kenapa dia bisa ada di kamar asing dan di mana keberadaan Andrew? Semua pertanyaan itu berkelebat dalam benaknya sampai sebuah ingatan tiba-tiba muncul dan membuat Kiana terdiam. Matanya melotot dengan wajah memutih. Rasa kantuknya mendadak hilang. Kiana mengingat kejadian semalam saat seseorang menarik dan membiusnya. Orang yang dia ketahui adalah orang yang sama saat dulu memasuki apartemennya. Setelahnya, Kiana tidak mengingat apa pun lagi. Dia lupa segalany
Jika ada orang yang paling berengsek di dunia ini, mungkin Rafael 'lah orangnya. Usai menahan Kiana, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak memedulikannya lagi. Kiana harus terkurung, bahkan tanpa menyentuh makanannya sedikit pun. Dia takut kalau Rafael kembali meracuni atau mencampurkan sesuatu ke dalam makanannya. Laki-laki itu gila. Kiana bahkan tidak memiliki salah apa pun padanya, tapi harus mendapat perlakuan tak mengenakkan seperti ini. Walaupun demikian, Kiana sedikit bersyukur saat Rafael tidak membawanya ke rumah sakit jiwa. Sayangnya, dia belum tahu apa yang sedang Rafael rencanakan untuknya saat ini. Kiana harus menemukan cara untuk bisa bebas sebelum dirinya menjadi sasaran kebencian Rafael. Kenapa hidupnya hanya terus terkurung? Kiana seperti burung yang hanya berpindah sangkar saja. Dia tidak pernah bisa untuk terbang bebas dan menikmati kehidupannya sendiri. Dia seolah telah kehilangan hak untuk menentukan kehidupannya.
Rafael berendam di air hangat. Dia memejamkan matanya sembari berusaha memuaskan dirinya yang tadi sempat dibuat tegang oleh Kiana. Kacau. Semuanya benar-benar kacau. Rafael begitu lupa tentang tujuannya menemui Kiana. Sungguh sial karena dia tergoda dengan tubuh wanita itu. Bagaimana mungkin? Rafael tidak boleh terlibat atau berhubungan badan dengan Kiana. Dia tidak boleh tergoda dan melewati batas hingga melupakan tujuan utamanya. Kiana adalah mangsanya. Orang yang harus dia buat menderita. Namun betapa bodohnya dia malah berpikir untuk membawa wanita itu naik ke ranjangnya. Mungkin memang benar, semua ini efek dari godaan yang dilakukan oleh Mili. Wanita itu masih mengincar dan mengejar-ngejarnya kemarin, padahal pertunangannya dengan Marcel sudah diputuskan. Namun dengan tidak tahu dirinya, Mili terus memintanya kembali atau memang, sebenarnya Kiana terlalu menggoda? Apa pun itu, Rafael tidak menampik kalau tubuh Kiana berkali-kali
Hari berikutnya, Kiana hanya bisa terdiam di dalam kamar yang telah disediakan Rafael. Dia cukup syok akan kejadian semalam. Kepalanya masih memikirkan tentang wanita itu. Mili. Kiana tidak pernah bisa membayangkan bagaimana perasaan sakit hati yang dirasakan Mili, mungkin sama seperti apa yang dirasakannya pada Arkan dulu. Satu hal lagi, dia baru pertama kali melihat sisi Rafael yang seperti ini. Padahal sewaktu di rumah sakit, laki-laki itu sedikit berbeda. Namun ternyata, kata-kata atau bahkan perilakunya begitu buruk. Apa selama ini, laki-laki itu selalu menyembunyikan kepribadian buruknya? Benar-benar manusia sampah. Ya, mungkin memang seperti itu. Siapa yang mau namanya menjadi buruk? Setiap orang pasti menjaga citranya agar terlihat baik di depan publik, begitu juga dengan Rafael. Kiana menghembuskan napasnya kasar. Dia melirik ke arah pintu keluar. Beberapa hari di sini saja, sudah cukup membosankan. Kian
Dalam tidurnya, Kiana merasakan benda dingin menyentuh dadanya. Memeriksa denyut jantungnya sampai telinganya mendengar percakapan dua orang laki-laki. Kiana tidak terlalu jelas mendengarnya. Namun entah mengapa, dia juga tidak bisa membuka mata padahal saat ini dia tengah sadar. Kiana hanya merasa, tubuhnya seolah lemas tak bertenaga. Kenapa ini bisa terjadi? Bukankah seharusnya tadi dia berhasil memancing kegaduhan dan pelayan pun datang? Kenapa kini dirinya masih terbaring lemah tak berdaya? Kiana hanya bisa mendengar suasana di sekitarnya lewat sebuah suara. Langkah kaki yang seperti menjauh sampai sebuah tangan yang menyentuh lengannya. Kekar dan kuat. "Kau memang memiliki nyali yang besar untuk melarikan diri, tapi sayangnya, tidak semudah itu bisa lepas dariku." Remasan kuat yang diterimanya di bagian lengan membuat dahi Kiana berkerut. Bibirnya refleks meringis hingga beberapa saat, cengkeraman
Rafael menatap mamanya yang sedang dibawa berkeliling oleh salah satu perawat dari jauh. Mamanya sudah ada sedikit perubahan, walaupun masih tetap tidak mau bicara. Hanya mendengarkan namun tidak bereaksi saat ditanya. Apakah kematian dan pengkhianat papanya memang bisa menimbulkan efek sebesar ini? Apakah cinta memang bisa membuat orang-orang menjadi bodoh lalu berakhir gila? Rasanya, Rafael ingin sekali memarahi mamanya dan berkata kalau wanita itu masih bisa hidup! Dia tidak akan melarang jika mamanya ingin menikah lagi, asal jangan seperti ini. Jangan membuat Rafael menjadi sakit. Membuatnya menjadi benar-benar membenci ayah berengseknya. Cinta? Dia rasa, hal konyol semacam itu hanya bisa menjadi pengganggu dan membuat mamanya menjadi gila. Semua yang tadinya terlihat seperti sebuah kebahagiaan, ternyata malah berakhir dengan kesengsaraan. Rafael sungguh jijik dengan hal itu. Dia bersumpah untuk membuang jauh-jauh perasaan menjijik
Kiana tidak bisa tenang berada di dalam kamarnya. Dia sangat gelisah bukan main. Syarat untuk keluar adalah memohon pada Rafael, namun dia sangat enggan. Harga dirinya terluka jika Kiana melakukan itu. Alhasil, sampai saat ini dia terus terkurung di kamarnya. Tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai karena gelisah bukan main, Kiana perlahan mendekati pintu dan mengetuknya beberapa kali. Berharap sang pelayan masih ada di sana dan mendengarnya. "Kalau kau ada di sana, kumohon bebaskan aku atau tolong panggilkan Rafael. Aku ingin bicara dengannya." Suara Kiana terdengar cukup nyaring, namun sang pelayan yang memang ada di balik pintu sama sekali tidak bergeming. Membuat usaha Kiana sia-sia. "Hei! Kau tuli, ya? Buka pintu dan panggilkan Rafael! Aku ingin bicara sesuatu dengannya." Tetap tidak ada jawaban. Kiana yang kesal, ingin sekali membanting pintu itu. Sampai kemudian, dia ha
"Bangun! Cepat bangun!" Suara pekikan diiringi dengan tarikan selimut itu, membuat Kiana yang asyik terlelap mulai membuka matanya dalam sekejap. Dia mendapati dua orang pelayan membangunkannya sambil berkacak pinggang. Kiana hanya mengernyit heran. Sungguh, kepalanya sakit karena dibangunkan secara mendadak seperti ini. "Ada apa? Kenapa kalian berteriak-teriak?" Ada nada kesal terdengar dari suara Kiana. Pelayan kurang ajar itu mengganggu tidurnya. Padahal Kiana haru bisa tidur nyenyak setelah mengalami mimpi buruk semalam. "Siapkan sarapan untuk Tuan! Cepat!" "Kenapa harus aku? Kau saja sendiri yang buat," balas Kiana dengan kesal saat salah satu pelayan dengan seenaknya menyuruh dia menyiapkan makanan untuk Rafael. "Jangan angkuh! Kau itu pelayannya sekarang! Cepat siapkan makanan dan temui Tuan Rafael." Kali ini, kesadaran Kiana telah pulih sepenuhnya. Dia mengingat apa yang terjad
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal