Kiana menyiram bunga di depannya sambil melamun seorang diri di taman. Dia khawatir sekaligus tidak tenang setelah apa yang terjadi dengannya dan Rafael. Laki-laki itu, sebenarnya apa yang tengah dipikirkan? Kenapa juga perasaannya harus kacau karena Rafael? Kiana tidak mengerti, dia menjadi sangat gelisah saat memikirkan laki-laki itu. Padahal seharusnya tidak. Rafael bukan siapa-siapa baginya. Tidak ada hak untuknya peduli atau pun ikut campur dengan urusannya.
Sial. Kiana membenci semua ini. Di tengah kegiatannya yang asyik menyiram tanaman, Kiana tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah pelukan dari arah belakang. Seseorang memeluknya dengan sangat erat, sampai Kiana sendiri langsung tercekat dan menoleh. Dia mengira itu adalah Rafael, namun ternyata tebakannya salah. Orang yang saat ini sedang memeluknya adalah laki-laki yang dulu sempat hampir melecehkannya. "Sayang, kau di sini ternyata. Aku merindukanmu." &nbRafael membawa Kiana masuk ke dalam kamar dengan kasar. Usai marah-marah karena melihat Marcel menyentuh Kiana, dia membawa wanita itu kembali ke kamarnya. Jika saja Mara tidak menghubunginya dan mengatakan Marcel datang, mungkin dia akan tetap berada di rumah sakit. Sialnya, Rafael langsung bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh sepupu berengseknya. Menggoda Kiana, ya apa lagi memangnya? Karena itu, dia langsung memilih pulang. Tentu saja dugaannya benar, sepupunya sedang mencumbu Kiana dan membuatnya sangat amat marah. Ada perasaan ingin membunuh siapa pun yang menyentuh Kiana. Rafael sendiri heran dengan tingkahnya yang aneh seperti itu. Dia sampai gelap mata dan menghajar Marcel habis-habisan. Apa yang salah dengannya? Kenapa dia harus marah melihat Kiana disentuh pria lain? "Untuk beberapa waktu, jangan pernah keluar dari kamar," tegas Rafael sambil menatap tajam ke arah Kiana. Membuat wanita itu sampai menatapnya tak percaya.
Tidak ada yang bisa Kiana lakukan selain menangis sambil menatap ke luar jendela. Dia kesal dengan Rafael yang membuang sembarangan cincin pemberian Andrew. Tanpa bertanya atau bahkan peduli. Kenapa Rafael selalu bertindak semaunya? Laki-laki itu mengambil sesuatu yang bahkan sangat berharga bagi Kiana. Harapan akan kebebasan dan dia bisa hidup bahagia. Laki-laki itu sepertinya sangat senang membuatnya sedih, tapi Kiana tidak akan menunjukkan tangisnya di depan Rafael. Dia harus kuat. Dia tidak boleh menyerah begitu saja. Sampai di tengah rasa sedihnya, pintu kamar tiba-tiba dibuka. Muncullah Mara sambil membawa makan siang. Wanita tua itu tampak kasihan melihat apa yang terjadi pada Kiana. Hingga dia lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Kiana setelah menyimpan makanannya di atas meja. "Semua tidak akan kembali meski kau menangis sekali pun." Kiana terkejut dengan suara yang tiba-tiba terdengar di teling
Rasa sakit di bagian kepala, membuat Rafael harus terbangun. Memegang kepalanya dan membuka mata perlahan. Langit-langit kamar miliknya menjadi hal pertama yang dia lihat. Lalu ketika dia mulai mengedarkan pandangannya ke arah lain, Rafael melihat Ken tengah duduk menatapnya dengan ekspresi cemas. "Ken?" "Akhirnya, kau sadar juga, Rafael," ujar Ken sambil mengucap syukur. Ternyata, di ruangan itu tidak hanya ada Ken saja, melainkan para pelayan dan bahkan bodyguard yang ditugaskan untuk menjaga rumahnya di depan, kecuali Kiana. Wanita itu masih tidak diizinkan untuk keluar kamar. Namun tampaknya, Kiana santai-santai saja. "Kenapa aku bisa di sini? Apa yang terjadi?" Rafael meringis dan menyentuh kepalanya yang diperban. Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit. Sampai saat kilas balik tentang pemukulan yang dilakukan terhadapnya, Rafael langsung terdiam. "Aku yang harusnya bertanya seperti itu, apa yang terjadi sampai kau
Tidak ada yang bisa menentang keinginan Rafael saat laki-laki itu sudah memberi perintah. Membuat Kiana yang harusnya saat ini terlelap di atas ranjang empuk, justru harus diam di samping Rafael menemaninya. Duduk di pinggir ranjang karena tidak bisa tidur sekalian berjaga-jaga jika Rafa melakukan sesuatu terhadapnya. Ya, bagaimana tidak? Pintu kamar dikunci dari luar. Membuatnya hanya bisa menatap pria tampan namun jahat di depannya tanpa bisa melakukan apa-apa. Sebenarnya, niat apa yang membuat Rafael mengurungnya di kamar laki-laki itu? Tidak tahukah kalau saat ini, mungkin saja Kiana bisa membunuhnya? Rafael sedang sakit, membunuh laki-laki itu jelas tidak sulit. Ketika dia berhasil melumpuhkan Rafael, bukannya kebebasannya akan segera datang? Sekilas, itulah yang Kiana pikirkan. Membunuh laki-laki yang kini dengan terlelapnya tidur. Namun, saat pikiran itu terlintas, Kiana juga teringat dengan apa yang dulu sempat dilakukannya pad
"Buang makanannya." "Apa? Kenapa?" Kiana menatap sup ayam buatannya dengan nanar saat Rafael menolak masakannya. Padahal itu dibuat dengan susah payah. Kiana memasaknya karena Mara meminta untuk menyiapkan laki-laki itu makan malam. Tidak ada yang aneh, supnya pun masih panas. Kiana juga berani menjamin kalau rasanya tidak akan mengecewakan. Sedari kecil, dia sudah belajar memasak dan saat remaja, ibunya juga selalu diminta buatkan makanan olehnya. Walau atas dasar terpaksa. "Aku ingin makanan yang lain," balas Rafael tanpa peduli kalau Kiana tengah menahan sabar. "Tidak, aku tidak mau memasak lagi. Makan atau tidak, hanya itu pilihanmu!" Sudah malam dan Kiana juga ingin istirahat. Dia tidak mau terus-menerus melayani Rafael. Apalagi dia tidak mendapat gaji apa pun dari laki-laki itu. Salah. Sebenarnya Rafael memberinya hak untuk meminta apa pun yang dia mau pada Mara, yang tentu
"Rafael, kenapa kau memukuli Marcel?" tanya Guzman pada cucu kesayangannya, Rafael. Dia kaget setelah mendengar kalau Marcel dipukuli oleh Rafael di rumah laki-laki itu. Mario memberitahu dan mendesaknya untuk menghukum Rafael. Tentu karena perbuatan Rafael dianggap sudah sangat keterlaluan. Kini, dia langsung memerintahkan orang-orangnya untuk membawa paksa Rafael dari rumah sakit. Tidak peduli apakah cucunya menolak atau tidak. Sebenarnya dia bingung, dengan perubahan yang terjadi pada cucunya itu. Kenapa Rafael yang bahkan selalu menghindari perkelahian, kini justeru lebih sering berkelahi? Insiden di pesta pertunangan Marcel pun demikian dan sekarang cucunya kembali melakukan hal yang sama. "Jadi kau membawaku secara paksa ke sini hanya untuk mendapat pertanyaan semacam itu? Kenapa tidak tanyakan saja padanya? Kenapa dia sampai berani menyentuh pelayanku," ujar Rafael. Matanya menatap kakeknya dengan sinis. Rafael sama
Tamatlah riwayatnya. Kiana hanya bisa berdoa saat mendengar suara Rafael mengalun di gendang telinganya. Bagai sebuah warning yang memintanya segera bersembunyi agar tidak ketahuan. Jelahs opsi untuk melarikan diri tidak ada untuknya saat ini. Kenapa? Kenapa bisa seperti ini? Bukankah Mara bilang kalau Rafael tidak akan pulang? Mungkinkah wanita itu hanya membohonginya? Senyum kecut muncul di bibirnya. Tak seharusnya Kiana percaya pada semua orang yang ada di sini. Semuanya hanya mementingkan diri mereka sendiri. Akan tetapi, dia sungguh beruntung karena telah menutup lemari sebelum Rafael datang. Laki-laki itu ... tidak akan curiga bukan? Kiana juga sudah membereskan kembali berkas yang tadi sempat dia acak-acak. Meski satu kesalahan yang dia lakukan, Kiana lupa mengunci pintu ruangan. Dia hanya menutupnya saja. Sungguh sialan. Di tengah rasa cemas karena takut sewaktu-waktu Raf
Kiana menahan napas saat jemari kasar Rafael perlahan mulai menyentuh tubuhnya. Sentuhan itu begitu menyengat seperti aliran listrik hingga deru napasnya terdengar memberat. Tangannya tanpa sadar meraih sejumput rambut hitam Rafael sambil mengerang. Wajahnya memerah, menikmati setiap sentuhan lembut dan lumatan kecil di area sensitifnya. Namun kepalanya terus menggeleng, seakan berkata kalau dia tidak ingin berakhir dalam dekapan laki-laki tampan itu. Kiana berusaha menolak. Kakinya menendang sambil meminta Rafael untuk berhenti. "Tidak. T-tolong hhentikan ...." Suaranya yang terdengar lirih justeru seperti undangan bagi Rafael yang saat ini diliputi gairah. Bibirnya menyunggingkan senyum miring. Dia tahu, ketika dia telah memulai, maka tidak ada kata berhenti. Kiana telah membangunkan sisi lain dalam diri Rafael selama ini. Sebuah hasrat yang sudah terkurung rapat, kini meminta dibebaskan. Rafael yang awalnya mengaku